Share

Bab. 3. Pantangan Kamar Pengantin

Belatung-belatung dalam tampah itu terus bergerak liar, seolah tengah menari. Ada belatung yang tampak memakan temannya yang terlihat lemas. Mereka bagai monster kecil yang menjijikkan. Sebagian dari mereka merambat keluar dari tempatnya. Kini mulai memenuhi meja bahkan sudah ada yang merambat ke lantai. 

 

Dari hanya satu, kini sekitar puluhan belatung berjalan ke arahku. Ya, tujuan mereka memang mendekatiku karena semakin aku mundur, gerakan mereka pun semakin cepat.

 

Saat salah satunya berhasil menyentuh ujung ibu jari kakiku, aku sontak berteriak sekuatnya sembari mengentak-entakkan kaki agar belatung itu melepaskan cengkeramannya.

 

"Budhe, tolong!”

 

Aku bisa melihat wanita itu berlarian sembari mengangkat sedikit kain jariknya agar langkahnya lebih leluasa. Beberapa orang juga tampak meninggalkan pekerjaan dan tergopoh mendekatiku yang masih berteriak ketakutan.

 

”Ada apa, Nduk? Kenapa kamu teriak-teriak seperti ini?” Aku bersembunyi di balik punggungnya sembari menunjuk ke lantai dengan kedua telapak tangan menutup mata karena tidak ingin melihat makhluk yang biasa ada di bangkai itu.

 

”I-itu ada ...."

 

”Ada apa?”

 

”Itu ada belatung banyak sekali," ucapku dengan gemetar.

 

"Tidak ada apa-apa di sini, Nduk. Coba buka matamu. Kamu mungkin hanya salah lihat,"

 

Wanita itu meraih tanganku lembut, perlahan menurunkannya. Dengan bujukannya, aku bersedia mencoba membuka mataku. Semoga saja Budhe Lasmi benar.

 

Perlahan kupicingkan mata, semakin lama semakin lebar menatap lantai dan meja yang tadinya penuh belatung.

 

”Mana belatungnya,Nduk? Ini hanya kelapa parut saja."

 

Budhe Lasmi mengambil segenggam kelapa parut dan menunjukkan padaku. Mataku mengerjab sementara banyak pertanyaan menari di benak. Jika benar ini hanyalah kelapa parut, lalu kenapa aku tadi melihatnya berbeda.

 

"Ta-tapi tadi Gantari memang melihat belatung.”

 

"Sepertinya kamu masih lelah, Nduk. Lebih baik kamu istirahat saja. Biar Budhe antar ke kamarmu ya," ujarnya sembari mengamit tanganku.Dengan perlahan aku dan Budhe Lasmi beranjak menuju kamar.

 

”Nduk, makanlah ini."  Suara parau itu membuatku menghentikan langkah kemudian menoleh ke sumber suara. Rupanya dia adalah Mbah Sumarti.

 

Dia menyodorkan sebuah piring gembreng yang berisi jenang dodol yang masih lembek dan panas.

 

"Makanlah ini, Nduk.  Ini bagus untuk memulihkan staminamu."

 

Meski ragu, aku tetap menerima pemberian  wanita bungkuk itu. Wangi pandan dan gula merah yang manis sontak membangunkan cacing di perutku. Rasa lapar itu tiba-tiba saja menyapa tanpa aba-aba.

 

Dengan langkah lebar aku meninggalkan dapur dan duduk di ruang tamu, kali ini tidak ditemani Budhe Lasmi karena dia masih ingin melihat persiapan hajatan besar dalam rangka pernikahan putri bungsunya ini.

 

Mataku berbinar melihat isi dalam piring. Seumur-umur aku baru sekali ini akan memakan jenang dodol yang masih panas karena biasanya sudah dikemas ke dalam plastik. Rasanya pasti sangat lezat.

 

Wangi pandan membuatku tidak sabar untuk segera mencicipinya. Pasti rasanya sangat nikmat.

 

Namun, begitu jenang masuk ke rongga mulutku rasa manis itu tiba-tiba saja berubah. Ada rasa asin dan pahit yang berkumpul menjadi satu. Rasa aneh itu seketika perutku  menolaknya. Aku segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan semuanya.

 

Aku terkejut saat menatap lantai kamar mandi, melihat apa yang kukeluarkan. Bukankah ini mirip darah yang menggumpal, baunya juga anyir. Ini seperti yang ada dalam halusinasi ku tadi. Tidak, ini pasti hanya bayangan saja. Saat aku berkedip lagi-lagi semuanya berubah dan kembali normal.

 

Perutku sudah kosong dan lebih nyaman setelah semuanya keluar, aku juga memilih meminum air untuk menetralkan perut begah. Air yang sama yang diberikan Sekar padaku.

 

Ah, aku jadi ingat sahabatku itu. Di mana ya dia sekarang karena sedari tadi aku sama sekali tidak melihatnya. Ah, apa mungkin saat ini dia tengah bersiap untuk menyambut pria yang akan menjadi suaminya. Lebih baik aku memeriksa di kamar, siapa tahu dia membutuhkan bantuanku.

 

Kuketuk pintu kamarnya, ”Sekar!"

 

Tidak ada sahutan di dalam tapi pintu kamar sepertinya tidak dikunci jadi ketika kuketuk, pintunya terbuka sedikit. ”Sekar, aku masuknya.”

 

Aku terkagum saat melihat kamar calon pengantin yang sudah didekor untuk menyambut hadirnya penghuni baru kamar ini. Namun, tidak kutemui  calon mempelai wanita di sana.  Di mana dia sekarang?

 

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan berderit cukup kencang. Ah, Sekar keluar dengan kebaya berwarna merah dengan riasan serta sanggul  membuat  teman kecilku yang terkenal  sebagai anak cengeng itu terlihat sangat cantik.

 

”Ya ampun, cantiknya calon mantu Pak Lurah," godaku sembari mencubit dagunya yang lancip. Pelukan juga kuhadiahkan gadis yang sebentar lagi akan jadi wanita seutuhnya itu.

 

Sebuah kejutan kudapatkan sebagai balasan pelukan kasih yang kuberikan. Dia mendorongku dengan kuat hingga membuatku terjengkang, jatuh tersungkur ke lantai 

 

"Lancang! Siapa yang mengizinkanmu untuk masuk ke kamar!”

 

Belum hilang keterkejutanku atas bentakan yang kuterima, gadis itu mengulurkan tangannya ke leher, seolah hendak ingin mencekikku.

 

"Keluar atau kuhabisi kamu!"

 

 Matanya merah dan begitu nyalang menatapku. ”Se-sekar, kamu kenapa?"

 

"Pergi!" 

 

Teriakannya yang membahana, membuatku memilih pergi meski aku masih bingung dengan sikapnya yang sangat kasar. Gadis itu selama ini kukenal begitu periang juga penyabar. Beberapa kali dia selalu menasihatiku saat aku menceritakan masalahku.

 

"Sabar, Gantari. Jangan jadi pribadi yang pemarah. Semua itu bisa diselesaikan dengan kepala dingin."

 

Ucapannya kala itu terus terngiang tapi kenapa sekarang gadis itu yang pemarah dan juga menyeramkan. Bagaimana kalau tadi dia kalap dan mencekikku.

 

Langkah kakiku gontai meninggalkan kamar sahabatku. Bahkan saat aku keluar kamar gadis itu menutup pintu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi berdentam.

 

Kembali duduk di kursi rotan sembari menatap jendela. Di luar nampak orang-orang sibuk menata tenda juga kursi karena mungkin beberapa jam lagi tamu-tamu akan datang. Ramai tapi hening, itulah suasana desa ini. 

 

Entah ini gelas ke berapa aku minum air yang dikatakan sebagai ramuan herbal sebagai penghilang lelah. Lidahku sudah mulai terbiasa meminumnya.

 

"Kamu kenapa melamun, Gantari?”

 

Mataku tengadah menatap wanita di hadapanku. "Budhe, kenapa Sekar jadi pemarah?”

 

”Memangnya dia marah padamu?”

 

Kuceritakan semua yang terjadi di dalam kamar Sekar, tanpa terkecuali. Budhe Lasmi tampak menghela napas perlahan.

 

"Nduk, kamu sudah lama tidak tinggal di sini, jadi wajar jika kamu lupa bahwa di kampung ini ada pantangan."

 

Keningku mengerti sembari mengingat apa saja aturan desa ini yang masih terpatri di zaman modern seperti ini. Saat tidak menemukan jawabannya, kutanyakan apa pantangan yang mungkin tanpa sengaja kulanggar.

 

"Seorang gadis tidak boleh memasuki kamar pengantin orang lain. Jika dilakukan akan terjadi sesuatu yang buruk."

 

Aku  tercengang dengan penjelasan wanita itu. Baru kali ini kudengar pantangan seperti ini. Budhe Lasmi pun  menjelaskan bahwa seorang gadis yang memasuki kamar pengantin dipercaya akan mencuri mempelai pria atau mengundang mara bahaya di pernikahan yang akan dilaksanakan. 

 

Aku mulai mengerti kenapa Sekar begitu murka. Meski aku sendiri bingung kenapa gadis itu masih percaya hal-hal mitos seperti itu.

 

Aku bosan karen terus saja berpangku tangan, hanya melihat orang-orang dari jendela. Mereka begitu sibuk menyiapkan pernikahan sahabatku sementara aku sama sekali tidak diijinkan membantu dengan alasan aku adalah tamu jadi tidak pantas ikut terlibat.

 

”Nduk, tamu itu harus dibuat senang dan nyaman, bukan membantu pekerjaan sang tuan rumah."

 

"Tapi, Budhe ...."

 

Wanita itu menyarankan aku untuk berjalan keliling desa sebentar untuk menghilangkan rasa bosan. Ah, lebih baik begitu dari pada di sini diam saja.

 

Langkah kakiku menuju satu tempat,  hanya berjarak empat rumah dari rumah Sekar. Saat aku berdiri di depan rumah itu, mataku mengerjab. Rumah itu masih sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya. Ya, itu adalah rumah nenek, tempat kuhabiskan masa kecilku.

 

Kuamati sudut-sudut rumah yang begitu kurindukan. Aku terkejut saat tiba-tiba gorden yang menutup jendela terbuka sedikit dan ada wajah yang mengerikan seakan mengawasiku dari dalam.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status