Share

Bab. 2

Aku terkejut saat mendengar ucapan dari wanita yang berdiri tepat  di sampingku. Tangan ini gemetar hingga tidak menyadari kayu pengaduk itu sudah terlepas dari genggaman. Jatuh ke wajan hingga menimbulkan bunyi berdentam.

Mataku terbeliak saat menatap letupan-letupan darah yang mulai mendidih. Bau anyir dan busuk menyatu, menguar, serta membumbung tinggi hingga menyentuh langit-langit dapur.

Darah yang tadinya cair kini sebagian tampak menggumpal. 

"Da-darah?"

”I-iya, ini darah yang masih sangat segar dan harum. Rasanya juga sangat manis sekali karena ini darah mereka yang tidak ditakdirkan untuk berdosa."

Aku tercengang dengan ucapannya, mereka yang tidak berdosa? Apakah itu darah para anak-anak yang belum berdosa atau mungkin bayi yang baru terlahir. Perutku mual dan kepala sangat pening hanya dengan membayangkan darimana darah ini berasal .

Kututupi mulut dan hidungku agar tidak mencium bau busuk seperti ribuan bangkai tikus.

Mataku terbelalak saat wanita yang wajahnya tertutup oleh rambut penuh uban karena dibiarkan tergerai itu menunduk. Tangannya meraup isi dalam wajan. Seolah ia tidak merasakan panasnya didihan darah itu.

"Cicipilah ini rasanya sangat manis.” Dia berujar sembari menyodorkan tangannya yang penuh dengan darah yang menetes di sela-sela jarinya.

"Ti-tidak. Itu mengerikan!" 

Tanganku menangkisnya dengan kasar. Hanya satu dalam pikiranku bahwa harus segera pergi dari tempat mengerikan ini. Tempat yang aku sendiri tidak tahu ini nyata atau hanya sekadar ilusi semata.

Namun, langkah kaki ini seperti tertahan oleh sesuatu yang tidak terlihat ketika hendak melangkah. Aku seperti terkurung di penjara tak kasat mata. 

Perlahan wanita itu menyibak rambut panjangnya dengan kedua lengannya. 

Duh, Gusti. Sebenarnya wanita itu manusia atau bukan? Mengapa wajahnya penuh dengan borok dan mengeluarkan darah juga nanah yang meleleh. Kulitnya bergelambir dan juga sebagian terkelupas, beberapa belatung tampak melata keluar dari ujung matanya yang merah.

Senyumnya, bukan, lebih tepatnya dia menyeringai begitu mengerikan, memamerkan giginya yang hitam dan sangat runcing. Dari dalam mulutnya terus mengeluarkan liur yang hitam dan berbau sangat busuk.

Wanita itu terus menghidu anyirnya darah yang ada di tangannya kemudian menyesap dan menjilati jemarinya yang berkuku hitam dan panjang, seolah tengah menikmati makanan yang begitu lezat, hingga mulutnya belepotan darah.

”Rasakan ini, Cah ayu, nanti kamu pasti ketagihan.”

Dia terus menyodorkan darah yang berwarna kehitaman itu ke mulutku, hampir menjejalkan ke mulut. Untunglah meski kaki tidak bisa bergerak, mulutku terkatup dengan rapat serta aku bisa menggelengkan kepala sekuat tenaga.

Tanganku yang awalnya kugunakan untuk menghalau wanita itu, kini terulur ke arahnya. Kudorong tubuh wanita yang berjalan terbungkuk.

Namun, lagi aku dibuat heran karena kaki yang terlihat renta itu nyatanya berdiri kokoh tanpa bergeser sedikitpun. Padahal aku mendorongnya dengan sekuat tenaga.

”Oh, kamu ingin disuapi ya. Sini, buka mulutmu, Cah ayu," ujarnya dengan suara parau, tangan kanannya mencengkeram pipiku, hingga membuat mulutku otomatis terbuka. Saat tangannya yang lain hendak menjejalkan bongkahan darah itu, kakiku mulai bisa digerakkan. Dengan sekali tendang dan dorongan, tubuhnya berhasil kupukul mundur beberapa langkah.

Dengan cepat kuambil langkah seribu sembari menjerit-jerit meminta tolong pada siapa saja,  sesekali aku menoleh ke belakang. 

Aku bergidik saat mendengar wanita itu tertawa sembari menyesapi darah yang menempel di tangannya. Sampai aku tidak menyadari ada orang lain yang tengah berjalan ke arahku juga.

Tabrakan tidak dapat dihindari, aku terjatuh ke lantai.

”Aduh," rintihku sembari mengusap pelipis yang terantuk dinding.

”Gantari, apa yang kamu lakukan di sini?”

Suara itu, sepertinya aku mengenalnya. Rupanya dia adalah Budhe Lasmi, ibunya Sekar. Kupindai wanita yang menggunakan kain jarik serta kebaya berwarna hijau itu lekat, dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Kaki yang menapak di tanah membuatku sadar, dia manusia sepertiku.

"Ada apa? Kenapa kamu lari-lari seperti orang yang ketakutan? Lihat, badanmu keringatan seperti orang mandi saja," tanyanya sembari mengusap dahiku.

Saat meyakini dia adalah sosok yang kukenal, tak sungkan kuhamburkan diri ke pelukan wanita yang konon kabarnya pernah digandrungi oleh pamanku.

Air mataku luruh di sana, kutumpahkan semua rasa takutku. Dia terus mengusap lembut rambutku.

"Ada apa, Nduk?” tanyanya setelah tangisku mereda.

"Ta-tadi di dapur, ada hantu yang sedang memasak jenang dodol terbuat dari darah, Budhe. Gantari dipaksa untuk memakannya."

Bukannya menenangkanku, wanita itu tertawa lirih. "Oalah, Nduk. Tidak ada hantu di rumah ini. Sepertinya kamu memang kelelahan."

Wanita itu membantuku berdiri kemudian mengajak ke ruang tamu. Aku duduk di kursi rotan sembari menyenderkan kepala. Sementara wanita yang sudah disanggul dan telah dirias begitu cantik itu menuangkan air dalam kendi.

"Diminum dulu ini. Biar kamu tenang."

Kuraih gelas dari gerabah yang disodorkannya padaku. Tidak seperti kemarin aku langsung minumair itu. Kali ini kuperhatikan baik-baik, airnya  memang sedikit keruh dan baunya lebih asam.

”Ini air apa,Budhe?"

"Hanya air biasa yang diberi beberapa bahan herbal untuk menjaga kesehatan, terutama anak gadis sepertimu. Sudah, diminum dulu.”

Dengan sedikit menahan napas, kuminum dengan sekali tenggak. Baunya memang tajam menusuk hidung.

”Bagaimana, sudah enakan belum?” Aku mengangguk perlahan sembari mengatur napas yang tersengal.

"Ya sudah, kalau kamu enakan, Budhe tinggal sebentar ya. Mau ke dapur buat memastikan apa hidangan buat para tamu nanti sudah siap atau belum,” ujarnya sembari berlalu menuju belakang rumah.

Dapur? Tidak, Bagaimana kalau hantu-hantu itu menakuti dia sepertiku tadi. Lebih baik aku segera mencegahnya.

Gegas aku bangkit dan menyusul wanita yang masih tampak begitu anggun, meski usianya tidak lagi muda.

”Budhe, jangan ke dapur. Di sana ada hantunya,” ujarku setelah berhasil menyejajarkan langkahnya. Kuamit tangannya untuk mencegah wanita itu melanjutkan langkah ke dapur.

”Hantu? hantu apa tidak ada hantu di sini."

Aku tetap bersikukuh dengan ucapanku karena nyatanya memang begitu. Hantu dan jenang dodol yang terbuat dari darah ada di sana.

”Begini saja, Nduk. Agar kamu percaya bahwa di rumah ini tidak ada hantunya. Kamu ikut menemani Budhe ke dapur. Jadi kalau misal ada hantunya kita bisa kabur saka-sama.”

Meski dengan hati  yang dipenuhi ketakutan dan keraguan, tetap kuikuti langkah sang empunya rumah ini sementara tanganku terus mencekal lengan Budhe Lasmi dengan erat.

Dapur yang tadinya dipenuhi aroma anyir dan busuk telah berganti dengan aroma berbagai masakan yang harum dan menggugah selera makan siapa saja. 

Semua kegiatan yang ada di dapur tampak biasa saja, seperti orang akan mengadakan hajatan pada umumnya.

Kuedarkan pandangan untuk mencari hantu tadi. Ah, ketemu. Wanita yang sedikit bungkuk itu ada di salah satu sudut dapur. Dia tengah mengaduk wajan besar.

”Budhe, itu hantunya,” bisikku perlahan,

”Ngawur kamu, Nduk. Dia itu Mbah Sumarti, orang yang sering dipanggil ke acara hajatan khusus untuk memasak jenang dodol.”

Aku mencoba membantah dengan menceritakan apa yang ku alami tadi. Budhe Lasmi bukannya percaya, dia malah mengajakku untuk menemui wanita tua yang wajahnya sangat mengerikan itu.

”Mbah, jenangnya sudah jadi?”

Hatiku tidak karuan saat wanita itu akan berbalik arah, akankan dia wanita yang sama dengan  yang kulihat tadi.

Mataku terbelalak saat wajah kami bertemu. Dia adalah wanita yang paras ayunya masih tersisa diantara kerutan di wajahnya. Senyumnya begitu cantik meski bibirnya tengah mengunyah tembakau.

Tidak, kenapa dalam sekejap mata semuanya berubah. Padahal jelas-jelas tadi aku melihatnya dalam sosok hantu yang menyeramkan. Apa mungkin benar kata Budhe Lasmi aku terlalu lelah jadi sedikit mengalami halusinasi.

"Tuh, kamu lihat sendiri kan kalau tidak ada hantu di sini."

Aku hanya bisa mengangguk. Budhe Lasmi dan wanita itu tampak berbincang, entah apa yang mereka bincangkan. 

Pandangan mataku lebih tertarik untuk melihat wanita-wanita lain yang tengah bercengkrama sembari terus bekerja. 

Tunggu, kenapa di tampah yang berisi parutan kelapa itu seperti ada yang tengah bergerak. Untuk memastikannya aku berjalan mendekatinya. Saat sudah sangat dekat, aku bisa melihat jelas bahwa yang ada di tampah, bukanlah parutan kelapa, melainkan belatung yang seolah dikumpulkan dalam satu wadah yang besar. Bertumpuk dan menggunung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status