แชร์

Penari Mengerikan

ผู้เขียน: Ve Ailsa
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-02-12 19:45:59

Mataku beralih ke arah para penabuh gamelan. Lagi dan lagi aku terkejut  melihat betapa mengerikannya  wujud mereka sekarang. Ada yang perutnya tertancap belati, ada yang dahinya tampak berlubang dan dari lubang itu terus mengalirkan darah. Semua penabuh gamelan bak mayat hidup, tangan mereka bergerak tapi mereka mati.

Sementara para penari yang wajahnya cantik, sudah berubah menjadi penuh borok dan kulitnya melepuh. Ada pula yang matanya menjuntai begitu saja. Mulut mereka terus menerus mengeluarkan darah yang menghitam. Tubuh mereka pun penuh luka dan sayatan. Kebaya yang tadinya berwarna  biru muda telah berlumuran darah yang telah mengering. Seorang penari lehernya hampir putus.

Seorang dari mereka mengalungkan selendang ke tamu dan mencekiknya dengan itu kemudian menyeret mayatnya berkeliling panggung sembari terus tertawa melengking membuat siapapun yang mendengar pasti bergidik ketakutan. Berkali-kali mataku mengerjab agar semuanya kembali seperti semula, normal seperti seharusnya. Tidak, semuanya masih begitu mengerikan. 

Seorang penari menatapku sembari menyeringai. Jika tadi aku melihat langkahnya sangat gemulai tapi tidak kali ini. Dia berjalan terpincang sembari sedikit mengangkat jariknya sebatas lutut. Kaki kirinya terkulai lemas. Perlahan dia mendekat sembari menguatkan bau busuk bercampur bunga melati yang  mengaduk perut. Aku takut dan ingin lari tapi badan rasanya lemas. Lambat laun pandanganku mulai mengabur hingga semuanya gelap.

Suara gamelan yang bertalu  perlahan terdengar semakin jauh dan jauh. Hanya kudengar suara tangisan. Tangisan yang suaranya seperti tidak asing di telinga. Rasanya aku pernah mendengarnya tapi entah di mana.

Perlahan mataku terbuka tapi tetap saja tidak bisa kulihat dengan jelas, seperti melihat bayangan di air yang tidak jernih.  Aku hanya bisa melihat seseorang itu tengah memunggungiku serta terduduk di tanah. Tangannya tak henti memukuli tanah yang sedikit becek itu. Satu lagi yang bisa kupastikan dia adalah seorang pria.

"Mas, aku gagal menjaga anakmu. Maafkan aku," ujarnya di sela isakan tangis.

Seorang pria lain datang mendekat sembari mengusap bahunya. "Pak, kita lanjutkan pencarian ponakan Anda di sana."

Kedua pria itu melangkah pergi tanpa menoleh ke arahku.  Seiring kepergian mereka suara gamelan kembali mendekat.

Saat semua kejadian ini bisa kucerna dalam pemikiran dan logika, bau mint dan rempah-rempah yang sangat kuat menguar, menusuk hidungku. Perlahan mataku kembali terbuka kali ini lebih jelas dari sebelumnya.

Aku sudah tidak di luar bersama tamu-tamu yang mengerikan itu tapi aku sudah berada di kamar. Dia wanita yang begitu kukenal mengitariku dengan mimik wajah yang penuh kekuatiran.

"Nduk, ini kamu minum dulu,” 

Budhe Lasmi membantuku bangun dari tidur untuk meminum air. Biasanya disajikan dengan kondisi dingin kali ini hangat, rasa asamnya tidak terlalu kentara tapi aromanya  lebih kuat sampai-sampai aku harus menahan napas.

"Mana yang sakit, Ri?" tanya Sekar sembari terus menggenggam tanganku erat. Sorot matanya lembut, tidak seperti saat terakhir kali kami bertemu, matanya merah padam saat itu.

"Hanya sedikit pusing. Kamu tidak usah kuatir toh aku hanya pingsan sebentar saja," ujarku sembari memijat pelipisnya dengan lembut.

"Sebentar kamu bilang?”

Aku mengangguk, ya memang aku hanya pingsan sebentar saja. Sekar bangkit berdiri sembari berkacak pinggang.

"Kamu pingsan berhari-hari, Gantari. Lihat pernikahanku sudah lama berlalu sementara su-suamiku sudah kembali ke kota untuk bekerja."

Dahiku mengernyit memikirkan ucapan Sekar. Rasanya baru saja mataku menggelap tapi kenapa bisa berhari-hari dikatakan dalam keadaan tidak sadar.

"Memangnya kamu kenapa, Nduk? Kenapa bisa pingsan saat acara bahkan belum dimulai?”

Bayangan rentetan kejadian itu menari di angan, perlahan dan dengan suara parau kuceritakan semuanya pada dua wanita yang duduk di tepian ranjang itu.

"Setelah itu, Gantari tidak lihat apa-apa, kecuali ...."

Aku berusaha mengingat bagaimana ciri-ciri pria yang tampak menangis dalam penglihatanku. Sosok dan suaranya seperti tak asing tapi entah siapa.

"Seseorang menangis dan terus meminta maaf karena tidak bisa menjaga ponakannya."

"Mungkin itu hanya mimpimu, Nduk. Sudah berhari-hari kamu terbaring di kamar ini."

Ya, mungkin ini semua hanya mimpi tapi bagaimana dengan seringnya aku mengalami kejadian-kejadian yang janggal semenjak tinggal di sini. Apa mungkin benar itu hanya halusinasiku semata.

Suasana mulai membaik, Sekar menceritakan apa saja yang terjadi selama beberapa hari ini. Bahkan kehebohan para tamu saat aku tiba-tiba pingsan.

"Lalu bagaimana pernikahanmu tetap berjalan dengan lancar?”

Gadis, ah tidak, akan lebih pas aku menyebut Sekar sebagai wanita. Dia bukan seorang gadis lagi tapi sudah menjadi istri orang. Dalam bahasa Jawa istri itu disebut garwo atau sigaraning nyowo. Wanita itu telah menjadi belahan jiwa seorang pria.

Sekar tampak mengulum senyum malu. Niatku menggodanya semakin tertantang. Apalagi Budhe Lasmi sudah meninggalkan kamarku, aku lebih bebas menginterogasi sahabat masa kecilku itu.

 

"Bagaimana malam pertamanya, lancar bukan? Aman terkendali kan? Cobalah kau cerita dengan aku yang belum nikah ni. Biar aku termotivasi gitu."

"Apa sih?"  ujarnya sembari memukul lenganku pelan.

"Dih, tinggal jawab saja susah amat si."

Sekar tidak menjawab tapi rona merah  yang terbias di pipinya sudah menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Aku tahu dia pasti sangat bahagia dengan pernikahannya.

”Sekar, tadinya itu aku mau nyuri bunga yang ada di rambutmu, tapi tidak jadi. Padahal sudah jauh hari aku merancangnya."

Sekar terkekeh mendengar ocehanku. Ya, memang sebagian orang percaya jika seorang gadis berhasil mencuri salah satu bunga yang menghiasi kepala pengantin maka akan bertemu dengan jodohnya. Dari rumah aku sudah berangan untuk melakukan misiku tapi harus menelan kegagalan karena ulah hantu-hantu itu. 

Saat kami berbincang tiba-tiba saja Sekar menutup mulutnya kemudian berlari ke kamar mandi. Aku mengikuti langkahnya karena kuatir. Di dalam sana bisa kudengar dia tengah mengeluarkan isi dalam perutnya.

"Sekar! Apa kamu baik-baik saja?" tanyaku sembari mengetuk pintu kamar mandi. Aku takut terjadi sesuatu padanya.

”I-iya, aku baik-ba ...."

Lagi-lagi sebelum ucapannya selesai aku mendengar dia kembali mengeluarkan isi dalam perutnya. Cukup lama dia ada di sana sementara aku bingung harus berbuat apa. 

"Kamu sakit atau masuk angin? Aku kerikin ya. Wajahmu juga terlihat sangat pucat. Apa kita perlu ke puskesmas?"

Sekar bukannya menjawab, dia berlalu meninggalkanku setelah tersenyum simpul. Gegas kukejar langkahnya, aku ingin mendapat penjelasannya.

"Kita periksa ya," bujukku saat berhasil menyamai langkahnya. Namun, Sekar bersikukuh tidak mau.

”Tidak perlu. Ini bukan sakit tapi memang bawaan orang hamil."

"Ha-hamil?"

Entah apa yang kurasakan sekarang antara senang dan bingung. Aku senang karena sahabatku akan menjadi seorang ibu, itu artinya akan kumiliki seorang keponakan.

Namun, di saat yang bersamaan ada ribuan pertanyaan. Rasanya pernikahan baru saja terjadi tapi dia telah hamil. Jangan-jangan ....b.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Gantari   Wanita Murahan

    "Aduh," pekikku. Dengan sedikit berlari aku menuju tempat mencuci piring kemudian mengguyur jariku dengan air. "Ada apa, Nduk?" Kulirik wajah ayu yang tampak kuatir itu. "Mboten nopo-nopo, Budhe. Ini hanya sedikit tergores pisau tadi." Wanita itu segera memanggil salah satu wanita yang tengah memasak untuk mengambil obat merah dan juga plester. Dengan lembut dia mengobati lukaku, sesekali meniupinya. "Kamu istirahat saja, Nduk. Ibu tidak mau kamu sakit." Melihatku yang berkeras untuk melanjutkan pekerjaan, wanita itu menyuruhku jalan-jalan di sekeliling desa saja. "Biar Aji yang mengantarmu." "Tapi ...." "Tidak boleh ada penolakan. Pilihannya hanya kamu masuk ke kamar atau jalan-jalan. Lagipula di dapur sudah banyak orang, Nduk." Wanita itu meminta salah seorang perempuan memanggil Aji yang masih di kamarnya. "Nduk, kamu siap-siap saja sana." Ah, sepertinya aku punya alasan untuk teta

  • Gantari   Label Buruk

    Mata ini membulat saat mendengar ucapan Pak Burhan. "Ri-ritual? Ritual apa, Pakdhe?""Bukan ritual yang rumit, tenang saja. " Pria itu sepertinya tahu tentang ketakutanku. "Nanti malam kamu akan beri tahu apa saja."Pikiranku terus bergerak liar tentang ritual seperti apa nanti yang harus kulalui. "Paman, memangnya harus ya, Tari melakukan ritual," ujarku sembari meremas baju sementara pandanganku lurus menatap pria yang ada di depanku. "Nanti coba paman bicara pada Pak Burhan. Harusnya yang jika ada ritual yang harus melakukannya adalah paman. Karena paman memaksa masuk ke sana sementara kamu tidak."Paman mengusap lenganku dengan lembut. Dari dulu itulah caranya menenangkanku. Dia memintaku untuk masuk ke kamar jika masih lelah."Gantari kalau hanya di kamar, pikirannya pasti nggrambyang ke mana-mana. Takut nanti malah teringat dengan kejadian aneh itu.""Ya, &n

  • Gantari   Berita Mencengangkan

    Aku tidak menyangka akan mendapat kabar tidak sedap seperti ini. Aku adalah orang yang tahu pasti kalau Sekar adalah seorang wanita yang sedari kecil sangat menyukai calon suaminya, bisa dikatakan Ajilah cinta pertamanya. Rasanya janggal jika tiba-tiba saja kabur saat hari pernikahan yang lama diidamkannya sudah ada di depan mata."Gantari, coba lihat ini!” ucapnya sembari mendekatkan kamera ke jemarinya. Aku mengamati jemarinya hingga tatapanku berhenti di jari manisnya."Bagus tidak?”Gadis itu menunjukkan padaku cincin emas bertahtakan permata yang tersemat di jari manisnya saat kami melakukan panggilan video. Aku tentu saja berdecak kagum saat itu."Cantik sekali, dari siapa sih? Pangeran negeri seberang atau pangeran berkuda putih?" godaku.Aku bisa melihat semburat merah jambu di pipinya yang ranum. Ada rona kebahagiaan terpancar di wajahnya saat dia menyebut nama pria yang melamarnya untuk menjadi ratu di istananya be

  • Gantari   Kembali Pulang

    Pandanganku perlahan mulai jelas, aku berada di sebuah entah ini taman atau ladang. Satu hal yang pasti aku ada di antara rumput-rumput liar yang tinggi. Dengan sedikit kesusahan karena kepala ini tanya begitu sakit dan pusing, aku bangkit berdiri untuk memastikan sebenarnya tempat apa aku berada sekarang. Apakah di alam manusia atau alam lain seperti sebelumnya.Tingginya rumput yang melebihi tinggi badanku membuatku harus berjinjit agar bisa melihat keluar. Untung saja tidak jauh dari tempatku berdiri ada dua gundukan tanah yang rumputnya lebih pendek, aku menaikinya untuk melihat sekitar.Aku seperti berada di hutan yang begitu luas tapi tidak terlalu lebat karena cahaya mentari bisa masuk tanpa terhalang pepohonan. Jarak pohon satu dengan yang lain cukup lebar. Sejauh mata memandang hanya ada rumput,semak belukar, dan beberapa pohon yang tumbuh besar. Tidak ada siapapun di tempat ini. Aku memilih kembali duduk dan berpikir setelah ini akan ke mana kakiku melangkah untuk mencari o

  • Gantari   Perjalanan Pulang

    Pria dengan wajah penuh bekas luka bakar itu menatap dalam wajahku. Di binar matanya tidak lagi terlihat kilatan amarah yang sempat kulihat tadi. Namun, berganti mata yang berkaca-kaca tapi entah apa penyebabnya. Melihat mata elang itu ada rasa teduh yang menyusup di relung jiwa tapi terselip pula rasa sedih melihatnya."Pergilah dari desa ini, Nduk, sebelum terlambat. Pulanglah melalui jalanmu masuk ke desa ini.""Ta-tapi jalanan begitu gelap, bagaimana aku menemukan jalan keluarnya?”"Kamu akan menemukan jalanmu pulang nanti. Ingat, siapapun yang menghadangmu nanti jangan terbujuk dan jangan masuk ke rumah siapa-siapa. Temukan cahaya yang akan membawamu kembali ke duniamu. Hati-hati."Pak Seno menundukkan kepala, meninggalkan sebuah usapan di rambutku kemudian masuk ke rumahnya. Masih bisa kudengar suaranya saat membujuk Bu Hapsari melepaskanku. "Jika kamu mencintainya maka biarkan dia hidup semestinya.""Tapi ....""Tidak ada kata tapi, kita yang harus melepasnya. Kasihan jika tet

  • Gantari   Ini Bukan Duniamu

    Langkahku gontai menjauh dari rumah ini, entah ke mana aku harus melangkah. Ingin pulang ke kota tapi semua barang dan juga ponselku, semuanya tertinggal. Langkahku terhenti di depan bekas rumah nenek. Dua orang penghuni rumah itu seperti yang pernah kulihat sebelumnya hanya duduk di teras. Ingin rasanya meminta tolong pada mereka tapi mengingat ketidaksukaan pria itu padaku timbul keraguan untuk masuk ke rumah yang sempat kutinggali itu.Kubalikkan badan untuk melanjutkan perjalananku, menembus kegelapan malam. Baru saja kaki ini hendak melangkah, kudengar wanita sang empunya rumah itu memanggilku."Gantari, ke mari masuklah,Nak!” Wanita itu tersenyum ramah sembari melambaikan tangannya. Memang benar pepatah mengatakan jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Wanita itu sebagian wajahnya memang rusak tapi dari matanya terlihat ada ketulusan yang jelas tertangkap."Tidak usah, Bu. Saya mau pulang saja,” tolakku karena pria itu menatapku dengan sangat tajam."Duduk di sini barang

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status