Share

Penari Mengerikan

Mataku beralih ke arah para penabuh gamelan. Lagi dan lagi aku terkejut  melihat betapa mengerikannya  wujud mereka sekarang. Ada yang perutnya tertancap belati, ada yang dahinya tampak berlubang dan dari lubang itu terus mengalirkan darah. Semua penabuh gamelan bak mayat hidup, tangan mereka bergerak tapi mereka mati.

Sementara para penari yang wajahnya cantik, sudah berubah menjadi penuh borok dan kulitnya melepuh. Ada pula yang matanya menjuntai begitu saja. Mulut mereka terus menerus mengeluarkan darah yang menghitam. Tubuh mereka pun penuh luka dan sayatan. Kebaya yang tadinya berwarna  biru muda telah berlumuran darah yang telah mengering. Seorang penari lehernya hampir putus.

Seorang dari mereka mengalungkan selendang ke tamu dan mencekiknya dengan itu kemudian menyeret mayatnya berkeliling panggung sembari terus tertawa melengking membuat siapapun yang mendengar pasti bergidik ketakutan. Berkali-kali mataku mengerjab agar semuanya kembali seperti semula, normal seperti seharusnya. Tidak, semuanya masih begitu mengerikan. 

Seorang penari menatapku sembari menyeringai. Jika tadi aku melihat langkahnya sangat gemulai tapi tidak kali ini. Dia berjalan terpincang sembari sedikit mengangkat jariknya sebatas lutut. Kaki kirinya terkulai lemas. Perlahan dia mendekat sembari menguatkan bau busuk bercampur bunga melati yang  mengaduk perut. Aku takut dan ingin lari tapi badan rasanya lemas. Lambat laun pandanganku mulai mengabur hingga semuanya gelap.

Suara gamelan yang bertalu  perlahan terdengar semakin jauh dan jauh. Hanya kudengar suara tangisan. Tangisan yang suaranya seperti tidak asing di telinga. Rasanya aku pernah mendengarnya tapi entah di mana.

Perlahan mataku terbuka tapi tetap saja tidak bisa kulihat dengan jelas, seperti melihat bayangan di air yang tidak jernih.  Aku hanya bisa melihat seseorang itu tengah memunggungiku serta terduduk di tanah. Tangannya tak henti memukuli tanah yang sedikit becek itu. Satu lagi yang bisa kupastikan dia adalah seorang pria.

"Mas, aku gagal menjaga anakmu. Maafkan aku," ujarnya di sela isakan tangis.

Seorang pria lain datang mendekat sembari mengusap bahunya. "Pak, kita lanjutkan pencarian ponakan Anda di sana."

Kedua pria itu melangkah pergi tanpa menoleh ke arahku.  Seiring kepergian mereka suara gamelan kembali mendekat.

Saat semua kejadian ini bisa kucerna dalam pemikiran dan logika, bau mint dan rempah-rempah yang sangat kuat menguar, menusuk hidungku. Perlahan mataku kembali terbuka kali ini lebih jelas dari sebelumnya.

Aku sudah tidak di luar bersama tamu-tamu yang mengerikan itu tapi aku sudah berada di kamar. Dia wanita yang begitu kukenal mengitariku dengan mimik wajah yang penuh kekuatiran.

"Nduk, ini kamu minum dulu,” 

Budhe Lasmi membantuku bangun dari tidur untuk meminum air. Biasanya disajikan dengan kondisi dingin kali ini hangat, rasa asamnya tidak terlalu kentara tapi aromanya  lebih kuat sampai-sampai aku harus menahan napas.

"Mana yang sakit, Ri?" tanya Sekar sembari terus menggenggam tanganku erat. Sorot matanya lembut, tidak seperti saat terakhir kali kami bertemu, matanya merah padam saat itu.

"Hanya sedikit pusing. Kamu tidak usah kuatir toh aku hanya pingsan sebentar saja," ujarku sembari memijat pelipisnya dengan lembut.

"Sebentar kamu bilang?”

Aku mengangguk, ya memang aku hanya pingsan sebentar saja. Sekar bangkit berdiri sembari berkacak pinggang.

"Kamu pingsan berhari-hari, Gantari. Lihat pernikahanku sudah lama berlalu sementara su-suamiku sudah kembali ke kota untuk bekerja."

Dahiku mengernyit memikirkan ucapan Sekar. Rasanya baru saja mataku menggelap tapi kenapa bisa berhari-hari dikatakan dalam keadaan tidak sadar.

"Memangnya kamu kenapa, Nduk? Kenapa bisa pingsan saat acara bahkan belum dimulai?”

Bayangan rentetan kejadian itu menari di angan, perlahan dan dengan suara parau kuceritakan semuanya pada dua wanita yang duduk di tepian ranjang itu.

"Setelah itu, Gantari tidak lihat apa-apa, kecuali ...."

Aku berusaha mengingat bagaimana ciri-ciri pria yang tampak menangis dalam penglihatanku. Sosok dan suaranya seperti tak asing tapi entah siapa.

"Seseorang menangis dan terus meminta maaf karena tidak bisa menjaga ponakannya."

"Mungkin itu hanya mimpimu, Nduk. Sudah berhari-hari kamu terbaring di kamar ini."

Ya, mungkin ini semua hanya mimpi tapi bagaimana dengan seringnya aku mengalami kejadian-kejadian yang janggal semenjak tinggal di sini. Apa mungkin benar itu hanya halusinasiku semata.

Suasana mulai membaik, Sekar menceritakan apa saja yang terjadi selama beberapa hari ini. Bahkan kehebohan para tamu saat aku tiba-tiba pingsan.

"Lalu bagaimana pernikahanmu tetap berjalan dengan lancar?”

Gadis, ah tidak, akan lebih pas aku menyebut Sekar sebagai wanita. Dia bukan seorang gadis lagi tapi sudah menjadi istri orang. Dalam bahasa Jawa istri itu disebut garwo atau sigaraning nyowo. Wanita itu telah menjadi belahan jiwa seorang pria.

Sekar tampak mengulum senyum malu. Niatku menggodanya semakin tertantang. Apalagi Budhe Lasmi sudah meninggalkan kamarku, aku lebih bebas menginterogasi sahabat masa kecilku itu.

 

"Bagaimana malam pertamanya, lancar bukan? Aman terkendali kan? Cobalah kau cerita dengan aku yang belum nikah ni. Biar aku termotivasi gitu."

"Apa sih?"  ujarnya sembari memukul lenganku pelan.

"Dih, tinggal jawab saja susah amat si."

Sekar tidak menjawab tapi rona merah  yang terbias di pipinya sudah menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Aku tahu dia pasti sangat bahagia dengan pernikahannya.

”Sekar, tadinya itu aku mau nyuri bunga yang ada di rambutmu, tapi tidak jadi. Padahal sudah jauh hari aku merancangnya."

Sekar terkekeh mendengar ocehanku. Ya, memang sebagian orang percaya jika seorang gadis berhasil mencuri salah satu bunga yang menghiasi kepala pengantin maka akan bertemu dengan jodohnya. Dari rumah aku sudah berangan untuk melakukan misiku tapi harus menelan kegagalan karena ulah hantu-hantu itu. 

Saat kami berbincang tiba-tiba saja Sekar menutup mulutnya kemudian berlari ke kamar mandi. Aku mengikuti langkahnya karena kuatir. Di dalam sana bisa kudengar dia tengah mengeluarkan isi dalam perutnya.

"Sekar! Apa kamu baik-baik saja?" tanyaku sembari mengetuk pintu kamar mandi. Aku takut terjadi sesuatu padanya.

”I-iya, aku baik-ba ...."

Lagi-lagi sebelum ucapannya selesai aku mendengar dia kembali mengeluarkan isi dalam perutnya. Cukup lama dia ada di sana sementara aku bingung harus berbuat apa. 

"Kamu sakit atau masuk angin? Aku kerikin ya. Wajahmu juga terlihat sangat pucat. Apa kita perlu ke puskesmas?"

Sekar bukannya menjawab, dia berlalu meninggalkanku setelah tersenyum simpul. Gegas kukejar langkahnya, aku ingin mendapat penjelasannya.

"Kita periksa ya," bujukku saat berhasil menyamai langkahnya. Namun, Sekar bersikukuh tidak mau.

”Tidak perlu. Ini bukan sakit tapi memang bawaan orang hamil."

"Ha-hamil?"

Entah apa yang kurasakan sekarang antara senang dan bingung. Aku senang karena sahabatku akan menjadi seorang ibu, itu artinya akan kumiliki seorang keponakan.

Namun, di saat yang bersamaan ada ribuan pertanyaan. Rasanya pernikahan baru saja terjadi tapi dia telah hamil. Jangan-jangan ....b.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status