Brian memijat pelipisnya, semua yang di jelaskan Junior membuatnya keleyengan. Musuhnya harus menikah dengan kembarannya? Takdir macam apa ini, menggelikan!
"Pacar lo ga salah di sini_" Junior menghela nafas kasar."warga di sana aja yang ga ada kerjaan, nyudutin gue di saat paca_"
"Dia kembaran gue, pacar gue dia!" tunjuk Brian pada Biya dengan ogah - ogahan. Brian sungguh malas bersinggungan dengan Junior.
Junior mengerjap, kembaran?
"Jadi gimana, Bri? Hiks__" Amora mendekat, memeluk Brian lagi. Mencoba mencari perlindungan."takut, di seret tadi hiks.."
Junior menunduk, menghela nafas berat. Junior merasakan berat di kepalanya karena terlalu banyak pikiran.
"Gue telpon bunda atau ayah, lo istirahat, pake kamar tamu__" Brian melirik Junior penuh pertimbangan."dan lo, ambil kaos di lemari yang ada di kamar tamu, istirahat di sofa jangan di kamar sama adik gue!" tegasnya lalu berdiri.
Junior masih diam, tidak terganggu dengan aura permusuhan yang di lemparkan Brian. Junior masih tidak percaya kalau Amora kembaran Brian.
***
Junior menempelkan telunjuknya pada bibir Amora. Tubuhnya yang membungkuk pada Amora yang duduk di ujung kasur itu kini menegak.
"Kita ga salah, mereka yang salah_" Junior membawa langkahnya pada lemari kecil itu, meraih kaos lalu memakainya.
Junior berlalu acuh keluar kamar, tanpa pamit ataupun melirik Amora yang terisak pelan di ujung kasur itu.
Sebenarnya Junior bukan laki - laki lembut yang akan menenangkan gadis yang tengah menangis. Di tambah fakta dia adik Brian membuat Junior hilang selera.
Junior mendudukan tubuhnya di sofa, mengedar liar mengamati tempat tinggal musuhnya itu. Junior tersenyum miring, merasa tidak percaya masuk ke dalam kawasan musuh.
"Lo di kamar aja_" Amora melangkah mendekati Junior."biar gue yang di sofa.." lanjutnya.
Junior melirik Amora sekilas."Gue laki, lo yang di kamar!" balasnya seraya merebahkan tubuh di sana.
Amora mendekat, melebarkan selimut yang di peluknya pada Junior. Mata sembabnya yang mengerikan itu di tatap Junior yang tidak bergerak atau menolak.
"Sekali lagi, maaf_" Amora membawa langkahnya ke kamar dengan lunglai.
Junior masih diam, dengan acuh dia memejamkan mata. Mencoba menenangkan diri.
***
"Anak saya tidak akan melakukan itu! Dia bahkan jarang keluar rumah! Dia keluar pun hanya jajan, memberikan makanan ke para tetangga, itu pun karena suruhan istri saya!" Jayden menahan emosinya yang siap meledak itu.
Jayden maupun Zela jelas percaya pada anaknya!
"Pak, anak saya hanya mengantar kue, saya yang menyuruhnya.." Zela semakin berderai air mata.
Jayden semakin emosi saat melihat Zela kacau begitu."Saya akan menikahkan mereka, tapi tolong! Hilangkan pikiran tentang anak saya yang buruk! Sumpah demi apapun, dia anak baik!" suara Jayden bergetar, antara emosi dan merasa sedih.
"Sebaik apapun, tidak menjamin_"
"Saya jamin! Anak saya sangat baik, saya tahu, sangat tahu!" bentak Jayden dengan sangat emosi, dia tidak akan pernah tinggal diam kalau menyangkut keluarga.
Jayden mengepalkan tangannya, setelah menikahkan Amora. Dia akan meninggalkan rumah di sini. Jayden akan membawa semua pindah menjauhi lingkungan tidak baik ini.
Menyudutkan seseorang hanya karena satu bukti yang tidak pasti! Anaknya sedang di fitnah di sini.
Jayden bersumpah, akan memutuskan kerja sama dengan pemilik komplek ini. Jayden terlalu kecewa melihat mereka yang memandang Amora remeh.
***
Junior melepaskan dasi di lehernya, pernikahan mewah namun privat itu membuatnya sungguh lelah.
Ibunya yang masih di rawat di rumah sakit pun terlihat datang dengan bahagianya. Bersama suami barunya. Junior masih saja tidak suka.
Junior menghela nafas berat, kini dia merasa kebebasannya akan terganggu. Junior bahkan tidak di izinkan untuk pisah rumah oleh kedua orang tua Amora.
"Lo dulu? Atau gue?" Junior membuka kancing kemejanya perlahan, tanpa melepaskan tatapannya dari Amora.
"Lo dulu, gue masih harus lepas hiasan kepala" suara Amora terdengar lemah, beban di pundaknya terlalu berat. Amora kehabisan tenaga.
Junior pun membawa langkahnya menuju kamar mandi, memutuskan untuk mengguyur diri di bawah air yang siapa tahu akan mengantarkan ketenangan.
Amora masih diam, melamunkan semuanya. Pernikahan yang di laksanakan 6 jam lalu itu sungguh tidak terasa. Apa karena dia terlalu larut dalam kesedihan?
Masih jelas di ingatan, Zela yang menangis di pelukan Jayden. Brian yang tampak diam tak seperti biasanya. Amora merasa mengecewakan mereka.
Amora merasa bersalah dengan kesalahan yang bukan salahnya. Semua salah paham. Fitnah. Amora bahkan merasa trauma saat merasakan tangannya di tarik.
Rasanya Amora masuk ke dalam masa di mana dia sedang di arak warga. Amora sungguh ketakutan.
"Sana mandi.."
Amora tersentak pelan, matanya menatap Junior sekilas lalu beranjak lunglai menuju kamar mandi.
"Bukannya mau lepas hiasan kepala? Kenapa masih ada?"
Amora berbalik, keduanya bertatapan sesaat sebelum Amora memutuskan berpaling."Di kamar mandi aja.." jawabnya pelan dan lirih.
"Nyesel? Lo nyesel jadi istri gue?"
Amora kembali menoleh."Lo? Apa lo nyesel jadi suami gue?" tanya balik Amora lalu berlalu tanpa menunggu jawabannya.
Junior hanya diam, memutuskan untuk merebahkan tubuhnya yang pegal tanpa berpikir apapun lagi.
***
Junior tersenyum tipis dengan geli, selera yang unik untuk ukuran gadis dari orang kaya dan secantik model itu. Unik.
"Kita engga usah bareng, lo duluan aja ke sekolahnya.." Amora memakai ikat rambutnya dengan tidak bertenaga.
Junior hanya meliriknya sekilas lalu keluar dari kamar tanpa banyak kata.
Amora merasa dirinya berubah semenjak menikah. Bibirnya yang gatal dan selalu ingin bertingkah cerewet itu mendadak berbicara secukupnya.
Amora membawa tasnya lalu keluar dari kamar. Bisa Amora lihat, Junior sudah bisa beradaptasi dengan Jayden atau Zela. Padahal baru kemarin dia pindah.
"Bagus, ayah percaya sama kamu__" Jayden tersenyum tipis."insting laki - laki kadang manjur, di saat warga menyudutkan kamu waktu di gerebeg tahun lalu, ayah yakin kalau kumpulan di rumah kamu saat itu hanya anak - anak remaja biasa, tanpa ada obat - obatan atau wanita malam, makanya ayah tidak ikut.." lanjut Jayden.
Junior menghangat, sudah 10 tahun lamanya dia tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini. Junior jadi rindu mendiang ayahnya.
"Pokoknya, jagain Amor ya, ayah udah kasih kamu kepercayaan penuh.."
Amora merengut bete."Jadi ayah udah cape jaga, Amor?" lirihnya dengan mengambil roti kasar.
"Udah ada suami, Junior suami kamu. Kamu harus lebih bergantung sama Junior__" Jayden melempar senyum tipis."ayah lebih tenang sekarang.." lanjutnya dengan penuh makna.
Jayden merasa sedih sekaligus bersyukur. Dia merasa sedih karena cara mereka menikah seperti itu, tapi di sisi lain dia bersyukur karena Amora jauh dari pergaulan seks bebas atau seks sebelum menikah.
"Kalian kalau mau 'main' pakai kondom, masih ada beberapa bulan sebelum lulus. Jangan hamil sebelum itu.." Jayden beranjak, mengecup kening Zela."berangkat ya, sayang.." pamitnya.
Jayden meraih kepala Amora, mengecup keningnya lalu memeluk Junior sekilas.
"Ayah kerja dulu.."
Junior merasakan gerah setelah Jayden berkata main. Rasanya Junior mendapat lampu hijau untuk lebih dari sekedar tidur.
"Kalian berangkat bareng, biar sopir yang antar.."
Junior ingin menolak namun Zela lebih dulu berlalu menyimpan piring kosong bekasnya sendiri dan bekas Jayden.
Junior menatap nasi gorengnya lalu melirik Amora yang tengah mengunyah roti. Pipinya samar terlihat merah.
Junior tersenyum tipis.
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***