Share

Bab 6. Tetangga Baru

Semua mata tertuju pada sang lelaki berkacamata. Kehadirannya yang tak disangka benar-benar mencipta aksi heroik yang teramat nyata.

“Lepaskan tanganku!” seru Tante Ema sembari menghempaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas.

“Tangan Anda sudah terlepas. Itu artinya dia bebas!” tegas sang lelaki sembari menunjuk ke arahku.

Wajah Tante Ema tampak merah padam. Amarahnya membuncah lantaran lelaki berkacamata itu memberiku pembelaan.

“Berani-beraninya kau membela dia, ha? Siapa kau?” tanya Tante Ema seraya meninggikan suara, bahkan bola matanya pun melebar dengan disengaja.

“Saya hanya orang asing yang kebetulan melihat adegan perundungan,” ungkap sang pria dengan masih menampilkan keberaniannya kepada Tante Ema.

“Perundungan katamu? Dia ini keponakanku! Mana mungkin aku tega melakukan hal merugikan seperti itu!” ucap Tante Ema sembari makin meninggikan suara.

Ingin rasanya aku menyuarakan protesku atas jawaban Tante Ema. Tidak tega katanya? Lalu, apa yang baru saja hendak Tante Ema lakukan? Bukankah tangan itu terangkat untuk diayunkan ke pipiku?

“Jika dia memang keponakan Anda, maka seharusnya kasih sayang Anda padanya jauh lebih besar hingga bisa meruntuhkan amarah,” sahut sang lelaki berkacamata dengan santainya.

“Itu bukan urusanmu!” Tante Ema masih saja membenarkan sikapnya.

“Tentu yang barusan itu adalah urusan saya, karena saya melihatnya.”

Wajah Tante Ema semakin merah padam, tanda bahwa amarah dalam dirinya gagal teredam. Tadi saja sudah semarah itu, apa lagi mendapati seseorang membelaku, pastilah semakin menjadi-jadi gejolak amarahnya.

Pemandangan seperti inilah yang membuatku khawatir berlebihan. Ya, aku khawatir bila nantinya Tante Ema akan memperpanjang urusan.

“Permisi!” seru Tante Ema tiba-tiba.

Aku terkejut dengan satu kata seruan yang sama sekali tidak terduga itu. Apa iya Tante Ema tidak memiliki stok kata lagi untuk meladeni pembelaan sang lelaki berkacamata? Atau, tanteku itu sudah merasa malu karena kedapatan di posisi yang salah? Aku menebak-nebak dengan tanya tanpa segera mengetahui jawabannya.

Pandangan mataku terus tertuju pada Tante Ema yang benar-benar pergi dari toko bunga. Langkahnya terayun tergesa, hingga sosoknya pun tak lagi tertangkap olehku.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya sang lelaki berkacamata seperginya Tante Ema.

“Aku baik-baik saja. Dan, terima kasih sudah membelaku,” ungkapku dengan mimik wajah biasa lantaran atmosfir penuh amarah yang masih kentara.

Aku adalah seorang yang mudah penasaran. Ada lelaki asing, apa lagi sudah berani membelaku, tentu saja aku ingin tahu. Lantas, dengan lebih dulu memperbaiki ekspresi diri, kulayangkan pertanyaan agar dia mengungkap jati diri.

“Salam kenal ….?” tanya sang lelaki lebih dulu. 

“Mika. Namaku Mika,” sahutku.

“Oke, Mika. Salam kenal, ya. Namaku Putra. Aku tetangga barumu.”

Tetangga baruku? Benarkah? Kenapa aku tidak menyadari itu? Apakah selama ini aku kurang memahami lingkungan rumahku? Tapi, tunggu! Seingatku di sekitar rumahku sama sekali tidak ada rumah yang disewakan. 

Agaknya Putra menyadari rasa heran yang tergambar pada ekspresi wajahku. Dia segera menjelaskan lebih detail tanpa aku suruh.

“Aku penghuni ruko sebelah. Ruko dua lantai yang baru saja direnovasi. Tepat di sebelah toko bungamu ini,” ungkap Putra dengan begitu ramah. Ekspresinya tampak berbeda dibanding ketika meladeni amarah Tante Ema.

Benar. Bangunan di sebelah toko bungaku telah selesai direnovasi. Menurut kabar yang kudengar, telah dibeli oleh pengusaha muda yang masih kuliah. Tapi, wajah Putra terlihat seusia denganku. Benarkah dia pemiliknya?

Pertanyaan itu hanya terbersit dalam pikiranku. Namun, sekali lagi Putra bisa menebak dan menanggapi rasa heran yang tergambar melalui ekspresi wajahku.

“Sebenarnya aku dan adikku yang mengelola ruko sepatunya. Tapi, adikku masih dalam masa kuliah. Sehingga yang akan banyak mengurus adalah aku dan dua karyawanku,” ungkap Putra.

Cenayang, kata itulah yang bisa kusematkan untuk sosok Putra yang baru di awal pertemuan sudah bisa menebak isi pikiran. 

“Em, iya. Salam kenal. Aku pemilik toko bunga ini. Mereka Desi dan Devi, karyawanku. Jangan sungkan meminta bantuan bila ada yang dibutuhkan, ya!” 

“Sama sepertimu, jika butuh bantuan jangan pernah sungkan ke rukoku. Terutama untuk menghadapi yang seperti tadi. Maaf jika aku bertanya seperti ini, beliau itu benar-benar tantemu?”

Aku menyunggingkan senyuman, lantas mengangguk sebagai jawaban.

“Maafkan sikap Tante Ema, ya. Sebelumnya beliau tidak pernah seperti itu. Mungkin, pikirannya sedikit penat sehingga agak … nekat,” ucapku setengah ragu dengan pilihan kataku di akhir kalimat.

“Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan pernah takut untuk membela diri!” pesan Putra yang langsung kutanggapi dengan senyum dan anggukan kepala.

Usai Putra berkata demikian, aku kira dia akan kembali ke rukonya. Aku kira pula, dia datang ke toko bungaku hanya untuk memperkenalkan diri sebagai tetangga baru. Nyatanya, Putra juga memesan satu buket bunga mawar merah. 

“Pesan yang ukuran sedang saja, ya,” pinta Putra sekaligus memilih sendiri bunga mawar merah yang seperti apa.

Rupanya yang dipilih bukan bunga hidup, melainkan bunga imitasi yang pastinya akan bertahan lama dan bisa dijadikan pajangan di rumah.

“Aku rangkaikan dulu. Silakan tunggu sebentar di sofa itu, ya?”

Aku mempersilakan Putra untuk duduk di sofa tunggu. Sengaja aku tidak meminta dua karyawanku untuk membuatkan lantaran aku berniat berterima kasih atas pembelaan yang tadi Putra lakukan.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku sedikit bingung dengan kondisi saat ini. Tadi aku biasa saja, tapi kenapa pula sekarang jantungku berdebar-debar? Aku yang biasanya bisa mengeksekusi buket bunga dengan cekatan, kini aku mendadak lupa urutan untuk merangkai bunganya.

Agaknya aku salah tingkah karena keberadaan Putra. Jika boleh jujur, saat ini Putra tampak begitu memesona di mataku. Tubuhnya tidak terlalu ideal, bahkan lebih mendekati kurus. Dia berkacamata, tapi memiliki lesung pipit yang tampak ketika tersenyum. Sosoknya terlihat manis di mataku.

“Mika, konsentrasi, dong!” ucapku lirih demi menghindarkan diri agar tidak terus-terusan menatap ke arah Putra.

Aku bukannya tidak peka pada diriku sendiri. Sikapku yang tak biasa tercipta lantaran ketertarikan pada Putra. Bisa dikatakan aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin juga karena tadi Putra membelaku di depan Tante Ema, jadinya ada kesan pertama yang mampu menghadirkan sebuah rasa.

Terlalu dini untuk menjatuhkan rasa? Ah, aku tidak peduli. Ini rasaku. Hanya aku yang akan merasakannya, karena tidak akan aku ungkapkan kepada Putra. Ya, tentu saja akan aku pendam. Masa iya baru kenal langsung menyatakan ketertarikan?

“Syukurlah. Jadi juga,” ucapku beberapa saat kemudian sembari memandangi buket bunga mawar merah pesanan Putra.

Seperti yang aku niatkan sebelumnya, aku akan berterima kasih dengan memberikan bonus beberapa tangkai bunga lengkap dengan kartu ucapannya.

“Permisi, Putra. Pesananmu sudah jadi. Dan, ini kartu ucapannya mungkin mau ditambahkan kata?”

“Ah, iya. Sebentar, aku tanya kekasihku dulu, ya?”

Deg!

Kekasih? Ternyata Putra sudah memiliki kekasih? Oh, Tuhan. Malang sekali nasibku ini.

BintangAeri

Silakan tinggalkan jejak komentar agar author bersemangat melanjutkan bab novel ini. Ikuti juga - FB author : Bintang Aeri -

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status