Semua mata tertuju pada sang lelaki berkacamata. Kehadirannya yang tak disangka benar-benar mencipta aksi heroik yang teramat nyata.
“Lepaskan tanganku!” seru Tante Ema sembari menghempaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas.
“Tangan Anda sudah terlepas. Itu artinya dia bebas!” tegas sang lelaki sembari menunjuk ke arahku.
Wajah Tante Ema tampak merah padam. Amarahnya membuncah lantaran lelaki berkacamata itu memberiku pembelaan.
“Berani-beraninya kau membela dia, ha? Siapa kau?” tanya Tante Ema seraya meninggikan suara, bahkan bola matanya pun melebar dengan disengaja.
“Saya hanya orang asing yang kebetulan melihat adegan perundungan,” ungkap sang pria dengan masih menampilkan keberaniannya kepada Tante Ema.
“Perundungan katamu? Dia ini keponakanku! Mana mungkin aku tega melakukan hal merugikan seperti itu!” ucap Tante Ema sembari makin meninggikan suara.
Ingin rasanya aku menyuarakan protesku atas jawaban Tante Ema. Tidak tega katanya? Lalu, apa yang baru saja hendak Tante Ema lakukan? Bukankah tangan itu terangkat untuk diayunkan ke pipiku?
“Jika dia memang keponakan Anda, maka seharusnya kasih sayang Anda padanya jauh lebih besar hingga bisa meruntuhkan amarah,” sahut sang lelaki berkacamata dengan santainya.
“Itu bukan urusanmu!” Tante Ema masih saja membenarkan sikapnya.
“Tentu yang barusan itu adalah urusan saya, karena saya melihatnya.”
Wajah Tante Ema semakin merah padam, tanda bahwa amarah dalam dirinya gagal teredam. Tadi saja sudah semarah itu, apa lagi mendapati seseorang membelaku, pastilah semakin menjadi-jadi gejolak amarahnya.
Pemandangan seperti inilah yang membuatku khawatir berlebihan. Ya, aku khawatir bila nantinya Tante Ema akan memperpanjang urusan.
“Permisi!” seru Tante Ema tiba-tiba.
Aku terkejut dengan satu kata seruan yang sama sekali tidak terduga itu. Apa iya Tante Ema tidak memiliki stok kata lagi untuk meladeni pembelaan sang lelaki berkacamata? Atau, tanteku itu sudah merasa malu karena kedapatan di posisi yang salah? Aku menebak-nebak dengan tanya tanpa segera mengetahui jawabannya.
Pandangan mataku terus tertuju pada Tante Ema yang benar-benar pergi dari toko bunga. Langkahnya terayun tergesa, hingga sosoknya pun tak lagi tertangkap olehku.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya sang lelaki berkacamata seperginya Tante Ema.
“Aku baik-baik saja. Dan, terima kasih sudah membelaku,” ungkapku dengan mimik wajah biasa lantaran atmosfir penuh amarah yang masih kentara.
Aku adalah seorang yang mudah penasaran. Ada lelaki asing, apa lagi sudah berani membelaku, tentu saja aku ingin tahu. Lantas, dengan lebih dulu memperbaiki ekspresi diri, kulayangkan pertanyaan agar dia mengungkap jati diri.
“Salam kenal ….?” tanya sang lelaki lebih dulu.
“Mika. Namaku Mika,” sahutku.
“Oke, Mika. Salam kenal, ya. Namaku Putra. Aku tetangga barumu.”
Tetangga baruku? Benarkah? Kenapa aku tidak menyadari itu? Apakah selama ini aku kurang memahami lingkungan rumahku? Tapi, tunggu! Seingatku di sekitar rumahku sama sekali tidak ada rumah yang disewakan.
Agaknya Putra menyadari rasa heran yang tergambar pada ekspresi wajahku. Dia segera menjelaskan lebih detail tanpa aku suruh.
“Aku penghuni ruko sebelah. Ruko dua lantai yang baru saja direnovasi. Tepat di sebelah toko bungamu ini,” ungkap Putra dengan begitu ramah. Ekspresinya tampak berbeda dibanding ketika meladeni amarah Tante Ema.
Benar. Bangunan di sebelah toko bungaku telah selesai direnovasi. Menurut kabar yang kudengar, telah dibeli oleh pengusaha muda yang masih kuliah. Tapi, wajah Putra terlihat seusia denganku. Benarkah dia pemiliknya?
Pertanyaan itu hanya terbersit dalam pikiranku. Namun, sekali lagi Putra bisa menebak dan menanggapi rasa heran yang tergambar melalui ekspresi wajahku.
“Sebenarnya aku dan adikku yang mengelola ruko sepatunya. Tapi, adikku masih dalam masa kuliah. Sehingga yang akan banyak mengurus adalah aku dan dua karyawanku,” ungkap Putra.
Cenayang, kata itulah yang bisa kusematkan untuk sosok Putra yang baru di awal pertemuan sudah bisa menebak isi pikiran.
“Em, iya. Salam kenal. Aku pemilik toko bunga ini. Mereka Desi dan Devi, karyawanku. Jangan sungkan meminta bantuan bila ada yang dibutuhkan, ya!”
“Sama sepertimu, jika butuh bantuan jangan pernah sungkan ke rukoku. Terutama untuk menghadapi yang seperti tadi. Maaf jika aku bertanya seperti ini, beliau itu benar-benar tantemu?”
Aku menyunggingkan senyuman, lantas mengangguk sebagai jawaban.
“Maafkan sikap Tante Ema, ya. Sebelumnya beliau tidak pernah seperti itu. Mungkin, pikirannya sedikit penat sehingga agak … nekat,” ucapku setengah ragu dengan pilihan kataku di akhir kalimat.
“Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan pernah takut untuk membela diri!” pesan Putra yang langsung kutanggapi dengan senyum dan anggukan kepala.
Usai Putra berkata demikian, aku kira dia akan kembali ke rukonya. Aku kira pula, dia datang ke toko bungaku hanya untuk memperkenalkan diri sebagai tetangga baru. Nyatanya, Putra juga memesan satu buket bunga mawar merah.
“Pesan yang ukuran sedang saja, ya,” pinta Putra sekaligus memilih sendiri bunga mawar merah yang seperti apa.
Rupanya yang dipilih bukan bunga hidup, melainkan bunga imitasi yang pastinya akan bertahan lama dan bisa dijadikan pajangan di rumah.
“Aku rangkaikan dulu. Silakan tunggu sebentar di sofa itu, ya?”
Aku mempersilakan Putra untuk duduk di sofa tunggu. Sengaja aku tidak meminta dua karyawanku untuk membuatkan lantaran aku berniat berterima kasih atas pembelaan yang tadi Putra lakukan.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku sedikit bingung dengan kondisi saat ini. Tadi aku biasa saja, tapi kenapa pula sekarang jantungku berdebar-debar? Aku yang biasanya bisa mengeksekusi buket bunga dengan cekatan, kini aku mendadak lupa urutan untuk merangkai bunganya.
Agaknya aku salah tingkah karena keberadaan Putra. Jika boleh jujur, saat ini Putra tampak begitu memesona di mataku. Tubuhnya tidak terlalu ideal, bahkan lebih mendekati kurus. Dia berkacamata, tapi memiliki lesung pipit yang tampak ketika tersenyum. Sosoknya terlihat manis di mataku.
“Mika, konsentrasi, dong!” ucapku lirih demi menghindarkan diri agar tidak terus-terusan menatap ke arah Putra.
Aku bukannya tidak peka pada diriku sendiri. Sikapku yang tak biasa tercipta lantaran ketertarikan pada Putra. Bisa dikatakan aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin juga karena tadi Putra membelaku di depan Tante Ema, jadinya ada kesan pertama yang mampu menghadirkan sebuah rasa.
Terlalu dini untuk menjatuhkan rasa? Ah, aku tidak peduli. Ini rasaku. Hanya aku yang akan merasakannya, karena tidak akan aku ungkapkan kepada Putra. Ya, tentu saja akan aku pendam. Masa iya baru kenal langsung menyatakan ketertarikan?
“Syukurlah. Jadi juga,” ucapku beberapa saat kemudian sembari memandangi buket bunga mawar merah pesanan Putra.
Seperti yang aku niatkan sebelumnya, aku akan berterima kasih dengan memberikan bonus beberapa tangkai bunga lengkap dengan kartu ucapannya.
“Permisi, Putra. Pesananmu sudah jadi. Dan, ini kartu ucapannya mungkin mau ditambahkan kata?”
“Ah, iya. Sebentar, aku tanya kekasihku dulu, ya?”
Deg!
Kekasih? Ternyata Putra sudah memiliki kekasih? Oh, Tuhan. Malang sekali nasibku ini.
Silakan tinggalkan jejak komentar agar author bersemangat melanjutkan bab novel ini. Ikuti juga - FB author : Bintang Aeri -
Fakta tentang Putra yang telah memiliki kekasih, membuatku patah hati. Perasaan indah itu aku lambungkan sendiri, lantas aku pun terjatuh seorang diri. Sekuat tenaga aku mencoba tetap berdiri tegak sembari menyembunyikan mimik wajah kecewa. Buket bunga mawar merah yang telah jadi itu terus aku pegang sambil menampilkan senyuman palsu. “Wahai hati, tenanglah!” seruku dalam hati. Tidak butuh waktu lama bagi Putra untuk segera mengakhiri telepon dengan kekasihnya. Hanya lima menit saja. Tapi, waktu lima menit itu bagiku terasa sewindu. Bagaimana tidak terasa sewindu kala hatiku merasakan kekecewaan, pikiranku tak karuan, tapi aku harus tetap terlihat tegar. Lelah nian mengusahakan untuk bertahan di saat setiap kalimat yang aku dengar dari Putra tersemat kata sayang untuk kekasihnya. “Semangat!” ucap Putra tiba-tiba. “Eh?” Aku yang tak paham justru menampilkan mimik wajah heran. Semangat? Semangat untukku atau untuk siapa? Apa iya Putra benar-benar cenayang? Kenapa dia bisa tahu k
Bukan hanya aku yang terheran, Tante Ema pun demikian. Sementara Vanya, adikku itu masih saja menampilkan mimik wajah kecewa. Kedua telapak tangannya juga tampak mengepal sabagai tanda adanya gemuruh rasa kesal. “Vanya, jangan bercanda!” seru Tante Ema yang kalimatnya masih mengandung unsur ramah. Perlakuannya benar-benar berbeda ketika tadi Tante Ema menuduhku. “Aku tidak sedang bercanda! Aku kecewa! Kecewa pada kalian berdua!” sahut Vanya yang samakin lama semakin meninggikan suaranya. “Vanya, Sayang. Tenang dulu, dong! Ceritakan baik-baik apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap Tante Ema yang justru nada bicaranya semakin ramah, seolah memaklumi Vanya. Oh Tuhan, ingin rasanya aku cemburu dengan perlakuan berbeda yang kini terpampang nyata di hadapanku. Kenapa Tante Ema begitu baik pada Vanya? Bahkan, ketika Vanya mengaku berbuat salah pun masih saja dimaklumi olehnya? Lalu, bagaimana dengan aku di sini? Bukankah aku juga keponakannya? Kenapa Tante Ema memberiku perlakuan yang
Sungguh baru kali ini aku melihat Tante Ema membentak Vanya. Terkejut? Sudah pasti iya. Bukan hanya aku saja yang terkejut, Vanya sampai tersentak kaget juga. “T-tante bilang aku bodd*oh?” tanya Vanya dengan setengah terbata. “Iya. Kau tidak salah dengar. Mencintai lelaki itu boleh saja, tapi jangan sampai buta karenanya!” tegas Tante Ema menasihati Vanya dengan nada meninggi yang biasa ditujukan padaku. Aku melihat perubahan ekspresi adikku itu. Agaknya dia belum terbiasa dengan sikap Tante Ema yang demikian. Kalau aku … ah, jangan ditanya lagi. Sekarang aku sudah jadi seberani ini lantaran telah fasih. “Sekarang kau malah diam saja. Sudah paham?” Sekali lagi Tante Ema bertanya dengan nada yang dibuat meninggi. Sungguh, ini baru pertama kalinya bagiku melihat Vanya dibentak-bentak Tante Ema. Adikku itu terlihat tak berdaya, buktinya tadi sampai terbata dan kini diam saja. Lebih tak terduga lagi, satu anggukan juga diberikan olehnya. Syukurlah jika Vanya telah memahami. Hatiku le
Beberapa detik lalu aku biasa saja ketika Erika bilang putus pada Putra. Ya, karena memang aku merasa tidak bersalah dan yang dilihat oleh kekasih Putra hanya salah paham. Kini, aku putuskan untuk mengubah sikap begitu ada yang melayangkan tuduhan secara terang-terangan di hadapanku. Sebal, kesal, dan geregetan, itulah yang kini aku rasakan. Entah sejak kapan emosiku jadi mudah tersulut. Rasanya akhir-akhir ini diriku mudah sekali emosi. Padahal tidak sedang PMS. Apa iya aku sudah lelah bersikap baik? Kalau dipikir-pikir, aku jarang mengalah, bahkan jarang pula memendam rasa tak suka. Seperti saat ini, aku luapkan kekesalanku pada lelaki berkumis tipis yang seenaknya saja menuduhku selingkuh dengan Putra. “Kau, jangan asal tuduh, ya! Jaga mulutmu baik-baik!” tegasku sembari menampilkan mimik wajah galak. “Eh, galak juga ternyata,” ucap lelaki berkumis tipis sembari mulai memasuki area toko sepatu Putra. Aku melupakan sesuatu. Segera aku balikkan tubuh hingga terlihatlah Putra yang
Aku penasaran, tapi rasa-rasanya tidak memiliki hak untuk bisa mendapat lebih banyak penjelasan. Nathan putus dengan kekasihnya gegara lipstik, itu bukan urusanku meski sebenarnya aku ingin tahu. Ingin tahu? Ya, karena alasannya sungguh menyinggungku. Dua lelaki tampan di depanku itu pastilah tidak akan tahu tentang apa yang saat ini aku rasakan.Gara-gara tak pakai lipstik aku sering disindir tidak laku-laku oleh adik dan tanteku. Lantas, sindiran itulah yang hingga detik ini mudah sekali mempengaruhi suasana hatiku.“Mika, kamu melamun?” tanya Putra seraya menegurku yang tampak diam dan terus menatap ke arah lantai ruko.“Em, sepertinya aku mau kembali ke toko bunga,” ucapku seraya menggugurkan rasa penasaran yang sempat membuncah.“Maksudmu, toko bunga di sebelah itu milikmu?” tanya Nathan yang sepertinya belum paham juga meski sebelumnya sudah diberitahukan oleh Putra.“Iya. Itu toko bungaku. Mampirlah jika mau,” ucapku sembari mengembangkan senyuman.Lelaki berkumis tipis di dep
Vanya yang bertanya, tapi justru aku yang malu mendengar pertanyaan adikku itu. Bisa-bisanya dia bertanya status Nathan dan Putra dengan terang-terangan. Jujur, di mataku dia terlihat kecentilan. “Vanya, tunjukkan sopan santunmu! Jaga sikap!” desisku lirih pada adikku. Teguranku itu sengaja aku pelankan agar Nathan dan Putra tidak mendengar. Nyatanya, Vanya justru mengulang kalimat yang aku ucapkan. “Apa? Tunjukkan sopan santunmu? Maksud Kak Mika aku tidak sopan?” tanya Vanya sembari memasang wajah sebal ke arahku. Akan sangat lebih membuat malu bila aku menanggapi adikku itu dengan sikap kekanakan. Alhasil, aku pun hanya tersenyum kikuk sekaligus menyiratkan kode penuh arti melalui kedipan mata. Sayangnya, Vanya tidak memahaminya. “Apa’an, sih, Kak Mika kedip-kedip nggak jelas begitu? Kelilipan? Ngomong saja kalau kalau mau menegurku! Jangan pakai kode mata begitu! Kak Mika jadi terlihat gaje, alias nggak jelas!” “Cukup, Vanya!” tegurku lebih tegas. “Apa? Kak Mika mau marah?”
Entah sejak kapan aku jadi nyaman duduk bersama Putra dan Nathan. Entah sejak kapan pula tawaku jadi begitu lepas ketika Nathan membuat candaan. Aku tak tahu pastinya kapan. Namun, malam ini aku jadi enggan untuk pulang. Usai perdebatan dengan Vanya sore tadi, aku urung pulang ke rumah demi menghargai segelas es jeruk. Dua karyawanku telah pamit pulang, sedangkan tulisan di toko bunga telah aku ganti menjadi tutup. Lantas, aku pun mengekor di belakang Putra menuju ruko sepatu miliknya. Ada banyak hal yang kami obrolkan hingga es jeruk di wadahku tak lagi tersisa. Malam juga telah menyapa. “Jadi, roda sepedamu masih tetap empat sampai kau kelas empat?” tanya Putra kepada Nathan. “Iya, Kak. Aku beneran takut jatuh waktu itu,” aku Nathan disusul tawa panjang. Sejauh ini yang kami obrolkan adalah tentang masa kecil. Baik Putra ataupun Nathan sepertinya memang sengaja memilih random topik obrolan yang bisa membuatku tertawa. Buktinya sedari tadi aku tak henti-hentinya tertawa dengan pe
Bulir bening mengalir deras membasahi pipiku kala motor maticku kembali melaju. Tangisku pecah bukan karena keputusanku meninggalkan rumah. Bulir bening itu tumpah karena baik Vanya maupun Tante Ema sama sekali tidak ada yang mencegah kepergianku dari rumah. “Kenapa mereka begitu tidak menyukaiku? Apa iya hanya gara-gara aku tak sama seperti mereka? Apa iya hanya gara-gara aku tak pakai lipstik seperti yang sering mereka ucapkan padaku? Benarkah hanya gara-gara itu?” tanyaku pada diriku sendiri sembari tetap melajukan motorku. Tentu saja aku tidak mendapat jawaban atas semua yang baru saja aku tanyakan. Memangnya siapa yang akan menjawab? Tante Ema dan Vanya hanya bisa terus melaknat. Kutepikan motorku di area taman kota. Kuusap air mataku lebih dulu sebelum akhirnya aku menyendiri di sebuah bangku taman yang sepi. Tepat di depanku ada air mancur yang indah, tapi keindahannya sama sekali tidak bisa mengobati hatiku yang tengah terluka. “Sebelum ini Tante Ema dan Vanya memang sering