Share

Bab 5. Tanteku Keterlaluan

Tubuhku terpaku, sementara pandangan mataku tetap tertuju pada Tante Ema dan Om Aldi. Ya, pria paruh baya yang masih duduk santai di sofa tunggu itu lebih pantas aku juluki om-om.

“Gimana, Al? Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Tante Ema kepada Om Aldi.

Kudapati Om Aldi tidak menjawab. Akan tetapi, pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju padaku. Secepat kilat, kuubah perhatianku menuju arah lainnya. Aku sungguh tidak ingin melihat kedipan genit seperti sebelumnya. Lantas, ah, sepertinya firasatku memang benar tentang Tante Ema yang akan memperkenalkan Om Aldi padaku.

“Mika,” panggil Tante Ema tiba-tiba.

Mau tidak mau aku harus membalikkan badan dan melihat ke arah Tante Ema.

“Ke mari sebentar!” titah tanteku.

Sebenarnya aku enggan, tapi aku tidak ingin membuat kegaduhan. Aku tahu betul watak Tante Ema. Meski sekarang ini aku sudah berani membela diri, tapi adanya perang kata benar-benar harus aku hindari.

“Iya, Tante. Ada apa?” tanyaku dengan mimik wajah biasa.

“Kenalkan. Ini namanya Aldi. Dia ingin berkenalan denganmu,” ungkap Tante Ema blak-blakan. Tanteku itu sama sekali tidak berniat basa-basi lebih dulu.

“Nama saya Mika, Om. Pemilik toko bunga ini. Karena buket pesanan Om Aldi mau segera dibawa, saya izin permisi dulu, ya.”

“Eh-eh! Mika!” seru Tante Ema begitu melihatku hendak kembali membantu pembuatan buket bunga.

Sungguh, yang demikian ini sama sekali bukanlah sikapku. Biasanya aku akan dengan lapang hati melayani setiap pemesan buket bunga, tapi kali ini keadaannya sungguh berbeda. Aku tidak mau dikenalkan dengan Om Aldi.

“Tidak sopan main nyelonong pergi begitu, Mika. Duduklah dulu di sini bersama Aldi,” pinta Tante Ema dengan ramah.

“Benar. Duduklah di dekatku! Dan, jangan memanggilku om. Aku ini masih muda,” imbuh Om Aldi dengan begitu PD-nya.

Muda? Apanya yang muda? Gurat keriput di wajah Om Aldi bahkan telah tampak. Pria paruh baya yang katanya berniat kenalan denganku itu lebih pantas diserupakan dengan ayahku.

“Mohon maaf, Tante, Om. Saya sungguh tidak punya waktu untuk semua ini. Saya juga tidak tertarik untuk berkenalan dengan Om Aldi. Maaf sekali lagi. Permisi.”

Nekat! Ya, aku nekat. Tidak kupedulikan lagi bagaimana Tante Ema berekspresi usai aku membalikkan tubuh lalu melangkah menuju dua karyawanku. Tidak kupedulikan pula amukan macam apa yang nanti akan Tante Ema luapkan padaku. Sekarang ini satu yang aku teguhkan dalam hati, yakni tegas pada diri sendiri.

“Dasar muna! Masih jomblo aja belagu!” umpat Om Aldi usai mendapati penolakan dariku.

Umpatan itu terdengar jelas di telingaku. Dua karyawanku pun mendengarnya, tapi mereka berdua memilih diam saja.

“Maafkan Mika, ya. Dia itu aslinya baik, kok. Cuma akhir-akhir ini saja dia sedikit liar,” terang Tante Ema kepada Om Aldi dengan asal-asalan.

Ya, penjelasan itu benar-benar asal. Bisa-bisanya Tante Ema menyematkan kata liar padaku. Memangnya aku seliar apa di matanya?

“Tunggu dulu, Aldi! Jangan pergi!” seru Tante Ema mencegah kepergian Om Aldi dari toko bunga.

“Aku muak berada di sini!” Amarah Om Aldi membuncah.

“Kumohon, jangan pergi dulu!”

“Baik. Aku tidak akan pergi asal kau saja yang mau kupacari?”

Apa? Benarkah yang aku dengar barusan? Om Aldi bilang tidak akan pergi dengan persyaratan Tante Ema mau dijadikan pacar?

Mendengar itu, aku spontan melihat ke arah luar toko bunga. Posisi Tante Ema dan Om Aldi belum benar-benar di luar, lebih tepatnya di ambang pintu masuk. Jadi, wajar saja bila obrolan mereka masih terdengar jelas olehku.

“Ah, kenapa kau berkata seperti itu, sih? Yang mau kukekanalkan padamu itu Mika, keponakanku.” Tante Ema masih ramah menanggapi Om Aldi.

“Kalau boleh jujur, dia itu tidak lebih menarik dibandingkan kau, Ema.”

Deg!

Rasanya dadaku cekit-cekit, terasa nyelekit, sakit. Kenapa pula Om Aldi harus membandingkan aku dengan Tante Ema? Dengan menyebut-nyebut kata lebih menarik pula. 

“Aldi, Mika itu cantik juga, kok. Dia cuma sedang tidak memakai lipstik.”

“Ya. Kau benar, Ema. Selain kurang menarik, dia juga tidak memakai lipstik. Kalau tampilannya seperti itu, bagaimana aku bisa terpikat, ha?”

Ungkapan Om Aldi benar-benar menohok hati. Tidak bisakah dia membicarakan hal seperti itu di belakang? Atau minimal sudah tidak lagi berada di toko bungaku?

Meski demikian, tetap kucoba tegar meski diriku dijatuhkan. Bagiku, lebih baik jujur di awal daripada menjalani segala sesuatunya dengan kepura-puraan.

Agaknya Tante Ema sudah tidak lagi bisa membujuk Om Aldi. Pria paruh baya itu pergi, sekaligus memberi kepastian padaku bahwa pesanan buket bunganya tidak jadi.

“Buket bunganya tidak perlu dilanjutkan. Bunga yang masih segar tolong dikembalikan, ya!” titahku ramah pada kedua karyawanku.

Kudapati dua karyawanku itu saling pandang sebentar, lantas kompak mengangguk. Aku tebak mereka tengah bersimpati padaku.

“Mika!” seru Tante Ema sembari masuk lagi ke dalam toko bunga.

Baiklah. Waktunya telah tiba. Om Aldi telah pergi, dan setelah ini Tante Ema pasti akan menasihati. Oh tidak, bukan menasihati, tapi ngomel-ngomel dengan sepenuh hati.

“Kenapa, Tante?” tanyaku yang sengaja memilih bertanya seperti itu.

“Kenapa kau bilang? Kau sungguh tidak sopan! Lihat sikapmu tadi!” seru Tante Ema dengan seruan kata yang nadanya lebih meninggi

“Maafkan aku, Tante. Aku memang tidak ingin dikenalkan pada Om Aldi.”

“Lalu apa maumu, ha? Disuruh segera cari jodoh tidak mau! Giliran Tante yang mencarikan malah kau tolak mentah-mentah usahanya! Maumu apa, Mika?”

“Mauku hanya satu, Tante. Aku ingin bertemu lelaki baik yang tidak memandang fisik.”

“Mimpi kau! Mana ada yang seperti itu! Berpikirlah rasional! Di mana-mana lelaki itu pasti memandang fisik. Pilih yang cantik. Melirik yang pakai lipstik, bukan yang tidak mau memakai lipstik. Coba lihat penampilanmu sekarang! Kuno!”

Aku tidak terima dengan makian Tante Ema. Lagi-lagi aku disudutkan gara-gara tak memakai lipstik.

“Sudah cukup, Tante. Aku tidak ingin memperdebatkan hal ini, apa lagi kembali membahas gara-gara tak pakai lipstik.”

“Tidak bisa cukup! Harus dibahas! Terutama pandanganmu terhadap lipstik. Ini, nih! Nih! Lihat pantulan dirimu di cermin!”

Tante Ema menarik lenganku kasar menuju cermin besar yang terpasang di dekat etalase pajang bunga imitasi.

“Lihat dirimu, Mika! Pucat karena tidak memakai lipstik! Sudah mirip orang pesakitan saja kau!”

“Aku rasa tidak seperti itu, Tante. Aku memang belum sarapan, makanya terlihat pucat seperti orang kelelahan. Apa lagi aku baru saja dipermalukan,” ungkapku membela diri tanpa takut-takut lagi.

Mimik wajah Tante Ema tampak mengeras. Kedua tangannya pun mengepal, tanda bahwa di dalam dadanya tengah bergejolak perasaan kesal.

Jujur, aku sedikit takut. Sering kali aku melihat Tante Ema marah, tapi tidak pernah kudapati yang seperti saat ini.

“Kenapa kau terus menjawab, ha?” tanya Tante Ema.

“Karena Tante Ema terus bertanya,” jawabku dengan berani.

Entah apa yang merasukiku. Aku tahu amarah Tante Ema sudah dipuncak, tapi aku masih saja memberontak.

Lantas, inilah yang aku takutkan. Tangan kanan Tante Ema tiba-tiba saja diayunkan. Sudah pasti akan mendarat di pipi kiriku andai saja tidak ada tangan lain yang menahan. Ya, ayunan tangan Tante Ema ada yang menahan.

“Hentikan!” cegah dia, yakni seorang lelaki berkacamata yang belum pernah aku temui sebelumnya.

Siapa dia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status