Tubuhku terpaku, sementara pandangan mataku tetap tertuju pada Tante Ema dan Om Aldi. Ya, pria paruh baya yang masih duduk santai di sofa tunggu itu lebih pantas aku juluki om-om.
“Gimana, Al? Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Tante Ema kepada Om Aldi.
Kudapati Om Aldi tidak menjawab. Akan tetapi, pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju padaku. Secepat kilat, kuubah perhatianku menuju arah lainnya. Aku sungguh tidak ingin melihat kedipan genit seperti sebelumnya. Lantas, ah, sepertinya firasatku memang benar tentang Tante Ema yang akan memperkenalkan Om Aldi padaku.
“Mika,” panggil Tante Ema tiba-tiba.
Mau tidak mau aku harus membalikkan badan dan melihat ke arah Tante Ema.
“Ke mari sebentar!” titah tanteku.
Sebenarnya aku enggan, tapi aku tidak ingin membuat kegaduhan. Aku tahu betul watak Tante Ema. Meski sekarang ini aku sudah berani membela diri, tapi adanya perang kata benar-benar harus aku hindari.
“Iya, Tante. Ada apa?” tanyaku dengan mimik wajah biasa.
“Kenalkan. Ini namanya Aldi. Dia ingin berkenalan denganmu,” ungkap Tante Ema blak-blakan. Tanteku itu sama sekali tidak berniat basa-basi lebih dulu.
“Nama saya Mika, Om. Pemilik toko bunga ini. Karena buket pesanan Om Aldi mau segera dibawa, saya izin permisi dulu, ya.”
“Eh-eh! Mika!” seru Tante Ema begitu melihatku hendak kembali membantu pembuatan buket bunga.
Sungguh, yang demikian ini sama sekali bukanlah sikapku. Biasanya aku akan dengan lapang hati melayani setiap pemesan buket bunga, tapi kali ini keadaannya sungguh berbeda. Aku tidak mau dikenalkan dengan Om Aldi.
“Tidak sopan main nyelonong pergi begitu, Mika. Duduklah dulu di sini bersama Aldi,” pinta Tante Ema dengan ramah.
“Benar. Duduklah di dekatku! Dan, jangan memanggilku om. Aku ini masih muda,” imbuh Om Aldi dengan begitu PD-nya.
Muda? Apanya yang muda? Gurat keriput di wajah Om Aldi bahkan telah tampak. Pria paruh baya yang katanya berniat kenalan denganku itu lebih pantas diserupakan dengan ayahku.
“Mohon maaf, Tante, Om. Saya sungguh tidak punya waktu untuk semua ini. Saya juga tidak tertarik untuk berkenalan dengan Om Aldi. Maaf sekali lagi. Permisi.”
Nekat! Ya, aku nekat. Tidak kupedulikan lagi bagaimana Tante Ema berekspresi usai aku membalikkan tubuh lalu melangkah menuju dua karyawanku. Tidak kupedulikan pula amukan macam apa yang nanti akan Tante Ema luapkan padaku. Sekarang ini satu yang aku teguhkan dalam hati, yakni tegas pada diri sendiri.
“Dasar muna! Masih jomblo aja belagu!” umpat Om Aldi usai mendapati penolakan dariku.
Umpatan itu terdengar jelas di telingaku. Dua karyawanku pun mendengarnya, tapi mereka berdua memilih diam saja.
“Maafkan Mika, ya. Dia itu aslinya baik, kok. Cuma akhir-akhir ini saja dia sedikit liar,” terang Tante Ema kepada Om Aldi dengan asal-asalan.
Ya, penjelasan itu benar-benar asal. Bisa-bisanya Tante Ema menyematkan kata liar padaku. Memangnya aku seliar apa di matanya?
“Tunggu dulu, Aldi! Jangan pergi!” seru Tante Ema mencegah kepergian Om Aldi dari toko bunga.
“Aku muak berada di sini!” Amarah Om Aldi membuncah.
“Kumohon, jangan pergi dulu!”
“Baik. Aku tidak akan pergi asal kau saja yang mau kupacari?”
Apa? Benarkah yang aku dengar barusan? Om Aldi bilang tidak akan pergi dengan persyaratan Tante Ema mau dijadikan pacar?
Mendengar itu, aku spontan melihat ke arah luar toko bunga. Posisi Tante Ema dan Om Aldi belum benar-benar di luar, lebih tepatnya di ambang pintu masuk. Jadi, wajar saja bila obrolan mereka masih terdengar jelas olehku.
“Ah, kenapa kau berkata seperti itu, sih? Yang mau kukekanalkan padamu itu Mika, keponakanku.” Tante Ema masih ramah menanggapi Om Aldi.
“Kalau boleh jujur, dia itu tidak lebih menarik dibandingkan kau, Ema.”
Deg!
Rasanya dadaku cekit-cekit, terasa nyelekit, sakit. Kenapa pula Om Aldi harus membandingkan aku dengan Tante Ema? Dengan menyebut-nyebut kata lebih menarik pula.
“Aldi, Mika itu cantik juga, kok. Dia cuma sedang tidak memakai lipstik.”
“Ya. Kau benar, Ema. Selain kurang menarik, dia juga tidak memakai lipstik. Kalau tampilannya seperti itu, bagaimana aku bisa terpikat, ha?”
Ungkapan Om Aldi benar-benar menohok hati. Tidak bisakah dia membicarakan hal seperti itu di belakang? Atau minimal sudah tidak lagi berada di toko bungaku?
Meski demikian, tetap kucoba tegar meski diriku dijatuhkan. Bagiku, lebih baik jujur di awal daripada menjalani segala sesuatunya dengan kepura-puraan.
Agaknya Tante Ema sudah tidak lagi bisa membujuk Om Aldi. Pria paruh baya itu pergi, sekaligus memberi kepastian padaku bahwa pesanan buket bunganya tidak jadi.
“Buket bunganya tidak perlu dilanjutkan. Bunga yang masih segar tolong dikembalikan, ya!” titahku ramah pada kedua karyawanku.
Kudapati dua karyawanku itu saling pandang sebentar, lantas kompak mengangguk. Aku tebak mereka tengah bersimpati padaku.
“Mika!” seru Tante Ema sembari masuk lagi ke dalam toko bunga.
Baiklah. Waktunya telah tiba. Om Aldi telah pergi, dan setelah ini Tante Ema pasti akan menasihati. Oh tidak, bukan menasihati, tapi ngomel-ngomel dengan sepenuh hati.
“Kenapa, Tante?” tanyaku yang sengaja memilih bertanya seperti itu.
“Kenapa kau bilang? Kau sungguh tidak sopan! Lihat sikapmu tadi!” seru Tante Ema dengan seruan kata yang nadanya lebih meninggi
“Maafkan aku, Tante. Aku memang tidak ingin dikenalkan pada Om Aldi.”
“Lalu apa maumu, ha? Disuruh segera cari jodoh tidak mau! Giliran Tante yang mencarikan malah kau tolak mentah-mentah usahanya! Maumu apa, Mika?”
“Mauku hanya satu, Tante. Aku ingin bertemu lelaki baik yang tidak memandang fisik.”
“Mimpi kau! Mana ada yang seperti itu! Berpikirlah rasional! Di mana-mana lelaki itu pasti memandang fisik. Pilih yang cantik. Melirik yang pakai lipstik, bukan yang tidak mau memakai lipstik. Coba lihat penampilanmu sekarang! Kuno!”
Aku tidak terima dengan makian Tante Ema. Lagi-lagi aku disudutkan gara-gara tak memakai lipstik.
“Sudah cukup, Tante. Aku tidak ingin memperdebatkan hal ini, apa lagi kembali membahas gara-gara tak pakai lipstik.”
“Tidak bisa cukup! Harus dibahas! Terutama pandanganmu terhadap lipstik. Ini, nih! Nih! Lihat pantulan dirimu di cermin!”
Tante Ema menarik lenganku kasar menuju cermin besar yang terpasang di dekat etalase pajang bunga imitasi.
“Lihat dirimu, Mika! Pucat karena tidak memakai lipstik! Sudah mirip orang pesakitan saja kau!”
“Aku rasa tidak seperti itu, Tante. Aku memang belum sarapan, makanya terlihat pucat seperti orang kelelahan. Apa lagi aku baru saja dipermalukan,” ungkapku membela diri tanpa takut-takut lagi.
Mimik wajah Tante Ema tampak mengeras. Kedua tangannya pun mengepal, tanda bahwa di dalam dadanya tengah bergejolak perasaan kesal.
Jujur, aku sedikit takut. Sering kali aku melihat Tante Ema marah, tapi tidak pernah kudapati yang seperti saat ini.
“Kenapa kau terus menjawab, ha?” tanya Tante Ema.
“Karena Tante Ema terus bertanya,” jawabku dengan berani.
Entah apa yang merasukiku. Aku tahu amarah Tante Ema sudah dipuncak, tapi aku masih saja memberontak.
Lantas, inilah yang aku takutkan. Tangan kanan Tante Ema tiba-tiba saja diayunkan. Sudah pasti akan mendarat di pipi kiriku andai saja tidak ada tangan lain yang menahan. Ya, ayunan tangan Tante Ema ada yang menahan.
“Hentikan!” cegah dia, yakni seorang lelaki berkacamata yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Siapa dia?
Semua mata tertuju pada sang lelaki berkacamata. Kehadirannya yang tak disangka benar-benar mencipta aksi heroik yang teramat nyata. “Lepaskan tanganku!” seru Tante Ema sembari menghempaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas. “Tangan Anda sudah terlepas. Itu artinya dia bebas!” tegas sang lelaki sembari menunjuk ke arahku. Wajah Tante Ema tampak merah padam. Amarahnya membuncah lantaran lelaki berkacamata itu memberiku pembelaan. “Berani-beraninya kau membela dia, ha? Siapa kau?” tanya Tante Ema seraya meninggikan suara, bahkan bola matanya pun melebar dengan disengaja. “Saya hanya orang asing yang kebetulan melihat adegan perundungan,” ungkap sang pria dengan masih menampilkan keberaniannya kepada Tante Ema. “Perundungan katamu? Dia ini keponakanku! Mana mungkin aku tega melakukan hal merugikan seperti itu!” ucap Tante Ema sembari makin meninggikan suara. Ingin rasanya aku menyuarakan protesku atas jawaban Tante Ema. Tidak tega katanya? Lalu, apa yang baru saja hendak Tant
Fakta tentang Putra yang telah memiliki kekasih, membuatku patah hati. Perasaan indah itu aku lambungkan sendiri, lantas aku pun terjatuh seorang diri. Sekuat tenaga aku mencoba tetap berdiri tegak sembari menyembunyikan mimik wajah kecewa. Buket bunga mawar merah yang telah jadi itu terus aku pegang sambil menampilkan senyuman palsu. “Wahai hati, tenanglah!” seruku dalam hati. Tidak butuh waktu lama bagi Putra untuk segera mengakhiri telepon dengan kekasihnya. Hanya lima menit saja. Tapi, waktu lima menit itu bagiku terasa sewindu. Bagaimana tidak terasa sewindu kala hatiku merasakan kekecewaan, pikiranku tak karuan, tapi aku harus tetap terlihat tegar. Lelah nian mengusahakan untuk bertahan di saat setiap kalimat yang aku dengar dari Putra tersemat kata sayang untuk kekasihnya. “Semangat!” ucap Putra tiba-tiba. “Eh?” Aku yang tak paham justru menampilkan mimik wajah heran. Semangat? Semangat untukku atau untuk siapa? Apa iya Putra benar-benar cenayang? Kenapa dia bisa tahu k
Bukan hanya aku yang terheran, Tante Ema pun demikian. Sementara Vanya, adikku itu masih saja menampilkan mimik wajah kecewa. Kedua telapak tangannya juga tampak mengepal sabagai tanda adanya gemuruh rasa kesal. “Vanya, jangan bercanda!” seru Tante Ema yang kalimatnya masih mengandung unsur ramah. Perlakuannya benar-benar berbeda ketika tadi Tante Ema menuduhku. “Aku tidak sedang bercanda! Aku kecewa! Kecewa pada kalian berdua!” sahut Vanya yang samakin lama semakin meninggikan suaranya. “Vanya, Sayang. Tenang dulu, dong! Ceritakan baik-baik apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap Tante Ema yang justru nada bicaranya semakin ramah, seolah memaklumi Vanya. Oh Tuhan, ingin rasanya aku cemburu dengan perlakuan berbeda yang kini terpampang nyata di hadapanku. Kenapa Tante Ema begitu baik pada Vanya? Bahkan, ketika Vanya mengaku berbuat salah pun masih saja dimaklumi olehnya? Lalu, bagaimana dengan aku di sini? Bukankah aku juga keponakannya? Kenapa Tante Ema memberiku perlakuan yang
Sungguh baru kali ini aku melihat Tante Ema membentak Vanya. Terkejut? Sudah pasti iya. Bukan hanya aku saja yang terkejut, Vanya sampai tersentak kaget juga. “T-tante bilang aku bodd*oh?” tanya Vanya dengan setengah terbata. “Iya. Kau tidak salah dengar. Mencintai lelaki itu boleh saja, tapi jangan sampai buta karenanya!” tegas Tante Ema menasihati Vanya dengan nada meninggi yang biasa ditujukan padaku. Aku melihat perubahan ekspresi adikku itu. Agaknya dia belum terbiasa dengan sikap Tante Ema yang demikian. Kalau aku … ah, jangan ditanya lagi. Sekarang aku sudah jadi seberani ini lantaran telah fasih. “Sekarang kau malah diam saja. Sudah paham?” Sekali lagi Tante Ema bertanya dengan nada yang dibuat meninggi. Sungguh, ini baru pertama kalinya bagiku melihat Vanya dibentak-bentak Tante Ema. Adikku itu terlihat tak berdaya, buktinya tadi sampai terbata dan kini diam saja. Lebih tak terduga lagi, satu anggukan juga diberikan olehnya. Syukurlah jika Vanya telah memahami. Hatiku le
Beberapa detik lalu aku biasa saja ketika Erika bilang putus pada Putra. Ya, karena memang aku merasa tidak bersalah dan yang dilihat oleh kekasih Putra hanya salah paham. Kini, aku putuskan untuk mengubah sikap begitu ada yang melayangkan tuduhan secara terang-terangan di hadapanku. Sebal, kesal, dan geregetan, itulah yang kini aku rasakan. Entah sejak kapan emosiku jadi mudah tersulut. Rasanya akhir-akhir ini diriku mudah sekali emosi. Padahal tidak sedang PMS. Apa iya aku sudah lelah bersikap baik? Kalau dipikir-pikir, aku jarang mengalah, bahkan jarang pula memendam rasa tak suka. Seperti saat ini, aku luapkan kekesalanku pada lelaki berkumis tipis yang seenaknya saja menuduhku selingkuh dengan Putra. “Kau, jangan asal tuduh, ya! Jaga mulutmu baik-baik!” tegasku sembari menampilkan mimik wajah galak. “Eh, galak juga ternyata,” ucap lelaki berkumis tipis sembari mulai memasuki area toko sepatu Putra. Aku melupakan sesuatu. Segera aku balikkan tubuh hingga terlihatlah Putra yang
Aku penasaran, tapi rasa-rasanya tidak memiliki hak untuk bisa mendapat lebih banyak penjelasan. Nathan putus dengan kekasihnya gegara lipstik, itu bukan urusanku meski sebenarnya aku ingin tahu. Ingin tahu? Ya, karena alasannya sungguh menyinggungku. Dua lelaki tampan di depanku itu pastilah tidak akan tahu tentang apa yang saat ini aku rasakan.Gara-gara tak pakai lipstik aku sering disindir tidak laku-laku oleh adik dan tanteku. Lantas, sindiran itulah yang hingga detik ini mudah sekali mempengaruhi suasana hatiku.“Mika, kamu melamun?” tanya Putra seraya menegurku yang tampak diam dan terus menatap ke arah lantai ruko.“Em, sepertinya aku mau kembali ke toko bunga,” ucapku seraya menggugurkan rasa penasaran yang sempat membuncah.“Maksudmu, toko bunga di sebelah itu milikmu?” tanya Nathan yang sepertinya belum paham juga meski sebelumnya sudah diberitahukan oleh Putra.“Iya. Itu toko bungaku. Mampirlah jika mau,” ucapku sembari mengembangkan senyuman.Lelaki berkumis tipis di dep
Vanya yang bertanya, tapi justru aku yang malu mendengar pertanyaan adikku itu. Bisa-bisanya dia bertanya status Nathan dan Putra dengan terang-terangan. Jujur, di mataku dia terlihat kecentilan. “Vanya, tunjukkan sopan santunmu! Jaga sikap!” desisku lirih pada adikku. Teguranku itu sengaja aku pelankan agar Nathan dan Putra tidak mendengar. Nyatanya, Vanya justru mengulang kalimat yang aku ucapkan. “Apa? Tunjukkan sopan santunmu? Maksud Kak Mika aku tidak sopan?” tanya Vanya sembari memasang wajah sebal ke arahku. Akan sangat lebih membuat malu bila aku menanggapi adikku itu dengan sikap kekanakan. Alhasil, aku pun hanya tersenyum kikuk sekaligus menyiratkan kode penuh arti melalui kedipan mata. Sayangnya, Vanya tidak memahaminya. “Apa’an, sih, Kak Mika kedip-kedip nggak jelas begitu? Kelilipan? Ngomong saja kalau kalau mau menegurku! Jangan pakai kode mata begitu! Kak Mika jadi terlihat gaje, alias nggak jelas!” “Cukup, Vanya!” tegurku lebih tegas. “Apa? Kak Mika mau marah?”
Entah sejak kapan aku jadi nyaman duduk bersama Putra dan Nathan. Entah sejak kapan pula tawaku jadi begitu lepas ketika Nathan membuat candaan. Aku tak tahu pastinya kapan. Namun, malam ini aku jadi enggan untuk pulang. Usai perdebatan dengan Vanya sore tadi, aku urung pulang ke rumah demi menghargai segelas es jeruk. Dua karyawanku telah pamit pulang, sedangkan tulisan di toko bunga telah aku ganti menjadi tutup. Lantas, aku pun mengekor di belakang Putra menuju ruko sepatu miliknya. Ada banyak hal yang kami obrolkan hingga es jeruk di wadahku tak lagi tersisa. Malam juga telah menyapa. “Jadi, roda sepedamu masih tetap empat sampai kau kelas empat?” tanya Putra kepada Nathan. “Iya, Kak. Aku beneran takut jatuh waktu itu,” aku Nathan disusul tawa panjang. Sejauh ini yang kami obrolkan adalah tentang masa kecil. Baik Putra ataupun Nathan sepertinya memang sengaja memilih random topik obrolan yang bisa membuatku tertawa. Buktinya sedari tadi aku tak henti-hentinya tertawa dengan pe