Share

Bab 7. Sedapnya Patah Hati

Fakta tentang Putra yang telah memiliki kekasih, membuatku patah hati. Perasaan indah itu aku lambungkan sendiri, lantas aku pun terjatuh seorang diri. 

Sekuat tenaga aku mencoba tetap berdiri tegak sembari menyembunyikan mimik wajah kecewa. Buket bunga mawar merah yang telah jadi itu terus aku pegang sambil menampilkan senyuman palsu.

“Wahai hati, tenanglah!” seruku dalam hati.

Tidak butuh waktu lama bagi Putra untuk segera mengakhiri telepon dengan kekasihnya. Hanya lima menit saja. Tapi, waktu lima menit itu bagiku terasa sewindu. 

Bagaimana tidak terasa sewindu kala hatiku merasakan kekecewaan, pikiranku tak karuan, tapi aku harus tetap terlihat tegar. Lelah nian mengusahakan untuk bertahan di saat setiap kalimat yang aku dengar dari Putra tersemat kata sayang untuk kekasihnya.

“Semangat!” ucap Putra tiba-tiba.

“Eh?” Aku yang tak paham justru menampilkan mimik wajah heran.

Semangat? Semangat untukku atau untuk siapa? Apa iya Putra benar-benar cenayang? Kenapa dia bisa tahu kalau aku sangat butuh semangat usai patah hati yang kini terasa sedap.

Ya. Rasanya begitu sedap, nikmat. Perasaan manis dari sebuah cinta, lantas bercampur dengan pahitnya hati yang patah. Ibarat secangkir kopi yang tercampur dengan gula, ah, rasa-rasanya hanya hati yang bisa mendefinisikan rasanya. Sayangnya, semua ini bukan tentang kopi.

“Semangat. Tuliskan satu kata itu di kartu ucapannya, ya,” pinta Putra dengan ramah.

“Oh. Oke. Tunggu sebentar, ya. Aku tuliskan dulu sambil kuberi tempelan bunga kering,” ungkapku yang sekali lagi menampilkan senyuman palsu.

Aku undur diri sebentar menuju etalase pajang. Sebuah bolpoin aku ambil, lantas mulai menuliskan sebuah kata yang diminta. Kata semangat, tapi aku tidak sedang bersemangat. Ekspresi di wajahku lekas kuubah masam untuk beberapa waktu, mumpung tidak ada yang sedang melihatku.

“Sudah selesai. Semoga suka ya,” ucapku ramah sekaligus lebih menampilkan senyum sumringah di tengah hatiku yang patah.

“Wah, keren! Berapa harganya?” tanya Putra yang seketika itu langsung mengeluarkan dompet dari saku celana.

“Gratis,” putusku yang semula sama sekali tidak kepikiran akan berkata seperti itu.

“Jangan, dong! Nanti kamu rugi.” 

“Hadiah perkenalan dari toko bungaku. Ke depan, jangan sungkan datang lagi, ya.”

Senyum yang sebelumnya aku sunggingkan lekas aku ganti menjadi tawa ringan. Tawa ringan dariku itulah yang tampaknya lebih mencairkan suasana hingga Putra pun lebih menampilkan senyum manisnya.

Ya, benar-benar senyuman yang terlihat manis. Akan tetapi, senyuman itu justru membuat hatiku teriris. Tawa yang aku buat, sebenarnya hanyalah obat. Sayangnya obat itu tidak akan manjur dalam waktu dekat.

Putra undur diri usai menerima buket bunga. Bola mataku terus menatap ke arah lelaki berkacamata itu hingga punggungnya tak lagi terlihat. 

“Mbak Mika, dia tetangga baru ruko sepatu di sebelah, ya?” tanya Devi. Devi dan Desi, dua karyawanku itu usianya jauh lebih muda dariku.

“Iya. Namanya Putra,” ungkapku sederhana tanpa menambahkan apa pun juga.

“Ganteng banget, Mbak. Nggak terlihat seperti artis, sih, tapi manis,” imbuh Desi sembari menunjukkan sikap heboh sendiri.

“Sst. Jangan sampai kalian baper sama dia, ya. Sudah punya kekasih,” ungkapku berterus terang supaya tidak ada dari dua karyawanku itu yang melambungkan harapan.

“Tapi, baru kekasih, kan, Mbak? Bukan istri. Jadi ….”

“No-no-no! Kalian jangan berpikiran yang macam-macam. Yuk, kita makan saja! Aku beli nasi pecel buat kita bertiga!” sahutku memotong ucapan Devi.

“Wah! Mbak Mika baik bener. Yuk, Mbak!”

“Makasih ya, Mbak.”

“Kembali kasih.”

Siang hari telah terlewati. Sore pun menjelang dan terasa cepat sekali. Di balik perasaan cinta yang aku lambungkan pagi tadi, yang telah berujung patahnya hati, kini justru telah menyisakan pelajaran berharga untukku. 

Beruntungnya diriku bisa langsung mengetahui fakta tentang Putra yang memiliki kekasih. Coba kalau aku baru tahu sepekan lagi, sebulan lagi, apa lagi sampai setahun dari hari ini. Pastilah rasa kecewanya akan lebih sulit melebur.

Tatkala senja sudah mulai merona, saat itulah aku kembali menapakkan kakiku di rumah. Hatiku lebih dulu aku buat tenang sembari mengedarkan pandangan.

Rumahku tampak sepi. Mungkinkah Tante Ema dan Vanya masih di luar rumah? Tapi, ke mana?

Rumah yang aku tempati ini adalah rumah dengan sertifikat tanah dan bangunan atas namaku. Mamalah yang mengubah atas namaku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke tujuh belas. Kala itu aku masih tidak tahu apa-apa dan menganggap semuanya tampak biasa. Begitu usiaku telah semakin dewasa, barulah aku menyadari pentingnya sebuah nama.

Namaku yang terbubuh dalam sertifikat rumah itulah yang lebih banyak mengontrol amarah Tante Ema. Tanteku itu sering meluapkan nasihatnya, tapi tak bisa sampai berlebihan karena aku memiliki hak penuh atas tempat tinggal.

Tante Ema hanya menumpang sejak sepuluh tahun lalu, ketika dia ditinggal selingkuh. Sejak saat itulah Tante Ema berstatus janda anak satu, tapi sang anak lebih memilih ikut ayahnya.

“Semoga saja Tante Ema lupa pada kejadian tadi,” harapku sambil terus melangkah menuju kamarku.

Kejutan!

Begitu pintu kamarku terbuka, tampaklah kondisi kamarku yang berantakan. Bed cover tempat tidurku tampak lusuh kecoklatan. Bantal guling tergeletak di lantai. Gumpalan sampah kertas yang semula berada dalam tempat sampah di kamarku, semuanya tersebar di area lantai dan sedikit di atas mejaku.

“Tega sekali Tante Ema!” desisku melayangkan tuduhan pada tanteku.

Siapa lagi yang bisa aku tuduh selain tanteku itu? Vanya tidak mungkin melakukannya karena sepagi tadi dia menunjukkan sikap bahagia. Hanya Tante Ema yang hampir saja melayangkan tamparannya dan berhasil digagalkan oleh Putra.

“Semoga Tante Ema puas hanya dengan membuat kamarku berantakan,” ucapku sembari mulai merapikan kamarku kembali. 

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit lamanya hingga kamarku kembali rapi seperti semula. Akan tetapi, tak lama setelahnya tiba-tiba saja terdengar teriakan dari arah kamar Tante Ema.

Aku bergegas menuju ke sana, ke kamar Tante Ema. Betapa bola mataku seketika melebar begitu tahu kondisi kamar Tante Ema yang berantakan.

“Mika!” seru Tante Ema dengan lantang begitu mendapati kehadiranku.

“Tante, kenapa bisa berantakan seperti ini? Tadi itu kamarku juga ….”

“Kau pasti pelakunya!” sahut Tante Ema, memotong kalimatku.

“Bukan aku pelakunya! Sungguh!” Aku membela diriku karena memang bukan aku.

Lagi pula, apa untungnya bagiku membuat kamar Tante Ema berantakan? Justru Tante Emalah yang semula aku tuduh memberantakan isi kamarku.

“Omong kosong! Kau pasti marah pada tante! Iya, kan? Mau balas dendam kau? Ngaku!” desak Tante Ema dengan mimik wajah yang benar-benar tidak ramah.

“Sungguh bukan aku, Tante. Lagi pula, kenapa aku harus balas dendam sementara statusku adalah korban?” Aku membela diriku dengan tanpa sungkan.

Agaknya Tante Ema tidak memahami kalimatku. Dia terus menatap galak tanpa menyahuti kata-kataku.

“Kamarku juga berantakan,” ungkapku kemudian.

“Jangan pura-pura kau! Sedang main drama kau, ya? Ngaku!” desak tanteku.

Apa lagi yang harus aku akui, sih? Ah! Sungguh menyebalkan jika berurusan dengan Tante Ema. Selalu saja berlebihan jika itu menyangkut tentangku. Coba saja jika Vanya yang berbuat salah, pasti perlakuannya akan sangat jauh berbeda.

“Maaf, Tante. Aku sedang tidak ingin berdebat. Bukan aku pelakunya, karena kamarku juga berantakan. Terserah Tante Ema mau percaya atau tidak.”

“Sekarang coba kau pikir, Mika. Kalau bukan kamu pelakunya? Siapa lagi coba?”

“Aku! Akulah pelakunya!” sahut Vanya tiba-tiba sembari menunjukkan ekspresi kecewa.

Benarkah Vanya pelakunya? Tapi, kenapa?

BintangAeri

Silakan tinggalkan jejak komentar agar author bersemangat melanjutkan bab novel ini. Ikuti juga - FB author : Bintang Aeri -

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status