Silakan tinggalkan jejak komentar untuk mendukung author
Aku terbangun saat matahari belum muncul. Tidurku begitu nyenyak usai mandi air hangat sebelum tidur. Aku cukup bersyukur, tidur nyenyakku mampu membuatku terlupa sejenak dengan huru-hara kehidupan. Semalam, aku batalkan niatan untuk menghubungi Putra. Kumatikan telponku pula demi mendapat rasa nyaman sepanjang malam. Sempat aku abaikan pula perasaan menyesal yang menggelayut pikiran, hingga di pagi ini pun aku kembali kepikiran. “Putra, maafkan aku. Semalam itu aku seolah tengah mempermainkanmu. Mau jadi pacar pura-pura, tapi justru menolak saat kamu benar-benar menawarkan cinta,” ucapku sembari menatap ke arah langit-langit kamar hotel. Usai mandi, aku bingung mencari pakaian ganti. Semalam itu memang dadakan sekali hingga aku sama sekali tidak memiliki persiapan untuk pergi. Terpaksa aku hidupkan kembali ponselku demi meminta bantuan dari kedua karyawan di toko bungaku. Ya, niat awalku seperti itu. Nyatanya, pesan lain yang masuk ke ponselku justru mengalihkan perhatianku. Ada
“Nathan!” panggilku dengan segera mencegah Nathan untuk melangkah lebih jauh.Berhasil. Nathan menghentikan langkahnya, lantas kembali menoleh ke arahku.“Jangan memanggil Putra! Kumohon!” pintaku penuh harap.“Kenapa? Bukankah tadi kamu sangat ingin tahu alasannya?”“Iya, sih. Tapi ….”Aku pun sebenarnya bingung dengan diriku. Di satu sisi sangat ingin tahu, tapi di sisi lainnya lagi enggan bertemu.Agaknya Nathan memahamiku. Dia tersenyum, lantas memintaku untuk tenang.“Tenanglah, Mika! Jika kamu masih belum ingin bertemu dengan Kak Putra, maka aku pun tidak akan memaksa.”Ah, syukurlah! Nathan sungguh pengertian. Kalau begini dia jadi serupa malaikat pembagi kebaikan.“Tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Nathan tiba-tiba.“Silakan saja jika ingin bertanya.”Lebih dulu aku mendapati senyum yang mengembang di wajah Nathan. Entah kenapa dua makhluk tampan penghuni ruko sepatu itu hobi sekali mengembangkan senyuman.“Kenapa diam?” tanyaku sekaligus sebagai kode agar Nathan lek
“Lipstik? Untuk apa kakak tanya lipstik segala? Mau coba pakai lipstik juga? Percuma, Kak. Kak Mika tidak akan pernah lebih cantik dibandingkan aku dan Tante Ema!”Pahit sekali kata-kata adikku. Tidakkah dia menyadari bahwa kata-katanya itu telah melukaiku? Cantik, lipstik, ah! Aku sungguh tak lagi peduli dengan itu. Yang aku sayangnya kali ini hanya satu, yakni sikap adikku.“Vanya, sebenarnya apa salahku hingga kau jadi sebenci ini?” tanyaku dengan lebih mencoba menurunkan intonasi.“Oh, kakak masih tanya salah kakak di mana? Lipstik, Kak. Kakak salah karena tidak memakai lipstik,” terang Vanya sembari kembali menyedekapkan tangannya.“Omong kosong! Perjelas alasanmu, Vanya! Jangan bawa-bawa lipstik di saat seperti ini!”Yang terakhir itu aku setengah membentak hingga Vanya pun terhenyak. Alhasil, sempat terjadi jeda beberapa detik lamanya yang membuat kami berdua sama-sama membungkam kata.“Katakanlah alasan yang sebenarnya!” desakku.“Baik. Akan kukatakan. Sejujurnya aku masih sak
Langkah kaki Putra terayun maju hingga lebih dekat ke arahku. Kini, jarak kami hanya terpaut setengah meter saja. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat indahnya sorot mata Putra yang terbingkai kacamata.“Mika, aku mengenalmu sebagai sosok wanita yang penuh luka di hatimu. Ditambah lagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana adik dan tantemu itu memperlakukanmu.”Ada jeda sebentar lantaran bulir air mata yang tak sanggup kutahan. Ya, aku menangis. Gara-gara ucapan Putra yang benar-benar tak terbantahkan. Benar apa yang Putra katakan. Aku penuh luka di hatiku lantaran perasaanku sering tersakiti akibat sikap pilih kasih. Hatiku pun sering terlukai akibat tutur kata dari adikku sendiri. Tante dan adikku, mereka berdua bukanlah orang jauh. Mereka saudara dekat dan begitu aku kasihi. Nyatanya, yang terkasihlah yang lebih sering melukai hatiku ini. “Menangislah dulu jika kamu ingin menangis. Tuntaskan tangismu, Mika. Jika perlu, kamu boleh bersandar di bahuku meski m
“Lelaki itu tidak akan datang ke sini, Tante. Dia sudah aku beri alamat palsu,” ungkapku sembari mencomot salah satu hidangan yang baru saja selesai disiapkan oleh tanteku, Tante Ema. “Kau memberi Aldo alamat palsu? Kenapa, Mika?” tanya Tante Ema terheran-heran. “Biar Aldo tersesat, putus asa, kemudian pulang ke rumahnya.” Mimik wajah Tante Ema mengeras, tidak seramah sebelumnya. Gurat amarah yang tergambar di wajahnya pun memancarkan aura intimidasi yang belum pernah aku lihat. “Bod*h! Kau bod*h, Mika! Aldo itu tertarik padamu, tapi kau justru memberinya alamat palsu. Dasar bod*h!” “Aldo sama sekali tidak tertarik padaku, Tante. Aldo mendekatiku agar bisa mencari tahu segala hal yang disukai Vanya.” Aku menunjuk Vanya, adikku satu-satunya. Sedari tadi dia duduk di ujung meja makan sembari memperhatikan aku yang baru kali ini berani berdebat dengan Tante Ema. Ya, aku baru kali ini menyuarakan isi hatiku bahkan kekesalanku kepada seorang tante yang hampir setiap saat mengaturku
Langkah kakiku baru sampai di ruang tamu, tapi Tante Ema sudah kembali memanggilku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini nada bicara Tante Ema dibuat lembut dan pelan. Sepertinya tanteku itu khawatir jika Aldo sampai mendengar karena posisi ruang tamu dan teras depan tidaklah terlalu jauh. “Suguhkan ini untuk Aldo. Ingat, kalau kau memang menolak, beri kesempatan Aldo dan Vanya untuk lebih dekat,” pesan Tante Ema sembari menampilkan senyuman. Senyum pembelaan untuk Vanya, begitulah aku menilainya. Aku tidak membantah, tapi juga tidak mengiyakan pesan Tante Ema. Sikapku sengaja aku buat datar. Berharap Tante Ema akan sadar bahwa sebenarnya aku enggan. Lagkah kakiku kembali terayun menuju teras depan rumah sambil membawa setoples kue mawar dan segelas air mineral lengkap dengan sedotannya. Seperti sebelum-sebelumnya, Aldo selalu menampilkan senyum ramah ketika menyambutku. Sayangnya, aku telah tahu bahwa senyuman itu palsu. “Halo, Mika. Selamat malam,” sapa Aldo sembari menerima set
Keadaan benar-benar tidak pernah bisa aku duga. Aldo terdiam bukan karena memikirkan jawaban atas pertanyaanku, melainkan karena ada adikku berdiri di ambang pintu. “Kakak ketus benar, sih, sama Kak Aldo!” gerutu Vanya yang sepertinya sudah banyak mendengarkan obrolanku dengan Aldo.“Kamu nguping, ya?” tanyaku blak-blakan.“Iya. Aku memang menguping.”Entah apa yang ada di pikiran Vanya kali ini. Apa iya dia mau balas dendam atas kejadian di bulan lalu? Tapi, mana mungkin? Adikku itu bukanlah tipe pendendam. Dia hanya ketus dan lebih suka blak-blakan menyindirku sejak sebulan lalu. Mungkinkah Tante Ema yang menyuruhnya?Pertanyaan itu terbersit begitu saja di benakku. Aku curiga kepada Tante Ema. Lekas kuedarkan pandangan menuju dalam rumah, tapi tidak kujumpai sosoknya di dalam sana.“Untuk apa kamu menguping pembicaraanku dan Aldo?” tanyaku pada adikku.“Sengaja, buat jaga-jaga seandainya Kak Aldo jadi korban kegalakan Kak Mika.”“Inisiatifmu atau kamu disuruh?” tanyaku lagi, memas
Semalam, aku putuskan untuk tidak terbawa arus perasaan. Buat apa menjadi orang lain, di saat orang lain begitu ingin berada di posisiku? Pikiran itulah yang semalam berhasil membuatku lebih tenang, lantas aku pun tertidur lelap hingga pagi menjelang. Aku adalah seorang pebisnis muda yang bisa dikatakan cukup berhasil mengelola toko bunga yang aku rintis sejak tiga tahun lalu. Saat ini aku memiliki dua orang karyawan serta mitra kerja dari beberapa kota. Perihal fisik, ya, aku cantik. Bukan bermaksud ke-PD-an, tapi memang itulah yang kerap orang katakan. Orang bilang, hanya satu kekuranganku, yakni jarang terlihat dandan khususnya memakai lipstik dalam keseharian. “Kak Mika mau berangkat ke toko bunga pukul berapa?” tanya Vanya dengan senyum ceria. Tanpa aku bertanya pun sudah dapat kutebak jawabannya. Perubahan sikap yang mendadak ramah di pagi ini terjadi lantaran Vanya telah kembali mendapat seorang kekasih. “Seperti biasa. Pukul setengah delapan pagi. Kamu mau mencoba cari p