"Nad, temenin aku dulu yuk ke toko buku," ajak Salsa.
"Aku mau cepet pulang Sal, udah kangen sama mami."
"Dasar anak mami."
"Iya lah, anak papa sama mami. Emang anak siapa lagi."
"Nad, kok aku ngerasa aneh ya, sama panggilan kamu buat tante Astri."
"Aneh gimana? Biasa aja kayaknya."
"Ya aneh aja gitu. Kamu manggil almarhum om Adnan papa tapi kamu manggil tante Astri mami, kan biasanya tuh mama papa atau mami papi."
"Kok aku nggak nyadar, ya? Namun, dari kecil emang aku panggilnya papa sama mami. Jadi kayak udah biasa aja gitu. Ntar lah aku tanyain sama mami kenapa bisa beda."
"Beneran nih Nad, kamu nggak mau nemenin aku dulu? Buat tugas pak Awan nih. Kalau referensinya cuma dari internet kayaknya masih kurang."
"Besok lagi aja, ya. Aku bener-bener pengen ketemu mami, nggak tahu kenapa."
"Ya udah deh kalo gitu. Mau aku anterin?"
"Nggak usah, aku naik kendaraan umum aja. Aku duluan ya, daah Salsa."
"Dadah Nadia."
Nadia berlari kecil ke luar gerbang dan menuju halte bus yang akan mengantarkannya ke gang menuju rumahnya.
"Teman kamu pulang sendiri?"
"Eh," Salsa terlonjak kaget ketika terdengar suara dari belakangnya.
"Abang ih ngagetin aku," ucap Salsa sambil mengusap dadanya berkali-kali.
"Emang kamu habis ngelamun apa makanya kaget? Latihan sport jantung, lah."
"Ya enggak ngelamun juga sih Bang, cuman 'kan aku lagi lihatin Nadia jadi nggak nyadar ada Abang di sini. Abang udah mau pulang?"
"Baru aja nyampe sini lagi. Masih ada jam ngajar sampai jam empat sore. Kamu mau pulang sekarang?"
"Iya, tapi mau mampir dulu ke toko buku buat nyari referensi. Abang habis dari mana, kok tadi bilang baru nyampe sini?"
"Habis jemput ibu ke konveksi."
"Mama ngapain ke sana? Tumben."
Abangnya hanya mengedikkan bahu acuh.
"Kamu hati-hati pulangnya."
"Iya Bang, nanti pulang ke rumah, kan?"
"Nggak tahu, entah ke rumah atau ke apartemen. Nggak enak juga kalau sering berkunjung sementara aku bukan siapa-siapa di sana."
Salsa menggenggam tangan lelaki dewasa di hadapannya.
"Bang, Abang itu kakak aku, anaknya mama. Jangan ngomong kayak gitu lagi nanti mama sedih. Kita memang nggak punya hubungan darah tapi kita terikat dalam hubungan keluarga."
"Iya, maafin aku. Udah sana, cepetan pulang. Habis dari toko buku jangan kemana-mana lagi, langsung pulang ke rumah."
"Iya Bang, nggak usah protektif banget, lah."
"Aku ngelakuin itu buat ngelindungin kamu."
"Iya, iya Bang, iyaaa, aku nurut. Daah Abang. Aku berangkat dulu."
Lelaki itu hanya tersenyum sekilas pada Salsa. Dia juga tak lupa melambaikan tangan pada gadis manis itu. Bahkan orang lain yang nggak punya hubungan darah denganku pun menyayangiku, kenapa ibu kandungku sendiri malah melupakan dan meninggalkanku.
***
"Assalamualaikum, Mami. Mi ... mami di mana?" teriak Nadia saat tak mendapati Astri menjawab panggilannya.
Bukankah seharusnya mami udah pulang dari konveksi ya tapi kok nggak ada. Batin Nadia bertanya-tanya.
Nadia mengetuk pelan pintu kamar sang ibu tapi tak ada jawaban. Dibukanya pintu yang tak terkunci itu dan tampaklah di matanya sang ibu tergeletak pingsan di dekat ranjang. Nadia langsung berlari kecil mendekati Astri.
"Mi, mami, ya Allah, mami kenapa. Jangan tinggalin aku, Mi. Aku sayang mami."
Dengan sekuat tenaga Nadia memindahkan Astri ke tempat tidur. Setelahnya mondar-mandir sambil menggigit ujung telunjuk tangannya bingung apa yang harus dia lakukan.
Nadia berlari keluar rumah mencari bantuan. Untunglah ada keluarga Anggun yang sedang bersantai di teras depan.
"Assalamualaikum Tante, Om," sapa Nadia.
"Waalaikumsalam Nad, ada apa? Kok kamu kayak gelisah gitu?"
"Emm, itu Tante, Om, maaf kalau mengganggu waktunya, apa aku boleh meminta tolong bawa mami ke dokter?"
"Ya Allah, mbak Astri kenapa Nad?" Anggun langsung bangun dari duduknya.
"Itu ... mami pingsan. Aku juga nggak tahu kenapa Tante, aku baru pulang kuliah."
"Ya udah, kamu jangan panik. Om mau keluarkan dulu mobilnya dari garasi," jawab Burhan, suami Anggun.
Nadia cepat kembali ke rumah. Tak lupa memasukkan perlengkapan dan juga dompetnya ke dalam tas. Burhan datang dengan kedua tetangga yang lain untuk membantu memindahkan Astri ke dalam mobilnya.
Tiga puluh menit perjalanan sampailah mereka di sebuah klinik. Sigap petugas kesehatan di sana membantu Burhan membawa Astri ke atas brankar. Nadia tampak cemas menunggu dokter keluar dari ruang pemeriksaan.
Cklek. Nadia langsung berdiri menghampiri dokter bername tag Rianti diiringi Anggun dan juga Burhan.
"Keluarga ibu Astri?"
"Saya anaknya, Dok."
"Bu Astri hanya mengalami tekanan darah rendah yang dipicu kurang tidur dan juga stres. Untuk sementara, hanya itu yang bisa kami sampaikan. Nanti kalau infusnya sudah habis, tolong segera hubungi kami."
"Baik, Dok."
"Kalau begitu, saya permisi dulu."
"Terima kasih, Dok."
"Om, Tante, terima kasih sudah nganter aku kesini," ucap Nadia begitu dokter Rianti berlalu.
"Nggak usah berterima kasih gitu Nad, kamu udah om sama tante anggap anak sendiri. Nggak usah sungkan kalau minta bantuan. Ya kan, Ma?"
"Iya, Sayang, mbak Astri itu udah kayak saudara tante sendiri. Tapi, kamu nggak papa kalau kami tinggal? Tante belum nyiapin makan malam."
"Iya Tante, nggak papa, sekali lagi terima kasih udah nolongin mami."
"Sama-sama, Sayang."
Nadia termenung di kursi samping ranjang tempat Astri dirawat.
"Apa sih yang bikin mami stres? Apa karena mikirin biaya kuliah aku, ya? Semua ini gara-gara om Alvin. Dia udah ngambil semua harta peninggalan papa. Kalo aja dia nggak serakah ngambil semuanya, mami pasti nggak perlu capek kerja buat aku."
Nadia meraih tangan Astri dan menciumnya. "Maafin aku, Mi, aku udah jadi beban buat Mami. Aku akan cari kerja Mi, aku nggak mau cuma ngandelin Mami. Mami nggak boleh kecapekan lagi."
"Enghh," terdengar lenguhan pelan Astri yang membuat Nadia tersadar dari lamunannya.
"Mi, ini aku Mi, Nadia. Mami nggak papa, kan?"
Pelan Astri mengerjapkan mata menahan silau dari lampu di atasnya. Nadia segera memencet tombol untuk memanggil suster jaga.
Seorang suster menghampiri serta memeriksa Astri kembali.
"Gimana keadaan mami saya, Sus?"
"Bu Astri sudah tidak apa-apa. Tinggal pemulihan saja. Obatnya jangan lupa diminum, ya."
"Terima kasih, Sus."
Suster itu mengangguk pelan dan kembali ke tempat kerjanya.
"Nad, mami dimana?"
"Mami ada di klinik. Mami makan dulu ya biar aku suapin."
"Lidah mami pahit, Sayang."
"Harus dipaksain, Mi. Mami harus cepet sembuh. Emang Mami betah lama-lama nginep sini?"
"Mami mau pulang aja, ya."
"Mami di sini dulu aja. Aku nggak mau Mami kenapa-napa. Urusan konveksi serahin aja sama asisten Mami."
Astri tersenyum sambil mengusap lembut rambut hitam putrinya. Mami sayang banget sama kamu, Nad. Mami nggak mau sampai kita pisah. Mami nggak sanggup kehilangan anak lagi.
Sesosok tegap dengan bahu kekar itu berdiri membelakangi Astri. Suasana yang tenang dan damai dirasakannya walau tak mengerti ada dimana dia sekarang. Seingatnya tadi dia sedang ada di ruang rawat klinik. Bagaimana tiba-tiba dia ada di sini dan siapa pemuda di depannya itu. Sedang Astri bertanya-tanya dalam hati, pemuda itu berkata sesuatu yang membuatnya tersentak."Aku benci sama Ibu. Ibu tega mengabaikan aku selama bertahun-tahun. Ibu tega meninggalkan aku sendiri. Ibu nggak sayang sama aku."Deg. Siapa sebenarnya lelaki muda itu? Kenapa dia memanggilku ibu dan berkata kalau dia membenciku? Apa jangan-jangan dia ...Lelaki itu berbalik tapi tak bisa Astri lihat bagaimana rupanya karena posisinya membelakangi matahari."Siapa kam
"Selamat pagi, bu Astri," sapa dokter Rianti saat kunjungan pagi itu."Selamat pagi, Dok," balas Astri dan juga Nadia."Bagaimana perasaannya saat ini, Bu?""Saya masih merasa lemas, Dok.""Baik Bu, saya periksa dulu ya."Dokter Rianti menyematkan stetoskop ke kedua lubang telinganya. Kemudian menekan-nekannya ke dada Astri. Menyentuh pergelangan tangan kiri Astri sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya."Bagaimana Dok, apa mami saya boleh pulang sekarang?"Dokter Rianti tersenyum manis."Dengan berat hati, saya menyatakan kalau bu Astri belum boleh pulang. Sebaiknya b
"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah.""Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah.""Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita.""Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu.""Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak berbunyi dan mengedipkan lampu sekali ketika Salsa menekan remote di tangannya."Yuk, Nad, biar kita cepet sampai ke klinik."Nadia memandang takjub pada mobil milik Salsa."Sal, ini kita nggak salah mobil, kan?""Hahaha, enggak lah. Kalau salah mobil, aku nggak mungkin bisa buka mobil dengan kunci yang aku bawa ini. Udah ah, yuk cepetan masuk. Atau perlu aku bukain pintunya?"Nadia menggeleng cepat dan segera masuk ke dalam mobil sahabatnya."Mobil kamu bagus, Sal.""Bukan mobil aku, Nad. Ini mobil ayah tiri aku. Aku cuma minjem doang. Kalau mobil aku sendiri lagi di bengkel.""Oh, berarti ayah tiri kamu kaya banget dong ya, mobilnya aja keren gini.""Iya, dan aku beruntung banget mempunyai ayah tiri yang nggak hanya sayang sama mama aku tapi juga sayang sama aku. Bahkan, nggak ngebeda-bedain antara aku sama adik aku yang merupakan anak kandungnya."Salsa melajukan mobil i
Tok. Tok. Tok."Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran."Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Nadia sedang duduk santai di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang. Nadia terkesiap kaget saat tiba-tiba Alvin ada di depannya."Om, ngapain ke sini?" tanya Nadia waspada."Mau nemuin keponakan om lah, ngapain lagi."Alvin tersenyum tetapi malah membuat Nadia bergidik ngeri.Nadia berdiri saat dari kejauhan melihat bus tujuan rumahnya. Namun, gadis itu merasa kesal saat Alvin mencekal tangannya. Di halte sore ini sudah sepi dan sedari tadi Nadia hanya sendiri di tempat itu. Alvin lalu menyeret tangan Nadia menjauhi halte sebelum bus berwarna hijau itu sampai di sana."Lepasin Om, lepasin, jangan bawa aku. Memang aku salah apa sama Om. Om sadar nggak sih, Om itu udah nyakitin aku.""Cuma kamu yang bisa b
Mobil melaju membaur dengan berbagai kendaraan di jalan raya yang membuat kemacetan. Nadia memberikan alamat rumahnya pada Awan. Dengan handal, dosen muda itu mengendarai mobilnya menuju rumah Nadia."Sampai sini aja, Pak," ucap Nadia saat mobil Awan hampir sampai di gang menuju rumahnya."Rumah kamu di sebelah mana?""Rumah saya masuk gang, Pak. Saya jalan kaki saja dari sini.""Nanggung Nad, biarkan saya antar sampai rumah. Saya hanya bertanggung jawab untuk mengantar kamu selamat sampai tujuan. Lagipula, mobil bisa masuk gang. Bisa saja lelaki yang mengaku sebagai om kamu tadi menunggu di tempat sepi dan memaksa kamu untuk mengikutinya."Nadia menunduk lalu mengangguk setuju. Gadis itu kemudian memberi tahu arah rumahnya lebih detail.Semakin dekat, hati Awan makin berdebar kencang. Akankah pertemuan itu segera terjadi? Sekarang kah, waktunya untuk mereka bertemu?Awan menghentikan laju kendaraannya tepat di jalan depan rumah berca