Share

Bab 4

"Nad, temenin aku dulu yuk ke toko buku," ajak Salsa.

"Aku mau cepet pulang Sal, udah kangen sama mami."

"Dasar anak mami."

"Iya lah, anak papa sama mami. Emang anak siapa lagi."

"Nad, kok aku ngerasa aneh ya, sama panggilan kamu buat tante Astri."

"Aneh gimana? Biasa aja kayaknya."

"Ya aneh aja gitu. Kamu manggil almarhum om Adnan papa tapi kamu manggil tante Astri mami, kan biasanya tuh mama papa atau mami papi."

"Kok aku nggak nyadar, ya? Namun, dari kecil emang aku panggilnya papa sama mami. Jadi kayak udah biasa aja gitu. Ntar lah aku tanyain sama mami kenapa bisa beda."

"Beneran nih Nad, kamu nggak mau nemenin aku dulu? Buat tugas pak Awan nih. Kalau referensinya cuma dari internet kayaknya masih kurang."

"Besok lagi aja, ya. Aku bener-bener pengen ketemu mami, nggak tahu kenapa."

"Ya udah deh kalo gitu. Mau aku anterin?"

"Nggak usah, aku naik kendaraan umum aja. Aku duluan ya, daah Salsa."

"Dadah Nadia."

Nadia berlari kecil ke luar gerbang dan menuju halte bus yang akan mengantarkannya ke gang menuju rumahnya.

"Teman kamu pulang sendiri?"

"Eh," Salsa terlonjak kaget ketika terdengar suara dari belakangnya.

"Abang ih ngagetin aku," ucap Salsa sambil mengusap dadanya berkali-kali.

"Emang kamu habis ngelamun apa makanya kaget? Latihan sport jantung, lah."

"Ya enggak ngelamun juga sih Bang, cuman 'kan aku lagi lihatin Nadia jadi nggak nyadar ada Abang di sini. Abang udah mau pulang?"

"Baru aja nyampe sini lagi. Masih ada jam ngajar sampai jam empat sore. Kamu mau pulang sekarang?"

"Iya, tapi mau mampir dulu ke toko buku buat nyari referensi. Abang habis dari mana, kok tadi bilang baru nyampe sini?"

"Habis jemput ibu ke konveksi."

"Mama ngapain ke sana? Tumben."

Abangnya hanya mengedikkan bahu acuh.

"Kamu hati-hati pulangnya."

"Iya Bang, nanti pulang ke rumah, kan?"

"Nggak tahu, entah ke rumah atau ke apartemen. Nggak enak juga kalau sering berkunjung sementara aku bukan siapa-siapa di sana."

Salsa menggenggam tangan lelaki dewasa di hadapannya.

"Bang, Abang itu kakak aku, anaknya mama. Jangan ngomong kayak gitu lagi nanti mama sedih. Kita memang nggak punya hubungan darah tapi kita terikat dalam hubungan keluarga."

"Iya, maafin aku. Udah sana, cepetan pulang. Habis dari toko buku jangan kemana-mana lagi, langsung pulang ke rumah."

"Iya Bang, nggak usah protektif banget, lah."

"Aku ngelakuin itu buat ngelindungin kamu."

"Iya, iya Bang, iyaaa, aku nurut. Daah Abang. Aku berangkat dulu."

Lelaki itu hanya tersenyum sekilas pada Salsa. Dia juga tak lupa melambaikan tangan pada gadis manis itu. Bahkan orang lain yang nggak punya hubungan darah denganku pun menyayangiku, kenapa ibu kandungku sendiri malah melupakan dan meninggalkanku.

***

"Assalamualaikum, Mami. Mi ... mami di mana?" teriak Nadia saat tak mendapati Astri menjawab panggilannya.

Bukankah seharusnya mami udah pulang dari konveksi ya tapi kok nggak ada. Batin Nadia bertanya-tanya.

Nadia mengetuk pelan pintu kamar sang ibu tapi tak ada jawaban. Dibukanya pintu yang tak terkunci itu dan tampaklah di matanya sang ibu tergeletak pingsan di dekat ranjang. Nadia langsung berlari kecil mendekati Astri.

"Mi, mami, ya Allah, mami kenapa. Jangan tinggalin aku, Mi. Aku sayang mami."

Dengan sekuat tenaga Nadia memindahkan Astri ke tempat tidur. Setelahnya mondar-mandir sambil menggigit ujung telunjuk tangannya bingung apa yang harus dia lakukan.

Nadia berlari keluar rumah mencari bantuan. Untunglah ada keluarga Anggun yang sedang bersantai di teras depan.

"Assalamualaikum Tante, Om," sapa Nadia.

"Waalaikumsalam Nad, ada apa? Kok kamu kayak gelisah gitu?"

"Emm, itu Tante, Om, maaf kalau mengganggu waktunya, apa aku boleh meminta tolong bawa mami ke dokter?"

"Ya Allah, mbak Astri kenapa Nad?" Anggun langsung bangun dari duduknya.

"Itu ... mami pingsan. Aku juga nggak tahu kenapa Tante, aku baru pulang kuliah."

"Ya udah, kamu jangan panik. Om mau keluarkan dulu mobilnya dari garasi," jawab Burhan, suami Anggun.

Nadia cepat kembali ke rumah. Tak lupa memasukkan perlengkapan dan juga dompetnya ke dalam tas. Burhan datang dengan kedua tetangga yang lain untuk membantu memindahkan Astri ke dalam mobilnya.

Tiga puluh menit perjalanan sampailah mereka di sebuah klinik. Sigap petugas kesehatan di sana membantu Burhan membawa Astri ke atas brankar. Nadia tampak cemas menunggu dokter keluar dari ruang pemeriksaan.

Cklek. Nadia langsung berdiri menghampiri dokter bername tag Rianti diiringi Anggun dan juga Burhan.

"Keluarga ibu Astri?"

"Saya anaknya, Dok."

"Bu Astri hanya mengalami tekanan darah rendah yang dipicu kurang tidur dan juga stres. Untuk sementara, hanya itu yang bisa kami sampaikan. Nanti kalau infusnya sudah habis, tolong segera hubungi kami."

"Baik, Dok."

"Kalau begitu, saya permisi dulu."

"Terima kasih, Dok."

"Om, Tante, terima kasih sudah nganter aku kesini," ucap Nadia begitu dokter Rianti berlalu.

"Nggak usah berterima kasih gitu Nad, kamu udah om sama tante anggap anak sendiri. Nggak usah sungkan kalau minta bantuan. Ya kan, Ma?"

"Iya, Sayang, mbak Astri itu udah kayak saudara tante sendiri. Tapi, kamu nggak papa kalau kami tinggal? Tante belum nyiapin makan malam."

"Iya Tante, nggak papa, sekali lagi terima kasih udah nolongin mami."

"Sama-sama, Sayang."

Nadia termenung di kursi samping ranjang tempat Astri dirawat.

"Apa sih yang bikin mami stres? Apa karena mikirin biaya kuliah aku, ya? Semua ini gara-gara om Alvin. Dia udah ngambil semua harta peninggalan papa. Kalo aja dia nggak serakah ngambil semuanya, mami pasti nggak perlu capek kerja buat aku."

Nadia meraih tangan Astri dan menciumnya. "Maafin aku, Mi, aku udah jadi beban buat Mami. Aku akan cari kerja Mi, aku nggak mau cuma ngandelin Mami. Mami nggak boleh kecapekan lagi."

"Enghh," terdengar lenguhan pelan Astri yang membuat Nadia tersadar dari lamunannya.

"Mi, ini aku Mi, Nadia. Mami nggak papa, kan?"

Pelan Astri mengerjapkan mata menahan silau dari lampu di atasnya. Nadia segera memencet tombol untuk memanggil suster jaga.

Seorang suster menghampiri serta memeriksa Astri kembali.

"Gimana keadaan mami saya, Sus?"

"Bu Astri sudah tidak apa-apa. Tinggal pemulihan saja. Obatnya jangan lupa diminum, ya."

"Terima kasih, Sus."

Suster itu mengangguk pelan dan kembali ke tempat kerjanya.

"Nad, mami dimana?"

"Mami ada di klinik. Mami makan dulu ya biar aku suapin."

"Lidah mami pahit, Sayang."

"Harus dipaksain, Mi. Mami harus cepet sembuh. Emang Mami betah lama-lama nginep sini?"

"Mami mau pulang aja, ya."

"Mami di sini dulu aja. Aku nggak mau Mami kenapa-napa. Urusan konveksi serahin aja sama asisten Mami."

Astri tersenyum sambil mengusap lembut rambut hitam putrinya. Mami sayang banget sama kamu, Nad. Mami nggak mau sampai kita pisah. Mami nggak sanggup kehilangan anak lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status