Sesosok tegap dengan bahu kekar itu berdiri membelakangi Astri. Suasana yang tenang dan damai dirasakannya walau tak mengerti ada dimana dia sekarang. Seingatnya tadi dia sedang ada di ruang rawat klinik. Bagaimana tiba-tiba dia ada di sini dan siapa pemuda di depannya itu. Sedang Astri bertanya-tanya dalam hati, pemuda itu berkata sesuatu yang membuatnya tersentak.
"Aku benci sama Ibu. Ibu tega mengabaikan aku selama bertahun-tahun. Ibu tega meninggalkan aku sendiri. Ibu nggak sayang sama aku."
Deg. Siapa sebenarnya lelaki muda itu? Kenapa dia memanggilku ibu dan berkata kalau dia membenciku? Apa jangan-jangan dia ...
Lelaki itu berbalik tapi tak bisa Astri lihat bagaimana rupanya karena posisinya membelakangi matahari.
"Siapa kamu, Nak? Apa aku mengenalmu?" tanya Astri berusaha meraih pemuda itu namun seolah tak ingin disentuh, pemuda itu memiringkan sisi kiri tubuhnya yang hampir tersentuh Astri.
"Tanyakan pada hati Ibu sendiri, masihkah Ibu mengenalku? Ataukah posisiku di hatimu sudah tergantikan? Oh, mungkin saja aku sudah tak berarti lagi buat Ibu makanya Ibu tak lagi mengenalku."
Apakah benar apa yang kuduga kalau dia anakku, batin Astri.
"Ap-apa kamu Dafa? Dafa-ku?"
Pemuda itu tampak menaikkan sebelah bibirnya seolah mengejek. Sebuah tawa kecil keluar dari mulutnya.
"Rupanya masih ada sedikit ingatan tentangku. Tapi, semua itu takkan bisa mengubah apapun. Aku akan tetap membencimu. Ibu tega meninggalkanku bertahun-tahun tanpa kabar. Ibu membuang darah daging Ibu sendiri. Tak ada lagikah artinya aku buat Ibu? Kenapa aku harus dilahirkan jika aku akhirnya Ibu tinggalkan? Ibu tak pernah menyayangiku."
"Tidak Nak, itu tidak benar. Ibu terpaksa pergi dari kehidupanmu dan ayahmu. Bagaimana mungkin ibu melupakanmu? Ibu selalu mengingatmu. Tapi, ibu tak bisa menemuimu. Betapa ingin ibu membawamu pergi Nak, tapi waktu itu ibu tak bisa berbuat apa-apa."
"Aku tak percaya. Ibu pergi meninggalkanku demi uang, kan? Ibu tak tahan hidup miskin bersamaku dan ayah."
"Sama sekali tidak Dafa, justru ibu pergi agar kalian bisa hidup lebih baik daripada bersama ibu."
"Arrrgh, kenapa aku harus mengalami nasib seperti ini? Kenapa aku tak bisa benar-benar membencimu, Bu. Aku sudah berusaha keras agar melupakan Ibu, tapi sama sekali tak bisa. Bahkan, sudah lama waktu berlalu."
Sosok yang mengaku bernama Dafa itu berbalik kembali menjauh dari Astri.
"Dafa, tunggu Nak, maafkan ibu. Ibu tak bermaksud meninggalkanmu begitu saja. Ibu merindukanmu, Sayang. Jangan tinggalkan ibu."
Dafa semakin menjauh dari jangkauan Astri. Tak ia pedulikan tangisan wanita yang diakuinya sebagai ibu itu.
"Huhuhuhu. Kenapa kamu pergi, Daf? Ibu tak bermaksud mengabaikanmu. Ibu menyayangimu. Ibu tak sanggup jika kamu membenci ibu. Biarlah seluruh dunia membenciku asalkan bukan kamu, Nak."
Langkah Dafa tak berhenti walaupun Astri berteriak-teriak memanggil namanya. Padang rumput yang luas di tepi danau itu menjadi saksi bagaimana perasaan Astri yang bagai tersayat sembilu. Sekian lamanya Astri ingin bertemu dengan Dafa, kenapa sekarang anak itu malah menjauh. Bayangan tubuh Dafa semakin menjauh hingga akhirnya tertelan rimbunan pohon.
Astri masih mengejar dengan sisa tenaganya hingga tersungkur. Tangisan tak jua berhenti dari bibirnya.
Seorang lelaki paruh baya menatapnya sendu dan membantunya berdiri.
"As," panggilnya.
"Mas," Astri mendongak melihat wajah lelaki itu.
"Dia pergi Mas, Dafa membenciku. Dia tak mau lagi bersamaku. Anakku membenciku, Mas. Dia tak mau mendengar semua alasanku meninggalkannya dulu. Huhuhu."
"Sabarlah As, suatu saat nanti kalian akan bersama lagi. Kamu harus yakin sama kata-kata aku. Satu yang aku minta tolong tetap sayangi dan jaga Nadia walaupun kamu bersatu kembali dengan keluarga kamu nanti."
Astri mengangguk dalam tangisnya.
"Dafaaa, kembalilah Nak, maafkan ibu ..."
"Mi, Mami, bangun. Mi ... mi, Mami kenapa?"
Nadia mengguncang tangan Astri agak kencang untuk membangunkan sang ibu. Nadia terbangun tengah malam saat Astri berteriak sambil menangis. Nadia memanggil-manggil Astri namun sang mami tak bangun juga. Tangan Astri terulur seolah hendak menggapai sesuatu.
"Mi, Mami mimpi buruk, ya?" tanya Nadia begitu Astri membuka matanya.
"Haa...us, minum."
Tangan gadis itu sigap mengambil air putih di nakas ketika Astri mengatakan ingin minum. Nadia bahkan membantu Astri untuk memegangi gelas tersebut.
"Udah cukup, Sayang. Terima kasih."
Nadia meletakkan kembali gelas air putih yang isinya tinggal setengah.
"Sama-sama, Mi."
"Kamu pasti kebangun, ya. Maafin mami ya, udah ganggu istirahat kamu."
"Iya, Mami abisnya teriak-teriak. Aku kan jadi takut, Mi. Emang Mami mimpi apa sih, sampe teriak-teriak gitu? Kayak manggil seseorang."
"Mami juga lupa Nad, emang mami teriak apa?" bohong Astri. Wanita itu belum mau menceritakan apa yang selama ini dia rahasiakan.
Gadis cantik itu meletakkan telunjuknya di dagu mengingat-ingat apa yang diucapkan Astri barusan. Bola matanya memutar ke atas dengan begitu cantiknya.
"Hehe, aku lupa, Mi. Abisnya aku panik banget. Nggak biasanya Mami mimpi buruk selama ini."
Astri tersenyum menenangkan. Tangannya menggenggam erat tangan sang putri.
"Udah, nggak usah dipikirin. Mami juga udah tenang sekarang. Apalagi ditemenin putri cantiknya mami."
"Emmm Mi, Mami jangan kecapekan lagi, ya. Aku nggak mau Mami sakit lagi. Kalau soal biaya kuliah, nanti aku nyari kerjaan deh biar bisa bantuin Mami. Biar Mami istirahat."
"Sayang, kamu konsentrasi kuliah aja. Jangan pikirin soal itu. Mami nggak mau kuliah kamu keteteran. Mami masih sanggup kok biayain kamu kuliah. Mungkin karena mami jarang gerak aja makanya mami sampe ngedrop. Sekarang 'kan semua sudah ada yang handle, jadi mami lumayan santai kerjanya."
Nadia sontak memeluk Astri. "Aku sayang banget sama Mami. Aku nggak mau jauh-jauh dari Mami. Aku takut kehilangan Mami. Mi, Mami janji jangan kayak gini lagi, ya."
"Iya, Sayang, mami tahu. Mami juga sayang banget sama kamu. Sekarang, istirahat lagi ya, masih jam dua pagi. Mami takut kamu telat ke kampus."
"Miii, libur sehari aja ya, Mi. Aku mau pastiin mami boleh pulang apa nggak hari ini."
"Ya udah, nanti kalo kata dokter mami boleh pulang pagi-pagi, kamu boleh bolos. Tapi, kalo pulangnya sore, kamu harus tetep kuliah. Nanti sepulang dari kampus kamu boleh jemput mami. Oke?"
Nadia mengangguk semangat dan kembali menuju sofa untuk melanjutkan tidurnya. Sementara Astri masih melamun memikirkan mimpi yang tadi menghampirinya.
Bagaimana bisa setelah sekian lama papa Nadia mendatanginya dalam mimpi. Bahkan bersamaan dengan datangnya Dafa dalam mimpinya. Apa arti dari semua ini? Apakah Dafa saat ini ada di dekatnya? Seandainya saja aku bisa menemuinya, aku akan minta maaf atas semua yang telah kulakukan dulu. Sayang sekali, aku tak bisa mendekatinya karena terhalang oleh janjiku sendiri pada ibu Halimah.
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny
Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se
Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke
"Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b