Share

Bab 5

Sesosok tegap dengan bahu kekar itu berdiri membelakangi Astri. Suasana yang tenang dan damai dirasakannya walau tak mengerti ada dimana dia sekarang. Seingatnya tadi dia sedang ada di ruang rawat klinik. Bagaimana tiba-tiba dia ada di sini dan siapa pemuda di depannya itu. Sedang Astri bertanya-tanya dalam hati, pemuda itu berkata sesuatu yang membuatnya tersentak.

"Aku benci sama Ibu. Ibu tega mengabaikan aku selama bertahun-tahun. Ibu tega meninggalkan aku sendiri. Ibu nggak sayang sama aku."

Deg. Siapa sebenarnya lelaki muda itu? Kenapa dia memanggilku ibu dan berkata kalau dia membenciku? Apa jangan-jangan dia ...

Lelaki itu berbalik tapi tak bisa Astri lihat bagaimana rupanya karena posisinya membelakangi matahari.

"Siapa kamu, Nak? Apa aku mengenalmu?" tanya Astri berusaha meraih pemuda itu namun seolah tak ingin disentuh, pemuda itu memiringkan sisi kiri tubuhnya yang hampir tersentuh Astri.

"Tanyakan pada hati Ibu sendiri, masihkah Ibu mengenalku? Ataukah posisiku di hatimu sudah tergantikan? Oh, mungkin saja aku sudah tak berarti lagi buat Ibu makanya Ibu tak lagi mengenalku."

Apakah benar apa yang kuduga kalau dia anakku, batin Astri.

"Ap-apa kamu Dafa? Dafa-ku?"

Pemuda itu tampak menaikkan sebelah bibirnya seolah mengejek. Sebuah tawa kecil keluar dari mulutnya.

"Rupanya masih ada sedikit ingatan tentangku. Tapi, semua itu takkan bisa mengubah apapun. Aku akan tetap membencimu. Ibu tega meninggalkanku bertahun-tahun tanpa kabar. Ibu membuang darah daging Ibu sendiri. Tak ada lagikah artinya aku buat Ibu? Kenapa aku harus dilahirkan jika aku akhirnya Ibu tinggalkan? Ibu tak pernah menyayangiku."

"Tidak Nak, itu tidak benar. Ibu terpaksa pergi dari kehidupanmu dan ayahmu. Bagaimana mungkin ibu melupakanmu? Ibu selalu mengingatmu. Tapi, ibu tak bisa menemuimu. Betapa ingin ibu membawamu pergi Nak, tapi waktu itu ibu tak bisa berbuat apa-apa."

"Aku tak percaya. Ibu pergi meninggalkanku demi uang, kan? Ibu tak tahan hidup miskin bersamaku dan ayah."

"Sama sekali tidak Dafa, justru ibu pergi agar kalian bisa hidup lebih baik daripada bersama ibu."

"Arrrgh, kenapa aku harus mengalami nasib seperti ini? Kenapa aku tak bisa benar-benar membencimu, Bu. Aku sudah berusaha keras agar melupakan Ibu, tapi sama sekali tak bisa. Bahkan, sudah lama waktu berlalu."

Sosok yang mengaku bernama Dafa itu berbalik kembali menjauh dari Astri.

"Dafa, tunggu Nak, maafkan ibu. Ibu tak bermaksud meninggalkanmu begitu saja. Ibu merindukanmu, Sayang. Jangan tinggalkan ibu."

Dafa semakin menjauh dari jangkauan Astri. Tak ia pedulikan tangisan wanita yang diakuinya sebagai ibu itu.

"Huhuhuhu. Kenapa kamu pergi, Daf? Ibu tak bermaksud mengabaikanmu. Ibu menyayangimu. Ibu tak sanggup jika kamu membenci ibu. Biarlah seluruh dunia membenciku asalkan bukan kamu, Nak."

Langkah Dafa tak berhenti walaupun Astri berteriak-teriak memanggil namanya. Padang rumput yang luas di tepi danau itu menjadi saksi bagaimana perasaan Astri yang bagai tersayat sembilu. Sekian lamanya Astri ingin bertemu dengan Dafa, kenapa sekarang anak itu malah menjauh. Bayangan tubuh Dafa semakin menjauh hingga akhirnya tertelan rimbunan pohon.

Astri masih mengejar dengan sisa tenaganya hingga tersungkur. Tangisan tak jua berhenti dari bibirnya.

Seorang lelaki paruh baya menatapnya sendu dan membantunya berdiri.

"As," panggilnya.

"Mas," Astri mendongak melihat wajah lelaki itu.

"Dia pergi Mas, Dafa membenciku. Dia tak mau lagi bersamaku. Anakku membenciku, Mas. Dia tak mau mendengar semua alasanku meninggalkannya dulu. Huhuhu."

"Sabarlah As, suatu saat nanti kalian akan bersama lagi. Kamu harus yakin sama kata-kata aku. Satu yang aku minta tolong tetap sayangi dan jaga Nadia walaupun kamu bersatu kembali dengan keluarga kamu nanti."

Astri mengangguk dalam tangisnya.

"Dafaaa, kembalilah Nak, maafkan ibu ..."

"Mi, Mami, bangun. Mi ... mi, Mami kenapa?"

Nadia mengguncang tangan Astri agak kencang untuk membangunkan sang ibu. Nadia terbangun tengah malam saat Astri berteriak sambil menangis. Nadia memanggil-manggil Astri namun sang mami tak bangun juga. Tangan Astri terulur seolah hendak menggapai sesuatu.

"Mi, Mami mimpi buruk, ya?" tanya Nadia begitu Astri membuka matanya.

"Haa...us, minum."

Tangan gadis itu sigap mengambil air putih di nakas ketika Astri mengatakan ingin minum. Nadia bahkan membantu Astri untuk memegangi gelas tersebut.

"Udah cukup, Sayang. Terima kasih."

Nadia meletakkan kembali gelas air putih yang isinya tinggal setengah.

"Sama-sama, Mi."

"Kamu pasti kebangun, ya. Maafin mami ya, udah ganggu istirahat kamu."

"Iya, Mami abisnya teriak-teriak. Aku kan jadi takut, Mi. Emang Mami mimpi apa sih, sampe teriak-teriak gitu? Kayak manggil seseorang."

"Mami juga lupa Nad, emang mami teriak apa?" bohong Astri. Wanita itu belum mau menceritakan apa yang selama ini dia rahasiakan.

Gadis cantik itu meletakkan telunjuknya di dagu mengingat-ingat apa yang diucapkan Astri barusan. Bola matanya memutar ke atas dengan begitu cantiknya.

"Hehe, aku lupa, Mi. Abisnya aku panik banget. Nggak biasanya Mami mimpi buruk selama ini."

Astri tersenyum menenangkan. Tangannya menggenggam erat tangan sang putri.

"Udah, nggak usah dipikirin. Mami juga udah tenang sekarang. Apalagi ditemenin putri cantiknya mami."

"Emmm Mi, Mami jangan kecapekan lagi, ya. Aku nggak mau Mami sakit lagi. Kalau soal biaya kuliah, nanti aku nyari kerjaan deh biar bisa bantuin Mami. Biar Mami istirahat."

"Sayang, kamu konsentrasi kuliah aja. Jangan pikirin soal itu. Mami nggak mau kuliah kamu keteteran. Mami masih sanggup kok biayain kamu kuliah. Mungkin karena mami jarang gerak aja makanya mami sampe ngedrop. Sekarang 'kan semua sudah ada yang handle, jadi mami lumayan santai kerjanya."

Nadia sontak memeluk Astri. "Aku sayang banget sama Mami. Aku nggak mau jauh-jauh dari Mami. Aku takut kehilangan Mami. Mi, Mami janji jangan kayak gini lagi, ya."

"Iya, Sayang, mami tahu. Mami juga sayang banget sama kamu. Sekarang, istirahat lagi ya, masih jam dua pagi. Mami takut kamu telat ke kampus."

"Miii, libur sehari aja ya, Mi. Aku mau pastiin mami boleh pulang apa nggak hari ini."

"Ya udah, nanti kalo kata dokter mami boleh pulang pagi-pagi, kamu boleh bolos. Tapi, kalo pulangnya sore, kamu harus tetep kuliah. Nanti sepulang dari kampus kamu boleh jemput mami. Oke?"

Nadia mengangguk semangat dan kembali menuju sofa untuk melanjutkan tidurnya. Sementara Astri masih melamun memikirkan mimpi yang tadi menghampirinya.

Bagaimana bisa setelah sekian lama papa Nadia mendatanginya dalam mimpi. Bahkan bersamaan dengan datangnya Dafa dalam mimpinya. Apa arti dari semua ini? Apakah Dafa saat ini ada di dekatnya? Seandainya saja aku bisa menemuinya, aku akan minta maaf atas semua yang telah kulakukan dulu. Sayang sekali, aku tak bisa mendekatinya karena terhalang oleh janjiku sendiri pada ibu Halimah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status