Share

Gara-gara Selembar 50 Ribu
Gara-gara Selembar 50 Ribu
Penulis: Dhisa Efendi

Bab 1

Penulis: Dhisa Efendi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-20 05:24:00

"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami.

"Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Iman melotot.

Nisa menghela nafas. Lima puluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu.

Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.

Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka.

Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu..

Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana.

Kepalanya langsung pusing.

"Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa.

"Mamah pusing! Mamah harus belanja apa besok!" teriak Nisa tidak tahan lagi. Iman lagi lagi melotot.

"Papah udah capek banget, Mah! Mamah nggak ada terimanya pisan!" Nisa tidak mau kalah. Ia membanting uang itu ke lantai.

"Nih! Kalo Papah bisa ngatur duit segitu buat makan Kita besok! Bekal untuk si bontot jangan lupa!" gegas Nisa masuk ke dalam kamar. Membenamkan wajahnya dalam bantal. Meredam tangisnya yang meledak tidak tertahan lagi.

Imam mengambil uang itu dengan gerakan kasar dan menyusul istrinya ke kamar. Alih alih membujuknya, tangannya menuding istrinya yang sedang menangis.

"Mah, Kamu nggak ngehargain Papah sama sekali, ya!" amarahnya meluap. Ia sama sekali tidak merasa iba melihat bahu istrinya yang berguncang naik turun.

Nisa berbalik. Wajahnya sudah basah dengan airmata.

"Mana janjimu, Pah? Janji saat Kamu nikahin Aku! Kamu akan mencukupi semua kebutuhanku. Mana? Untuk ngasih makan aja Kamu nggak sanggup!"

Iman terkesiap. Ia tidak mampu menjawab. Sebelumnya Nisa diam saja, berapapun yang Iman berikan. Entah hari ini apa yang merasuki istrinya ini, sampai ia menjerit dan menangis.

Nisa merasa lelah. Lahir dan batinnya. Ia kembali menangkupnya wajahnya di dalam bantal. Sedu sedannya masih terdengar.

Doni, si bontot, menyerobot masuk.

"Mah, minta dua puluh ribu dong, buat futsal."

Nisa menyeka airmatanya dengan cepat. Ia melihat lembaran biru yang masih berada di tangan suaminya.

Nisa menyambarnya dengan cepat dan menyerahkannya ke tangan Doni.

"Ini. Sekalian buat bekal Kamu besok, ya." ujarnya lembut.

"Makasih, Mah." Doni mencium pipi sang mama dan beranjak keluar.

"Duit mulu Kamu, Don!" teriak Iman.

"Pernah ngerasain jadi bocah, nggak? Emang langsung jadi tua, gitu?!" ketus Nisa.

Iman pernah bercerita saat ia kecil dulu, setiap ada tukang mainan keliling yang lewat dan ia ingin membelinya, ibunya tidak pernah mau memberinya uang.

Setelah ia menangis dan tukang mainan itu sudah pergi jauh, baru ibunya memintanya untuk memanggil tukang mainan itu.

Katanya, itu pengalaman masa kecil yang menyedihkan.

Iman diam, tapi bukan berarti ia ingin mengalah pada istrinya. Ia terlalu gengsi bila harus menuruti kemauan Nisa.

Ia tidak mau di sebut sebagai suami takut istri. Kakak kakaknya sering mengatakan itu.

"Kamu nggak butuh duit tadi ya, Mah. Okelah kalau begitu!" sentak Iman seraya keluar dari kamar.

Ia sama sekali tak peduli bagaimana besok mereka bisa makan.

Air mata Nisa kembali mengalir turun.

***********

"Ini buat Mamah belanja." Nino mengulurkan lembaran biru ke tangan Nisa.

"Kamu ada, Nang?" tanya Nisa.

Tak tega rasanya menerima uang dari tangan si sulungnya ini. Dia juga harus menafkahi istri dan anaknya. Nino mengangguk.

"Alhamdulillaah, makasih ya, Nang." ucap Nisa terharu. Nino pasti mendengar pertengkaran mereka semalam.

"Nino berangkat ya, Mah." Nino mencium punggung tangan Nisa.

"Hati hati ya, Nang." Nino mengangguk dan berjalan menuju motor bututnya. Motor yang dibelikan Nisa saat ia baru masuk kuliah dulu.

"Kapan Mamah bisa beliin motor baru buat Kamu, Nang." bisik Nisa sedih.

Nisa pun bergegas pergi ke tukang sayur untuk belanja. Mumpung suaminya lagi nyebur ke sungai dengan peralatan untuk menyetrum ikan. Jadi mereka tidak perlu berbasa basi lagi. Nisa malas menyapa suaminya.

Mereka saling mendiamkan.

Selalu begitu. Setiap pertengkaran yang terjadi bukan hanya menyisakan luka, tapi juga menumbuhkan benih-benih kebencian yang semakin lama semakin subur di dada Nisa.

"Aku benci Kamu, Pah!" itu selalu jeritan hatinya.

"Bu, jadi nggak udangnya? Mau diambil ibu ini, nih." tegur tukang sayur langganannya itu melihat Nisa hanya memegang bungkusan udang dengan tatapan kosong.

Nisa tersentak.

"Jadi, Bang! Sop-sopannya masih ada, nggak?"

"Tinggal sebungkus, Bu."

"Emang perlunya sebungkus aja." Nisa masih mempunyai terigu di rumah. Rencananya ia ingin membuat bakwan sayur dengan campuran udang. Si bontot suka itu.

Uang lima puluh ribu itu habis sekali jalan. Nisa merasa lebih tenang. Setidaknya ada lauk untuk makan hari ini.

Si bungsu sudah berangkat sekolah tanpa sarapan. Sudah terbiasa, karena tidak ada yang bisa di makan. Doni sudah bosan kalau harus sarapan telor terus.

Sampai di rumah, ia melihat suaminya sudah naik dari sungai.

Tumben, pikir Nisa. Bahkan Iman sudah berganti pakaian.

"Dari mana, Mah?" tanyanya melihat istrinya membawa bungkusan belanjaan.

Nisa tidak ingin menjawab. Menurutnya itu pertanyaan yang tidak perlu di jawab.

Iman menghela nafas. Ia tahu istrinya masih merasa kesal. Tapi ia juga kesal karena Nisa kali ini tidak mau menerima pemberiannya. Biasanya ia akan diam saja. Bahkan saat ia meminta uang dan Iman tidak memberikannya, ia juga tetap diam.

Iman tidak tahu kalau Nisa menangis di kamarnya, menangis di atas sajadahnya karena kesewenang wenangan suaminya dalam memberi nafkah. Yang Iman tahu, Nisa itu istri yang penurut, yang pintar menyisihkan uang karena bila ia tidak memberipun, Nisa masih bisa belanja. Seperti sekarang ini.

"Kopi dong, Mah." pintanya tanpa perasaan bersalah ketika Nisa keluar dari kamar.

"Kopinya habis." jawab Nisa datar. Rasanya ia ingin menjerit setinggi langit.

"Susah amat sih, mau ngopi juga!" sentak Iman kesal.

"Beli rokok mah nggak susah, ya?" sindir Nisa sebal. 

Dua bungkus rokok sehari, itulah Iman. Lebih dari lembaran lima puluh ribu. Tapi memberi lembaran yang sama untuk makan seharian, kadang termasuk bekal Doni juga.

Apa tidak zolim namanya? Kalau tidak ada Nino dan Wiwi, sang menantu, mereka seringkali tidak bisa makan.

Kalau hari ini Iman memberi uang yang lebih menurutnya, ia akan berhari-hari tidak memberi uang belanja lagi.

'Mungkin menurutnya uang itu dapat berkembang biak. Atau hanya buat pajangan.' gerutu hati Nisa.

Iman juga kesal. Dari kemarin wajah manis Nisa berubah menjadi masam.

Ia berjalan melewati Nisa seraya mengeluarkan rokok dari saku celananya. Tanpa ia sadari, lembaran berwarna merah ikut keluar dan terjatuh.

Nisa yang melihatnya dengan cepat mengambil dan memasukkannya ke dalam kantong dasternya. Iman pun menghilang di balik pintu.

"Dasar egois! Istri di kasih yang biru padahal punya yang merah!"

**********

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 130

    "Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 129

    "Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 128

    "Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 127

    Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 126

    "Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 125

    Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status