"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami.
"Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Iman melotot.Nisa menghela nafas. Lima puluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu.Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka.Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu..Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana.Kepalanya langsung pusing."Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa."Mamah pusing! Mamah harus belanja apa besok!" teriak Nisa tidak tahan lagi. Iman lagi lagi melotot."Papah udah capek banget, Mah! Mamah nggak ada terimanya pisan!" Nisa tidak mau kalah. Ia membanting uang itu ke lantai."Nih! Kalo Papah bisa ngatur duit segitu buat makan Kita besok! Bekal untuk si bontot jangan lupa!" gegas Nisa masuk ke dalam kamar. Membenamkan wajahnya dalam bantal. Meredam tangisnya yang meledak tidak tertahan lagi.Imam mengambil uang itu dengan gerakan kasar dan menyusul istrinya ke kamar. Alih alih membujuknya, tangannya menuding istrinya yang sedang menangis."Mah, Kamu nggak ngehargain Papah sama sekali, ya!" amarahnya meluap. Ia sama sekali tidak merasa iba melihat bahu istrinya yang berguncang naik turun.Nisa berbalik. Wajahnya sudah basah dengan airmata."Mana janjimu, Pah? Janji saat Kamu nikahin Aku! Kamu akan mencukupi semua kebutuhanku. Mana? Untuk ngasih makan aja Kamu nggak sanggup!"Iman terkesiap. Ia tidak mampu menjawab. Sebelumnya Nisa diam saja, berapapun yang Iman berikan. Entah hari ini apa yang merasuki istrinya ini, sampai ia menjerit dan menangis.
Nisa merasa lelah. Lahir dan batinnya. Ia kembali menangkupnya wajahnya di dalam bantal. Sedu sedannya masih terdengar.Doni, si bontot, menyerobot masuk."Mah, minta dua puluh ribu dong, buat futsal."Nisa menyeka airmatanya dengan cepat. Ia melihat lembaran biru yang masih berada di tangan suaminya.Nisa menyambarnya dengan cepat dan menyerahkannya ke tangan Doni."Ini. Sekalian buat bekal Kamu besok, ya." ujarnya lembut."Makasih, Mah." Doni mencium pipi sang mama dan beranjak keluar."Duit mulu Kamu, Don!" teriak Iman."Pernah ngerasain jadi bocah, nggak? Emang langsung jadi tua, gitu?!" ketus Nisa.Iman pernah bercerita saat ia kecil dulu, setiap ada tukang mainan keliling yang lewat dan ia ingin membelinya, ibunya tidak pernah mau memberinya uang.
Setelah ia menangis dan tukang mainan itu sudah pergi jauh, baru ibunya memintanya untuk memanggil tukang mainan itu.Katanya, itu pengalaman masa kecil yang menyedihkan.Iman diam, tapi bukan berarti ia ingin mengalah pada istrinya. Ia terlalu gengsi bila harus menuruti kemauan Nisa.Ia tidak mau di sebut sebagai suami takut istri. Kakak kakaknya sering mengatakan itu.
"Kamu nggak butuh duit tadi ya, Mah. Okelah kalau begitu!" sentak Iman seraya keluar dari kamar.Ia sama sekali tak peduli bagaimana besok mereka bisa makan.
Air mata Nisa kembali mengalir turun.***********"Ini buat Mamah belanja." Nino mengulurkan lembaran biru ke tangan Nisa."Kamu ada, Nang?" tanya Nisa.Tak tega rasanya menerima uang dari tangan si sulungnya ini. Dia juga harus menafkahi istri dan anaknya. Nino mengangguk.
"Alhamdulillaah, makasih ya, Nang." ucap Nisa terharu. Nino pasti mendengar pertengkaran mereka semalam."Nino berangkat ya, Mah." Nino mencium punggung tangan Nisa."Hati hati ya, Nang." Nino mengangguk dan berjalan menuju motor bututnya. Motor yang dibelikan Nisa saat ia baru masuk kuliah dulu."Kapan Mamah bisa beliin motor baru buat Kamu, Nang." bisik Nisa sedih.Nisa pun bergegas pergi ke tukang sayur untuk belanja. Mumpung suaminya lagi nyebur ke sungai dengan peralatan untuk menyetrum ikan. Jadi mereka tidak perlu berbasa basi lagi. Nisa malas menyapa suaminya.Mereka saling mendiamkan.
Selalu begitu. Setiap pertengkaran yang terjadi bukan hanya menyisakan luka, tapi juga menumbuhkan benih-benih kebencian yang semakin lama semakin subur di dada Nisa."Aku benci Kamu, Pah!" itu selalu jeritan hatinya."Bu, jadi nggak udangnya? Mau diambil ibu ini, nih." tegur tukang sayur langganannya itu melihat Nisa hanya memegang bungkusan udang dengan tatapan kosong.Nisa tersentak."Jadi, Bang! Sop-sopannya masih ada, nggak?""Tinggal sebungkus, Bu.""Emang perlunya sebungkus aja." Nisa masih mempunyai terigu di rumah. Rencananya ia ingin membuat bakwan sayur dengan campuran udang. Si bontot suka itu.Uang lima puluh ribu itu habis sekali jalan. Nisa merasa lebih tenang. Setidaknya ada lauk untuk makan hari ini.Si bungsu sudah berangkat sekolah tanpa sarapan. Sudah terbiasa, karena tidak ada yang bisa di makan. Doni sudah bosan kalau harus sarapan telor terus.Sampai di rumah, ia melihat suaminya sudah naik dari sungai.Tumben, pikir Nisa. Bahkan Iman sudah berganti pakaian.
"Dari mana, Mah?" tanyanya melihat istrinya membawa bungkusan belanjaan.Nisa tidak ingin menjawab. Menurutnya itu pertanyaan yang tidak perlu di jawab.
Iman menghela nafas. Ia tahu istrinya masih merasa kesal. Tapi ia juga kesal karena Nisa kali ini tidak mau menerima pemberiannya. Biasanya ia akan diam saja. Bahkan saat ia meminta uang dan Iman tidak memberikannya, ia juga tetap diam.Iman tidak tahu kalau Nisa menangis di kamarnya, menangis di atas sajadahnya karena kesewenang wenangan suaminya dalam memberi nafkah. Yang Iman tahu, Nisa itu istri yang penurut, yang pintar menyisihkan uang karena bila ia tidak memberipun, Nisa masih bisa belanja. Seperti sekarang ini."Kopi dong, Mah." pintanya tanpa perasaan bersalah ketika Nisa keluar dari kamar."Kopinya habis." jawab Nisa datar. Rasanya ia ingin menjerit setinggi langit."Susah amat sih, mau ngopi juga!" sentak Iman kesal."Beli rokok mah nggak susah, ya?" sindir Nisa sebal.Dua bungkus rokok sehari, itulah Iman. Lebih dari lembaran lima puluh ribu. Tapi memberi lembaran yang sama untuk makan seharian, kadang termasuk bekal Doni juga.
Apa tidak zolim namanya? Kalau tidak ada Nino dan Wiwi, sang menantu, mereka seringkali tidak bisa makan.Kalau hari ini Iman memberi uang yang lebih menurutnya, ia akan berhari-hari tidak memberi uang belanja lagi.'Mungkin menurutnya uang itu dapat berkembang biak. Atau hanya buat pajangan.' gerutu hati Nisa.Iman juga kesal. Dari kemarin wajah manis Nisa berubah menjadi masam.Ia berjalan melewati Nisa seraya mengeluarkan rokok dari saku celananya. Tanpa ia sadari, lembaran berwarna merah ikut keluar dan terjatuh.Nisa yang melihatnya dengan cepat mengambil dan memasukkannya ke dalam kantong dasternya. Iman pun menghilang di balik pintu.
"Dasar egois! Istri di kasih yang biru padahal punya yang merah!"**********Sebelum menikah dengan Iman, sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati."Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah. "Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak. Tak terdengar jawaban dari Nisa. "Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat. Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini. Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pega
Kembali ke hari sekarang.Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan. "Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada. Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya. "Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya. "Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan. Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah. "Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!""Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!""Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis. "Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar
"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi. "Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah. "Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong. Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar. "Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini. Apa Iman memilki wanita idaman lain? "Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mement
"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya
Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah. Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan. Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman. "Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang. Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama. Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar. "Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg! Da
Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman. Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju? BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua? Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai. "Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan. Hasby hanya diam mendengarkan. "Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini. Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar. "Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah. Akhirnya... "Man, Abang lagi ada ke
Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb