Share

Gara-gara Selembar 50 Ribu
Gara-gara Selembar 50 Ribu
Author: Dhisa Efendi

Bab 1

"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami.

"Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Iman melotot.

Nisa menghela nafas. Lima puluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu.

Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.

Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka.

Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu..

Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana.

Kepalanya langsung pusing.

"Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa.

"Mamah pusing! Mamah harus belanja apa besok!" teriak Nisa tidak tahan lagi. Iman lagi lagi melotot.

"Papah udah capek banget, Mah! Mamah nggak ada terimanya pisan!" Nisa tidak mau kalah. Ia membanting uang itu ke lantai.

"Nih! Kalo Papah bisa ngatur duit segitu buat makan Kita besok! Bekal untuk si bontot jangan lupa!" gegas Nisa masuk ke dalam kamar. Membenamkan wajahnya dalam bantal. Meredam tangisnya yang meledak tidak tertahan lagi.

Imam mengambil uang itu dengan gerakan kasar dan menyusul istrinya ke kamar. Alih alih membujuknya, tangannya menuding istrinya yang sedang menangis.

"Mah, Kamu nggak ngehargain Papah sama sekali, ya!" amarahnya meluap. Ia sama sekali tidak merasa iba melihat bahu istrinya yang berguncang naik turun.

Nisa berbalik. Wajahnya sudah basah dengan airmata.

"Mana janjimu, Pah? Janji saat Kamu nikahin Aku! Kamu akan mencukupi semua kebutuhanku. Mana? Untuk ngasih makan aja Kamu nggak sanggup!"

Iman terkesiap. Ia tidak mampu menjawab. Sebelumnya Nisa diam saja, berapapun yang Iman berikan. Entah hari ini apa yang merasuki istrinya ini, sampai ia menjerit dan menangis.

Nisa merasa lelah. Lahir dan batinnya. Ia kembali menangkupnya wajahnya di dalam bantal. Sedu sedannya masih terdengar.

Doni, si bontot, menyerobot masuk.

"Mah, minta dua puluh ribu dong, buat futsal."

Nisa menyeka airmatanya dengan cepat. Ia melihat lembaran biru yang masih berada di tangan suaminya.

Nisa menyambarnya dengan cepat dan menyerahkannya ke tangan Doni.

"Ini. Sekalian buat bekal Kamu besok, ya." ujarnya lembut.

"Makasih, Mah." Doni mencium pipi sang mama dan beranjak keluar.

"Duit mulu Kamu, Don!" teriak Iman.

"Pernah ngerasain jadi bocah, nggak? Emang langsung jadi tua, gitu?!" ketus Nisa.

Iman pernah bercerita saat ia kecil dulu, setiap ada tukang mainan keliling yang lewat dan ia ingin membelinya, ibunya tidak pernah mau memberinya uang.

Setelah ia menangis dan tukang mainan itu sudah pergi jauh, baru ibunya memintanya untuk memanggil tukang mainan itu.

Katanya, itu pengalaman masa kecil yang menyedihkan.

Iman diam, tapi bukan berarti ia ingin mengalah pada istrinya. Ia terlalu gengsi bila harus menuruti kemauan Nisa.

Ia tidak mau di sebut sebagai suami takut istri. Kakak kakaknya sering mengatakan itu.

"Kamu nggak butuh duit tadi ya, Mah. Okelah kalau begitu!" sentak Iman seraya keluar dari kamar.

Ia sama sekali tak peduli bagaimana besok mereka bisa makan.

Air mata Nisa kembali mengalir turun.

***********

"Ini buat Mamah belanja." Nino mengulurkan lembaran biru ke tangan Nisa.

"Kamu ada, Nang?" tanya Nisa.

Tak tega rasanya menerima uang dari tangan si sulungnya ini. Dia juga harus menafkahi istri dan anaknya. Nino mengangguk.

"Alhamdulillaah, makasih ya, Nang." ucap Nisa terharu. Nino pasti mendengar pertengkaran mereka semalam.

"Nino berangkat ya, Mah." Nino mencium punggung tangan Nisa.

"Hati hati ya, Nang." Nino mengangguk dan berjalan menuju motor bututnya. Motor yang dibelikan Nisa saat ia baru masuk kuliah dulu.

"Kapan Mamah bisa beliin motor baru buat Kamu, Nang." bisik Nisa sedih.

Nisa pun bergegas pergi ke tukang sayur untuk belanja. Mumpung suaminya lagi nyebur ke sungai dengan peralatan untuk menyetrum ikan. Jadi mereka tidak perlu berbasa basi lagi. Nisa malas menyapa suaminya.

Mereka saling mendiamkan.

Selalu begitu. Setiap pertengkaran yang terjadi bukan hanya menyisakan luka, tapi juga menumbuhkan benih-benih kebencian yang semakin lama semakin subur di dada Nisa.

"Aku benci Kamu, Pah!" itu selalu jeritan hatinya.

"Bu, jadi nggak udangnya? Mau diambil ibu ini, nih." tegur tukang sayur langganannya itu melihat Nisa hanya memegang bungkusan udang dengan tatapan kosong.

Nisa tersentak.

"Jadi, Bang! Sop-sopannya masih ada, nggak?"

"Tinggal sebungkus, Bu."

"Emang perlunya sebungkus aja." Nisa masih mempunyai terigu di rumah. Rencananya ia ingin membuat bakwan sayur dengan campuran udang. Si bontot suka itu.

Uang lima puluh ribu itu habis sekali jalan. Nisa merasa lebih tenang. Setidaknya ada lauk untuk makan hari ini.

Si bungsu sudah berangkat sekolah tanpa sarapan. Sudah terbiasa, karena tidak ada yang bisa di makan. Doni sudah bosan kalau harus sarapan telor terus.

Sampai di rumah, ia melihat suaminya sudah naik dari sungai.

Tumben, pikir Nisa. Bahkan Iman sudah berganti pakaian.

"Dari mana, Mah?" tanyanya melihat istrinya membawa bungkusan belanjaan.

Nisa tidak ingin menjawab. Menurutnya itu pertanyaan yang tidak perlu di jawab.

Iman menghela nafas. Ia tahu istrinya masih merasa kesal. Tapi ia juga kesal karena Nisa kali ini tidak mau menerima pemberiannya. Biasanya ia akan diam saja. Bahkan saat ia meminta uang dan Iman tidak memberikannya, ia juga tetap diam.

Iman tidak tahu kalau Nisa menangis di kamarnya, menangis di atas sajadahnya karena kesewenang wenangan suaminya dalam memberi nafkah. Yang Iman tahu, Nisa itu istri yang penurut, yang pintar menyisihkan uang karena bila ia tidak memberipun, Nisa masih bisa belanja. Seperti sekarang ini.

"Kopi dong, Mah." pintanya tanpa perasaan bersalah ketika Nisa keluar dari kamar.

"Kopinya habis." jawab Nisa datar. Rasanya ia ingin menjerit setinggi langit.

"Susah amat sih, mau ngopi juga!" sentak Iman kesal.

"Beli rokok mah nggak susah, ya?" sindir Nisa sebal. 

Dua bungkus rokok sehari, itulah Iman. Lebih dari lembaran lima puluh ribu. Tapi memberi lembaran yang sama untuk makan seharian, kadang termasuk bekal Doni juga.

Apa tidak zolim namanya? Kalau tidak ada Nino dan Wiwi, sang menantu, mereka seringkali tidak bisa makan.

Kalau hari ini Iman memberi uang yang lebih menurutnya, ia akan berhari-hari tidak memberi uang belanja lagi.

'Mungkin menurutnya uang itu dapat berkembang biak. Atau hanya buat pajangan.' gerutu hati Nisa.

Iman juga kesal. Dari kemarin wajah manis Nisa berubah menjadi masam.

Ia berjalan melewati Nisa seraya mengeluarkan rokok dari saku celananya. Tanpa ia sadari, lembaran berwarna merah ikut keluar dan terjatuh.

Nisa yang melihatnya dengan cepat mengambil dan memasukkannya ke dalam kantong dasternya. Iman pun menghilang di balik pintu.

"Dasar egois! Istri di kasih yang biru padahal punya yang merah!"

**********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status