Sebelum menikah dengan Iman, sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati.
"Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah.
"Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak.Tak terdengar jawaban dari Nisa.
"Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat.Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.
Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini.
Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pegawai rendahan."Nisa sayang, berpikirlah yang benar, Nak." bujuk Mamanya."Nisa sangat mencintainya, Ma!""Dia itu cuma mengincar harta Kita, Annisa!" sang Papa berteriak karena Nisa sangat keras kepala."Iman bukan orang seperti itu, Pa. Ia berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku." Papanya berdecih."Dengan apa, Nisa? Dia itu cuma pegawai rendahan.""Tapi Dia itu pintar, Pa! Hanya belum mendapat kesempatan untuk maju." Nisa bukan hanya tidak mau menyembunyikan hubungan mereka, tapi dia juga memaksa orangtuanya untuk menerima Iman."Dia sangat mencintaiku, Pah! Dia bisa membahagiakan Aku!" Annisa bersikeras.Cinta membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Papanya sangat marah. Ia meminta owner bengkel itu untuk memecat Iman, montir yang membuat Nisa jatuh cinta.
Yang ia inginkan hanyalah perpisahan mereka. Dengan harapan Nisa tidak ingin lagi meneruskan hubungan dengan seorang pengangguran.Tapi Nisa yang yang sudah dibutakan oleh cinta justru menjadi marah dan nekat lari dari rumah untuk menikah dengan pujaan hatinya itu.Sang papa kena serangan stroke dan meninggal tidak lama kemudian.
Annisa shock, tapi cinta membabi butanya tengah membara. Apalagi Iman memperlakukannya bak seorang putri. Ia semakin mabuk kepayang.
Dengan berjalannya waktu, usaha sang papa tidak berjalan dengan semestinya. Orang kepercayaan mereka justru menjadi pengkhianat dan mengambil alih kerajaan bisnis mereka.Nisa yang baru semester 3 jurusan management of bussines, tidak mampu mempertahankan usaha sang papa. Sang Mama banting setir dengan berjualan kue dan masakan, karena hanya itu yang mampu ia kerjakan.Iman memilih bekerja di rumah. Menerima servis mobil di rumah. Nisa tak sepenuhnya salah, Iman memang orang yang pintar.
Pada awalnya semua berjalan sesuai dengan keinginan Nisa. Mempunyai suami yang mencintainya dan sangat bertanggung jawab. Tapi keluarga Iman tidak suka melihat Iman begitu patuh pada Nisa.
Mereka mulai mencekoki pikiran iIman dengan hal hal yang membuat hati Iman semakin menjauhi Nisa. Apalagi setelah keluarga Nisa jatuh miskin.
"Ayok, Man. Anterin Abang, ya?" Hasby, kakak tertua Iman mengajak Iman yang sedang servis mobil tetangganya.Walaupun konsumen mereka hanya orang orang sekitar pendapatan Iman lebih dari cukup untuk kebutuhan rumah tangga mereka.
"Ke mana, Bang?""Biasa."Maksud 'biasa' abangnya itu meminta ia mengantarnya ke tempat judi sabung ayam.
"Nggak deh, Bang." tolak Iman halus.Nisa melarangnya ikut ikutan sabung ayam. Bahkan mendekati untuk menontonnya pun tak boleh.
"Kenapa, sih? Nggak boleh ya, sama si Nisa?" tebak si Abang.Iman mengangguk dalam hati. Di luar ia kelihatan sibuk mengotak atik mesin.
"Kamu gimana, sih? Sama bini kok takut." abangnya mencibir. Selalu begitu."Harusnya Dia yang takut sama Kamu, Man! Dia cinta banget sama Kamu, sampai rela ninggalin keluarganya demi Kamu!" Iman pun terpancing."Siapa yang takut sih, Bang? Saya lagi males aja! Kerjaan ini juga belum kelar!" hatinya mulai panas. Ia, takut istri? Apa iya?"Halah! Alesan aja, Kamu! Udah buruan anterin Abang! Ntar kalau menang, Abang kasih bagian, dah!"Judi itu memang begitu menggoda. Godaan syaiton. Makanya sampai ada lagu dari Rhoma Irama.'Kenapa semua yang asik asik, itu yang di larang.'Akhirnya mereka pun meluncur ke tempat judi sabung ayam dengan motor yang Nisa belikan awal menikah dulu.Iman yang semula hanya ingin mengantar akhirnya justru ikut larut dalam arena judi sabung ayam tersebut."2 juta!""5 juta!""Aku mah 200 ribu aja, Gan!""Aku pegang ayam Bang Sameh, 1 juta!""Aku juga ayam Bang Sameh."Yang bernama Sameh terlihat jumawa. Padahal ia hanya mengandalkan ayamnya untuk mencari nafkah. Memalukan!Meskipun tidak ikutan berjudi karena kantongnya yang kosong, tapi menonton sabung ayam itu sangat menghibur hatinya. Ia sama sekali melupakan larangan istrinya."Ya! Ya! Yaaa..! Hajar teruuss!" mereka bahagia di atas penderitaan ayam ayam aduan yang saling menjotos dengan paruh mereka.****"Nih!" Iman mengulurkan dua lembaran warna merah. Pemberian sang abang karena menang taruhan. Abang memberinya 5 lembar.Nisa langsung mengucap syukur."Alhamdulillah. Maksih ya, Pah." Ia tidak mengetahui kalau uang ini uang hasil taruhan."Papah abis servis apa? Di mana?" tanyanya beruntun.Ia hanya melihat Iman pergi dengan bang Hasby. Mobil tetangga yang di servispun masih ada di depan rumah. Berarti belum selesai diservis.
Iman sedikit gelagapan. Ia yang tidak dapat langsung menjawab, membuat Nisa curiga. Saat ini Nisa sedang mengandung buah cinta mereka yang pertama. Ia langsung curiga melihat kegugupan Iman."Kamu, nggak ikutan sabung ayam lagi kan, Pah?" tanyanya tepat mengenai sasaran. Matanya sudah mengalami perbesaran maksimal. Ia tahu suaminya ini selalu tidak dapat menolak ajakan abangnya."Nggak! Papah punya duit dari mana ikut ikut gituan!" kelit Iman. Ia bersikap pura pura kesal. Nisa terdiam sejenak. Tapi rasa penasaran itu menggelitik hatinya."Kalau punya duit, Papah baru ikutan?""Iya! Eh, nggak juga! Kamu apa apaan, sih?"Mata Iman melotot. Ia harus menghentikan kecurigaan istrinya itu dengan berpura pura marah.
"Pah, Aku mendingan nggak makan daripada makan duit haram! Kasihan anak Kita!"Nisa mengelus perutnya yang sedang mengandung. Iman sedikit merasa bersalah. Hanya sedikit. 3 Lembaran merah di saku celananya mengubur rasa bersalah itu.
"Mamah, nggak percaya sama Papah?" tanyanya sok sedih. Nisa menghela nafas."Awas ya, Pah. Aku lebih baik mati saat melahirkan, kalau Kamu beneran ikut sabung ayam." sumpahnya pelan.Bagaimana Nisa dapat menduga kalau Iman yang dulu sangat bertanggung jawab dalam memenuhi semua kebutuhannya, sekarang akan menjadi seperti ini?
********Kembali ke hari sekarang.Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan. "Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada. Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya. "Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya. "Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan. Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah. "Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!""Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!""Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis. "Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar
"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi. "Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah. "Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong. Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar. "Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini. Apa Iman memilki wanita idaman lain? "Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mement
"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya
Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah. Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan. Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman. "Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang. Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama. Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar. "Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg! Da
Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman. Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju? BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua? Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai. "Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan. Hasby hanya diam mendengarkan. "Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini. Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar. "Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah. Akhirnya... "Man, Abang lagi ada ke
Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah