Share

Bab 2

Sebelum menikah dengan Iman,  sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati.

"Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah.

"Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak.

Tak terdengar jawaban dari Nisa.

"Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat.

Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.

Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.

Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini.

Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pegawai rendahan.

"Nisa sayang, berpikirlah yang benar, Nak." bujuk Mamanya.

"Nisa sangat mencintainya, Ma!"

"Dia itu cuma mengincar harta Kita, Annisa!" sang Papa berteriak karena Nisa sangat keras kepala.

"Iman bukan orang seperti itu, Pa. Ia berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku." Papanya berdecih.

"Dengan apa, Nisa? Dia itu cuma pegawai rendahan."

"Tapi Dia itu pintar, Pa! Hanya belum mendapat kesempatan untuk maju." Nisa bukan hanya tidak mau menyembunyikan hubungan mereka, tapi dia juga memaksa orangtuanya untuk menerima Iman.

"Dia sangat mencintaiku, Pah! Dia bisa membahagiakan Aku!" Annisa bersikeras.

Cinta membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Papanya sangat marah. Ia meminta owner bengkel itu untuk memecat Iman, montir yang membuat Nisa jatuh cinta.

Yang ia inginkan hanyalah perpisahan mereka. Dengan harapan Nisa tidak ingin lagi meneruskan hubungan dengan seorang pengangguran.

Tapi Nisa yang yang sudah dibutakan oleh cinta justru menjadi marah dan nekat lari dari rumah untuk menikah dengan pujaan hatinya itu.

Sang papa kena serangan stroke dan meninggal tidak lama kemudian.

Annisa shock, tapi cinta membabi butanya tengah membara. Apalagi Iman memperlakukannya bak seorang putri. Ia semakin mabuk kepayang.

Dengan berjalannya waktu, usaha sang papa tidak berjalan dengan semestinya. Orang kepercayaan mereka justru menjadi pengkhianat dan mengambil alih kerajaan bisnis mereka.

Nisa yang baru semester 3 jurusan management of bussines, tidak mampu mempertahankan usaha sang papa. Sang Mama banting setir dengan berjualan kue dan masakan, karena hanya itu yang mampu ia kerjakan.

Iman memilih bekerja di rumah. Menerima servis mobil di rumah. Nisa tak sepenuhnya salah, Iman memang orang yang pintar.

Pada awalnya semua berjalan sesuai dengan keinginan Nisa. Mempunyai suami yang mencintainya dan sangat bertanggung jawab. Tapi keluarga Iman tidak suka melihat Iman begitu patuh pada Nisa.

Mereka mulai mencekoki pikiran iIman dengan hal hal yang membuat hati Iman semakin menjauhi Nisa. Apalagi setelah keluarga Nisa jatuh miskin.

"Ayok, Man. Anterin Abang, ya?" Hasby, kakak tertua Iman mengajak Iman yang sedang servis mobil tetangganya.

Walaupun konsumen mereka hanya orang orang sekitar pendapatan Iman lebih dari cukup untuk kebutuhan rumah tangga mereka.

"Ke mana, Bang?"

"Biasa."

Maksud 'biasa' abangnya itu meminta ia mengantarnya ke tempat judi sabung ayam.

"Nggak deh, Bang." tolak Iman halus.

Nisa melarangnya ikut ikutan sabung ayam. Bahkan mendekati untuk menontonnya pun tak boleh.

"Kenapa, sih? Nggak boleh ya, sama si Nisa?" tebak si Abang.

Iman mengangguk dalam hati. Di luar ia kelihatan sibuk mengotak atik mesin.

"Kamu gimana, sih? Sama bini kok takut." abangnya mencibir. Selalu begitu.

"Harusnya Dia yang takut sama Kamu, Man! Dia cinta banget sama Kamu, sampai rela ninggalin keluarganya demi Kamu!" Iman pun terpancing.

"Siapa yang takut sih, Bang? Saya lagi males aja! Kerjaan ini juga belum kelar!" hatinya mulai panas. Ia, takut istri? Apa iya?

"Halah! Alesan aja, Kamu! Udah buruan anterin Abang! Ntar kalau menang, Abang kasih bagian, dah!"

Judi itu memang begitu menggoda. Godaan syaiton. Makanya sampai ada lagu dari Rhoma Irama.

'Kenapa semua yang asik asik, itu yang di larang.'

Akhirnya mereka pun meluncur ke tempat judi sabung ayam dengan motor yang Nisa belikan awal menikah dulu.

Iman yang semula hanya ingin mengantar akhirnya justru ikut larut dalam arena judi sabung ayam tersebut.

"2 juta!"

"5 juta!"

"Aku mah 200 ribu aja, Gan!"

"Aku pegang ayam Bang Sameh, 1 juta!"

"Aku juga ayam Bang Sameh."

Yang bernama Sameh terlihat jumawa. Padahal ia hanya mengandalkan ayamnya untuk mencari nafkah. Memalukan!

Meskipun tidak ikutan berjudi karena kantongnya yang kosong, tapi menonton sabung ayam itu sangat menghibur hatinya. Ia sama sekali melupakan larangan istrinya.

"Ya! Ya! Yaaa..! Hajar teruuss!" mereka bahagia di atas penderitaan ayam ayam aduan yang saling menjotos dengan paruh mereka.

****

"Nih!" Iman mengulurkan dua lembaran warna merah. Pemberian sang abang karena menang taruhan. Abang memberinya 5 lembar.

Nisa langsung mengucap syukur.

"Alhamdulillah. Maksih ya, Pah." Ia tidak mengetahui kalau uang ini uang hasil taruhan.

"Papah abis servis apa? Di mana?" tanyanya beruntun.

Ia hanya melihat Iman pergi dengan bang Hasby. Mobil tetangga yang di servispun masih ada di depan rumah. Berarti belum selesai diservis.

Iman sedikit gelagapan. Ia yang tidak dapat langsung menjawab, membuat Nisa curiga. Saat ini Nisa sedang mengandung buah cinta mereka yang pertama. Ia langsung curiga melihat kegugupan Iman.

"Kamu, nggak ikutan sabung ayam lagi kan, Pah?" tanyanya tepat mengenai sasaran. Matanya sudah mengalami perbesaran maksimal. Ia tahu suaminya ini selalu tidak dapat menolak ajakan abangnya.

"Nggak! Papah punya duit dari mana ikut ikut gituan!" kelit Iman. Ia bersikap pura pura kesal. Nisa terdiam sejenak. Tapi rasa penasaran itu menggelitik hatinya.

"Kalau punya duit, Papah baru ikutan?"

"Iya! Eh, nggak juga! Kamu apa apaan, sih?"

Mata Iman melotot. Ia harus menghentikan kecurigaan istrinya itu dengan berpura pura marah.

"Pah, Aku mendingan nggak makan daripada makan duit haram! Kasihan anak Kita!"

Nisa mengelus perutnya yang sedang mengandung. Iman sedikit merasa bersalah. Hanya sedikit. 3 Lembaran merah di saku celananya mengubur rasa bersalah itu.

"Mamah, nggak percaya sama Papah?" tanyanya sok sedih. Nisa menghela nafas.

"Awas ya, Pah. Aku lebih baik mati saat melahirkan, kalau Kamu beneran ikut sabung ayam." sumpahnya pelan.

Bagaimana Nisa dapat menduga kalau Iman yang dulu sangat bertanggung jawab dalam memenuhi semua kebutuhannya, sekarang akan menjadi seperti ini?

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status