Share

Bab 6

Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah.

Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan.

Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman.

"Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang.

Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama.

Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar.

"Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga."

"Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."

Deg!

Dada Iman serasa di tonjok oleh kicauan mereka.

"Jangan didengerin, Pah. Tanah ini memang hak Kita, kok." Nisa mencoba menenangkan suaminya.

"Tapi Aku jadi males, Mah." keluh Iman. Ia mulai mencari penghasilan di luar rumah. Mendatangi teman temannya yang ingin memperbaiki mobilnya.

Tapi semua itu tidak mencukupi. Nisa juga mulai berjualan jilbab dan baju muslim. Ia mengambil dari temannya yang iba melihat kehidupan Nisa sekarang.

Waktu itu Nisa akan pulang dari berkeliling mengedarkan dagangannya di siang yang sangat terik. Wajah putih Nisa memerah karena sengatan matahari. Rambut tebal Nisa sampai terlihat lepek menempel ke kulit kepala karena keringatnya.

"Nisa!" Nisa berhenti melangkah. Mumu menghentikannya di depan rumahnya.

"Ada apa, Bang?" tanya Nisa tidak sabar. ia ingin segera pulang karena sudah meninggalkan Nino cukup lama.

"Abang bagi duitnya, dong!" kata Mumu degan enaknya. Kemarahan Nisa langsung meluap.

"Abang nggak lihat Nisa sampai keringetan gini? Nisa capek, Bang nyari duit buat makan! Kok enak aja, Abang tinggal minta!"

Mumu malah tertawa mendapat dampratan dari Nisa. Melihat wajah kucel Nisa dan matanya yang melotot membuatnya geli.

Nisa bergegas meninggalkan Mumu yang masih tertawa.

" Kamu di omelin gitu kok malah ketawa sih, Bang? " Yanti, istrinya, kesal melihat suaminya malah tertawa dibentak Nisa seperti itu.

"Aku geli ngeliat Nisa kucel kayak gitu."

'Padahal dulu ia selalu cantik dan rapi.' terusnya dalam hati.

Yanti mengerucutkan bibirnya. Ia tidak tahu Nisa dulu seperti apa. Tapi sepertinya Mumu sangat menyukainya. Membuat ia kesal. Ia hadir dalam kehidupan Mumu setelah Iman menikah dengan Nisa. Jadi ia hanya mendengar cerita kalau dulu itu Nisa anak orang kaya, pernah kuliah, de el el, de es be, de es te..

"Tapi Dia nggak boleh begitu, Bang? Nggak ngasih ya nggak ngasih aja! Ngapain marah marah gitu!"

"Dia lagi capek kali, Yan! Biasanya juga Dia nggak begitu!"

"Halah!" sentak Yanti kesal. Selalu. Mumu selalu membela Nisa bila Yanti menyalahkannya.

"Tengokin si Ari! Udah pulang belum? Jangan bisanya ngomel aja, Kamu!"

"Paling juga main di rumah Nino! " Nino itu anak Nisa dan Iman.

"Ya diajak pulang, dong! Udah makan belum Dia nya. "

"Pasti udah di kasih makan sama Nisa!"

"Kok jadi ngandelin si Nisa, sih? Nisanya juga baru pulang, kan?"

"Lah, Kamu juga ngapain di rumah aja, Bang! Bukannya nyari duit, kek!" comel Yanti lagi. Matanya sepet melihat Mumu seharian ini hanya tidur tiduran saja di rumah.

"Kan Aku udah bilang, Aku kurang enak badan, Yan!"

"Nggak enak badan tapi makan mulu! Beras udah habis tuh, Bang!"

"Lah Kamu, ya! Emang kalau nggak enak badan nggak boleh makan, gitu? Kamu emang bini yang nggak bisa nerima keadaan suami! Contoh tuh, si Nisa! Mana pernah Dia teriakin suaminya! "

Yanti manyun. Ia paling tidak suka jika dibandingkan dengan Nisa.

Nisa begini, Nisa begitu..

Seolah Ia ini istri yang tidak dianggap.

Padahal bukan karena Nisa mereka bisa makan. Yanti juga ikut menjemput rezeki demi keluarga kecil mereka agar mereka dapat hidup dengan layak.

"Si Imannya juga nggak pernah teriak teriak kayak Kamu, Bang!" tapi ini Yanti ucapkan di belakang suaminya. Dengan hati penuh kebencian pada Nisa.

Semua gara gara Nisa.

*********

Nisa merasa bahagia meski hidup mereka tidak berlebihan. Iman mencintainya dan bertanggung jawab, itu sudah lebih dari cukup. Iman selalu berusaha mencari jalan untuk dapat mencukupi semua kebutuhan keluarganya.

"Mah, ada teman Papah yang ngasih ide untuk.." Nisa mendengarkan cerita suaminya yang begitu bersemangat. Katanya, ia akan membeli mesin mesin rusak untuk diperbaiki. Mesin apa saja, karena Iman memang mampu memperbaikinya. Setelah diperbaiki ia akan menjualnya.

"Kita punya uang darimana untuk beli mesin mesin rusak itu, Pah?" tanya Nisa. Ia akan selalu mendukung suaminya.

"Apa Mamah jual gelang ini aja, ya?" Nisa mengelus gelang yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Gelang satu satunya pemberian Wida, mama Nisa.

"Jangan dulu, Sayang. Papah nanti usaha pinjem dulu sama bang Hasby." Iman merengkuh bahu istrinya. Mengecup pucuk rambut sang istri.

Nisa seperti keberatan.

"Kok pinjem sih, Pah? Nanti bayarnya Gimana?"

"Mau Papah tawarkan bagi hasil sama Abang, Mah."

"Bagi hasil?"

"Iya. 50 - 50."

"Kok sama begitu, Pah? Kan Papah yang kerja. Harusnya 70 - 30."

Iman tertawa.

"Itu kan kalau sama orang lain, Mah. Ini kan sama Abang sendiri!"

Nisa mengangguk.

"Mudah mudahan Abang setuju, ya?" kata Iman penuh harap.

"Mudah mudahan lancar juga usahanya." Tambah Nisa.

"Aamiin. "

Mereka tidur dengan memeluk Nino yang baru masuk kelas 1 Sekolah Dasar. Nisa juga sedang hamil 2 bulan.

"Abang setuju, Mah." Iman mengeluarkan bungkusan plastik hitam dari tas selempangnya.

Iman membuka kantong plastik hitam itu.

Nisa mengerjapkan matanya melihat 3 ikat lembaran biru di depan matanya.

"Ini dari bang Hasby, Pah?" tanya Nisa tak percaya.

"Mamah simpan dulu, ya. Nanti kalau ada mesin yang harus dibeli, Papah minta sama Mamah." Nisa mengangguk. Ia langsung mengamankan uang itu. Dadanya berdebar penuh harapan.

Hari ini Iman mulai membeli beberapa mesin sekaligus. Beberapa mesin potong rumput dan alat untuk meratakan jalan. Stumper, Iman menyebutnya.

Otak Iman yang cerdas membuatnya tidak memiliki kesulitan memperbaiki mesin mesin itu. Dan setelah selesai ia dapat dengan cepat menjualnya.

"Pah, Abang nggak usah dikasih segitu. Abang kan nggak tau juga Papah dapet untung berapa." Nisa ingin menguji kejujuran suaminya.

"Papah nggak mau begitu, ah! Semua keuntungan tetap Kita bagi 2."

"Tapi Papah yang capek."

"Mah, tanpa duit Abang, Kita nggak bisa usaha begini. Jadi di syukurin aja, ya." Nisa tersenyum. Dia bangga akan kejujuran suaminya ini. Keuangan mereka semakin membaik. Nisa yang pintar mengatur keuangan dan Iman yang bekerja keras. Mereka saling melengkapi.

Tapi kebahagiaan itu tidak berjalan lama.

Nyinyiran saudara saudara yang lain mulai terdengar. Kali ini Hasby yang mendapat hasutan.

Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman.

Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju?

BANYAAAK.. !

Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua?

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status