Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah.
Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan.Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman."Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang.Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama.Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar."Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg!Dada Iman serasa di tonjok oleh kicauan mereka."Jangan didengerin, Pah. Tanah ini memang hak Kita, kok." Nisa mencoba menenangkan suaminya."Tapi Aku jadi males, Mah." keluh Iman. Ia mulai mencari penghasilan di luar rumah. Mendatangi teman temannya yang ingin memperbaiki mobilnya.Tapi semua itu tidak mencukupi. Nisa juga mulai berjualan jilbab dan baju muslim. Ia mengambil dari temannya yang iba melihat kehidupan Nisa sekarang.Waktu itu Nisa akan pulang dari berkeliling mengedarkan dagangannya di siang yang sangat terik. Wajah putih Nisa memerah karena sengatan matahari. Rambut tebal Nisa sampai terlihat lepek menempel ke kulit kepala karena keringatnya."Nisa!" Nisa berhenti melangkah. Mumu menghentikannya di depan rumahnya."Ada apa, Bang?" tanya Nisa tidak sabar. ia ingin segera pulang karena sudah meninggalkan Nino cukup lama."Abang bagi duitnya, dong!" kata Mumu degan enaknya. Kemarahan Nisa langsung meluap."Abang nggak lihat Nisa sampai keringetan gini? Nisa capek, Bang nyari duit buat makan! Kok enak aja, Abang tinggal minta!"Mumu malah tertawa mendapat dampratan dari Nisa. Melihat wajah kucel Nisa dan matanya yang melotot membuatnya geli.Nisa bergegas meninggalkan Mumu yang masih tertawa." Kamu di omelin gitu kok malah ketawa sih, Bang? " Yanti, istrinya, kesal melihat suaminya malah tertawa dibentak Nisa seperti itu."Aku geli ngeliat Nisa kucel kayak gitu."'Padahal dulu ia selalu cantik dan rapi.' terusnya dalam hati.Yanti mengerucutkan bibirnya. Ia tidak tahu Nisa dulu seperti apa. Tapi sepertinya Mumu sangat menyukainya. Membuat ia kesal. Ia hadir dalam kehidupan Mumu setelah Iman menikah dengan Nisa. Jadi ia hanya mendengar cerita kalau dulu itu Nisa anak orang kaya, pernah kuliah, de el el, de es be, de es te.."Tapi Dia nggak boleh begitu, Bang? Nggak ngasih ya nggak ngasih aja! Ngapain marah marah gitu!""Dia lagi capek kali, Yan! Biasanya juga Dia nggak begitu!""Halah!" sentak Yanti kesal. Selalu. Mumu selalu membela Nisa bila Yanti menyalahkannya."Tengokin si Ari! Udah pulang belum? Jangan bisanya ngomel aja, Kamu!""Paling juga main di rumah Nino! " Nino itu anak Nisa dan Iman."Ya diajak pulang, dong! Udah makan belum Dia nya. ""Pasti udah di kasih makan sama Nisa!""Kok jadi ngandelin si Nisa, sih? Nisanya juga baru pulang, kan?""Lah, Kamu juga ngapain di rumah aja, Bang! Bukannya nyari duit, kek!" comel Yanti lagi. Matanya sepet melihat Mumu seharian ini hanya tidur tiduran saja di rumah."Kan Aku udah bilang, Aku kurang enak badan, Yan!""Nggak enak badan tapi makan mulu! Beras udah habis tuh, Bang!""Lah Kamu, ya! Emang kalau nggak enak badan nggak boleh makan, gitu? Kamu emang bini yang nggak bisa nerima keadaan suami! Contoh tuh, si Nisa! Mana pernah Dia teriakin suaminya! "Yanti manyun. Ia paling tidak suka jika dibandingkan dengan Nisa.Nisa begini, Nisa begitu..Seolah Ia ini istri yang tidak dianggap.Padahal bukan karena Nisa mereka bisa makan. Yanti juga ikut menjemput rezeki demi keluarga kecil mereka agar mereka dapat hidup dengan layak."Si Imannya juga nggak pernah teriak teriak kayak Kamu, Bang!" tapi ini Yanti ucapkan di belakang suaminya. Dengan hati penuh kebencian pada Nisa.Semua gara gara Nisa.*********Nisa merasa bahagia meski hidup mereka tidak berlebihan. Iman mencintainya dan bertanggung jawab, itu sudah lebih dari cukup. Iman selalu berusaha mencari jalan untuk dapat mencukupi semua kebutuhan keluarganya."Mah, ada teman Papah yang ngasih ide untuk.." Nisa mendengarkan cerita suaminya yang begitu bersemangat. Katanya, ia akan membeli mesin mesin rusak untuk diperbaiki. Mesin apa saja, karena Iman memang mampu memperbaikinya. Setelah diperbaiki ia akan menjualnya."Kita punya uang darimana untuk beli mesin mesin rusak itu, Pah?" tanya Nisa. Ia akan selalu mendukung suaminya."Apa Mamah jual gelang ini aja, ya?" Nisa mengelus gelang yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Gelang satu satunya pemberian Wida, mama Nisa."Jangan dulu, Sayang. Papah nanti usaha pinjem dulu sama bang Hasby." Iman merengkuh bahu istrinya. Mengecup pucuk rambut sang istri.Nisa seperti keberatan."Kok pinjem sih, Pah? Nanti bayarnya Gimana?""Mau Papah tawarkan bagi hasil sama Abang, Mah.""Bagi hasil?""Iya. 50 - 50.""Kok sama begitu, Pah? Kan Papah yang kerja. Harusnya 70 - 30."Iman tertawa."Itu kan kalau sama orang lain, Mah. Ini kan sama Abang sendiri!"Nisa mengangguk."Mudah mudahan Abang setuju, ya?" kata Iman penuh harap."Mudah mudahan lancar juga usahanya." Tambah Nisa."Aamiin. "Mereka tidur dengan memeluk Nino yang baru masuk kelas 1 Sekolah Dasar. Nisa juga sedang hamil 2 bulan."Abang setuju, Mah." Iman mengeluarkan bungkusan plastik hitam dari tas selempangnya.Iman membuka kantong plastik hitam itu.Nisa mengerjapkan matanya melihat 3 ikat lembaran biru di depan matanya."Ini dari bang Hasby, Pah?" tanya Nisa tak percaya."Mamah simpan dulu, ya. Nanti kalau ada mesin yang harus dibeli, Papah minta sama Mamah." Nisa mengangguk. Ia langsung mengamankan uang itu. Dadanya berdebar penuh harapan.Hari ini Iman mulai membeli beberapa mesin sekaligus. Beberapa mesin potong rumput dan alat untuk meratakan jalan. Stumper, Iman menyebutnya.Otak Iman yang cerdas membuatnya tidak memiliki kesulitan memperbaiki mesin mesin itu. Dan setelah selesai ia dapat dengan cepat menjualnya."Pah, Abang nggak usah dikasih segitu. Abang kan nggak tau juga Papah dapet untung berapa." Nisa ingin menguji kejujuran suaminya."Papah nggak mau begitu, ah! Semua keuntungan tetap Kita bagi 2.""Tapi Papah yang capek.""Mah, tanpa duit Abang, Kita nggak bisa usaha begini. Jadi di syukurin aja, ya." Nisa tersenyum. Dia bangga akan kejujuran suaminya ini. Keuangan mereka semakin membaik. Nisa yang pintar mengatur keuangan dan Iman yang bekerja keras. Mereka saling melengkapi.Tapi kebahagiaan itu tidak berjalan lama.Nyinyiran saudara saudara yang lain mulai terdengar. Kali ini Hasby yang mendapat hasutan.Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman.Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju?BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua?********Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman. Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju? BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua? Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai. "Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan. Hasby hanya diam mendengarkan. "Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini. Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar. "Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah. Akhirnya... "Man, Abang lagi ada ke
Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya. "1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya. "Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya. "Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih. "Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang. "Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu. "Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit. "Tika juga mau, Bibi!""Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani. "Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin
Sepertinya semua sudah beres. "Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar. "Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi.."Iya, Mah. Sabun sama sikat gigi." pasta giginya bisa nebeng, begitu pikir Iman. Nisa mengambilkan sabun dan sikat gigi yang Iman minta. "Papah beneran lupa, ya? Atau emang sengaja?" Iman menautkan alisnya. "Apa?""Papah belum ninggalin duit belanja. Papah mau senang senang di luar ninggalin anak istri kelaparan?" "Papah nggak punya duit." hati Nisa terasa melorot turun. "Papah bisa pergi?" "Kan ada Bos yang bayarin semuanya." airmata Nisa mengalir turun. "Kamu nggak mikirin yang di rumah, Pah?""Kan ada Nino." selalu begitu. Mengandalkan anak sulungnya ini. "Ya udah. Pergi sana." Nisa melangkah ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Iman termangu di tempatnya. Semangatnya yang menggebu hilang sudah. Ia keluar menemui Anto, yang sudah menunggunya sejak tadi. Anto ini sahabat sekaligus bosnya. "Aku
Kembali ke laptop, eh bukan. Kembali pada Iman, maksudnya.Anto sangat puas. Tidak sia sia ia membawa sahabatnya ini. Iman dengan kepintarannya bekerja dengan cekatan. Mobil mobil yang sudah ia pegang tidak ada yang tiba tiba ngadat di jalan. Bos mereka juga sangat puas."Bang Iman itu hebat sekali, ya!" sayang rumah mereka jauh, andai saja Imam juga tinggal di Jonggol, ia tidak akan memasukkan mobil mobilnya ke bengkel lagi. Cukup Iman yang pegang. Anto ikut bangga untuk Iman. Yang di banggakan malah terlihat cuek. Bahkan ia menolak saat ditawarkan untuk pindah ke Jonggol. Disediakan tempat tinggal pula. Ia juga boleh membawa anak istrinya ke sana. "Hijrah, Man. Hijrah.""Ogah!""Daripada di sono Kamu hidup susah?""Aku nggak susah!""Laah.. ! Istrimu nangis mulu itu?""Sok tau, Kamu!" Iman ngambek. Apa dia lapar lagi? Tatapan Anto menyelidik. Iman membuang mukanya. Ia tidak sanggup jika harus terpisah dengan saudara saudaranya. Meskipun mereka seringkali menyakiti hatinya tapi e