Share

Bab 6

Penulis: Dhisa Efendi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-07 18:38:41

Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah.

Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan.

Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman.

"Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang.

Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama.

Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar.

"Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga."

"Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."

Deg!

Dada Iman serasa di tonjok oleh kicauan mereka.

"Jangan didengerin, Pah. Tanah ini memang hak Kita, kok." Nisa mencoba menenangkan suaminya.

"Tapi Aku jadi males, Mah." keluh Iman. Ia mulai mencari penghasilan di luar rumah. Mendatangi teman temannya yang ingin memperbaiki mobilnya.

Tapi semua itu tidak mencukupi. Nisa juga mulai berjualan jilbab dan baju muslim. Ia mengambil dari temannya yang iba melihat kehidupan Nisa sekarang.

Waktu itu Nisa akan pulang dari berkeliling mengedarkan dagangannya di siang yang sangat terik. Wajah putih Nisa memerah karena sengatan matahari. Rambut tebal Nisa sampai terlihat lepek menempel ke kulit kepala karena keringatnya.

"Nisa!" Nisa berhenti melangkah. Mumu menghentikannya di depan rumahnya.

"Ada apa, Bang?" tanya Nisa tidak sabar. ia ingin segera pulang karena sudah meninggalkan Nino cukup lama.

"Abang bagi duitnya, dong!" kata Mumu degan enaknya. Kemarahan Nisa langsung meluap.

"Abang nggak lihat Nisa sampai keringetan gini? Nisa capek, Bang nyari duit buat makan! Kok enak aja, Abang tinggal minta!"

Mumu malah tertawa mendapat dampratan dari Nisa. Melihat wajah kucel Nisa dan matanya yang melotot membuatnya geli.

Nisa bergegas meninggalkan Mumu yang masih tertawa.

" Kamu di omelin gitu kok malah ketawa sih, Bang? " Yanti, istrinya, kesal melihat suaminya malah tertawa dibentak Nisa seperti itu.

"Aku geli ngeliat Nisa kucel kayak gitu."

'Padahal dulu ia selalu cantik dan rapi.' terusnya dalam hati.

Yanti mengerucutkan bibirnya. Ia tidak tahu Nisa dulu seperti apa. Tapi sepertinya Mumu sangat menyukainya. Membuat ia kesal. Ia hadir dalam kehidupan Mumu setelah Iman menikah dengan Nisa. Jadi ia hanya mendengar cerita kalau dulu itu Nisa anak orang kaya, pernah kuliah, de el el, de es be, de es te..

"Tapi Dia nggak boleh begitu, Bang? Nggak ngasih ya nggak ngasih aja! Ngapain marah marah gitu!"

"Dia lagi capek kali, Yan! Biasanya juga Dia nggak begitu!"

"Halah!" sentak Yanti kesal. Selalu. Mumu selalu membela Nisa bila Yanti menyalahkannya.

"Tengokin si Ari! Udah pulang belum? Jangan bisanya ngomel aja, Kamu!"

"Paling juga main di rumah Nino! " Nino itu anak Nisa dan Iman.

"Ya diajak pulang, dong! Udah makan belum Dia nya. "

"Pasti udah di kasih makan sama Nisa!"

"Kok jadi ngandelin si Nisa, sih? Nisanya juga baru pulang, kan?"

"Lah, Kamu juga ngapain di rumah aja, Bang! Bukannya nyari duit, kek!" comel Yanti lagi. Matanya sepet melihat Mumu seharian ini hanya tidur tiduran saja di rumah.

"Kan Aku udah bilang, Aku kurang enak badan, Yan!"

"Nggak enak badan tapi makan mulu! Beras udah habis tuh, Bang!"

"Lah Kamu, ya! Emang kalau nggak enak badan nggak boleh makan, gitu? Kamu emang bini yang nggak bisa nerima keadaan suami! Contoh tuh, si Nisa! Mana pernah Dia teriakin suaminya! "

Yanti manyun. Ia paling tidak suka jika dibandingkan dengan Nisa.

Nisa begini, Nisa begitu..

Seolah Ia ini istri yang tidak dianggap.

Padahal bukan karena Nisa mereka bisa makan. Yanti juga ikut menjemput rezeki demi keluarga kecil mereka agar mereka dapat hidup dengan layak.

"Si Imannya juga nggak pernah teriak teriak kayak Kamu, Bang!" tapi ini Yanti ucapkan di belakang suaminya. Dengan hati penuh kebencian pada Nisa.

Semua gara gara Nisa.

*********

Nisa merasa bahagia meski hidup mereka tidak berlebihan. Iman mencintainya dan bertanggung jawab, itu sudah lebih dari cukup. Iman selalu berusaha mencari jalan untuk dapat mencukupi semua kebutuhan keluarganya.

"Mah, ada teman Papah yang ngasih ide untuk.." Nisa mendengarkan cerita suaminya yang begitu bersemangat. Katanya, ia akan membeli mesin mesin rusak untuk diperbaiki. Mesin apa saja, karena Iman memang mampu memperbaikinya. Setelah diperbaiki ia akan menjualnya.

"Kita punya uang darimana untuk beli mesin mesin rusak itu, Pah?" tanya Nisa. Ia akan selalu mendukung suaminya.

"Apa Mamah jual gelang ini aja, ya?" Nisa mengelus gelang yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Gelang satu satunya pemberian Wida, mama Nisa.

"Jangan dulu, Sayang. Papah nanti usaha pinjem dulu sama bang Hasby." Iman merengkuh bahu istrinya. Mengecup pucuk rambut sang istri.

Nisa seperti keberatan.

"Kok pinjem sih, Pah? Nanti bayarnya Gimana?"

"Mau Papah tawarkan bagi hasil sama Abang, Mah."

"Bagi hasil?"

"Iya. 50 - 50."

"Kok sama begitu, Pah? Kan Papah yang kerja. Harusnya 70 - 30."

Iman tertawa.

"Itu kan kalau sama orang lain, Mah. Ini kan sama Abang sendiri!"

Nisa mengangguk.

"Mudah mudahan Abang setuju, ya?" kata Iman penuh harap.

"Mudah mudahan lancar juga usahanya." Tambah Nisa.

"Aamiin. "

Mereka tidur dengan memeluk Nino yang baru masuk kelas 1 Sekolah Dasar. Nisa juga sedang hamil 2 bulan.

"Abang setuju, Mah." Iman mengeluarkan bungkusan plastik hitam dari tas selempangnya.

Iman membuka kantong plastik hitam itu.

Nisa mengerjapkan matanya melihat 3 ikat lembaran biru di depan matanya.

"Ini dari bang Hasby, Pah?" tanya Nisa tak percaya.

"Mamah simpan dulu, ya. Nanti kalau ada mesin yang harus dibeli, Papah minta sama Mamah." Nisa mengangguk. Ia langsung mengamankan uang itu. Dadanya berdebar penuh harapan.

Hari ini Iman mulai membeli beberapa mesin sekaligus. Beberapa mesin potong rumput dan alat untuk meratakan jalan. Stumper, Iman menyebutnya.

Otak Iman yang cerdas membuatnya tidak memiliki kesulitan memperbaiki mesin mesin itu. Dan setelah selesai ia dapat dengan cepat menjualnya.

"Pah, Abang nggak usah dikasih segitu. Abang kan nggak tau juga Papah dapet untung berapa." Nisa ingin menguji kejujuran suaminya.

"Papah nggak mau begitu, ah! Semua keuntungan tetap Kita bagi 2."

"Tapi Papah yang capek."

"Mah, tanpa duit Abang, Kita nggak bisa usaha begini. Jadi di syukurin aja, ya." Nisa tersenyum. Dia bangga akan kejujuran suaminya ini. Keuangan mereka semakin membaik. Nisa yang pintar mengatur keuangan dan Iman yang bekerja keras. Mereka saling melengkapi.

Tapi kebahagiaan itu tidak berjalan lama.

Nyinyiran saudara saudara yang lain mulai terdengar. Kali ini Hasby yang mendapat hasutan.

Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman.

Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju?

BANYAAAK.. !

Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua?

********

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 130

    "Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 129

    "Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 128

    "Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 127

    Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 126

    "Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 125

    Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status