"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya.
Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya."Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana?"Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu."Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah."Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya.Iman mengangguk. Ia langsung berdiri." Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu."Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya."Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya kagak, banyak utang, iya!"Mumu hampir hilang kesabaran mendengar comelan istrinya. Bukannya mendukung, malah menyalahkannya. Padahal bila menang taruhan ia sangat memanjakan istrinya ini."Kamu nyautin lagi, Aku tabok!""Aku bilangi sama Abang Hasby!" Memang dasar istri sial dangkalan!Mumu mendorong istrinya hingga jatuh terduduk. Lalu ia bergegas berjalan keluar rumah."Mau kemana, Bang?! " Mumu tidak merespon teriakan istrinya. Lebih baik ia pergi daripada ia lupa diri dan benar benar menampar istrinya.Hasby mengulurkan 3 lembar uang merahan."Ini buat apa, Bang?" tanya Iman heran."Ini buat gantiin uang Mumu. Memang nggak semua. Itung itung Kita sama sama rugi.""Jangan, Bang. Masa' Abang yang gantiin, sih?" tolak Iman tak enak hati."Ambil! Pasti Nisa butuh buat belanja, 'kan?" paksa Hasby. Nisa! Iman teringat teriakan Rifki tadi."Makasih kalau begitu, Bang!" Iman mengambil uang itu dan bergegas pulang ke rumah. Ia sampai lupa berpamitan dengan Hasby yang hanya dapat menggeleng gelengkan kepalanya."Mamah mana, Wi?" tanya Iman pada Wiwi yang sedang menemani Rifki bermain."Di kamar. Papah ngapain lagi, sih? Nggak kenyang kenyangnya bikin Mamah nangis?" hati Iman mengecil mendengar cicitan Wiwi.Ia langsung berjalan ke kamar.Ia melihat Nisa sedang memasukka pakaiannya ke dalam koper.Imam langsung menutup pintu dan menguncinya sekaligus."Mah! Apa apaan sih?!" Iman menarik koper, mengeluarkan lagi isinya dan meletakkannya di atas kasur. Nisa tidak menjawab. Ia memasukkan lagi baju baju yang lain. Saat Iman menahan tangannya baju baju itu ia lemparkan ke wajah Iman."Aku nggak sudi punya suami tukang judi!" teriak Nisa. Ia tidak menyerah meski hidup susah, ia tidak menolak walau sering di bentak, yang ia tidak mau hanya satu : Iman jangan mengikuti kebiasaan keluarganya untuk judi sabung ayam!"Kalau Aku tau Kamu suka judi sabung ayam, Aku nggak mau jatuh cinta sama Kamu, apalagi menikahimu!" begitu teriakan Nisa awal mereka menikah dulu. Yang ia tau dulu itu kesukaan Iman memancing. Hanya itu.Itu menjadi pertengkaran pertama mereka. Iman sangat mencintai Nisa. Ia rela meninggalkan kegemarannya yang satu ini karena Nisa mengancam akan meninggalkannya. Lagian, hobi kok berjudi!*******"Maah.." Iman meraih tangan Nisa yang langsung menghentakkan tangannya."Jangan pegang pegang!" teriak Nisa."Maah.." kali ini Iman langsung menarik tangan Nisa hingga tubuh kecil Nisa langsung jatuh dalam pelukannya."Mah, maafin Papah, ya?" ia menahan tubuh Nisa yang memberontak ingin melepaskan diri."Lepasin!" teriakan Nisa tertahan karena Iman membenamkan kepala Nisa dalam dadanya."Mah, dengerin Papah dulu, dong..""Nggak mau! Lepasin!" kini tangan Nisa ikut bergerak memukuli dadanya."Maah.." Iman mencium bibir Nisa yang menganga karena marah. Bibir yang dulu selalu membuatnya candu. Karena sulitnya kehidupan ini, gairah mereka meredup dengan sendirinya.Imam melumat bibir Nisa dengan selembut mungkin meski tangan Nisa masih berusaha mendorong tubuhnya."Lepasin!" Nisa masih berteriak saat Iman melepaskan pagutan bibirnya. Nafas Nisa terengah. Ia sedang melawan hasratnya sendiri."Mah, Aku nggak ikutan judinya, Aku cuma nganterin bang Mu..""Nganterin juga nggak boleh!" jerit Nisa kalap. Airmata membanjiri wajahnya. Iman mengusap airmata Nisa dengan kedua telapak tangannya. Nisa terisak isak. Tubuhnya lelah, hatinya juga."Iya, Aku janji nggak nganter nganter lagi."'Kecuali bang Hasby.' gumamnya dalam hati.Iman mengajak Nisa duduk di tempat tidur. Ia mengeluarkan uang yang diberi oleh bang Hasby."Bang Hasby mbayarin utangnya Bang Mumu. Tapi cuma setengahnya. Katanya Kita ini jadi sama sama rugi." katanya jujur.Nisa diam tidak menjawab saat uang itu digenggamkan ke dalam telapak tangannya. Dadanya masih turun naik menahan isakan yang tersisa."Mah, udah dong marahnya."Iman mengecup kening istrinya."Tapi nggak boleh ikut sabung ayam lagi.""Iya.""Janji?""Janji." Iman mengangguk. Direngkuhnya lagi sang istri dalam pelukannya. Ciuman tadi membakar hasrat kelelakiannya. Ia melumat bibir Nisa lagi. Kali ini Nisa tidak menolak. Ia menikmati pegutan bibir suaminya itu."Mmmmhh.."Iman mengeluh saat Nisa balas menggigit bibirnya.Ia langsung mendorong Nisa ke tempat tidur..Wiwi memasang telinganya. Ia tidak lagi mendengar suara teriakan dari kamar mertuanya."Mereka pasti sudah menyelesaikan masalahnya." gumamnya dengan hati sedikit lega. Rifki sudah tertidur lelap karena memang waktunya ia tidur siang.Wiwi bangun dan menuju dapur. Perutnya sudah berteriak minta di isi."Mamah sudah makan belum, ya?" monolognya saat memecahkan telur di atas minyak panas."Papah beliin bakso ya, Mah." kata Iman saat mereka sudah terkapar dengan peluh yang membasahi keduanya. Iman kembali mencium bibir istrinya.Nisa mendorong wajah Iman."Udah, ah!" Nisa bangun dan berjalan ke kamar mandi. Iman terus menatap sampai tubuh istrinya yang masih molek di usianya yang hampir setengah abad itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Terdengar suara shower di nyalakan.Iman meraih kaos oblong dan celena pendeknya yang terserak di bawah tempat tidurnya. Mengenakannya dan membuka kunci kamar.Nisa keluar dari kamar mandi dengan belitan handuk di tubuhnya yang mungil. Iman tersenyum sebelum ganti ia yang ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya."Papah beliin bakso, ya?" katanya ketika ia keluar dari kamar mandi. Ia mengulang permintaannya, takut Nisa melupakannya."Nggak ada uangnya." ketus Nisa. Iman melengak kaget. Tadi itu apa yang ia berikan sebelum mereka ke medan tempur?"Ini mau Mamah kumpulin untuk Doni camping nanti." jelas Nisa menunjukkan 3 lembaran merah itu."Camping? Kapan?""3 bulan lagi. Ini juga masih kurang 400 lagi.""Masih lama, Maah..! Papah pengen bakso sekarang." rajuk Iman."Belum buat belanja besok." Nisa malah berhitung."Nanti juga Papah dapet lagi." pungkas Iman gusar."Janji, ya?""Iya.""Jangan cuma lembaran biru." Iman mengangguk."Beneran?""Iyaaaaa... ! Sebenernya yang pelit itu Aku apa Kamu, sih?"Nisa tertawa terbahak bahak.*********Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah. Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan. Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman. "Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang. Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama. Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar. "Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg! Da
Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman. Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju? BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua? Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai. "Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan. Hasby hanya diam mendengarkan. "Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini. Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar. "Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah. Akhirnya... "Man, Abang lagi ada ke
Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya. "1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya. "Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya. "Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih. "Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang. "Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu. "Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit. "Tika juga mau, Bibi!""Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani. "Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin
Sepertinya semua sudah beres. "Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar. "Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi.."Iya, Mah. Sabun sama sikat gigi." pasta giginya bisa nebeng, begitu pikir Iman. Nisa mengambilkan sabun dan sikat gigi yang Iman minta. "Papah beneran lupa, ya? Atau emang sengaja?" Iman menautkan alisnya. "Apa?""Papah belum ninggalin duit belanja. Papah mau senang senang di luar ninggalin anak istri kelaparan?" "Papah nggak punya duit." hati Nisa terasa melorot turun. "Papah bisa pergi?" "Kan ada Bos yang bayarin semuanya." airmata Nisa mengalir turun. "Kamu nggak mikirin yang di rumah, Pah?""Kan ada Nino." selalu begitu. Mengandalkan anak sulungnya ini. "Ya udah. Pergi sana." Nisa melangkah ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Iman termangu di tempatnya. Semangatnya yang menggebu hilang sudah. Ia keluar menemui Anto, yang sudah menunggunya sejak tadi. Anto ini sahabat sekaligus bosnya. "Aku