Share

Bab 5

Penulis: Dhisa Efendi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-27 10:06:57

"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya.

Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya.

"Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana?

"Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu.

"Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! "

"Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah.

"Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya.

Iman mengangguk. Ia langsung berdiri.

" Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu.

"Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya.

"Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!"

"Lah! Pusing dibikin sendiri!"

"Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!"

"Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya kagak, banyak utang, iya!"

Mumu hampir hilang kesabaran mendengar comelan istrinya. Bukannya mendukung, malah menyalahkannya. Padahal bila menang taruhan ia sangat memanjakan istrinya ini.

"Kamu nyautin lagi, Aku tabok!"

"Aku bilangi sama Abang Hasby!" Memang dasar istri sial dangkalan!

Mumu mendorong istrinya hingga jatuh terduduk. Lalu ia bergegas berjalan keluar rumah.

"Mau kemana, Bang?! " Mumu tidak merespon teriakan istrinya. Lebih baik ia pergi daripada ia lupa diri dan benar benar menampar istrinya.

Hasby mengulurkan 3 lembar uang merahan.

"Ini buat apa, Bang?" tanya Iman heran.

"Ini buat gantiin uang Mumu. Memang nggak semua. Itung itung Kita sama sama rugi."

"Jangan, Bang. Masa' Abang yang gantiin, sih?" tolak Iman tak enak hati.

"Ambil! Pasti Nisa butuh buat belanja, 'kan?" paksa Hasby. Nisa! Iman teringat teriakan Rifki tadi.

"Makasih kalau begitu, Bang!" Iman mengambil uang itu dan bergegas pulang ke rumah. Ia sampai lupa berpamitan dengan Hasby yang hanya dapat menggeleng gelengkan kepalanya.

"Mamah mana, Wi?" tanya Iman pada Wiwi yang sedang menemani Rifki bermain.

"Di kamar. Papah ngapain lagi, sih? Nggak kenyang kenyangnya bikin Mamah nangis?" hati Iman mengecil mendengar cicitan Wiwi.

Ia langsung berjalan ke kamar.

Ia melihat Nisa sedang memasukka pakaiannya ke dalam koper.

Imam langsung menutup pintu dan menguncinya sekaligus.

"Mah! Apa apaan sih?!" Iman menarik koper, mengeluarkan lagi isinya dan meletakkannya di atas kasur. Nisa tidak menjawab. Ia memasukkan lagi baju baju yang lain. Saat Iman menahan tangannya baju baju itu ia lemparkan ke wajah Iman.

"Aku nggak sudi punya suami tukang judi!" teriak Nisa. Ia tidak menyerah meski hidup susah, ia tidak menolak walau sering di bentak, yang ia tidak mau hanya satu : Iman jangan mengikuti kebiasaan keluarganya untuk judi sabung ayam!

"Kalau Aku tau Kamu suka judi sabung ayam, Aku nggak mau jatuh cinta sama Kamu, apalagi menikahimu!" begitu teriakan Nisa awal mereka menikah dulu. Yang ia tau dulu itu kesukaan Iman memancing. Hanya itu.

Itu menjadi pertengkaran pertama mereka. Iman sangat mencintai Nisa. Ia rela meninggalkan kegemarannya yang satu ini karena Nisa mengancam akan meninggalkannya. Lagian, hobi kok berjudi!

*******

"Maah.." Iman meraih tangan Nisa yang langsung menghentakkan tangannya.

"Jangan pegang pegang!" teriak Nisa.

"Maah.." kali ini Iman langsung menarik tangan Nisa hingga tubuh kecil Nisa langsung jatuh dalam pelukannya.

"Mah, maafin Papah, ya?" ia menahan tubuh Nisa yang memberontak ingin melepaskan diri.

"Lepasin!" teriakan Nisa tertahan karena Iman membenamkan kepala Nisa dalam dadanya.

"Mah, dengerin Papah dulu, dong.."

"Nggak mau! Lepasin!" kini tangan Nisa ikut bergerak memukuli dadanya.

"Maah.." Iman mencium bibir Nisa yang menganga karena marah. Bibir yang dulu selalu membuatnya candu. Karena sulitnya kehidupan ini, gairah mereka meredup dengan sendirinya.

Imam melumat bibir Nisa dengan selembut mungkin meski tangan Nisa masih berusaha mendorong tubuhnya.

"Lepasin!" Nisa masih berteriak saat Iman melepaskan pagutan bibirnya. Nafas Nisa terengah. Ia sedang melawan hasratnya sendiri.

"Mah, Aku nggak ikutan judinya, Aku cuma nganterin bang Mu.."

"Nganterin juga nggak boleh!" jerit Nisa kalap. Airmata membanjiri wajahnya. Iman mengusap airmata Nisa dengan kedua telapak tangannya. Nisa terisak isak. Tubuhnya lelah, hatinya juga.

"Iya, Aku janji nggak nganter nganter lagi."

'Kecuali bang Hasby.' gumamnya dalam hati.

Iman mengajak Nisa duduk di tempat tidur. Ia mengeluarkan uang yang diberi oleh bang Hasby.

"Bang Hasby mbayarin utangnya Bang Mumu. Tapi cuma setengahnya. Katanya Kita ini jadi sama sama rugi." katanya jujur.

Nisa diam tidak menjawab saat uang itu digenggamkan ke dalam telapak tangannya. Dadanya masih turun naik menahan isakan yang tersisa.

"Mah, udah dong marahnya."

Iman mengecup kening istrinya.

"Tapi nggak boleh ikut sabung ayam lagi."

"Iya."

"Janji?"

"Janji." Iman mengangguk. Direngkuhnya lagi sang istri dalam pelukannya. Ciuman tadi membakar hasrat kelelakiannya. Ia melumat bibir Nisa lagi. Kali ini Nisa tidak menolak. Ia menikmati pegutan bibir suaminya itu.

"Mmmmhh.."

Iman mengeluh saat Nisa balas menggigit bibirnya.

Ia langsung mendorong Nisa ke tempat tidur..

Wiwi memasang telinganya. Ia tidak lagi mendengar suara teriakan dari kamar mertuanya.

"Mereka pasti sudah menyelesaikan masalahnya." gumamnya dengan hati sedikit lega. Rifki sudah tertidur lelap karena memang waktunya ia tidur siang.

Wiwi bangun dan menuju dapur. Perutnya sudah berteriak minta di isi.

"Mamah sudah makan belum, ya?" monolognya saat memecahkan telur di atas minyak panas.

"Papah beliin bakso ya, Mah." kata Iman saat mereka sudah terkapar dengan peluh yang membasahi keduanya. Iman kembali mencium bibir istrinya.

Nisa mendorong wajah Iman.

"Udah, ah!" Nisa bangun dan berjalan ke kamar mandi. Iman terus menatap sampai tubuh istrinya yang masih molek di usianya yang hampir setengah abad itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Terdengar suara shower di nyalakan.

Iman meraih kaos oblong dan celena pendeknya yang terserak di bawah tempat tidurnya. Mengenakannya dan membuka kunci kamar.

Nisa keluar dari kamar mandi dengan belitan handuk di tubuhnya yang mungil. Iman tersenyum sebelum ganti ia yang ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

"Papah beliin bakso, ya?" katanya ketika ia keluar dari kamar mandi. Ia mengulang permintaannya, takut Nisa melupakannya.

"Nggak ada uangnya." ketus Nisa. Iman melengak kaget. Tadi itu apa yang ia berikan sebelum mereka ke medan tempur?

"Ini mau Mamah kumpulin untuk Doni camping nanti." jelas Nisa menunjukkan 3 lembaran merah itu.

"Camping? Kapan?"

"3 bulan lagi. Ini juga masih kurang 400 lagi."

"Masih lama, Maah..! Papah pengen bakso sekarang." rajuk Iman.

"Belum buat belanja besok." Nisa malah berhitung.

"Nanti juga Papah dapet lagi." pungkas Iman gusar.

"Janji, ya?"

"Iya."

"Jangan cuma lembaran biru." Iman mengangguk.

"Beneran?"

"Iyaaaaa... ! Sebenernya yang pelit itu Aku apa Kamu, sih?"

Nisa tertawa terbahak bahak.

*********

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 130

    "Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 129

    "Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 128

    "Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 127

    Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 126

    "Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp

  • Gara-gara Selembar 50 Ribu   Bab 125

    Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status