Share

Bab 7

Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman.

Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju?

BANYAAAK.. !

Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua?

Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai.

"Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?"

"Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan.

Hasby hanya diam mendengarkan.

"Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini.

Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar.

"Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi.

"Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah.

Akhirnya...

"Man, Abang lagi ada keperluan nih. Uang Abang kembaliin dulu, ya. " katanya, saat Iman menyetorkan keuntungan untuk abangnya hari ini.

Iman tentu saja terkejut. Mengapa begitu tiba tiba?

"Tapi Saya baru aja beli mesin mesinnya, Bang. Nggak ada uang di rumah." jelas Iman.

"Pokoknya Abang mau minta uang Abang." Hasby menekan untuk segera mengembalikan uangnya.

Iman pulang dengan perasaan galau.

Dipandanginya mesin mesin yang baru saja di belinya. Bagaimana caranya untuk menjualnya dalam 1 hari?

Keresahannya terlihat oleh Nisa.

"Kenapa, Pah?" Iman menghembuskan nafas dengan kasar.

"Abang mau minta uangnya balik." Hah?

"Kenapa?"

"Katanya Abang ada keperluan."

"Ya sabar aja, Pah. Kerjain aja seperti biasa. Nanti uangnya nggak usah Kita belanjain lagi. Nanti Mamah kumpulin untuk bayar Abang."

Iman menatap istrinya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Padahal Papah sedang semangat semangatnya." keluh Iman.

Dalam hati Nisa pun mengeluh.

'Apa sih, maksud Abang? Kenapa Dia jadi seperti itu?'

Mereka mulai kehilangan semangat. Terutama Iman.

Siangnya, suruhan Hasby datang untuk menagih uangnya, sedang tak satupun mesin yang Iman kerjakan.

Iman shock hingga tak dapat bekerja.

"Uangnya belum ada, Yip." Iman menunjukkan mesin mesin yang masih terbengkalai.

"Kata Abang, Abang butuh uangnya." Iman mengangguk.

"Bilang Abang, ya. Nanti kalau ini sudah selesai juga pasti di bayar." Ayip, orang suruhan Abang itu pulang dengan janji Iman. Nisa yang hanya mendengarkan percakapan mereka hanya dapat menghela nafas. Ia iba melihat suaminya.

Sorenya, Ayip datang lagi. Dengan pesan yang sama.

"Abang minta uangnya. Sekarang." Nisa yang ingin mendamprat Ayip di tahan oleh Iman.

"Sekarang belum ada ya, Yip. 'Kan mesin mesinnya masih ada. Uang Abang di situ semua."

"Tapi Abang bilangnya begitu." tegas Ayip.

"Bang Iman jangan belanjain lagi duit Abang." katanya itu juga kata bang Hasby. Ia hanya menyampaikan.

"Saya nggak belanja lagi, kok. Saya mau udahan aja. Pokoknya nanti uang Abang saya pulangin." ujar Iman setengah putus asa. Kalau saja ia perempuan, pasti ia sudah menangis.

Ayip pun pulang dengan tangan kosong.

"Abang kenapa, sih? Kok Dia setega itu sama Papah? Papah itu 'kan adiknya! Nagih utang kok kayak orang minum obat. 3 kali sehari!" gerutu Nisa saat Ayip sudah hilang dari pandangan mereka.

"Papah bisa - bisa TBC! " keluh Iman seraya mengacak acak rambutnya. Ia juga berkali kali mengelus dada nya. Ia sudah seperti kehilangan akal. Nisa hanya dapat mengusap bahunya untuk memberinya sedikit kekuatan.

"Mamah jual gelang Mamah, ya? Papah tenang aja."

Imam menatap istrinya dengan keharuan yang menyeruak di dadanya. Hanya itu satu satunya barang berharga milik Nisa. Itu juga pemberian ibunya. Apakah ia harus setega itu?

Tapi apa lagi yang dapat ia lakukan?

********

"Dibayarinnya nggak usah semua, ya? Kita sisain 500 ribu, itung - itung upah Kita." Iman memisahkan 5 lembaran merahan.

"Nggak." Nisa menyatukan lagi lembaran yang dipisahkan oleh Iman.

"Bayarin semuanya, Pah. Jangan disisain. Mamah nggak mau."

"Tapi Kita nggak punya uang lagi, Mah."

"Papah masih bisa ngerjain mesin mesin itu." tunjuk Nisa pada mesin mesin yang ada di dalam bengkel mereka.

"Tapi Papah males, Mah."

"Kok, males?"

"Disini sakit rasanya melihat mesin mesin itu." Iman menunjuk dadanya.

Nisa mengerti rasa sakit hati yang Iman rasakan karena ia mengetahui Hasby begitu karena hasutan saudara saudaranya yang lain.

Iman terpuruk. Ia bahkan tidak ingin memperbaiki mesin mesin itu lagi. Setelah ia melunasi hutangnya pada Hasby, ia membiarkan mesin mesin itu terbengkalai.

Nisa hanya dapat menerima keputusan suaminya itu.

Iman kembali ke pekerjaannya semula. Servis mobil.

"Papah mau mancing lagi?" tanya Nisa melihat Iman sudah siap dengan jorannya.

"Yang penting uang belanjamu nggak kurang 'kan, Mah?" Ia selalu memberikan lembaran biru tiap hari untuk Nisa. Jumlah yang lebih dari cukup. Nisa bahkan dapat menabung.

"Tapi nggak tiap hari juga kali, Pah. Nggak bosen, apa?"

"Nggak, lah." jawab Iman singkat.

Iman jadi semakin sering memancing seolah ingin menunjukkan pada saudara saudaranya itu, kalau dia dapat terus memancing meskipun tidak memegang uang Hasby.

Sepertinya semua berjalan sebagaimana mestinya, tapi Nisa juga mulai menyimpan rasa sakit hatinya pada kakak kakak iparnya itu.

"Mona mau jualan nasi uduk di depan." Yanah mengabarkan pada Nisa niat Mona, anak Edi, kakak Iman yang no 4.

"Boleh 'kan, Nisa?"

Nisa mengangguk.

" Ya bolehlah, Teh. Masa' nggak boleh, sih?" siangnya untuk bengkel, malamnya untuk jualan nasi uduk. Itu yang Nisa pikirkan. Tapi kenyataannya tidak seperti apa yang dia pikirkan.

Mona berjualan nasi uduk pada pagi harinya. Katanya, pada saat Iman akan membuka bengkelnya Ia akan menutup dagangannya.

"Bagaimana bisa mereka menutup warungnya kalau jualannya aja sebanyak itu?!" teriak Iman marah. Ia menyuap nasi uduk yang Nisa beli dari Mona, lalu menelan tanpa mengunyahnya lagi.

Ia lalu menyalakan motor yang ia parkir di dalam rumah. Suara gerungan motor terdengar oleh Mona dan suaminya.

"Mang Iman marah." adu Mona pada sang ayah. Edi pun berkacak pinggang.

"Bilang sama Dia! Tanah itu tanah bersama! Jangan nguasain, dong!" dan itu sampai ke telinga Iman dan Nisa. Iman bergegas menghampiri Edi.

"Abang memang mau tanah di depan?"

"Lah, Kagak!" Edi mengelak.

"Nyak ngasih ke Aku tanah itu, Bang! Karena buat Aku ngebengkel! Semua juga tahu itu!"

"Aku nggak tau, tuh." sanggah Edi pelan. Ia pura pura terkejut.

"Tanya aja sama Bang Mumu! Atau Teh Yanah!" seru Iman kesal.

Dan jawaban mereka seragam. Tidak tahu!

Nisa merasa takjub. Begitu kompaknya mereka mengatakan kebohongan.

Iman menyerah. Bahkan saat saudara saudaranya itu berembuk untuk membuat kontrakan di depan rumah Iman.

"Nanti hasilnya Kita bagi rata!" seru Yanah dengan mata berbinar cerah.

Mereka tidak perduli bagaimana cara Iman mencari nafkah ke depannya.

Imam lagi lagi putus harapan. Nisa hanya menjerit dalam hatinya memohon pertolongan Allah.

Ya Allah,

bila ENGKAU menghambat rizki Kami karena dosa dosa Kami di masa lalu, tolong ampuni Kami, Ya Allah..

Ampuni Kami, Ya Ghofurrurrohiim

Yaa Arhamarraahimiin.

Irhamna

Irhamna

Irhamna

Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati?

*********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status