“Nggak ada, Ma. Papa memang menemuinya pas kebetulan papa sedang di kafe itu dan dia sendirian. Papa cuma menasehatinya agar tidakmelakukan tindakan bodoh. Dia dinikahi pria berumur lo, Ma. Duda yang sudah memiliki cucu. Papa cuma mengingatkan doang, selebihnya ya-““Ya ikut memikirkan,” potong Lolita geram. “Dia sudah menentukan pilihan, jadi biarkan dia menjalaninya. Mana tau kebahagiaan Namira menjadi seperti itu.”“Bukan itu yang papa tangkap dari pernikahan dengan duda kaya itu, tetapi ada unsur kesengajaan.”“Papa paham amat!”“Bukan ... aduh ...! Sudah ngomong sama Mama.”“Yang susah itu Papa. Kalau sudah gak cinta, berartigak perduli. Kalau masih sekepo itu padanya, berarti memang Papa gak ada niat buat memperbaiki hubungan kita.”Lolita beringsut ke tengah ranjang, lalu merebahkan tubuhnyadi sana.“Mama, sumpah demi apapun, Papa tidak ada niat buat balikan sama Namira. Papa Cuma kasihan saja. Kasihan kalau hidupnya disia-siakan dengan berbuat seperti itu.”“Terserah! Silahkan
“Jujur! Jujur bagaimana? Aku nggak ada perasaan apa-apa samakamu. Aku Cuma kasihan, jangan sampai kamu terjerumus. Kamu bakal dapat masalah besar kalau tidak mendengarkan aku, Na!”“Oke, aku akan mendengarkan Mas Tama, aku akan berpisah dengannya, tetapi semua yang aku lakukan demi Mas Tama. Bagiamana?”“Bagaimana apanya?”“Kita akan balikan kan, Mas. Gak ada laki-laki sehebat MasTama. Aku sudah terlanjur mencintaimu.”“Na! Dengar, itu nggak mungkin! Aku gak mau kita ada urusan lagi.Oke?” Tama mengingatkan.“Terus, kenapa kemarin mendatangiku, hah? Kalau gak perduli, kenapa masih khawatir?”“Kamu salah paham. Aku gak ada niat balikan lagi sama kamu. Sekarang, keluarlah. Aku nggak mau ada yang salah paham. Terlebih kamu sudah istri orang Sekarang.”“Keterlaluan. Mas Tama kejam. Sekarang setelah bosan, aku dibuang-buang seperti sampah. Ingat dulu, bahkan Mas Tama sampai minta tambah-tambah-““Na, cukup! Keluar sekarang!”“Huh! Lihat saja, aku akan tetap mendatangi Mas Tama. Gakesok atau
Baru ketika masalah skandal si Bos, Tama dengan Namira terkuakke publik, Deka menampakkan wujudnya. Ia sakit melihat wanita yang dari dulu sangatia jaga hatinya itu sedang terpuruk. Lebih-lebih lagi, berkali-kali Tama menyakitiLolita. Hatinya terasa sakit, tak ikhlas tetapi tak mampu berbuat apa-apa selainmenatap dari kejauhan. Pun kesempatan untuk dirinya sudah tertutup rapat. Sebab,Lolita tak pernah sekalipun membalas pesan atau mengangkat panggilan teleponnya.“Pulanglah! Tinggalkan aku sendirian di sini. Makasih sudah membawa pergi.” Lolita berucap.Deka bergerak tetapi bukan pergi. Ia duduk menjajari mantan kekasihnya.“Aku tunggu sampai kamu merasa baikan. Atau aku carikan taksi untuk mengantarmu pulang?”Lolita menggeleng. Ia kembali mengusap wajah.“Kalau mau cerita, aku siap mendengarkan,” ucap Deka setelah membiarkan Lolita berdiam beberapa saat.Waktu paling baik bagi seseorang yang terluka adalah memberinya jeda untuk menarik nafas. Minimal untuk memperbanyak stok oksigen
Namun, kenyataan berkata lain. Sesakit apapun wanita itu, akantetap bertahan demi satu alasan, yaitu adanya buah hati di antara keduanya.Deka merambat melewati pagar dengan gerak perlahan. Lalu, mendekati motor dan menstarternya.Seketika, Lolita menoleh ke arah suara motor itu. Menelisik tempat yang mulai gelap dan mendapati punggung Deka sudah menjauh.“Kenapa, Sayang? A-ada apa?”Tama mengikuti arah mata Lolitamemandang. Ia masih dapat melihat punggung seorang pria menjauh sebelum menghilang di antara padatnya lalu lintas.“Kita pulang. Tiara sudah menunggu. Ayo.”Tama merangkul bahu Lolita. Mereka berjalan bersisian.Lolita masih sesenggukan. Sementara Tama mengusap pelan bahu istrinya agarmerasa tenang.Selama perjalanan, Lolita enggan menanggapi ucapan Tama. Iamemilih membuang pandangan ke samping kiri.Tama mengerti ekspresi itu. Membiarkan Lolita diam adalahsalah satu solusi meredam kemarahan. Tanpa aba-aba, Tama meraih jemari Lolita, tapi dengan sigap Lolita menepisnya.Tama
“Setelah papa tolak, eh dia gak mau keluar dari mobil. Kan papapanik, jangan-jangan ketauan sama karyawan.”“Bilang aja kesempatan. Mumpung berdua aja itu.”“Mama ... papa serius. Sudah itu, dia papa bentak biar keluar.Akhirnya keluar dia, Ma. Tapi bukan si-““Mama nggak mau namanya disebut!”“Em, iya. Tapi dia tak malah mengetuk pintu mobil terus nyosorgitu aja. Papa rasa ... dia mengetahui kedatangan Mama sebelumnya. Buktinya dialangsung menunjuk ke arah Mama.”“Papa pikir, Mama percaya. Malas mendengarkan pengakuan Papayang banyak dramanya.”Lolita berdiri, lalu meninggalkan ruang kerja Tama.“Mama ...! Is, lokal tambah lemburan ini,” keluhnya. Ia mendekatilaptop dan menyentuh tanda shut down.Tama berlari kecil mengikut Lolita. Tak lupa menyambut bonekadi atas mejanya.“Mama!”Tama memeluk Lolita dari belakang begitu sampai di dalam kamar.“Lepaskan!” pinta Lolita. Tangannya sibuk membuka kaitan tanganTama yang melingkar di perutnya.“Papa, lepaskan!”“Nggak. Papa nggak ngapa-ngap
emarinya yang lentik, sibuk membolak-balik majalah fashion yangbaru saja ia beli. Netranya tajam merekam setiap jejak penglihatan pada setiap modepakaian terkini.Bibirnya bergumam. Lalu, mengumbar senyum ketika mendapatkansesuatu yang diinginkan.Tak puas dengan itu, ia membuka ponselnya dan berselancar disana. Menapaki setiap model pakaian terkini pada aplikasi online.“Dapat,” gumamnya sambil meletakkan majalah, kemudian terfokuspada layar pipih.“Sayang,” ucapnya manja saat seseorang keluar dari kamar mandi.Rambutnya basah, bahkan masih menetes. Ia buru-buru menyambar handuk untuk mengusapnya.“Kenapa?” balasnya.“Mami mau ini, dong.”Jemari lentiknya menunjuk pada sebuah pakaian.“Kemarin sudah beli. Lagian, uang yang kemarin kemana?”“Ck, pelit. Kemarin kan aku ulang tahun, Pi. Uangnya habis buatmakan-makan sama temen-temen kuliah. Papi yang belum kasih hadiah, ucapan juga nggak.”Bibir itu mengerucut sedemikian rupa, sehingga membuat si lelaki yang dipanggilpapi menjadi gemas.“
Di lantai yang dingin Lolita membentang karpet bulu.Televisi sudah menyala, Tiara duduk di sofa, kemudian berpindah ke bawah usaimamanya menyediakan tempat untuknya.Ia mengambil dua bantal untuk dirinya dan Tiara. Bocah ituasik berceloteh, menyebutkan semua tokoh kartun yang sedang ia tonton. Lolitaberbaring di sisi putrinya sambil mendengarkan setiap kata yang ia dengar.Cukup lama berdiam di sana. Sampai Tiara membangunkannya.“Mama, kapan kita main ke kantor papa?” tanya Tiara sambilmenepuk pipinya. Ia terjaga, padahal hampir terlelap.“Kapan-kapan,” jawab Lolita menggumam.“Besok ya, Ma?” tawar Tiara.“Hu’um,” jawab Lolita asal.“Hore ... Tiara mau bawain Papa buah yang dipotong-potongya, Ma?” Tiara kembali menanyai.“Hu’hum,” jawab Lolita, ia sudah terpejam tapi masihmendengar celoteh anaknya.“Mama ... HP Mama bunyi, tuh.Tiara menyodorkan ponsel ke dekat mamanya. Lolita meraih dansegera membuka.[Bukan KW ya?]Dua pesan langsung terbuka. Lolita langsung membaca pesankedua dan
“Om!”Tiba-tiba Tiara memanggil. Deka menoleh karena tidak ada pria lain di dalam ruangan, pastinya bocah itu memanggil dirinya.“Iya, manggil Om?” tanya Deka.“Ada apa, Sayang?” tanya Lolita juga pada putrinya.“Tiara pernah liat Om,” ucap Tiara lugu.“Oya, di mana?” tanya Deka penasaran.“Di HP Mama.”“Sayang, gak boleh ngomong begitu.” Lolita meraih Tiara untuk duduk di pangkuannya. Ia membisikkan sesuatu yang berisi agar tidak berbicara sembarangan.Deka menatap keduanya dengan menahan senyum.“Gak pa-pa, Lit. Aku gak akan bilang sama papanya kok,” ucap Tama dengan tenang.“Apaan, sih!”“Oke. Anggap saja aku gak dengar tadi. Tapi sepertinya kamu perlu berhati-hati menyimpan foto.”“Jangan ge-er, deh! Dia liat pas aku buka-buka di Facebook kamu, bukan di galeri, ya?”“Ow ... di Facebook?”“Ma-maksudku Cuma ... iseng.” Lolita tergagap.“Ya sudah sih, gak pa-pa juga.” Deka menanggapi dengan tenang.“Tapi beneran kok, Tiara gak bohong.” Tiba-tiba Tiara berceloteh di antara perdebatan