Setelah meminta baby sitter menjaga Tiara, Lolita buru-buru mengganti pakaiannya. Ia berniat menemui Mita di butiknya.Satu pesan balasan masuk ke ponselnya. Mita membalas pesan yang baru saja Lolita kirim.[Ke kafe aja. Aku di sini.]Lolita segera mencari uang dalam laci. Sebab, ia lupa menarik uang tunai sebagai persiapan. Terlebih Tama sudah menyita semua ATM dan kartu kreditnya.Empat lembar ratusan ribu berhasil diketemukan. Ia tersenyum senang, lalu gegas meninggal rumah.Dalam perjalanan, Lolita sempat membaca-baca pesan yang belum sempat ia buka. Satu pesan berhasil menyita perhatiannya. Sebuah pesan dari mama mertua.Baru saja hendak membalas, tiba-tiba ponselnya berdering.Papa calling ....Sebenarnya, Lolita enggan menjawab panggilan Tama. Tetapi Tama akan marah jika ia sengaja mengabaikan panggilannya. Terlebih ia pergi dengan keadaan marah.“Halo, assalamualaikum, Pa.”“Waalaikumsalam. Mama mau ke mana?” tanya Tama. Seketika Lolita mengeryit. Ia lupa jika Tama selalu mema
“Buru-buru?” tanya Deka.“Eh, iya. Sudah ditunggu soalnya.”“Aku antarkan, boleh?” Deka menawarkan diri. Lolita hanya tersenyum, tak enak hati menolak tawaran Deka.“Oh, bawa mobil, ya?” Deka menggaruk-garuk kepala.“Iya,” jawab Lolita segan.“Iya ya, kamu seorang Nyonya sekarang. Jadi ... ya-ya sudah. Silahkan!” Deka memberi jalan agar Lolita bisa pergi.“Lit,” panggil Deka. “Kapan-kapan kita ngobrol, ya?” lanjutnya.Lolita yang tadinya sedang menarik pintu mobil menjadi urung.“Em ... iya kapan-kapan. Bilang aja kalau mau berkunjung ke sini.”“Oke. Oh, iya, aku izin minta nomor ponselmu ke Mita, ya?”Lolita tampak berpikir sejenak. Lalu, mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban.Ia bergegas memasuki mobilnya dan pergi meninggalkan kafe Mita dan seorang laki-laki yang berasal dari masa lalunya.Deka sebenarnya bukan orang lain bagi Lolita. Ia adalah mantan kekasih Lolita sebelum Lolita memutuskan menikah dengan Tama.Hubungan keduanya berjalan cukup lama, tiga tahun lamanya. Deka
**“Ma, papa sudah pesan dua tiket untuk ke Lombok. Kita bisapergi sekalian liburan.”Tama meletakkan ponsel ke pangkuan Lolita. Wanita itumeraih dan mengamati tampilan di layar. Sebuah aplikasi online jasapenerbangan.“Berapa hari?” tanya Lolita.“Dua hari. Papa ada lima kali pertemuan di sana. Nantidisela-sela waktu itu, kita bisa pergi jalan-jalan. Buruan siap-siap.”Tama duduk menjajari Lolita. Tangannya meraih jemari lentik itu.“Papa akan menebus kesalahan. Izinkan papa melakukan apapunyang membuat mama senang, ya?”Lolita tak tampak menjawab. Ia malah bergeser dan merebahkantubuhnya di ranjang.“Ma.”“Iya. Masih besok kan?” Lolita menyahut“Sekarang, Ma.”“Hah!” Lolita berjingkrak kaget.**Penerbangan sore dipilih Tama. Ia mengajak Lolita menginapdi hotel kenamaan di sana. Tiara tak diperbolehkan ikut, karena harus sekolah.“Mama mau makan apa? Keluar apa dibawakan kesini?” tanyaTama sesaat setelah mereka sampai di hotel.“Dibawa ke sini aja. Mama capek,” jawab Lolita.“Oke.”
Berhari-hari Lolita tidak keluar rumah. Ia lebih banyak berdiam diri di kamar. Bersama Tiara jika gadis kecil itu sedang di rumah. Tiara juga sama seperti Tama, ia punya jadwal tersendiri di luar jam sekolah.Dalam diamnya ia berpikir keras, tentang pernikahan yang dijalani bersama Tama. Belum pun genap lima tahun menjadi istri dan nyonya Aditama, tetapi langkahnya semakin berat saja.Berhari-hari merenung, berharap menemukan jawaban atas apa yang sebenarnya ia kehendaki. Hingga sering kali tanpa sadar mengabaikan kehadiran Tama, sepertimalam itu.“Mama gak merespons saat papa ajak bicara. Ada masalah, Ma?” Tama mengancingkan piyama usai membersihkan diri.Lolita menggeleng. Ia duduk di depan meja rias, kemudian menolehke arah Tama yang baru saja duduk di ranjang. Entah kenapa, rasa yang dulu menggunung kini berkurang jauh sekali. Rindu yang dulu selalu menggebu-gebu, sirna karena sebuah penghianatan.“Mama mau menyampaikan pendapat," ucap Lolita.Tama langsung memandang istrinya deng
Siang ini, Tama mengajak Lolita ke pusat perbelanjaan. Hari Minggu, ia merasa bosan hanya berkutat di dalam rumah saja. Awalnya Lolita menolak, tetapi Tiara yang mendengar pembicaraan orang tuanya menjadi antusias dan bersemangat ingin pergi. Tama dan Lolita pun akhirnya memenuhi keinginanTiara. Ingin menyenangkan putri satu-satunya mereka.Lolita memilih sebuah mall untuk melepas penat. Pun karena atas permintaan Tiara. Akhirnya tempat itu menjadi kesepakatan bersama.Tama menggenggam tangan Lolita saat memasuki mall. Tiara tampak berceloteh dengan riangnya. Bocah berkuncir dua itu membayangkan akan segera menemui aneka permainan yang pernah ia kunjungi sebelumnya.Mereka langsung menuju lantai tiga, tempat di mana hanya ada arena permainan di sana.“Mama ajak Tiara, gih. Papa tunggu di sini aja.”Tama menunjuk sebuah bangku yang digunakan sebagian pengunjung untuk menunggu anak-anak bermain. Tama mengamati keduanya dari kejauhan sambil berencana memainkan ponsel.“Oke. Papa mau mama
Menjalani rutinitas baru bagi Tama bukanlah sesuatu yang membosankan. Ketika disambut baik oleh Lolita, ia merasa sangat diperhatikan.Lebih-lebih karena dirinya dalam masa merebut hati Lolita kembali. Pastinya, apapun akan ia lakukan untuk mendapatkan kepercayaan.Namun, lain halnya jika ketidakharmonisan mereka tercium oleh orang lain yang tak menghendaki rumah tangganya membaik, Tama pun harus mengambil tindakan tegas.Dengan matanya sendiri, ia memergoki Deka berusaha mendekati Lolita. Ia bukan tak mau menegur di depan umum atau menghajarnya sekalian,tetapi itu bukan cara yang elegan baginya. Ia punya jabatan dan nama baikyang harus dijaga. Hal itu yang membuat Tama hanya membiarkan Deka berlalu begitu sajausai menemui Lolita.Tama berpura-pura tidak mengetahui dan anehnya, Lolita pun tidak mengatakan apa-apa. Ia memutuskan mengintai Deka, pria seusianya yang masih sendiri oleh sebab penyesalan yang menghukumnya.Deka bukan orang asing di hadapan Tama. Deka salah satu orang andalan
Lolita memutuskan mengakhiri perjumpaan dengan sahabat lama. Sore menjelang dan Tiara sudah merengak meminta pulang.Ada banyak hal yang membuat ia merasa lega sore ini. Bertemudengan Renata yang menceritakan perjalanan hijrahnya. Renata adalah temannya saat masihduduk di bangku perkuliahan. Mereka jarang bertemu semenjak Renata memutuskan menikah di usia muda, semester enam kala itu. Renata memilih menyibukkan diri mengabdi pada suami, di sisa waktu kuliahnya. Sang suami seorang dosen agama di kampus lain. Sehingga tidak heran jika Renata harus mengimbangi kehidupan suaminya yang agamis.“Mama kenapa senyum-senyum begitu?”Lolita tersentak ketika Tamasudah berada di sampingnya. Ia yang sedang berbaring, mendadak menunjukkan beberapafoto berdua dengan Renata.“Ini loh, Pa.”“Siapa dia? Temen Mama? Kok papa gak kenal?” tanya Tama beruntun.“Ish, tanyanya kayak wartawan saja. Dia ini temen lama Mama pas kuliah dulu.” Lolita menjelaskan. “Cantik kan, Pa?”Pertanyaan yang seketika membua
“Nggak ada, Ma. Papa memang menemuinya pas kebetulan papa sedang di kafe itu dan dia sendirian. Papa cuma menasehatinya agar tidakmelakukan tindakan bodoh. Dia dinikahi pria berumur lo, Ma. Duda yang sudah memiliki cucu. Papa cuma mengingatkan doang, selebihnya ya-““Ya ikut memikirkan,” potong Lolita geram. “Dia sudah menentukan pilihan, jadi biarkan dia menjalaninya. Mana tau kebahagiaan Namira menjadi seperti itu.”“Bukan itu yang papa tangkap dari pernikahan dengan duda kaya itu, tetapi ada unsur kesengajaan.”“Papa paham amat!”“Bukan ... aduh ...! Sudah ngomong sama Mama.”“Yang susah itu Papa. Kalau sudah gak cinta, berartigak perduli. Kalau masih sekepo itu padanya, berarti memang Papa gak ada niat buat memperbaiki hubungan kita.”Lolita beringsut ke tengah ranjang, lalu merebahkan tubuhnyadi sana.“Mama, sumpah demi apapun, Papa tidak ada niat buat balikan sama Namira. Papa Cuma kasihan saja. Kasihan kalau hidupnya disia-siakan dengan berbuat seperti itu.”“Terserah! Silahkan