Share

Gara-gara Talak Tiga
Gara-gara Talak Tiga
Penulis: Blade Armore

Di cerai

"Gladis! Kamu di mana?" teriak mas Aditya. 

Aku yang sedang memandikan Mutiara, langsung berteriak. "Aku di kamar mandi, Mas!"

Tak kudengar lagi suaranya. Pikirku, dia sedang membersihkan diri dan duduk santai di kamar, karena itulah kebiasaannya selama ini. 

Selesai memandikan Mutiara, aku bergegas ke kamar. Mengelap sisa-sisa air yang ada di tubuh mungil anak pertama kami, membalurinya dengan minyak telon dan memberikannya bedak tipis-tipis. 

"Mas, kok belum ganti baju? Eh, sekarang 'kan masih sore, tumben sudah pulang!" sapaku, karena melihatnya murung. 

"Apa saja yang kamu lakukan tiap hari?" tanyanya tiba-tiba. 

"Seperti biasanya, Mas. Membersihkan rumah, mengurus dapur, kasur dan kamar mandi. Yang paling penting anak kita. Terkadang, mbak Sintia menitipkan Bagas di sini. Kenapa, ada yang salah?" tanyaku, ketika melihat tatapan mata Mas Aditya yang tidak suka. 

"Kamu itu kucel! Kumel! Dekil! Apanya yang membersihkan rumah? Kamu lihat, mainan berserakan di mana-mana!" Suara Mas Aditya meninggi, sampai-sampai Mutiara menangis karena terkejut. 

"Mas, kenapa sih?! Kamu tau enggak, kalau Bagas itu seperti apa, jika di sini?" Suaraku tak kalah tinggi darinya. 

"Alah ... Itu hanya alasan saja, 'kan! Uang belanja yang aku kasih, kenapa cepat sekali habis!" Marahnya kian memuncak. 

Benar, tadi aku WA mas Aditya, memintanya untuk menambahkan uang belanja. Semenjak Bagas di titipkan di sini, aku tidak bisa berhemat sama sekali. Tapi, yang paling tidak kusangka, respon dari mas Aditya. Marah dan kesal. 

"Mas, uang belanja yang kamu kasih hanya dua juta sebulan. Baik akan aku rincikan semua. Tunggu sebentar dan jaga Mutiara."

Aku berjalan menuju meja rias, mengambil kerta dan pulpen. Mulai menuliskan rincian apa saja yang kubeli. 

"Kamunya saja yang boros! Mbak Sintia, di kasih suaminya hanya satu juta lima ratus, tapi dia dapat mengurus dirinya sendiri dan keadaan rumah terkendali." Mas Aditya mulai membandingkanku, bukan sekali ini saja. Tapi, sudah kesekian kalinya. 

Selesai, aku menulis semua pengeluaran setiap bulannya. 

"Mas, silahkan baca!"

Mas Aditya mengambil kertas yang kuulurkan padanya dan aku mengambil alih Mutiara dari pangkuannya. Agar dia bisa leluasa membaca dan mempelajari seberapa banyak pengeluaran kami. 

"Sabun mandi ~ 18.000,.

 Pasta gigi ~ 10.000,.

 Shampoo ~ 18.000,.

 Facial wash ~ 35.000,.(hanya milikmu!) 

Sabun pencuci piring ~ 12.000,.

Detergen pakaian ~ 20.000,.

Pewangi ~ 15.000,.(hanya untuk pakaianmu!) 

Pelicin pakaian ~ 15.000,.(hanya untuk pakaianmu!) 

Susu Mutiara ~ 250.000,.

Beras 20 kg ~ 180.000,.

Minyak 2 liter ~ 18.000,.

Gas ~ 25.000,.

Gula 2 kg ~ 20.000,.(hanya untuk membuatkan kopi untukmu!) 

Kopi 2 sashet besar ~ 20.000,.

Belanja perhari ~ @20.000 selama 30hari = 600.000,.

Listrik ~ 200.000,.

Air ~ 200.000,.

Iuran RT ~ 60.000,. 

Jajan Bagas perhari ~ @10.000 selama 30hari = 300.000,. (Bisa lebih jika, pintu dibiarkan terbuka) 

Kemeja dan celana kerjamu ~ 300.000,.

Cicilan rumah ~ SATU JUTA SEMBILAN RATUSAN RIBU. 

Membayar uang arisan ibumu ~ SATU JUTA RUPIAH. 

"Gladis! Apa yang kamu tulis ini. Tidak mungkin seperti ini!" Mas Aditya menggebrak meja. 

Aku yang sudah tiga kali diperlakukannya seperti ini, tidak lagi terkejut. Hanya saja, Mutiara tidak terbiasa. 

"Gladis! Suami lagi bicara, hargai!" Lagi-lagi suaranya meninggi. 

Aku bingung, ingin mendekatinya namun, Mutiara bagaimana. Dengan langkah seribu, aku menitipkan Mutiara pada tetangga sebelah rumah dan datang kehadapan Mas Aditya. 

"Maaf, Mas. Tadi, lagi ngurusin Mutiara," jawabku dengan napas tidak beraturan. 

"Kamu punya uang sebanyak ini setiap bulan, dari mana?!" Mata mas Aditya sudah memerah, menahan amarah yang dia mulai. 

"Dari kerja, Mas," jawabku lirih. 

"Kamu tidak pernah keluar rumah, tapi uang kamu bisa berjuta-juta! Aku yakin jika kamu melakukan pesugihan atau melacur!" ucapnya sinis. 

Degh!

Kata-katanya kali ini membuatku sakit, karena melukai hati paling dalam. Namun, aku mendekati dengan senyuman. 

"Mas, ingat enggak. Sudah berapa kali aku memohon padamu, agar memberiku uang lebih. Bukannya ditambahi uang belanja, kamu malah menghadiahi pukulan. Jika aku tidak berusaha, kita akan di usir dari rumah ini! Jika aku tidak membayar arisan ibumu, maka aku akan dipisahkan dari anakku. Jika aku tidak mau dititipkan Bagas, maka adik kesayanganmu itu akan menamparku dan tidak segan menghardikku!" jelasku. 

Mas Aditya tidak percaya aku berani mengatakan hal itu, dan tidak ada rengekan dariku. 

"Ha ... Ha ... Ha ... Kamu hanya bisa memfitnah keluargaku, ibuku sudah mendapatkan jatah dariku setiap bulan dan adikku, dia wanita yang lemah lembut!" Mas Aditya membela keluarganya namun, suaranyalah yang bergetar. 

"Mas, sekali-kali kamu keluar dan bertanya pada warga, apakah aku melacur atau melakukan pesugihan! Dan agar matamu bisa terbuka lebar melihat kebenaran!"

Aku melangkah menjauh darinya, 

"Berani kamu!" bentaknya. "Jika kamu berani maju selangkah lagi, maka kamu memilih kita untuk berpisah!"

Dengan pasti, kulangkahkan kaki meninggalkan kamar yang menjadi saksi bisu sekian tahun. 

"Kamu benar-benar wanita jalang! Aku mentalakmu! Tidak guna wanita sepertimu, aku akan mendapatkan lebih baik darimu!" pekiknya. 

Aku kembali ke kamar setelah mengambil tas di ruang sebelah. 

"Terimakasih sudah menceraikanku, Mas!" ucapku, aku melewatinya dan menuju lemari pakaian. 

Ku lihat dia dari sudut ekor mataku, terlihat gelisah dan ragu. 

"Benar kata Sintia, kamu tidak pantas di jadikan istri! Perempuan sundal! Aku mentalakmu untuk yang kedua kalinya!"

Rasa hatiku sudah remuk tak bersisa, mendengar ocehannya yang tidak berguna. 

"Kamu benar-benar mau pergi, hah! Kamu ku talak untuk ketiga kalinya! Enyah dari rumahku!" bentak Mas Aditya, kemudian dia pergi. Aku tau dia akan ke mana, biarlah. 

Setelah kukemas semua barang milikku, sebenarnya ingin meninggalkan sebuah rekaman untuk mas Aditya, agar matanya terbuka. Tapi, kuurungkan. Mengingat tabiatnya yang tidak peduli pada barang-barang miliknya. 

Sekali lagi, kupandangi rumah berukuran 54 meter itu. Kenangan manis dan pahit bercampur menjadi satu namun, kini harus kututup rapat semuanya. Tidak ingin lagi masuk ke lubang yang membahayakan jiwa ragaku dan Mutiara. 

Langkahku mantap, seperti keputusan saat ini. Begitu keluar dari pagar rumah, keributan terjadi di ujung gang. Kulihat, mas Aditya ingin meraih Mutiara yang menangis. Bergegas menghampiri mereka, 

"Sini, Nak." Tanganku terulur ke arah Mutiara. 

Balita itu menyambutku dengan gembira meski tersisa tangisan. Sebagian warga berkumpul dan mendapat tontonan gratis dari aksi brutal mas Aditya, aku berusaha untuk mengalah terlebih dulu. 

"Dasar pel*cur murahan! Aku yakin dia bukan anakku!" hardik Mas Aditya, membuatku meradang. 

Plak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status