Tiba-tiba, Gladis di talak tiga oleh suaminya yang baru di nikahinya beberapa tahun. Kejadian memilukan, terjadi secara beruntun. Pembalasan pun disusun dengan rapi, bersama orang-orang yang menolong Gladis. Membuat mantan suami dan keluarganya tidak berkutik. Akankah Gladis merelakan kejadian yang telah lalu, dan memaafkan mereka?
View More"Gladis! Kamu di mana?" teriak mas Aditya.
Aku yang sedang memandikan Mutiara, langsung berteriak. "Aku di kamar mandi, Mas!"
Tak kudengar lagi suaranya. Pikirku, dia sedang membersihkan diri dan duduk santai di kamar, karena itulah kebiasaannya selama ini.
Selesai memandikan Mutiara, aku bergegas ke kamar. Mengelap sisa-sisa air yang ada di tubuh mungil anak pertama kami, membalurinya dengan minyak telon dan memberikannya bedak tipis-tipis.
"Mas, kok belum ganti baju? Eh, sekarang 'kan masih sore, tumben sudah pulang!" sapaku, karena melihatnya murung.
"Apa saja yang kamu lakukan tiap hari?" tanyanya tiba-tiba.
"Seperti biasanya, Mas. Membersihkan rumah, mengurus dapur, kasur dan kamar mandi. Yang paling penting anak kita. Terkadang, mbak Sintia menitipkan Bagas di sini. Kenapa, ada yang salah?" tanyaku, ketika melihat tatapan mata Mas Aditya yang tidak suka.
"Kamu itu kucel! Kumel! Dekil! Apanya yang membersihkan rumah? Kamu lihat, mainan berserakan di mana-mana!" Suara Mas Aditya meninggi, sampai-sampai Mutiara menangis karena terkejut.
"Mas, kenapa sih?! Kamu tau enggak, kalau Bagas itu seperti apa, jika di sini?" Suaraku tak kalah tinggi darinya.
"Alah ... Itu hanya alasan saja, 'kan! Uang belanja yang aku kasih, kenapa cepat sekali habis!" Marahnya kian memuncak.
Benar, tadi aku WA mas Aditya, memintanya untuk menambahkan uang belanja. Semenjak Bagas di titipkan di sini, aku tidak bisa berhemat sama sekali. Tapi, yang paling tidak kusangka, respon dari mas Aditya. Marah dan kesal.
"Mas, uang belanja yang kamu kasih hanya dua juta sebulan. Baik akan aku rincikan semua. Tunggu sebentar dan jaga Mutiara."
Aku berjalan menuju meja rias, mengambil kerta dan pulpen. Mulai menuliskan rincian apa saja yang kubeli.
"Kamunya saja yang boros! Mbak Sintia, di kasih suaminya hanya satu juta lima ratus, tapi dia dapat mengurus dirinya sendiri dan keadaan rumah terkendali." Mas Aditya mulai membandingkanku, bukan sekali ini saja. Tapi, sudah kesekian kalinya.
Selesai, aku menulis semua pengeluaran setiap bulannya.
"Mas, silahkan baca!"
Mas Aditya mengambil kertas yang kuulurkan padanya dan aku mengambil alih Mutiara dari pangkuannya. Agar dia bisa leluasa membaca dan mempelajari seberapa banyak pengeluaran kami.
"Sabun mandi ~ 18.000,.
Pasta gigi ~ 10.000,.
Shampoo ~ 18.000,.
Facial wash ~ 35.000,.(hanya milikmu!)
Sabun pencuci piring ~ 12.000,.
Detergen pakaian ~ 20.000,.
Pewangi ~ 15.000,.(hanya untuk pakaianmu!)
Pelicin pakaian ~ 15.000,.(hanya untuk pakaianmu!)
Susu Mutiara ~ 250.000,.
Beras 20 kg ~ 180.000,.
Minyak 2 liter ~ 18.000,.
Gas ~ 25.000,.
Gula 2 kg ~ 20.000,.(hanya untuk membuatkan kopi untukmu!)
Kopi 2 sashet besar ~ 20.000,.
Belanja perhari ~ @20.000 selama 30hari = 600.000,.
Listrik ~ 200.000,.
Air ~ 200.000,.
Iuran RT ~ 60.000,.
Jajan Bagas perhari ~ @10.000 selama 30hari = 300.000,. (Bisa lebih jika, pintu dibiarkan terbuka)
Kemeja dan celana kerjamu ~ 300.000,.
Cicilan rumah ~ SATU JUTA SEMBILAN RATUSAN RIBU.
Membayar uang arisan ibumu ~ SATU JUTA RUPIAH.
"Gladis! Apa yang kamu tulis ini. Tidak mungkin seperti ini!" Mas Aditya menggebrak meja.
Aku yang sudah tiga kali diperlakukannya seperti ini, tidak lagi terkejut. Hanya saja, Mutiara tidak terbiasa.
"Gladis! Suami lagi bicara, hargai!" Lagi-lagi suaranya meninggi.
Aku bingung, ingin mendekatinya namun, Mutiara bagaimana. Dengan langkah seribu, aku menitipkan Mutiara pada tetangga sebelah rumah dan datang kehadapan Mas Aditya.
"Maaf, Mas. Tadi, lagi ngurusin Mutiara," jawabku dengan napas tidak beraturan.
"Kamu punya uang sebanyak ini setiap bulan, dari mana?!" Mata mas Aditya sudah memerah, menahan amarah yang dia mulai.
"Dari kerja, Mas," jawabku lirih.
"Kamu tidak pernah keluar rumah, tapi uang kamu bisa berjuta-juta! Aku yakin jika kamu melakukan pesugihan atau melacur!" ucapnya sinis.
Degh!
Kata-katanya kali ini membuatku sakit, karena melukai hati paling dalam. Namun, aku mendekati dengan senyuman.
"Mas, ingat enggak. Sudah berapa kali aku memohon padamu, agar memberiku uang lebih. Bukannya ditambahi uang belanja, kamu malah menghadiahi pukulan. Jika aku tidak berusaha, kita akan di usir dari rumah ini! Jika aku tidak membayar arisan ibumu, maka aku akan dipisahkan dari anakku. Jika aku tidak mau dititipkan Bagas, maka adik kesayanganmu itu akan menamparku dan tidak segan menghardikku!" jelasku.
Mas Aditya tidak percaya aku berani mengatakan hal itu, dan tidak ada rengekan dariku.
"Ha ... Ha ... Ha ... Kamu hanya bisa memfitnah keluargaku, ibuku sudah mendapatkan jatah dariku setiap bulan dan adikku, dia wanita yang lemah lembut!" Mas Aditya membela keluarganya namun, suaranyalah yang bergetar.
"Mas, sekali-kali kamu keluar dan bertanya pada warga, apakah aku melacur atau melakukan pesugihan! Dan agar matamu bisa terbuka lebar melihat kebenaran!"
Aku melangkah menjauh darinya,
"Berani kamu!" bentaknya. "Jika kamu berani maju selangkah lagi, maka kamu memilih kita untuk berpisah!"
Dengan pasti, kulangkahkan kaki meninggalkan kamar yang menjadi saksi bisu sekian tahun.
"Kamu benar-benar wanita jalang! Aku mentalakmu! Tidak guna wanita sepertimu, aku akan mendapatkan lebih baik darimu!" pekiknya.
Aku kembali ke kamar setelah mengambil tas di ruang sebelah.
"Terimakasih sudah menceraikanku, Mas!" ucapku, aku melewatinya dan menuju lemari pakaian.
Ku lihat dia dari sudut ekor mataku, terlihat gelisah dan ragu.
"Benar kata Sintia, kamu tidak pantas di jadikan istri! Perempuan sundal! Aku mentalakmu untuk yang kedua kalinya!"
Rasa hatiku sudah remuk tak bersisa, mendengar ocehannya yang tidak berguna.
"Kamu benar-benar mau pergi, hah! Kamu ku talak untuk ketiga kalinya! Enyah dari rumahku!" bentak Mas Aditya, kemudian dia pergi. Aku tau dia akan ke mana, biarlah.
Setelah kukemas semua barang milikku, sebenarnya ingin meninggalkan sebuah rekaman untuk mas Aditya, agar matanya terbuka. Tapi, kuurungkan. Mengingat tabiatnya yang tidak peduli pada barang-barang miliknya.
Sekali lagi, kupandangi rumah berukuran 54 meter itu. Kenangan manis dan pahit bercampur menjadi satu namun, kini harus kututup rapat semuanya. Tidak ingin lagi masuk ke lubang yang membahayakan jiwa ragaku dan Mutiara.
Langkahku mantap, seperti keputusan saat ini. Begitu keluar dari pagar rumah, keributan terjadi di ujung gang. Kulihat, mas Aditya ingin meraih Mutiara yang menangis. Bergegas menghampiri mereka,
"Sini, Nak." Tanganku terulur ke arah Mutiara.
Balita itu menyambutku dengan gembira meski tersisa tangisan. Sebagian warga berkumpul dan mendapat tontonan gratis dari aksi brutal mas Aditya, aku berusaha untuk mengalah terlebih dulu.
"Dasar pel*cur murahan! Aku yakin dia bukan anakku!" hardik Mas Aditya, membuatku meradang.
Plak!
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments