Terkekeh pelan Kalil mendengarnya, mengatup rapat bibir dan menekan hasrat tawa menjadi senyum lebar. Sampai tawa itu terlepas dari pertahanan, membuatnya terbahak dan bertingkah seolah baru saja tiba, "hehehe ... eh, ada Denandra," celetuk Kalil sambil melangkah masuk lalu bersandar penuh ke dindingTerdiam canggung ia dan mengatup rapat mulut, mengakhiri kekehan yang sebenarnya menertawakan celotehan Fafa tadi. Celotehan tentang keadilan meski mencintai banyak lelaki, celotehan yang keluar dari mulut wanita haus akan sentuhan, haus akan nominal besar, dan haus perhatian."Sudah lama?" kata Kalil memecahkan hening canggung, bertanya basa-basi pada Denandra yang justru melihat tajam ke arah Fafa, membuat Kalil perlahan menoleh ke Fafa yang memberi ekspresi masam, "aku tahu dia berteman sama kamu, jadi ya sudah," lanjutnya berpikir harus mengonfirmasi tentang Denandra."Sayang," panggil Fafa mendekati Kalil yang sontak bergeser, bentuk reflek yang tentu menimbulkan pertanyaan baru, "ko
"Aku tahu Kak Jess enggak punya pendirian, kamu dengar dan lihat sendiri tadi. Aku mau semua berjalan sesuai rencanaku, Tomi sudah sangat keterlaluan, enggak boleh ada hasutan, rencana lain, pengkhianatan, atau apapun itu yang menghalangiku," ujar Rana menggigit bibir bawahnya seraya menatap lurus ke jalan yang terbilang lancar, "walau aku juga tahu, Kak Jess itu orang yang sering bertindak tanpa berpikir, sebagai bagian efek dari hidupnya tanpa pendirian. Aku tahu, Kak Jess bakal menemui pihak berwenang untuk minta izin ketemu suaminya dengan memanfaatkan kehamilan," tuturnya lagi lalu mengatup rapat bibir dan mengembuskan napas pendek."Terus gimana rencana kita?""Kamu, Denandra, dan Arhan tetap dekati Fafa. Terus aku dan orang tua akan bertindak buat cari pengacara terbaik dan mempercepat proses, mengajukan permohonan agar ini jadi permasalahan prioritas," jawab Rana menghela napasnya lagi lalu menarik tuas jok mobil di pinggir sedikit ke bawah, membiarkan jok yang sedang ia tempa
"Ini sebagian kecil bukti yang bisa mendukung laporan saya terhadap Tomi Uraga terkait penyalahgunaan dana perusahaan," ucap Angelica sambil menyerahkan beberapa lembar laporan dana perusahaan, hanya sebagian kecil tapi cukup kuat untuk menjadi dasar laporan. Sedangkan sebagian besar lain, biarkan disimpan sampai masuk masa peradilan."Ada lagi yang ingin disampaikan?" tanya petugas sambil mencetak laporan yang diketiknya selama Angelica dan Guntur menceritakan segala yang menjadi dasar membuat laporan, menyatukan semua laporan dan bukti sebelum dimasukkan ke dalam map, "untuk tindak lanjutnya akan kami hubungi, baik dikunjungi langsung nanti oleh penyelidik, surat resmi panggilan, surel, maupun pesan singkat. Waktu kerja adalah 30 hari sampai 120 hari, apa sudah cukup jelas?"Mengangguk dua insan paruh baya itu lalu berdiri, "apa kami sudah bisa keluar?" tanya Guntur memastikan keadaan sebelum beranjak keluar."Silakan, ini dibawa," jawab petugas itu menyerahkan selembar kertas sebag
Bergegas dua insan muda itu keluar kamar dan menuruni undakan anak tangga, wanita cantik berkacamata hitam gelap menggandeng suaminya menuju ruang makan. Rasa lapar dan pusing memaksa keduanya untuk segera menyantap segala yang dibuat asisten rumah tangga, tidak ingin protes atau meminta khusus, karena keadaan dan suasana hati sudah cukup mengacaukan segala yang direncanakan, membuat berantakan semua yang diharapkan, dan menghancurkan semua yang terpikirkan."Kenapa pakai kacamata?" tanya seorang pria paruh baya di meja makan, menyambut kedatangan dua insan yang hampir tidak pernah berkunjung karena sejuta masalah ego yang bertumpuk sejak lama.Bergerak pelan lengan wanita berkacamata hitam gelap itu menyenggol pelan tangan suaminya, memberi isyarat agar sang suami menjawab pertanyaan yang baginya tak perlu ditanyakan, "mata Rana sakit, suaranya juga habis," jawab Kalil menarik salah satu kursi makan agar sang istri mendapat posisi duduk yang nyaman."Kok bisa?" sahut wanita paruh bay
"Ran," panggil Kalil menguji kesadaran dan ketenangan istrinya, walau ia juga tahu bahwa sang istri sudah berkata ingin tidur."Hm?" deham Rana menyahut, sahutan yang jelas juga menandakan bahwa Rana belum terlelap."Buat besok mau gimana? Kita ke kantor polisi buat tanya proses atau tunggu tiga hari dulu sesuai aturan berlaku.""Besok gimana apanya?" sahut Rana mendongak dan bibir mengerucut, bibir mungil merah muda yang menggemaskan, mata sendu sang pemilik bibir dengan hidung memerah samar di antara temaramnya ruang tidur ini, benar-benar memancing jiwa Kalil sebagaimana laki-laki normal."Sudahlah besok saja bahasnya, ayo tidur," tukas pria itu memegang kepala sang istri dan membuatnya agar menunduk lg, gerakan yang cepat dipatuhi Rana seraya berdeham pelan dan sedikit menggeliat nyaman, "selamat malam," lanjutnya mengusap rambut Rana dengan lembut, meski tangan lainnya harus mengepal kuat dan memainkan kuku di buku-buku ibu jari, menahan hasrat liar yang timbul hanya karena bertu
Napas tersengal-sengal menggetarkan badan yang berusaha tenang, duka yang disembunyikan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dan kebingungan yang terpendam dalam diam untuk menghindar, mengundang rasa sesak yang pada akhirnya tidak bisa lagi ditahan, yang pada akhirnya tidak bisa lagi dipendam, dan yang pada akhirnya menjadi tangis tak terbendung.Bibir dipaksa untuk tetap terkatup rapat semakin menyesakkan napas yang kian terasa sulit, tangan terkepal kuat dan badan yang meringkuk, jelas menggambarkan kesesakan dari wanita yang bersembunyi di dalam selimut. Bersembunyi dalam gelapnya ruang tidur dan masih juga dalam hangatnya selimut yang justru terasa dingin dan hampa, mengabaikan desis dan segala ucapan dalam gumam yang terus berbisik tepat di samping telinga, dan tetap mengabaikan segala usapan lembut di lengan dan bahu yang jelas bertujuan untuk menenangkan.Nyatanya, semua terlalu sulit walau hanya untuk tenang, ini semua sudah terlanjur dipendam sejak lama, dan meledak dalam tang
"Memang masih ada yang mau memaafkan kesalahan berulang selama lebih dari dua puluh tahun," celetuk Angelica sambil beranjak dari kursi makan dan menghela napasnya yang terasa berat, tingkat stres yang tiba-tiba meninggi memancing ketidaknyamanan dalam diri."Ada."Menoleh cepat wanita paruh baya itu kala mendengar jawaban singkat yang sangat jelas, ada sedikit harapan bahwa suara itu sebuah keinginan yang bersuara tapi hanya dalam pikiran. Namun, bukan kenyataan namanya jika mudah terwujud dari sebuah harapan, keinginan, atau ekspektasi.Terbuka lebar mata wanita paruh baya bernama Angelica Audreylia itu kala melihat putri bungsunya berdiri di batas antara dapur dan ruang makan, terkatup rapat bibirnya saat keadaan seolah memaksa untuk bertukar tatap dengan sang putri, "bunda sudah sadar kesalahan selama ini?" tanya si putri bungsu berjalan memasuki ruang makan seraya membawa segelas air.Duduk dengan santainya ia di salah satu kursi dan menandaskan isi dari gelas kaca itu, sesekali
"Aku lagi main ke rumah Kak Jess buat pendekatan hubungan saudara, ternyata Tomi tahu aku ke tempat Kak Jess, dia ajak beberapa temannya buat penyerangan dan pelecehan ke aku sama Kak Jess. Tapi digagalkan sama Kalil karena dia lihat Tomi pas mau pulang setelah antar aku ke rumah Kak Jess," tutur Rana lagi tidak berharap banyak pada respon orang tuanya yang tidak pernah bisa diharapkan."Terus sekarang Tomi gimana?" kata Angelica mempertanyakan keadaan menantu pertamanya, menantu yang ia percaya dan banggakan dibanding menantu kedua yang kini berada di hadapannya."Masih khawatir sama penipu, Bu?" sahut Kalil santai tanpa rasa khawatir, dirinya hanya ingin menjaga perasaan sang istri dari celotehan wanita yang rasanya tak pantas disebut ibu. Tidak ada belas kasih, tidak ada pengertian, dan tidak ada cinta yang bisa dirasa. Yang bisa dirasa hanyalah kebencian, rasa tidak suka, ego, dan emosi tak stabil.Sifat-sifat yang akan aneh jika dimiliki seorang ibu, tidak bisa melindungi atau me
"Kakakmu kenapa?" tanya pria itu setelah beberapa saat bertukar tatap dengan Rana, dua kata yang sebenarnya secara jelas sudah mengungkapkan bahwa Rana tetap atau mungkin sudah dianggap lagi sebagai putri mereka."Kak Jess mau bercerai," jawab Rana singkat mengubah posisi duduknya jadi tegak, menatap serius dua insan yang berstatus sebagai orang tuanya, dua insan yang melahirkannya dengan harapan, dua insan yang membesarkannya dengan sejuta impian tak manusiawi, dan dua insan yang kerap kali menjadi musuh Rana sepanjang hidupnya."Hah!" seru wanita yang berada di seberang Rana itu terkejut, "kenapa? Jessica itu lagi hamil, mana mungkin mereka bercerai. Kamu fitnah apalagi rumah tangga mereka?" tukasnya turut duduk tegak tapi jelas tidak dengan ketenangan dan keseriusan seperti yang Rana lakukan.Terdiam Rana mendengarnya, membisu pula ia melihat amarah sang ibunda yang siap meledak lagi. Terkadang, Rana merasa bingung dengan dirinya yang kini menjadi sosok penuh rasa percaya diri, ket