(Dua pekan lalu)"Ini serius kita mau ketemu mereka? Enggak bakal jadi masalah, Ran? Mereka pernah ke kantor yang tempat formal saja bisa gaduh, yakin?" cecar wanita bersetelan santai dengan kemeja biru muda dan celana hitam panjang, duduk di salah satu jok mobil belakang dan sedikit mencondongkan badan, bertanya pada wanita yang duduk di sebelah pengemudi.Pertemuan terakhir yang mendadak dan terpaksa, tidak menemukan banyak solusi karena rasa lelah satu sama lain. Anggapan untuk berpasrah pada tindakan pihak berwajib dan tenaga profesional lebih terdengar rasional, dari pada tentang menjaga nama baik keluarga, mempertahankan pernikahan, atau sekadar mengakhiri keadaan secara kekeluargaan.Anggapan tentang menjaga nama baik keluarga, apa yang harus dijaga bila media publik tetap memberi info yang benar? Apa yang harus dijaga bila saham perusahaannya saja tidak terganggu? Apa pula yang harus dijaga jika dari media publik, banyak orang yang jadi empati atas kejadian ini? Rasanya sepert
Bisik dan obrolan pelan terdengar bersahutan, tidak bisa dikatakan bising tapi cukup ramai. Dari pria muda yang berbincang di depan perut membesar wanita muda, wanita yang terlihat merajuk dengan bersedekap dada dan rayuan kecil dari pria yang terkekeh ringan, celotehan kecil pria yang berandai bersama wanita dengan perut yang belum begitu besar, dan hal lain yang sebenarnya terlihat menarik dan romantis. Namun sayang sejuta sayang, suasana hati tidak cukup menyenangkan untuk berkata itu semua menarik, beratnya pikiran tidak mampu memikirkan perandaian yang begitu romantis, bila sadar pada fakta bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan hampa.Membisu seorang diri di kursi tunggu yang berbaris secara horizontal, melihat lurus ke salah satu ruang periksa dokter di rumah sakit. Hanya terpaku diam seolah ruang periksa dokter kandungan sangat lah menarik, hingga tidak adanya niat bermain gim dalam ponsel, menjelajah media sosial, membaca grup perpesanan, mengirim pesan, atau sekadar berte
Tok ... Tok.Cklek!Dua kali ketukan pintu terdengar jelas, belum juga Rana menyambut, pintu sudah terbuka dan cepat kembali tertutup setelah Kalil masuk. Beranjak Rana dari kursinya usai melihat sang suami lebih pilih untuk duduk di sofa, "kenapa? Kalau memang ada yang mau dibahas, kan bisa di rumah.""Fafa siap tes paternitas kandungannya." Terdiam membisu Rana mendengarnya, tidak terkejut dan tidak juga khawatir. Rana lebih dari pada terkejut dan khawatir, andai ada kata yang cocok untuk mengungkapkan perasaan kini, tapi itu hanya akan jadi hal tidak berguna. Sejak kapan ada hal yang benar-benar berguna di dunia ini? Semua hanya bersifat subjektif dan terbatas pada waktu."Gimana cara dia kasih tahu kamu?" tanya Rana berulang kali mengubah posisi duduknya, tidak ada kekhawatiran khusus tapi rasanya begitu gelisah untuk sekadar tenang. Ingin membuat rencana baru lagi, ingin memperkirakan hal terjadi tanpa rencana agar bisa bersiap diri, tapi harus apa? Mulai dari mana? Dan bagaimana
Ddrrtt ... Ddrrtt.Menoleh cepat Rana ke meja kerjanya, getaran ponsel yang berhasil membuat Rana kembali bangkit dari posisi baringnya meski tak berhasil membuat Rana semangat, terutama setelah ia melihat nama Diah KDRFN tertera jelas di layar ponsel, "apa lagi sih," gerutunya lalu menekan tanda hijau di layar, menjawab panggilan yang tak diharapkan.Bagaimana tidak? Dua bulan berlalu sejak rencana dibuat, pembagian tugas disetujui, dan kesepakatan didapat. Diah yang memang berasal dari geng KDRFN, Diah yang memang sengaja berkhianat pada Fafa karena ketidaksesuaian prinsip hidup, setiap pekan hanya memberi laporan bahwa Fafa tidak berkomunikasi, tidak menunjukkan gelagat mencurigakan, bahkan cenderung jarang bertemu atau kumpul karena mual pagi hari yang masih dialami.Walau pernah Diah memberi tahu perkembangan dari peran yang dimainkan dalam rencana pembalasan, tapi itu hanya suatu hal biasa yang tidak berdampak signifikan. Justru sebaliknya, perkembangan dari Diah yang mencengang
Bergerak cepat tangan Rana membuka lembar demi lembar berkas yang sudah dalam satu tumpukan khusus, berkas yang digolongkan berdasarkan kasus dan keperluan pribadi maupun perusahaan. Sampai tangan berjari lentik itu berhenti membuka lembaran kala netra cokelatnya menemukan lembar yang dicari, lembar berisikan baris awal yang tertulis 'bukti laporan', lembar ini juga yang memiliki beberapa sub-bagian berdasarkan bukti tercantum."Jadi maksud dari beberapa laporan ini apa?" tanya Rana mengembalikan suasana pada kondisi semula, kondisi sebelum Fafa datang secara konyol untuk memaksa dengan cara khasnya yang rendahan dan memalukan."Di bagian awal, ada bukti tertulis dari salah satu jawaban survei yang bertuliskan ancaman penghabisan nyawa bagi kepala tim humas pusat, yang saya artikan secara khusus mengarah ke Anda. Untuk yang kedua, ancaman penyebaran foto tak senonoh ke salah satu anggota tim humas kita yang lagi berhalangan hadir hari ini, jika tidak memberikan hal yang diminta terkai
"Kamu juga akan dilaporkan atas kasus perilaku tidak menyenangkan, penyalahgunaan data hingga menimbulkan kerugian, kamu sudah mengacaukan survei dari beberapa produk menggunakan data kenalanmu, dan sekarang datang dengan rusuh sampai mengganggu ketentraman dan jam kerja," tutur Nifa tak henti melihat ke arah Fafa yang begitu fokus ke lembar demi lembar dari berkas laporan itu. "Dan aku selaku pimpinan tim yang paling dirugikan, akan mempertimbangkan laporan kalau kamu mau kerja sama tanpa terkecuali," sambung Rana tegas, ujaran yang begitu tiba-tiba dan cukup membuat Nifa mengalihkan pandangannya cepat. "Maksudnya?" tanya Fafa sambil mengangkat kepala dan menatap Rana. "Kamu juga akan dilaporkan dengan segudang bukti, tapi aku bisa menolongmu jika kamu menolongku lebih dulu," jawab Rana tersenyum tipis dan mengaitkan tangan melalui setiap sela jemari, "aku enggak akan percaya kamu lagi, tapi kamu bisa percaya aku." "Kenapa aku harus percaya kamu?" sentak Fafa menyulut emosi, i