"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri.
Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu jawaban dari kakaknya. "Sekarang banget? Macet kalau dari rumahku ke rumahmu, kamu masuk jam berapa?" Terdengar suara wanita yang biasa disebut Jess itu, "kemana lagi pengangguran satu itu, sudah tahu hidup jadi beban ya jangan tambah beban orang gitu loh," lanjutnya berkomentar. "Jam setengah delapan mau ada rapat antar divisi, bicarakan rencanaku tentang konflik perusahaan," jawab wanita karir itu pada sang kakak yang sontak berdesis. "Kalau gitu aku enggak bisa, Cantik. Waktunya bakal terkuras di macet doang, ini jam berangkat kerja loh," sahut Jess membuat Rana menghela napas kasar, "coba pesan ojek daring, yang motor ya biar bisa satset." "Hm," deham Rana singkat namun enggan untuk mematikan teleponnya, "habis rapat aku mau ke salah satu aula masyarakat, sosialisasikan produk yang lagi dapat isu buruk. Masa aku harus bolak-balik naik ojek, kak." "Untuk opsi itu aku bisa usahakan antar-jemput kamu. Yang penting sekarang kamu pesan ojek dulu, terus berangkat," tukas Jess menenangkan dan memberi solusi pada adiknya, sang adik yang selalu tertutup dan enggan bersosialisasi, sang adik yang dengan konyolnya mengambil kuliah dan memilih profesi yang berhubungan dengan sosial, dan sang adik yang selalu mudah dilanda kepanikan jika sudah menyangkut waktu. "Iya," jawab Rana singkat lalu mematikan sambungan ponsel, mengikuti saran sang kakak dan bersiap untuk dijemput oleh ojek pesanannya. *** Waktu berputar sebagaimana harusnya, namun bagi sebagian orang terasa berputar begitu cepat dan sebagian lainnya terasa begitu lambat. Permainan pikiran yang dipengaruhi perasaan, membuat semua seolah berbeda meski yang terjadi cenderung sama atau mungkin membosankan. "Ah ...," desah panjang seorang wanita setelah menutup pintu mobil berwarna biru, bersandar seutuhnya pada jok mobil yang langsung diubah posisinya, "capek banget hari ini, Kak." "Ya namanya juga kerja yang enggak sesuai karaktermu," ucap wanita berambut cokelat itu menyambut keluhan sang adik, "lagi pula aku masih enggak paham sama cara berpikirmu, kamu paling malas berurusan sama banyak orang, tapi malah ambil pendidikan dan pilih pekerjaan yang melibatkan banyak orang." "Aku pikir yang melibatkan banyak orang akan menghasilkan banyak uang. Benar sih, tapi juga menghasilkan banyak beban pikiran," ujar sang kepala humas di suatu perusahaan, "apalagi sejak menikah, tepatnya sejak Kal dipecat. Ah, enggak karuan," lanjutnya merengutkan bibir. "Paksa dia buat cari kerja lagi, mau sampai kapan kamu menopang hidupnya? Aku belum bisa punya anak dalam waktu dekat loh, Mas Tomi lagi keluar kota buat dinas," tutur Jess membuat sang adik sontak duduk tegak dan menoleh ke arahnya, "aku serius, katanya mungkin sekitar tiga sampai enam bulan." Melenguh pasrah Rana lalu kembali menyandarkan dirinya ke jok mobil yang sudah diposisikan itu, bibir merengut dengan mata terpejam dan raut wajah yang masam cukup menggambarkan suasana hatinya, "bisa-bisanya juga kamu nikah cuma buat puaskan hasrat ayah-bunda sampai aku punya anak, nikah itu sekali seumur hidup loh, Ran." "Tahu kok, dan aku lakukan ini juga cuma sekali. Setelah kakak punya anak, aku cerai, terus balik fokus ke karirku," ujar Rana dengan santai menyahut. "Kamu enggak ada cinta atau kesandung rasa penasaran gitu ke Kal?" tanya Jess menghasilkan decih dari saudari kandungnya itu, decihan yang cukup menggambarkan jawaban Rana meski tanpa kata dan tanpa banyak bahasa tubuh, "jangan terlalu berjiwa independen, Ran. Tuhan menciptakan dua gender dengan masing-masing kelemahannya, untuk saling melengkapi." "Jangan terlalu berpikir lurus, Kak. Tuhan juga melengkapi manusia dengan akal sampai ada sistem jual-beli barang dan jasa, untuk saling memanfaatkan." "Susah memang kasih kamu nasihat," ketus Jess membuat Rana sedikit tersenyum miring. "Susah memang kasih kakak fakta," sahut Rana santai, namun cukup membuat Jess berdecak sebal, "kak, kalau ada toko kue kering berhenti ya, aku lagi pengen kue sus," ucap Rana mendapat dehaman singkat dari sang kakak. Berbaring tenang di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang cenderung lambat, membuat Rana merasa dirinya cukup damai untuk mengisi kembali baterai sosialnya yang terkuras karena kegiatan sosial. Kemampuan bersosialisasi yang cenderung payah, kerap kali membuat Rana harus cepat memutar otak dan menguras tenaga untuk menyembunyikan kepayahannya. Hingga istilah baterai sosial kini menjadi akrab dalam dirinya. "Tadi pagi kamu telepon Kal?" Berdeham singkat Rana menjawabnya, "terus sudah kamu tanya alasannya bawa mobilmu sampai pagi?" Menggeleng pelan wanita karir itu menjawab kakaknya. Sontak mengernyit Jess yang sesekali menoleh ke adiknya yang asyik bersandar dengan mata terpejam, "teleponnya dijawab tapi suaranya kayak orang baru bangun tidur, malas aku urusinnya, bodo amat," ujar Rana acuh tak acuh, "yang penting entar pulang, bensin penuh dan mobil enggak boleh ada lecet, bau atau kotor," lanjutnya membungkam Jess yang sudah tahu persis karakter adiknya, selagi ketenangan dan rencana hidup pribadi tidak terganggu, maka Rana tidak peduli pada apapun kecuali melibatkan nominal. "Di depan ada toko kue, siapkan uangnya," tukas Jess membuat Rana sontak membuka mata dan menoleh ke kakaknya sambil berdecak, merasa bahwa Jess tidak memberinya kesempatan untuk diam sejenak. Beranjak duduk wanita muda itu seraya mengubah posisi jok mobil yang ia tempati, mengambil sebuah kartu yang digunakan untuk membayar kuenya nanti. Berhenti perlahan kendaraan roda empat itu dan masuk ke dalam barisan parkir paralel pinggir jalan, "dari dulu aku payah kalau soal parkir, keren kakak!" puji Rana mengacungkan dua ibu jari dengan senyum konyol dan barisan gigi yang terlihat. "Iya dong," sahut Jess tersenyum bangga dan memainkan alisnya, sebelum dua wanita itu terbahak bersama, "sudah sana, aku mau bolu isi," kata wanita berusia dua tahun lebih tua dari Rana. "Oke bos," tukas wanita cantik berambut hitam itu, lalu bergegas keluar dari mobil. Satu dua langkah membawa Rana perlahan menjauhi mobil yang terparkir, masih dalam jangkauan penglihatan Jess dari balik kemudi. Langkah Rana terhenti dan berdiri mematung wanita muda itu, membuat sang kakak mengernyit dan terus memperhatikan adiknya dengan lekat, "kenapa itu?" pungkasnya hendak keluar dari mobil, namun dengan cepat pula Rana memutar arah dan berlari ke dalam mobil. "Eh, kenapa?" tanya Jess bingung dengan adiknya yang langsung menutup pintu mobil. "Dua mobil di depan kita itu mobil aku, kakak bisa keluar baris parkiran ini dulu, enggak? Kita ikuti mobilnya nanti," ucap Rana menjawab sekaligus meminta suatu hal pada Jess yang justru terdiam, "kakak kenapa?"Bergegas Kalil menuju kamar mandi setelah memasang gembok pengaman di gerbang dan mengunci pintu utama, membuang air kecil, mencuci bersih tangan dan wajah sebelum tidur. Kebiasaan kecil Rana yang kini jadi bagian dari kebiasaan Kalil juga, berjalan ia ke kamar tidur dan menjumpai Rana yang sedang memegang botol susu Karsa yang sudah terlelap, "aku naik, ya?""Hm," deham Rana melihat suaminya yang bergegas menaiki ranjang perlahan, dan membaringkan diri di dalam selimut yang disingkap, "Bunda sudah pulang?""Sudah, naik mobil dari ojek daring."Mengangguk pelan Rana menanggapi suaminya, "tadi sore dia ke sini naik apa?""Diantar supir, tapi dia enggak mau telepon supir lagi buat jemput karena ini sudah malam." Mengernyit bingung Rana mendengarnya, aneh sekali mendengar sang Ibunda memahami arti kemanusiaan, "biar supirnya istirahat," tambah Kalil menduga Rana bingung dengan jawabannya."Hm," deham Rana lagi dan mengangguk acuh tak acuh, seraya berpikir kebenaran yang meragukan. Benark
Terdiam Angelica setelah berucap profesional sedemikian rupa di hadapan anak dan menantunya, begitu pula dengan Rana dan Kalil yang memilih tetap diam, semakin mempermudah hening yang memekakan telinga untuk menyelimuti dalam canggung dan bingung satu sama lain. Kalil dengan pekerjaan, Rana dengan persiapan diri untuk berhenti kerja dan hanya fokus pada keluarga, dan Angelica yang memikirkan pengganti Jessica, "Lagi pula, separah apa kondisi Kak Jess?""Kondisinya sangat berantakan," jawab Angelica usai terdiam sesaat untuk mempertimbangkan jawaban, haruskah menyembunyikan fakta dengan kebohongan demi menjaga kebaikan nama Jessica Danti? Ataukah lebih baik jujur demi ketenangan hati? Namun, apa yang harus dijaga dari sesuatu yang cepat atau lambat akan diketahui?"Berantakan gimana?" tanya Rana lagi menuntut penegasan dari jawaban Angelica.Bagi Rana, hubungan keluarga harus selalu terbuka dan jelas dalam hal apa pun, terutama kondisi kini kala Karsa dirawat Rana yang sedang hamil dan
Mengangguk Rana menyambut ujaran ibunya yang tidak menyenangkan hati, "meski begitu, kami juga mempertimbangkan pemahaman Rana tentang perusahaan yang pasti tidak dikenal sepenuhnya, tapi kami juga mempertimbangkan kecerdasan Rana beradaptasi dan pengalamannya di perusahaan lain. Karena itu, kami memutuskan agar kalian menjadi pimpinan dari dewan pengawas internal perusahaan," ujar Angelica membuat Rana terbelalak, sedangkan Kalil sontak menunduk dan berdeham.Tanpa banyak kata, Angelica tahu bahwa sejoli ini terkejut dan cemas. Namun, hasil pertimbangannya dengan para investor hanya dua, antara Rana jadi bagian dewan pengawas atau mengisi jabatan yang pernah ditempati Jessica dan Tomi. Pertimbangan sangat tidak mudah tapi tidak bisa disebut sangat sulit, mengingat besarnya bisnis yang dikelola."Apa enggak ada posisi atau hal lain yang memungkinkan?" tanya Rana mengusap kepala Karsa yang berambut amat tipis, mencari penenang dari hati yang semakin gelisah."Ada," jawab Angelica singk
"Bungsuku sebentar lagi jadi ibu," goda wanita hampir paruh baya setelah berkunjung ke rumah putri bungsunya, godaan yang terlontar begitu saja sambil melihat si bungsu yang sedang membuka blazer, "kamu masih kerja atau Kalil masih betah jadi pengangguran?" tanya wanita hampir paruh baya bernama Angelica Audreylia."Beberapa hari lalu sudah mengajukan surat pengunduran diri, besok konfirmasi terakhir sekalian berpamitan sama tim," jawab si bungsu bernama Kirana Zendaya, si bungsu yang sikap dan cara berpikirnya hampir serupa dengan banyaknya para kakak perempuan pertama. Bukan karena keberanian atau pembentukan karakter yang didapat dari orang tua atau sekolah, tapi karena kenyataan pahit yang memaksa dan melatihnya untuk tetap bisa bertahan hidup, "Kalil mulai kerja nanti awal bulan," lanjutnya melirik Angelica dengan kesal, lirikan yang menjadi hasil dari kekesalan terpendam."Berarti sudah disetujui perusahaan kalau mau berhenti?" tanya wanita hampir paruh baya yang berstatus sebag
"Hai, cucu eyang!" seru Guntur menyambut kedatangan Kalil dan Rana yang menggendong anak dari Jessica, pagi hari yang terbilang cerah sejalan dengan suasana hati semua orang, walau jelas terlihat hampir tidak sejalan dengan Rana yang hanya senyum canggung penuh rasa terpaksa yang jelas terlihat."Ayo masuk," ajak Angelica, ibunda Rana yang hampir setengah hidupnya untuk bermusuhan dengan Rana, hanya karena Rana terlihat lebih mirip dengannya baik dari fisik hingga sikap."Iya, Bu," kata Kalil mewakili Rana yang memang hanya diam setelah memaksanya memakaikan baju pada bayi Jessica, "Ayo, Sayang.""Hm," deham Rana acuh tak acuh, berjalan lebih dulu bahkan melewati sang ayah dan bunda, "Kak Jess!" teriaknya tiba-tiba setelah berada di ruang tengah, menidurkan bayinya di sofa untuk satu orang dan kembali berteriak memanggil."Shh," desis Kalil merangkul istrinya erat, "kenapa, Sayang? Akhir-akhir ini kamu gampang emosi, ya.""Ck, lepas!" tukas Rana menepis tangan Kalil dari bahunya dan m
Rasa malas begitu kuat, fisik yang rasanya seperti patah pada setiap sendi hingga lunglai, dan pikiran tetap terasa berat meski beban terbesar yang berasal dari Tomi telah selesai. Terduduk Rana di atas toilet dan mengulurkan tangan sedikit ke bawah untuk menampung air seni, mengikuti instruksi tertulis dari kotak alat uji kehamilan lalu menyelesaikan hajat.Penuntasan hajat yang seringkali tidak membutuhkan waktu lama, tapi tak jarang juga menghabiskan banyak waktu yang tak terduga. Terhela napasnya seraya mencuci tangan di wastafel kecil, beralih pandangannya pada sebuah stik yang memiliki indikator, stik yang kini bersandar santai di gelas kecil berisikan air seni pertama di pagi hari, dan stik yang kini Rana ambil untuk melihat hasilnya.Terdiam ia melihat layar digital yang menunjukkan hasil, mematung hanya melihat stik di tangannya yang perlahan gemetar takut dan gelisah, "Kalil Nayaka!" teriaknya memanggil."Kenapa, Ran?" sahut Kalil bergegas mendekati pintu kamar mandi dan men