"Oh iya tentang Tomi, jadi ada yang diceritakan?" tanya Jessica.Terbungkam Rana kala mendengar pertanyaan itu diajukan, "ada," jawab Rana melirih sendu dalam rasa bersalahnya, "aku tahu ini bakal menyakitimu, tapi ini terpaksa terjadi sejak satu bulan yang lalu.""Kamu jadi selingkuhannya?" pungkas Jessica cukup membuat Rana sontak membuka matanya lebar, "aku sudah pantau semuanya sejak mulai sadar banyak ketidakseimbangan dari laporan keuangan perusahaan, tapi aku terlalu malu untuk menghubungimu lagi," lanjutnya tersenyum kecil dan canggung seraya menoleh ke Rana yang berusaha menjaga ekspresinya."Kenapa kamu berselingkuh? Bukankah kamu yang paling anti buat hal kayak gitu?" sambung Jessica saat mendapati Rana hanya membisu, ia tahu sang adik pasti terkejut dan tidak menyangka, sebab dirinya pun tidak menyangka pada takdir yang tetap berjalan meski kebaikan sudah ada dalam kehidupan. Bukankah banyak orang percaya dan saling meyakinkan satu sama lain, bila hidup dalam kebaikan maka
"Terus gimana rencanamu berikutnya?""Kakak cerai." Terbuka lebar mata Jessica mendengar jawaban Rana, permintaan atau mungkin perintah bercerai yang dengan mudah terucap, tanpa banyak pertimbangan dan kematangan berpikir, hanya mengandalkan emosi sesaat tanpa pula memberi kesempatan orang lain berubah atau berusaha jadi lebih baik, "kenapa? Enggak mau? Ya sudah, aku enggak akan paksa karena sekarang aku cuma mau bantu orang yang mau dibantu, aku enggak mau blunder lagi," lanjut Rana setelah melihat reaksi sang kakak, reaksi dan ekspresi yang masih menunjukkan betapa ragunya Jessica untuk melepas Tomi."Aku cuma ragu," jawab Jessica membuat Rana tersenyum kecut, "aku akan pertimbangkan," katanya lagi kali ini memancing Rana untuk tersenyum miring."Apa yang bikin kakak ragu? Apa yang kakak pertahankan dari manusia sampah kayak Tomi Uraga? Pengangguran, boros, tukang selingkuh, suka sewa perempuan nakal, candu taruhan, apa lagi yang dipertahankan?" cecar Rana menyebut segala kelemahan
Terdiam mematung Rana dengan napas pelan yang begitu dijaga meski jantung bertalu lebih cepat, terkatup rapat juga bibir itu menekan segala hasrat ingin berteriak dalam ketakutan. Beranjak Rana dari atas ranjang, menyorot langkah kaki dengan cahaya ponsel, menjaga kamar agar tetap terlihat gelap dari luar ruangan. Sampai langkah itu terhenti dekat pintu kala melihat secarik kertas di bawah pintu, berjongkok Rana di dekat kertas yang tergeletak itu dan menyorot kertasnya dengan cahaya dari ponsel."Kirana! Ayo main atau aku paksa kamu main, Sayang?"Deg!Terhenyak Rana membaca tulisan berwarna merah itu, napas menderu cepat dengan mata yang terus tertuju ke kertas di pegangan dalam temaramnya ruangan. Cahaya dari bufet TV, lampu hias di setiap sudut ruangan, dan hiasan benda langit di langit-langit kamar tidak lagi terlihat menyenangkan, pikiran dan mata hanya tertuju pada lembar kertas itu. Ini apa? Ancaman atau apa? Siapa yang ada di luar sana?Cklek.Terbuka pintu kamar itu saat Ran
"Hm ...," deham polisi itu mengangguk-anggukkan kepalanya, melihat Jessica lekat meski sosok yang dilihat hanya menunduk gelisah, terlihat jemari dari kedua tangan yang dimainkan dengan kasar, "kenapa kamu ke kamar atas dan ajak dia buat cepat pergi?" lanjutnya bertanya membuat Jessica sontak mengangkat kepalanya."Aku kurang suka untuk tutup rapat pintu kamar tidur, karena menurutku jika terjadi sesuatu itu akan membahayakan dan merepotkan," ujar wanita hamil itu menjawab, awal jawaban yang mendapat anggukan kecil dari petugas, "terus tadi aku habis dari toilet yang ada di kamar, pas baru keluar itu aku lihat ada siluet di ruang tengah," lanjutnya terhenti sejenak lalu menatap Rana dan Kalil bergantian, berhentinya ucapan yang sudah pasti menarik perhatian petugas."Iya ruang tengah sini," sambung Jessica beralih menatap petugas, menegaskan posisi atau titik ia melihat siluet, "bayangan beberapa cowok gitu, ada yang kayak bawa senjata tajam panjang di pundaknya."Terhenti lagi Jessic
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur
Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua. Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab d
"Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa
"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri. Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu
"Hm ...," deham polisi itu mengangguk-anggukkan kepalanya, melihat Jessica lekat meski sosok yang dilihat hanya menunduk gelisah, terlihat jemari dari kedua tangan yang dimainkan dengan kasar, "kenapa kamu ke kamar atas dan ajak dia buat cepat pergi?" lanjutnya bertanya membuat Jessica sontak mengangkat kepalanya."Aku kurang suka untuk tutup rapat pintu kamar tidur, karena menurutku jika terjadi sesuatu itu akan membahayakan dan merepotkan," ujar wanita hamil itu menjawab, awal jawaban yang mendapat anggukan kecil dari petugas, "terus tadi aku habis dari toilet yang ada di kamar, pas baru keluar itu aku lihat ada siluet di ruang tengah," lanjutnya terhenti sejenak lalu menatap Rana dan Kalil bergantian, berhentinya ucapan yang sudah pasti menarik perhatian petugas."Iya ruang tengah sini," sambung Jessica beralih menatap petugas, menegaskan posisi atau titik ia melihat siluet, "bayangan beberapa cowok gitu, ada yang kayak bawa senjata tajam panjang di pundaknya."Terhenti lagi Jessic
Terdiam mematung Rana dengan napas pelan yang begitu dijaga meski jantung bertalu lebih cepat, terkatup rapat juga bibir itu menekan segala hasrat ingin berteriak dalam ketakutan. Beranjak Rana dari atas ranjang, menyorot langkah kaki dengan cahaya ponsel, menjaga kamar agar tetap terlihat gelap dari luar ruangan. Sampai langkah itu terhenti dekat pintu kala melihat secarik kertas di bawah pintu, berjongkok Rana di dekat kertas yang tergeletak itu dan menyorot kertasnya dengan cahaya dari ponsel."Kirana! Ayo main atau aku paksa kamu main, Sayang?"Deg!Terhenyak Rana membaca tulisan berwarna merah itu, napas menderu cepat dengan mata yang terus tertuju ke kertas di pegangan dalam temaramnya ruangan. Cahaya dari bufet TV, lampu hias di setiap sudut ruangan, dan hiasan benda langit di langit-langit kamar tidak lagi terlihat menyenangkan, pikiran dan mata hanya tertuju pada lembar kertas itu. Ini apa? Ancaman atau apa? Siapa yang ada di luar sana?Cklek.Terbuka pintu kamar itu saat Ran
"Terus gimana rencanamu berikutnya?""Kakak cerai." Terbuka lebar mata Jessica mendengar jawaban Rana, permintaan atau mungkin perintah bercerai yang dengan mudah terucap, tanpa banyak pertimbangan dan kematangan berpikir, hanya mengandalkan emosi sesaat tanpa pula memberi kesempatan orang lain berubah atau berusaha jadi lebih baik, "kenapa? Enggak mau? Ya sudah, aku enggak akan paksa karena sekarang aku cuma mau bantu orang yang mau dibantu, aku enggak mau blunder lagi," lanjut Rana setelah melihat reaksi sang kakak, reaksi dan ekspresi yang masih menunjukkan betapa ragunya Jessica untuk melepas Tomi."Aku cuma ragu," jawab Jessica membuat Rana tersenyum kecut, "aku akan pertimbangkan," katanya lagi kali ini memancing Rana untuk tersenyum miring."Apa yang bikin kakak ragu? Apa yang kakak pertahankan dari manusia sampah kayak Tomi Uraga? Pengangguran, boros, tukang selingkuh, suka sewa perempuan nakal, candu taruhan, apa lagi yang dipertahankan?" cecar Rana menyebut segala kelemahan
"Oh iya tentang Tomi, jadi ada yang diceritakan?" tanya Jessica.Terbungkam Rana kala mendengar pertanyaan itu diajukan, "ada," jawab Rana melirih sendu dalam rasa bersalahnya, "aku tahu ini bakal menyakitimu, tapi ini terpaksa terjadi sejak satu bulan yang lalu.""Kamu jadi selingkuhannya?" pungkas Jessica cukup membuat Rana sontak membuka matanya lebar, "aku sudah pantau semuanya sejak mulai sadar banyak ketidakseimbangan dari laporan keuangan perusahaan, tapi aku terlalu malu untuk menghubungimu lagi," lanjutnya tersenyum kecil dan canggung seraya menoleh ke Rana yang berusaha menjaga ekspresinya."Kenapa kamu berselingkuh? Bukankah kamu yang paling anti buat hal kayak gitu?" sambung Jessica saat mendapati Rana hanya membisu, ia tahu sang adik pasti terkejut dan tidak menyangka, sebab dirinya pun tidak menyangka pada takdir yang tetap berjalan meski kebaikan sudah ada dalam kehidupan. Bukankah banyak orang percaya dan saling meyakinkan satu sama lain, bila hidup dalam kebaikan maka
"Terus mobil kemana? Setahuku kakak punya empat, kan?" kata Rana mempertanyakan kondisi garasi luas itu mendadak kosong bahkan dibiarkan terbuka bebas."Harus aku kasih tahu, ya? Tapi kalau kamu khawatir sama bisnis keluarga kita, semua sudah aku amankan dan tetap stabil terjaga kok," jawab Jessica memancing kecurigaan Rana."Dibawa kabur Tomi?" pungkas Rana acuh tak acuh, bukan karena tidak memikirkan perasaan kakaknya, tapi ini semua terlalu mencurigakan dan mengkhawatirkan."Aku enggak mau bilang apapun tentang Tomi, tapi semua yang kamu pernah bilang dulu itu benar," tanggap Jessica membuat Rana mengernyit bingung, "paket misterius ke kantormu," lanjutnya kian membuat wajah oriental itu seolah merengut dalam kebingungan."Taruhan kartu di meja hijau, perselingkuhan, atau hinaan?" kata Rana bertanya lagi untuk memastikan pendengarannya, walau sudah jelas Jessica berucap bahwa semua itu benar, tapi iyakah? Kenapa Jessica tiba-tiba sadar dan membenarkan semua hanya dalam waktu lebih
"Serius, Den?" tukas Rana konfirmasi kebenaran informasi dari suaminya pada yang bersangkutan, terdiam membisu lawan bicara yang Rana tuju, sesekali membuka ponsel dan melihat sekitar, "dimintanya buat bantu cari informasi, malah pacaran sama narasumber," celoteh Rana pada Den yang mengangkat kepalanya."Biarlah," pungkas Den meletakkan ponselnya di atas meja tamu, meluruskan kedua kaki dan mencari posisi paling nyaman."Kenapa bisa dan sejak kapan?" tanya Rana mendapat lirikan santai dari Den yang bersedekap dada."Ya bisalah, aku jomlo Diah jomlo, kenapa enggak bisa?" jawab Den lalu memejamkan mata, "sejak pekan lalu. Diah orangnya kooperatif, komunikasinya bagus, dan punya logika yang berguna," lanjutnya sambil menarik bantal sofa dari pangkuan Kalil dan menjadikannya sanggahan leher, hendak tidur di sofa untuk satu orang jelas harus mendapat posisi amat nyaman demi menggapai tidur cukup."Lah?" tukas Rana menyipitkan mata dan beralih pandang ke suaminya, "temanmu pada tidur di sin
"Setelah Fafa mempertimbangkan dan pikirkan kebutuhan, dia mau tes DNA. Tapi sebelum dan setelah itu Fafa mau berhubungan dulu sama aku, Arhan, Kalil, dan Tomi," tanggap Denandra tentu membuat Rana membelalak terkejut."Enggak!" seru wanita berkulit putih dan bernetra cokelat itu, seruan yang sangat menyuratkan adanya kekesalan meluap, "enggak," katanya lagi penuh penekanan dan menatap tajam tiga pria itu secara bergantian.Terdiam tiga pria muda itu serentak dengan kepala tertunduk, aura dominasi dengan tatapan tajam dan napas menderu dalam kekesalan khas Kirana Zendaya sudah terasa, terlihat, dan terdengar jelas. Membisu juga Rana mengatur suasana hati dan pikiran untuk mengontrol napasnya, perasaan sesak akibat terkejut pada permintaan tidak berlogika dari seorang wanita, sosok yang menurut Rana kini sangat pantas untuk disebut murahan, atau bahkan memang tidak memiliki harga diri."Hm," deham wanita karir itu memancing agar tiga pria di dekatnya kini segera bereaksi, agar segera m
"Fafa mau diajak tes DNA." Terbuka lebar mata Rana terkejut kala mendengar suara itu berucap. "Tapi ada syaratnya yang gila," lanjut suara lain yang tidak kalah familiar, hanya dari suara-suara itupun Rana tahu, di luar sana ada tiga pria yang sudah ia kenal. Ditarik napas panjang lalu diembuskan kasar, lagi dan lagi semua berjalan lebih cepat dari dugaan. Denandra yang konon kata Kalil cukup ahli dalam membuat rencana hanya dengan melamun, Kalil yang konon katanya pula sangat kenal dengan Fafa, dan dirinya pun konon banyak yang bilang sangat cuek pada apapun. Kenyataan berkata bahwa semua tidak sesuai dugaan, dan berakhir membingungkan. Beranjak Rana dari kursinya sambil membawa ponsel dan ransel kerja, bergegas membuka pintu, bukan karena dikunci atau melarang siapapun untuk masuk ruangan, tapi untuk menghindari gosip dari siapapun yang masih ada di kantor atau mengambil lembur. Kalil, Arhan, dan Denandra terlihat tepat di dekat depan pintu, menatap Rana lekat sementara netra cok
"Dia mau pinjamnya dua belas juta, oi," tukas Den berhasil membuat Rana dan Kalil membelalak terkejut, "sekarang gimana? Aku jadi mulai mempertanyakan visi-misi Rana sama semua ini," oceh Den mengembalikan ekspresi Rana yang begitu datar dalam diam.Sementara Kalil, sesekali melihat ke ponsel dan Rana, rasanya begitu aneh untuk terlibat dengan dua anak konglomerat ini. Yang dalam panggilan hanya sedikit beruntung, berhasil mengatur orang tuanya demi kelangsungan perusahaan, dan yang kini di hadapannya hampir tidak sangat beruntung, dibenci orang tua hanya karena kebebasan yang diinginkan.Seingat Kalil, belum ada dua menit keduanya terkekeh bahkan terbahak, karena celotehan Rana yang menceritakan kondisi Kalil dan Fafa di restoran tadi. Keduanya menertawakan keadaan yang menurut Kalil tidak lucu sama sekali, ekspresi Rana tadi yang tiba-tiba antusias kini jadi datar, dan Den yang tadi terdengar tertawa keras kini hanya diam.Sebenarnya apa yang dua anak konglomerat ini rasakan dan pik