Share

Bab 5. Semua Bertambah Runyam

"Lepasin, Mas!"

Aku berusaha keras menyentak tangan yang digenggam kuat Mas Dennis. Namun, energi ini seolah tak berdaya karena sudah terkuras dengan segala pekerjaan rumah tangga.

"Aku nggak akan lepasin sebelum kamu jujur. Ada hubungan apa kamu dengan Julio?!" teriaknya.

Kulihat matanya makin memerah, lebih merah dari yang kulihat tadi pagi, entah efek kurang tidur atau ...

"Aku tidak ada hubungan apa-apa, Mas sama Julio," protesku, dengan derai airmata. "Apa yang perlu dijujurin lagi, nyatanya memang aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Julio."

"Kalau kalian tidak ada hubungan apa-apa, kenapa bisa Julio datang ke sini? Hah, jawab!"

"Aku juga nggak tahu kenapa dia bisa datang ke sini." jawabku lirih.

"Halah ... !" tepisnya.

Aku terpental ke kasur ketika Mas Dennis mendorong. dengan keras.

"Lantas, aku akan percaya begitu saja dengan ucapanmu itu, Han? Tidak semudah itu, mana mungkin maling mau mengakui perbuatannya. Apa yang kulihat tadi tidak sesuai dengan apa yang kamu utarakan," ujarnya, ia berkacak pinggang di depanku.

"Serius, Mas. Aku sama sekali tidak membohongi kamu."

"Mana mungkin seorangl laki-laki mau berbaik hati membantu hingga memberikan uang dengan jumlah banyak pada seorang wanita yang sudah bersuami. Kamu pikir aku tidak tahu isi amplop tadi. Atau jangan-jangan ..."

"Kamu jual diri? Iya? Makanya Julio ngasih kamu uang?! Dasar wanita mur*h*n ..."

Plak!!!

Kali ini emosiku tersulut tanpa bisa ditahan lagi, sudah terlalu jauh dia menghina diriku.

"Aaauu ..." pekiknya, kini tangannya memegang pipi sebelah kanan yang kutampar tadi.

"Jaga omongan kamu, Mas. Aku tidak serendah itu, harusnya kamu bersyukur punya istri sepertiku yang tidak pernah banyak menuntut ini itu. Harusnya kamu bersyukur anak-anakmu masih terurus dengan baik sedangkan di luar sana banyak para ibu memutuskan b*n*h diri akibat banyak suami tidak bisa bertanggung jawab."

"Apa kamu pernah berpikir seperti itu? Hah? Sekarang kamu malah menuduhku atas apa yang tidak aku lakukan!" serangku lepas kontrol.

Entah energi dari mana dengan kecepatan turbo aku sontak berdiri lalu menampar Mas Dennis. Kutinggalkan dia yang tertunduk dengan membawa semua pakaian yang kuambil dari jemuran tadi, untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak saja aku sudah kehabisan tenaga, mana ada waktu buat berselingkuh seperti yang dia tuduhkan. Ingin sekali aku mencecarnya soal tas yang ada di story Erlyn tadi, tapi rasanya percuma juga dia pasti tidak akan mengakuinya.

Hujan baru saja mengguyur bumi dengan sangat deras. Andai hujan mengguyur daritadi, mungkin Julio tidak akan datang ke sini. Mungkin juga tidak akan menambah prahara di rumah tanggaku. Entah apa yang membuat Julio sampai nekad di sini.

"Ma ...," panggil Haseena yang sudah berdiri di ambang pintu kamar tempat dia tidur bersama Almeer.

"Kakak, udah bangun?" sapaku, lalu menaruh pakaian yang kubawa tadi di atas kasur di dekat Almeer tidur.

"Papa, mana Ma?" tanyanya lirih sambil mengusap-usap kedua matanya. Aku hanya diam, mulutku terkunci untuk menjawab pertanyaan Haseena. Lalu anak sulungku pun masuk ke kamar depan.

"Pa ... Kakak sayang, Papa." Begitu yang terdengar olehku dari kamar sebelah.

"Papa juga sayang Kakak, Nak," jawabnya lirih.

"Jikalau kamu sayang, tak seharusnya kamu menyakitiku dan anak-anak dengan cara seperti ini, Mas," protesku dalam hati.

***

Malam harinya, selepas Isya dikala aku dan anak-anak tengah bermain di ruang tengah, tiba-tiba Mas Dennis menghampiriku. Dia memang tak kuacuhkan sedaritadi.

"Han ... Mas minta maaf, atas perlakuan tadi," ucapnya mengiba. Aku seolah tak mendengar apa yang dia ucapkan dengan terus bermain dengan anak-anak.

"Han ... kamu, marah?" dia memegang pundakku, jelas kusentak kasar. Bathinku masih belum mau berdamai dengannya selepas apa yang sudah diucapkan tadi.

Tok... Tok... Tok...

"Dennis .... buka pintunya!"

"Den ... Dennis ..."

Deg!

"Aku kenal betul dengan suara itu, untuk apa ibu mertua datang lagi ke sini, apalagi sudah malam seperti ini?" pikirku dalam hati.

Kulihat jam bundar berwarna putih yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 20.30 malam, hujan memang belum lama berentinya. Tapi, ada urusan apalagi ibu ke sini? Jantungku berdetak tak karuan mengisyaratkan ada sesuatu.

"Apa ini hanya kebetulan," pikirku keras.

"Den ... Dennis. Buka pintunya, ini ibu." Wanita yang melahirkan Mas Dennis terus mengetuk pintu tanpa jeda.

"Iya ... Bu, sebentar," sahut Mas Dennis.

Seakan tidak ada apa-apa, aku mengasyikkan diri bermain dengan anak-anak. Haseena yang tengah asyik main masak-masakan, begitupun Almeer yang tengah asyik menyusun legonya.

"Lama banget buka pintunya," protes ibu ketika pintu terbuka.

"Ibu ... Erlyn ... ada apa datang ke sini?" tanya Mas Dennis.

"Apa? Erlyn? Dia ke sini dengan ibu? Ada apa?" rentetan pertanyaan mulai bersarang dibenakku.

Mengesampingkan ego, aku menoleh ke mereka berdua yang berdiri di ambang pintu.

"Masuk dulu, Bu!" Namun, sama sekali tidak digubris, mereka diam saja.

"Nak, salim dulu eyang dan tante Erlynnya!" suruhku pada anak-anak, tapi hanya Haseena yang berjalan dan menyalami ibu, akan tetapi ... "tangan eyang masih basah, nggak usah salim," sahut ibu, tolakan halus dari ibu tak ingin menyambut salaman dari Haseena.

Aku membalikkan badan, "Nak ... sini ikut Mama dan adek ke kamar. Kita main di kamar saja ya?"

Haseena mengangguk mengerti, mungkin dia juga merasakan jika eyang tak peduli padanya. Tatapan ibu begitu sinis padaku, ketika aku mengajak Haseena ke kamar, belum puaskah dia sudah memfitnahku tadi, aku yakin pasti dia memutarbalikkan fakta pada Mas Dennis kalau tidak mana mungkin Mas Dennis pulang-pulang memarahiku seperti itu, sedangkan Erlyn menyunggingkan ujung bibirnya ketika netra kami beradu, entah apa salahku padanya.

Lebih baik aku mengajak anak-anak untuk bermain di kamar, tak lupa kubawa beberapa perintilan mainan. Daripada mereka harus menyaksikan sesuatu hal yang tidak patut dilihat, tak lupa kukunci pintu kamar.

Haseena dan Almeer tengah asyik bermain, aku pun mengambil gawai pipih dari saku celana yang dipakai, untung saja sewaktu Mas Dennis mendorong hingga aku terpental, gawaiku tetap bertahan dalam persembunyiannya. Kalau tidak, bisa-bisa dia memeriksanya dan tahu jikalau aku sedang berjualan online. Sebenarnya tadi, ketika ingin melipat baju dan terdengar ketukan pintu depan. Aku memasukan ponsel ke dalam saku celana yang dipakai.

"Den ... mana? Jadi minjamnya?" tanya ibu, ucapannya begitu jelas di telingaku mungkin sengaja dikeraskan biar aku bisa mendengar di dalam kamar. Kuhentikan sejenak memainkan gadget, lalu menyimak pembicaraan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status