"Lepasin, Mas!"
Aku berusaha keras menyentak tangan yang digenggam kuat Mas Dennis. Namun, energi ini seolah tak berdaya karena sudah terkuras dengan segala pekerjaan rumah tangga."Aku nggak akan lepasin sebelum kamu jujur. Ada hubungan apa kamu dengan Julio?!" teriaknya.Kulihat matanya makin memerah, lebih merah dari yang kulihat tadi pagi, entah efek kurang tidur atau ..."Aku tidak ada hubungan apa-apa, Mas sama Julio," protesku, dengan derai airmata. "Apa yang perlu dijujurin lagi, nyatanya memang aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Julio.""Kalau kalian tidak ada hubungan apa-apa, kenapa bisa Julio datang ke sini? Hah, jawab!""Aku juga nggak tahu kenapa dia bisa datang ke sini." jawabku lirih."Halah ... !" tepisnya.Aku terpental ke kasur ketika Mas Dennis mendorong. dengan keras."Lantas, aku akan percaya begitu saja dengan ucapanmu itu, Han? Tidak semudah itu, mana mungkin maling mau mengakui perbuatannya. Apa yang kulihat tadi tidak sesuai dengan apa yang kamu utarakan," ujarnya, ia berkacak pinggang di depanku."Serius, Mas. Aku sama sekali tidak membohongi kamu.""Mana mungkin seorangl laki-laki mau berbaik hati membantu hingga memberikan uang dengan jumlah banyak pada seorang wanita yang sudah bersuami. Kamu pikir aku tidak tahu isi amplop tadi. Atau jangan-jangan ...""Kamu jual diri? Iya? Makanya Julio ngasih kamu uang?! Dasar wanita mur*h*n ..."Plak!!!Kali ini emosiku tersulut tanpa bisa ditahan lagi, sudah terlalu jauh dia menghina diriku."Aaauu ..." pekiknya, kini tangannya memegang pipi sebelah kanan yang kutampar tadi."Jaga omongan kamu, Mas. Aku tidak serendah itu, harusnya kamu bersyukur punya istri sepertiku yang tidak pernah banyak menuntut ini itu. Harusnya kamu bersyukur anak-anakmu masih terurus dengan baik sedangkan di luar sana banyak para ibu memutuskan b*n*h diri akibat banyak suami tidak bisa bertanggung jawab.""Apa kamu pernah berpikir seperti itu? Hah? Sekarang kamu malah menuduhku atas apa yang tidak aku lakukan!" serangku lepas kontrol.Entah energi dari mana dengan kecepatan turbo aku sontak berdiri lalu menampar Mas Dennis. Kutinggalkan dia yang tertunduk dengan membawa semua pakaian yang kuambil dari jemuran tadi, untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak saja aku sudah kehabisan tenaga, mana ada waktu buat berselingkuh seperti yang dia tuduhkan. Ingin sekali aku mencecarnya soal tas yang ada di story Erlyn tadi, tapi rasanya percuma juga dia pasti tidak akan mengakuinya.Hujan baru saja mengguyur bumi dengan sangat deras. Andai hujan mengguyur daritadi, mungkin Julio tidak akan datang ke sini. Mungkin juga tidak akan menambah prahara di rumah tanggaku. Entah apa yang membuat Julio sampai nekad di sini."Ma ...," panggil Haseena yang sudah berdiri di ambang pintu kamar tempat dia tidur bersama Almeer."Kakak, udah bangun?" sapaku, lalu menaruh pakaian yang kubawa tadi di atas kasur di dekat Almeer tidur."Papa, mana Ma?" tanyanya lirih sambil mengusap-usap kedua matanya. Aku hanya diam, mulutku terkunci untuk menjawab pertanyaan Haseena. Lalu anak sulungku pun masuk ke kamar depan."Pa ... Kakak sayang, Papa." Begitu yang terdengar olehku dari kamar sebelah."Papa juga sayang Kakak, Nak," jawabnya lirih."Jikalau kamu sayang, tak seharusnya kamu menyakitiku dan anak-anak dengan cara seperti ini, Mas," protesku dalam hati.***Malam harinya, selepas Isya dikala aku dan anak-anak tengah bermain di ruang tengah, tiba-tiba Mas Dennis menghampiriku. Dia memang tak kuacuhkan sedaritadi."Han ... Mas minta maaf, atas perlakuan tadi," ucapnya mengiba. Aku seolah tak mendengar apa yang dia ucapkan dengan terus bermain dengan anak-anak."Han ... kamu, marah?" dia memegang pundakku, jelas kusentak kasar. Bathinku masih belum mau berdamai dengannya selepas apa yang sudah diucapkan tadi.Tok... Tok... Tok..."Dennis .... buka pintunya!""Den ... Dennis ..."Deg!"Aku kenal betul dengan suara itu, untuk apa ibu mertua datang lagi ke sini, apalagi sudah malam seperti ini?" pikirku dalam hati.Kulihat jam bundar berwarna putih yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 20.30 malam, hujan memang belum lama berentinya. Tapi, ada urusan apalagi ibu ke sini? Jantungku berdetak tak karuan mengisyaratkan ada sesuatu."Apa ini hanya kebetulan," pikirku keras."Den ... Dennis. Buka pintunya, ini ibu." Wanita yang melahirkan Mas Dennis terus mengetuk pintu tanpa jeda."Iya ... Bu, sebentar," sahut Mas Dennis.Seakan tidak ada apa-apa, aku mengasyikkan diri bermain dengan anak-anak. Haseena yang tengah asyik main masak-masakan, begitupun Almeer yang tengah asyik menyusun legonya."Lama banget buka pintunya," protes ibu ketika pintu terbuka."Ibu ... Erlyn ... ada apa datang ke sini?" tanya Mas Dennis."Apa? Erlyn? Dia ke sini dengan ibu? Ada apa?" rentetan pertanyaan mulai bersarang dibenakku.Mengesampingkan ego, aku menoleh ke mereka berdua yang berdiri di ambang pintu."Masuk dulu, Bu!" Namun, sama sekali tidak digubris, mereka diam saja."Nak, salim dulu eyang dan tante Erlynnya!" suruhku pada anak-anak, tapi hanya Haseena yang berjalan dan menyalami ibu, akan tetapi ... "tangan eyang masih basah, nggak usah salim," sahut ibu, tolakan halus dari ibu tak ingin menyambut salaman dari Haseena.Aku membalikkan badan, "Nak ... sini ikut Mama dan adek ke kamar. Kita main di kamar saja ya?"Haseena mengangguk mengerti, mungkin dia juga merasakan jika eyang tak peduli padanya. Tatapan ibu begitu sinis padaku, ketika aku mengajak Haseena ke kamar, belum puaskah dia sudah memfitnahku tadi, aku yakin pasti dia memutarbalikkan fakta pada Mas Dennis kalau tidak mana mungkin Mas Dennis pulang-pulang memarahiku seperti itu, sedangkan Erlyn menyunggingkan ujung bibirnya ketika netra kami beradu, entah apa salahku padanya.Lebih baik aku mengajak anak-anak untuk bermain di kamar, tak lupa kubawa beberapa perintilan mainan. Daripada mereka harus menyaksikan sesuatu hal yang tidak patut dilihat, tak lupa kukunci pintu kamar.Haseena dan Almeer tengah asyik bermain, aku pun mengambil gawai pipih dari saku celana yang dipakai, untung saja sewaktu Mas Dennis mendorong hingga aku terpental, gawaiku tetap bertahan dalam persembunyiannya. Kalau tidak, bisa-bisa dia memeriksanya dan tahu jikalau aku sedang berjualan online. Sebenarnya tadi, ketika ingin melipat baju dan terdengar ketukan pintu depan. Aku memasukan ponsel ke dalam saku celana yang dipakai."Den ... mana? Jadi minjamnya?" tanya ibu, ucapannya begitu jelas di telingaku mungkin sengaja dikeraskan biar aku bisa mendengar di dalam kamar. Kuhentikan sejenak memainkan gadget, lalu menyimak pembicaraan mereka."Bu ... tadi pinjamannya nggak banyak. Cuma dapat tiga juta," ujar Mas Dennis.Apa? Mas Dennis meminjam uang tanpa sepengetahuanku? Dengan siapa dia meminjam uang sebanyak itu? Di dalam kamar, pikiranku sibuk menerka-nerka. Demi makan enak untuk aku dan anak-anaknya saja dia tidak mau, akan tetapi demi ibunya ... "Kok cuma tiga juta? Tapi yaudahlah, mana uangnya? Ibu lagi butuh sekarang, besok sore ada arisan di rumah jadi subuh besok ibu udah mulai siapin semuanya.""Dennis cuma bisa ngasih segini, Bu," "Apa? Cuma 500rb? Kok sedikit, 'kan kamu minjamnya tiga juta," pekik ibu tak terima. "Kamu kasih ke Hanindia ya?" tuduh mertua. "Sebagian dari pinjaman kubelikan Erlyn tas, Bu. Sisanya untuk pegangan sebelum aku gajian. Stok kebutuhan masak juga nggak ada, Bu," jelas Mas Dennis."Bener 'kan dugaanku, tas yang ada di story WA Erlyn tadi harganya sejutaan. Sebegitu spesialkah Erlyn di matamu, Mas?"Ada perih di dada ini. Sakit dan sangat sakit bagiku. Aku menyeka air mata, lagi dan la
"Tampar ... tampar aja ... sekalian saja ambil pisau, bunuh saja sekalian. Biar kamu tahu rasanya gimana ngurusin anak dari A sampai Z," serangku. Dia mendengkus kasar dan berlalu. Tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya.Kalau tidak karena anak-anak masih kecil, aku sudah minta cerai dari dulu. Aku tidak mau anak-anak bernasib sama denganku, dibesarkan tanpa seorang ayah. Emak ditinggal Bapak karena perempuan lain saat aku duduk dibangku kelas satu SMP. Kuseka air mata, lalu lanjut mencuci piring.Aku juga tak tahu mengapa bisa bertahan sejauh ini, entah harapku terlalu yakin dia akan berubah, entah takdir yang masih mengantarku tetap bersama. ***"Ada apa Julio nelepon siang-siang begini?" tanyaku dalam hati. "Iya, Jul, Halo." Terpaksa aku mengangkatnya."Han ... maaf soal yang kemarin aku tidak ada maksud apa-apa," "Kalau tidak ada maksud apa-apa, kenapa kamu memberiku uang, Jul?""Aku kasihan sama
Tok ... Tok ... Tok ...Tiap kali ada yang mengetuk pintu, aku merasa trauma, bahkan mulai ada rasa takut untuk membukanya. Apalagi tidak ada ucapan salam atau memanggil namaku sekedar bunyi ketukan pintu.Tok ... Tok ... Tok ..."Han ... buka pintunya!" sorak Mas Dennis."Kok dia udah pulang kerja jam segini?" tanyaku dalam hati. Padahal baru saja ingin membaca sms pinjaman online yang masuk.Tok ... Tok ... Tok ..."Hanindia ... lama banget sih!" suaranya semakin keras.Dengan sigap aku langsung menaruh handphone di bawah bantal, lalu mengatur napas jangan sampai Mas Dennis curiga akan gerak-gerikku.Kret!"Dasar lelet, buka pintu saja lama!" umpatnya bersamaan dengan mendorong pintu yang tak sepenuhnya terbuka."Hooaaammm ..." aku pun pura-pura menguap tentu dengan menutup mulut sesuai adap."Enak ya kamu di rumah tidur di siang bolong kayak gini, aku panas-panasan di luar sana. Mak
"Ini, Kartika lihat sekarang kakak jualan online yah," tanyanya yang sekarang nada suaranya terdengar serius."Iya, Kar. Nambah-nambah penghasilan, mumpung juga keponakanmu udah beranjak gede, memangnya kenapa, Kar? Kok tahu kakak jualan online?""Iya, Predisa yang bilang. Dia lihat story di WA kakak. Nah kebetulan aku sekarang lagi merintis bisnis jilbab, kak. Mau nawarin kakak mau nggak jadi resellernya aku?" "Apa, Kar? Kamu punya usaha jilbab sekarang, wah keren. Mau ... mau ... Gimana sistem kerjanya nih?" tanyaku antusias."Ya sama kayak online shop yang lain kak. Aku ngasih ke kakak harga reseller nanti terserah kakak mau jual berapanya," "Ashiaaaapp ... Kart. Kirimin langsung foto-foto jilbabnya yah!" suruhku.Sambungan telfon pun berakhir, senyumku semakin mengembang. Bagai ketiban durian runtuh, sekalipun sakit terkena duri tapi ketika memakan isinya begitu manis. "Alhamdulillah, Ya Allah atas jalan yang Engkau be
"Satu lagi, jangan di rumah saja. Kerja kek, apa kek, jangan jadi istri manja cumanya bisa nampung aja. Ibu dulu bisa kok , mengasuh anak sembari berjualan. Nggak kayak kamu, lempengnya minta ampun," hujatnya."Sudah! Ibu mau tidur, ganggu orang istirahat saja kamu!" "Apa ibu tidak tahu, jikalau Mas Dennis sudah dipecat? Berarti kamu tidak di rumah ibu, Mas? Kamu kemana?" Benar 'kan apa yang kutakutkan terjadi, bukannya dapat jawaban malah beruntun hujatan yang dia lontarkan. Entahlah! Padahal sedikit pun aku tak cemburu jikalau Mas Dennis bisa berlaku adil atau setidaknya lebih menjadi lelaki yang pekerja keras. Lagi dan lagi, kuseka air mata yang jatuh membasahi pipiku yang tak terawat lagi.Kuputuskan untuk menidurkan anak-anak terlebih dahulu, apalagi dentingnya jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Kurang lebih menidurkan Haseena dan Almeer selama setengah jam, aku kembali mengambil gawai pipih yang tertinggal di ruang tengah. Tadi kelupaan membawanya, karena aku sibuk membua
Siapa lagi yang menyeka air mata di Subuh yang kian beranjak ini kalau tidak tanganku sendiri. Ketika keluar dari kamar anak-anak tadi, memang tidak ada motor matic itu terparkir di dalam rumah, pertanda dia tidak pulang."Tak bisakah, kamu beri aku waktu untuk bernapas lega sekali saja, Mas!"Jangan tanya, ini bukan kali pertama dia tidak pulang karena berkecimpung dunia haram itu, tatkala aku sedang mengandung Haseena entah berapa kali dia meninggalkanku di rumah kontrakan sendirian. Iba? Tentu saja tidak, jika dia iba dan peduli akan kesehatan fisik dan mentalku pasti lelaki berhidung mancung itu tidak akan tega membiarkanku menghabiskan pergantian malam sendirian."Apa sebenarnya tujuanmu menikahiku, Mas?"Padahal Allah begitu baik, menitipkan rezeki janin di perutku ketika pernikahan kami baru beranjak 1 bulan lebih, tapi kenyataannya hadirnya aku sebagai istrinya dan hadirnya janin di kandunganku rupanya tak mampu membuat dia beranjak dari dunia hitam itu. Semua perjalanan awal
"Den, sekarang 'kan ibu nggak jualan lagi, terus soal arisan gimana, Den? Kalau kebutuhan rumah ada Erlyn yang bantuin,""Biar Dennis yang nanggung, Bu, lagian Dennis juga udah kerja lagi, gampang lah soal itu," "Tapi gajimu 'kan nggak seberapa, Den? Selama ini ibu juga udah banyak 'kan berkorban untuk kamu, itung-itung gitu, Den?""Iya, Bu. Beneran, nggak masalah sama aku, yang penting buat aku, ibu bahagia. Aku seperti sekarang juga berkat pengorbanan ibu,""Terus apa nggak apa-apa sama istrimu nanti? Tapi harusnya nggak apa-apa 'kan ya, kalau nggak karena ibu juga mana mungkin dia punya suami sarjana kayak kamu, Den?""Bu ... soal Hanindia biar aku yang urus, keputusan mutlak ada di tanganku, Bu. Aku kepala keluarga, jadi dia sebagai istri harus nurut," kulihat ibu tersenyum bahagia tatkala aku akan menanggung beberapa kebutuhan ibu dan arisannya. Walaupun ada Erlyn yang membantu tapi aku sebagai anak juga harus bertanggung jawab penuh akan ibu.Malam harinya mau nggak mau aku har
Dulu Hanindia begitu cantik, sangat mempesona, kalau tidak, mana mungkin aku mau memilikinya. Lebih hebatnya, aku bisa mengalahkan beberapa lelaki yang mengagumi Hanindia, termasuk Julio. Kalau soal tampang dan posisi jabatan Julio oke lah, tapi kalau soal mengolah perempuan, Julio kalah jauh, buktinya sekarang aku 'kan yang menjadi suaminya Hanindia."Mas ... Mas ..." "Mas ... Mas Dennis," seperti ada suara merdu yang memanggilku."Hah ... apa, Er?" tanyaku bangun dari lamunan. Aku semakin terbuai melihat senyumnya yang merekah bagai bunga yang sedang kembang."Kamu lamunin apa, Mas? Kok sampai segitunya menatapku tanpa berkedip, dipanggil-panggil nggak nyahut," tanyanya masih dengan senyum menggoda, aku tahu karena aku lelaki."Ah ... enggak ngelamunin apa-apa kok, Er," elakku."Eh, kalian jangan saling menggoda gitu. Nanti malah suka-sukaan, nggak boleh!" serang ibu tiba-tiba. Ucapan ibu seperti itu bukan kali pertama, setiap dia membaca gerak-gerik yang aneh antara aku dan Erlyn