Share

Bab 5. Interogasi Berat Sebelah

"Hamam? Ada apa, Nak?" tanya ibunya terkejut setelah mendengar bunyi grbrakan meja tadi. Perempuan tua itu muncul dari dalam dan segera menuju kursi makan. Dia duduk perlahan menemani anak laki-laki kebanggaannya.

“Dari siapa, Hamam?” tanya ibunya heran setelah melihat tangan laki-laki itu sibuk bergerilya di layar gawai.

Hamam menghapus isi chat itu dan melempar gawainya. Membuang muka. Takut jika ibunya turut membaca sms itu dan mengetahui rahasia kelamnya.

Pandangannya tertumbuk ke sosok tubuh kecil yang muncul dari kamar. Melangkah takut-takut ke arah mereka dan berhenti di depan keduanya. Di ujung meja makan. Berdiri di hadapan mereka layaknya seorang pesakitan di dalam ruang pengadilan. Ibunya memandang Amy tajam. Jelas tak suka dengan menantunya itu. Walaupun wajah istri anaknya itu mulai membengkak dan penuh lebam.

“Mas...,” panggil Amy sepelan desiran angin.

Hamam memandangnya lekat. Ada rasa sesal menyaksikan keadaan Amy. Bagaimanapun, istrinya berhak memberikan penjelasan. Namun, bayangan laki-laki yang sempat berkelahi dengannya barusan membuat harga diri kelaki-lakiannya menyeruak naik ke permukaan. Dia membuang muka dan kata-katanya yang sedingin es terdengar di seantero ruangan.

“Berhenti bekerja. Resign dari sana,” titah Hamam meluluhlantakkan dunia Amy.

Alih-alih mendengarkan penjelasannya, laki-laki di hadapannya malah meminta sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya. “Dia juga bekerja di sana, bukan? Teman Kantormu yang tak tahu diri itu,” desis Hamam dingin.

Amy kembali pias di balik lebam-lebamnya yang membiru. Tubuhnya masih saja gemetaran hebat.

Bi Napsiah, pembantunya yang paling setia  mengintip dari balik pintu kamar yang setengah tertutup. air mata mengalir perlahan di pipi keriput perempuan tua itu. "Nyonya ...," bisiknya lirih.

“Kau pikir aku tak tahu? Kau selalu curhat kemana-mana dengan teman-teman kantormu perihal rumah tangga kita,” tuduh Hamam dingin, “Shae yang memberitahuku,” sambungnya ketika melihat  tanda tanya besar di wajah Amy.

Shaenette! Adik ipar terkutuk! Istri dan suami sama saja! Lancangnya dia melemparkan fitnah ke dalam pernikahanku! Batin Amy marah.

“Kenapa? Tak suka? Aryo ternyata benar. Kau memang suka mengumbar-umbar kemandulanmu kemana-mana!” sambar ibu mertuanya murka. “Untunglah ada istrinya, yang memberitahu perilakumu di kantor. Cih! Curhat kemana-mana. Minta dikasihani sama orang lain!” sambung wanita tua itu meradang.

Amy tercekat.  Apa lagi ini?

“Bu, itu tidak benar. Shae hanya tidak suka aku meraih jabatan yang diincarnya. Dia....”

“Beraninya kau! Menjelekkan menantuku. Istri dari anakku. Kau tidak mau bercermin ya. Kau harus sadar kedudukanmu dalam keluarga kami!” bentak Ibu mertuanya. memutus ucapan Amy dengn berang.

Wanita malang itu terdiam. Mengelus dada. Menyadari jika adik iparnya itu merupakan menantu kesayangan ibu mertuanya. Yang datang dari keluarga ningrat dan kaya raya. Dan tidak boleh dipersalahkan untuk apapun.

“Tapi, Bu ..., aku juga menantumu ...,” bisik Amy lirih.

Urat leher ibu mertuanya seketika keluar diiringi suara menggelegar miliknya.

“Mantu tak tahu diri! Bukannya minta maaf sudah mencoreng aib di wajah suami, malah sok pamer punya jabatan di kantornya!” cecarnya dengan mimik wajah benci. “Ini, Hamam, yang ibu tak suka. Istrimu jadi sombong semenjak bekerja. Merasa sudah lebih tinggi dari ibu. Selalu merendahkan. Menganggap dirinya selalu benar. Sudah! Kau mau berhenti apa tidak dari pekerjaanmu? Suamimu sendiri yang memintanya!”

Amy menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya bila sedang cemas. Lalu meringis. Bibirnya bengkak di pukul Hamam. Lalu, dengan menguatkan hati, ia menggeleng pelan dan berujar, “Aku tak bisa, Bu..., sungguh tak bisa resign dari sana,” Amy menunduk. Batinnya tergerus pedih. Dengan sedih, ia memegang dadanya .

Jika pekerjaan ini juga diambil, lalu apa yang tersisa dari diriku? Batinnya pedih.

“Oh, begini caranya ya. Kau sengaja tak berhenti, biar bisa curhat sana-sini lalu ketemu orang yang cocok dan akhirnya selingkuh biar bisa dapat anak dari orang lain. Ck …, ck …, ck …, menjijikkan!” decih mertuanya. Wajahnya mengerut jijik.

“Ibu, teganya ibu bilang begitu. Aku tak seperti itu, Bu.”

“Buktinya, kejadian malam ini merupakan bukti jelas kelakuan jalangmu selama bekerjadisana!”teriak ibunya sengit sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Ibu ..., menantumu ini tidak mungkin bertindak seperti itu ...," bisik Amy berulang-ulang.

Hamam membuang muka.

“Apa sedemikian inginnya kau memiliki anak, My, sampai berbuat sejauh itu?” ucap Hamam lirih dengan batin yang terluka. Pikirannya melayang pada kertas pemberitahuan hasil tes kesuburan pagi tadi yang ia dapatkan dari klinik ginekolog itu. Yang telah dia robek-robek menjadi serpihan kecil dan telah menjadi abu. Terkubur di halaman belakang rumah.

Amy terbelalak. Sekujur tubuhnya bergetar marah mendengar tuduhan menyakitkan itu. Bagaimana mungkin laki-laki yang telah sekian tahun menjadi teman tidurnya bisa berkata sekejam itu? Bagaimana mungkin suaminya bisa memandang rendah dirinya? Hamam tahu persis bagaimana hati-hatinya Amy menjaga kehormatan diri dan keluarganya.

“Aku tidak seputus-asa itu, Mas. Ingin dibuahi oleh laki-laki lain selain suamiku!” jerit Amy sambil berderai air mata. 

Hamam hanya diam. Matanya berkabut. Ia menundukkan kepalanya dan membiarkan Amy larut dalam tangisnya. Kertas hasil pemeriksaan kesehatan tadi kembali melintas di kepalanya. Hatinya perih tetapi semakin menyeruakkan kemarahannya.

“Halah, bilang saja kau sudah tak mampu lagi melahirkan anak! Pura-pura Hamam yang salah, tapi tak bisa jaga diri. Curhat sana-sini sampe ada yang nafsu liat kamu!” bentak Ibu mertuanya sambil menunjuk hidung Amy.

Kejadian demi kejadian di awal berulang-ulang. Menyisakan derita bagi Amy.

Bi Napsiah segera memburu Amy yang terduduk di tengah jalan. Mengusap air hujan yang mendera wajah halus seputih susu yang penuh lebam dan mulai membengkak itu. Sambil beristigfar perempuan tua itu berusaha membujuk. Tangannya yang kuat segera mengangkat tubuh mungil Amy untuk segera berdiri.

"Nyonya ..., istigfar. masi masuk e dalam. Hujan deras dan hari sudah larut malam ...."

Amy memandang kosong jauh ke depan.

"Mas ..., mengapa kamu begitu tega?" bisiknya berulang-ulang.

"Ayo, Nya ...!" ajak Bi Napsiah dengan teguh. Dia tidak ingin perempuan lembut itu jatuh sakit setelah keributan besar tadi.

Amy menurut saja ketika tubuhnya dituntun ke dalam. Bi Napsiah melayaninya bagaikan seorang ibu mengurus anaknya yang sedang sakit.

"Bajunya saya letakkan di sini, ya, Nyah," ucap Bi Napsiah seraya meletakkan beberapa potong pakaian di atas tempat tidur.

Dia bahkan terlihat sedang tidak berada di sana ketika  melepaskan semua pakaian basahnya. Mengelap tubuh dan berganti pakaian. Akhirnya kesadaran mulai datang ke dalam pikirannya ketika dia melihat bayangan yang memantul dari cermin yang ada di hadapannya.

"Wak ..., Amy sudah berusaha sebaik mungkin. Amy sudah berusaha sekuat mungkin menahan semuanya. Bisakah Uwak di sana berdoa pada Tuhan supaya memberikan kemudahan untuk pernikahan Amy dan Mas Hamam? Amy sudah tidak kuat lagi, Wak ...," isak Amy di depan cermin.

Kedatangan pria dari masa lalu yang menyebabkan kekerasan yang dilakukan Hamam malam ini, membuat Amy merasa tercabik-cabik.

"Ali ..., kenapa kamu datang kembali? Aku tidak butuh kamu lagi ...," isak Amy melingkupi semesta raya saat ini.

Bi Napsiah yang mengintip dari balik pintu berdiri mematung. Lalu berbisik penuh tanda tanya :

"Ali? Siapa dia?"

Bersambung ....

Hari sudah

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zufzit Ufd
cowok yg blm slsai nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status