"Hamam? Ada apa, Nak?" tanya ibunya terkejut setelah mendengar bunyi grbrakan meja tadi. Perempuan tua itu muncul dari dalam dan segera menuju kursi makan. Dia duduk perlahan menemani anak laki-laki kebanggaannya.
“Dari siapa, Hamam?” tanya ibunya heran setelah melihat tangan laki-laki itu sibuk bergerilya di layar gawai.
Hamam menghapus isi chat itu dan melempar gawainya. Membuang muka. Takut jika ibunya turut membaca sms itu dan mengetahui rahasia kelamnya.
Pandangannya tertumbuk ke sosok tubuh kecil yang muncul dari kamar. Melangkah takut-takut ke arah mereka dan berhenti di depan keduanya. Di ujung meja makan. Berdiri di hadapan mereka layaknya seorang pesakitan di dalam ruang pengadilan. Ibunya memandang Amy tajam. Jelas tak suka dengan menantunya itu. Walaupun wajah istri anaknya itu mulai membengkak dan penuh lebam.
“Mas...,” panggil Amy sepelan desiran angin.
Hamam memandangnya lekat. Ada rasa sesal menyaksikan keadaan Amy. Bagaimanapun, istrinya berhak memberikan penjelasan. Namun, bayangan laki-laki yang sempat berkelahi dengannya barusan membuat harga diri kelaki-lakiannya menyeruak naik ke permukaan. Dia membuang muka dan kata-katanya yang sedingin es terdengar di seantero ruangan.
“Berhenti bekerja. Resign dari sana,” titah Hamam meluluhlantakkan dunia Amy.
Alih-alih mendengarkan penjelasannya, laki-laki di hadapannya malah meminta sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya. “Dia juga bekerja di sana, bukan? Teman Kantormu yang tak tahu diri itu,” desis Hamam dingin.
Amy kembali pias di balik lebam-lebamnya yang membiru. Tubuhnya masih saja gemetaran hebat.
Bi Napsiah, pembantunya yang paling setia mengintip dari balik pintu kamar yang setengah tertutup. air mata mengalir perlahan di pipi keriput perempuan tua itu. "Nyonya ...," bisiknya lirih.
“Kau pikir aku tak tahu? Kau selalu curhat kemana-mana dengan teman-teman kantormu perihal rumah tangga kita,” tuduh Hamam dingin, “Shae yang memberitahuku,” sambungnya ketika melihat tanda tanya besar di wajah Amy.
Shaenette! Adik ipar terkutuk! Istri dan suami sama saja! Lancangnya dia melemparkan fitnah ke dalam pernikahanku! Batin Amy marah.
“Kenapa? Tak suka? Aryo ternyata benar. Kau memang suka mengumbar-umbar kemandulanmu kemana-mana!” sambar ibu mertuanya murka. “Untunglah ada istrinya, yang memberitahu perilakumu di kantor. Cih! Curhat kemana-mana. Minta dikasihani sama orang lain!” sambung wanita tua itu meradang.
Amy tercekat. Apa lagi ini?
“Bu, itu tidak benar. Shae hanya tidak suka aku meraih jabatan yang diincarnya. Dia....”
“Beraninya kau! Menjelekkan menantuku. Istri dari anakku. Kau tidak mau bercermin ya. Kau harus sadar kedudukanmu dalam keluarga kami!” bentak Ibu mertuanya. memutus ucapan Amy dengn berang.
Wanita malang itu terdiam. Mengelus dada. Menyadari jika adik iparnya itu merupakan menantu kesayangan ibu mertuanya. Yang datang dari keluarga ningrat dan kaya raya. Dan tidak boleh dipersalahkan untuk apapun.
“Tapi, Bu ..., aku juga menantumu ...,” bisik Amy lirih.
Urat leher ibu mertuanya seketika keluar diiringi suara menggelegar miliknya.
“Mantu tak tahu diri! Bukannya minta maaf sudah mencoreng aib di wajah suami, malah sok pamer punya jabatan di kantornya!” cecarnya dengan mimik wajah benci. “Ini, Hamam, yang ibu tak suka. Istrimu jadi sombong semenjak bekerja. Merasa sudah lebih tinggi dari ibu. Selalu merendahkan. Menganggap dirinya selalu benar. Sudah! Kau mau berhenti apa tidak dari pekerjaanmu? Suamimu sendiri yang memintanya!”
Amy menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya bila sedang cemas. Lalu meringis. Bibirnya bengkak di pukul Hamam. Lalu, dengan menguatkan hati, ia menggeleng pelan dan berujar, “Aku tak bisa, Bu..., sungguh tak bisa resign dari sana,” Amy menunduk. Batinnya tergerus pedih. Dengan sedih, ia memegang dadanya .
Jika pekerjaan ini juga diambil, lalu apa yang tersisa dari diriku? Batinnya pedih.
“Oh, begini caranya ya. Kau sengaja tak berhenti, biar bisa curhat sana-sini lalu ketemu orang yang cocok dan akhirnya selingkuh biar bisa dapat anak dari orang lain. Ck …, ck …, ck …, menjijikkan!” decih mertuanya. Wajahnya mengerut jijik.
“Ibu, teganya ibu bilang begitu. Aku tak seperti itu, Bu.”
“Buktinya, kejadian malam ini merupakan bukti jelas kelakuan jalangmu selama bekerjadisana!”teriak ibunya sengit sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Ibu ..., menantumu ini tidak mungkin bertindak seperti itu ...," bisik Amy berulang-ulang.
Hamam membuang muka.
“Apa sedemikian inginnya kau memiliki anak, My, sampai berbuat sejauh itu?” ucap Hamam lirih dengan batin yang terluka. Pikirannya melayang pada kertas pemberitahuan hasil tes kesuburan pagi tadi yang ia dapatkan dari klinik ginekolog itu. Yang telah dia robek-robek menjadi serpihan kecil dan telah menjadi abu. Terkubur di halaman belakang rumah.
Amy terbelalak. Sekujur tubuhnya bergetar marah mendengar tuduhan menyakitkan itu. Bagaimana mungkin laki-laki yang telah sekian tahun menjadi teman tidurnya bisa berkata sekejam itu? Bagaimana mungkin suaminya bisa memandang rendah dirinya? Hamam tahu persis bagaimana hati-hatinya Amy menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
“Aku tidak seputus-asa itu, Mas. Ingin dibuahi oleh laki-laki lain selain suamiku!” jerit Amy sambil berderai air mata.
Hamam hanya diam. Matanya berkabut. Ia menundukkan kepalanya dan membiarkan Amy larut dalam tangisnya. Kertas hasil pemeriksaan kesehatan tadi kembali melintas di kepalanya. Hatinya perih tetapi semakin menyeruakkan kemarahannya.
“Halah, bilang saja kau sudah tak mampu lagi melahirkan anak! Pura-pura Hamam yang salah, tapi tak bisa jaga diri. Curhat sana-sini sampe ada yang nafsu liat kamu!” bentak Ibu mertuanya sambil menunjuk hidung Amy.
Kejadian demi kejadian di awal berulang-ulang. Menyisakan derita bagi Amy.
Bi Napsiah segera memburu Amy yang terduduk di tengah jalan. Mengusap air hujan yang mendera wajah halus seputih susu yang penuh lebam dan mulai membengkak itu. Sambil beristigfar perempuan tua itu berusaha membujuk. Tangannya yang kuat segera mengangkat tubuh mungil Amy untuk segera berdiri.
"Nyonya ..., istigfar. masi masuk e dalam. Hujan deras dan hari sudah larut malam ...."
Amy memandang kosong jauh ke depan.
"Mas ..., mengapa kamu begitu tega?" bisiknya berulang-ulang.
"Ayo, Nya ...!" ajak Bi Napsiah dengan teguh. Dia tidak ingin perempuan lembut itu jatuh sakit setelah keributan besar tadi.
Amy menurut saja ketika tubuhnya dituntun ke dalam. Bi Napsiah melayaninya bagaikan seorang ibu mengurus anaknya yang sedang sakit.
"Bajunya saya letakkan di sini, ya, Nyah," ucap Bi Napsiah seraya meletakkan beberapa potong pakaian di atas tempat tidur.
Dia bahkan terlihat sedang tidak berada di sana ketika melepaskan semua pakaian basahnya. Mengelap tubuh dan berganti pakaian. Akhirnya kesadaran mulai datang ke dalam pikirannya ketika dia melihat bayangan yang memantul dari cermin yang ada di hadapannya.
"Wak ..., Amy sudah berusaha sebaik mungkin. Amy sudah berusaha sekuat mungkin menahan semuanya. Bisakah Uwak di sana berdoa pada Tuhan supaya memberikan kemudahan untuk pernikahan Amy dan Mas Hamam? Amy sudah tidak kuat lagi, Wak ...," isak Amy di depan cermin.
Kedatangan pria dari masa lalu yang menyebabkan kekerasan yang dilakukan Hamam malam ini, membuat Amy merasa tercabik-cabik.
"Ali ..., kenapa kamu datang kembali? Aku tidak butuh kamu lagi ...," isak Amy melingkupi semesta raya saat ini.
Bi Napsiah yang mengintip dari balik pintu berdiri mematung. Lalu berbisik penuh tanda tanya :
"Ali? Siapa dia?"
Bersambung ....
Hari sudah
Sudah tiga hari Hamam tak pulang. Amy hanya bisa mereguk kecewa saat bayangan suaminya tak menyapa netra. Mbok Napsiah memberitahu dirinya, Hamam pulang keesokan hari, setelah kejadian yang menyedihkan itu. "Tuan ngambil pakaian sama tas dan laptop kerjanya aja, Nya. Waktu Nyonya Amy masih tidur. Terus langsung pergi pake mobil Tuan. Kayaknya mau ke kantor." Mata tua itu menatap sedih Amy. "Mungkin nginap di rumah Ndoro Besar, Nya," usulnya.Amy dirundung kekecewaan yang dalam. Bahkan suaminya tak memberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri. Hamam lebih memilih mendengarkan ibunya ketimbang istri yang selalu dipukuli setiap ia merasa kesal ini."Nya, makan dulu. Biar cepat sehat," bujuk Mbok Napsiah. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Amy yang sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Kosong. Tangan tuanya mengangsurkan semangkuk bubur ayam pada wanita itu. "Bagaimana mau makan, Mbok. Mulutku bengkak begini. Susah buat ngunyah. Sakit semua...," ucap Amy lirih. Ada be
Pernahkah kau begitu mencintai seseorang hingga kau tak lagi memperdulikan dirimu? Mengikuti segala ingin hingga dirimu melebur tak bersisa padanya? Lupa jati diri, menyelingkuhi harkat martabat sendiri? Lalu, saat dirimu sudah seutuhnya menjadi milik seseorang, ia meninggalkanmu begitu rupa. Mencabikmu hingga tak bersisa. Sampai akal tak lagi bisa menolerirmu dalam hina. ===***=== Angelique berlalu pergi dari rumah, membawa satu buah tas koper besar berisi pakaian Hamam. Melenggang pergi dengan penuh kemenangan, setelah sebelumnya mendecih pada Amy. Menertawakan kelemahan dan kebodohan wanita yang terduduk lemah di sudut kamar. Ketika bayangan pelakor itu hilang dari pandangan. Dan derum mobil milyaran rupiahnya membelah pekarangan rumah, dengan gemetar Amy mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas. Pucat pasi ia kembali menghubungi Hamam. Setelah mencoba yang ke sepuluh kalinya, handphone laki-lak
"Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun." ===***=== Adalah Mbok Napsiah. Seorang wanita yang telah berumur jauh lebih matang. Yang telah menjalani seluruh hari tuanya bersama Amy. Bersumpah akan selalu setia dimanapun wanita malang itu berada. Mengemas semua yang bisa ia bawa melalui tangan tuanya. Memohon maaf dan berpamitan pada Hamam. Mengucapkan beribu terimakasih untuk semua kebaikan hati tuannya selama ini. Hamam tak ambil peduli. Toh, baginya, Mbok Napsiah hanyalah seorang wanita renta, jongos miskin yang bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak penting, hanya aksesoris tambahan yang bisa segera ia carikan penggantinya. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tampan dan gagah itu pergi ke luar. Meninggalkan tubuh Amy yang tak sadarkan diri di pojok teras rumah. Seperti biasa, Mbok Napsiah dan tukang kebunnya yang akan membereskan segalanya. Ia berlalu bersama
Dokter tua itu akhirnya mengembuskan napas berat. Penampakan wajah Amy yang babak belur membuatnya semakin sulit untuk memberitahukan kebenaran itu. Sang Asisten beberapa kali melirik ke arahnya dan Amy. “Begini, Ibu …, tepatnya akhir pekan lalu suami ibu datang mengambil hasil tesnya. Sudah saya jelaskan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekurangan yang di derita suami ibu …,” dokter berhenti sebentar lalu memberikan kode kepada asistennya untuk mengambilkan copy hasil pemeriksaan sebelumnya. Sang asisten tampak bingung tetapi akhirnya berjalan ke luar ruangan meninggalkan Amy dan dokter itu berdua di dalam ruangan. “Mak …, maksud dokter? Kekurangan suami saya?” bisik Amy tercekat. Dengan susah-payah dia berusaha kembali bicara. Pelipisnya terasa berdenyut seiring dengan gerak bibirnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dengan keterkejutan yang luar biasa. Kekurangan Mas Hamam? Jadi, selama ini …. Selama ini siapa yang ternyata mandul? Tib
Jika kita tidak berada dalam satu gelombang lagi, lalu, untuk apa kita terus melayang sendiri di sana. ***Amy terduduk di bawah papan reklame yang melindunginya dari pandangan orang-orang itu. Mereka yang berwajah rupawan tetapi berhati melebihi serigala. Angin malam berembus membelai kulit halusnya yang penuh dengan lebam. Dadanya naik turun menahan sebah di hatinya yang membuatnya seketika sesak. Keringat dingin membanjiri epidermis kulitnya mengalir di sela-sela cekungan punggungnya yang ringkih. Cahaya temaram dari lampu taman cafe menerpa wajah bengkaknya. Suram cahaya menulari raut wajahnya memantul kembali di bola mata yang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.[Aku mencintaimu, Amy ....]Bukankah itu kata-kata yang sering kau bisikkan di telingaku setiap kau habis menyesap sari tubuhku dengan meninggalkan lebam di sana, Mas? Pandangan Amy tak lepas dari wajah Hamam yang masih saja tampak bersungut-sungut dari kejauhan. Perempuan itu tidak ingin mengalihkan matanya d
Cinta itu bisa datang dari kebersamaan. Terus dipupuk dan disirami setiap hari dengan kesabaran. Hingga berbuah lebat dan bisa dituai dalam bentuk kasih sayang yang dominan. ***♡♡♡***Amy duduk terpekur. Masih menunggu kedatangan Hamam dari dalam kamar pengantin. Matanya nanar memandangi daun pintu berwarna putih tulang pilihannya sendiri dulu itu. Yang telah penuh dengan gerombolan bunga beraroma wangi. Indah. Indah sekali.Sungguh keindahan yang merobek hati.Dan, yang sungguh menyesakkan dadanya adalah : itu kamar mereka berdua dulu. Di sanalah mereka sering bergumul memadu kasih hampir setiap malam dikarenakan hasrat s*ksual Hamam yang tidak kunjung padam setiap kali dia menyentuh Amy sehabis pulang dari kantor perusahaannya.Di tempat kerja terlalu banyak p*ha dan d*da terbuka yang lalu-lalang di depan CEO muda itu. Mulai dari yang samar-samar hingga terang-terangan mengajak laki-laki tampan itu naik ke tempat tidur.Namun, masa-masa liar itu sudah lewat. Telah dihabiskan Hama
Pungkas Amy melemparkan bom atom ke dalam ruangan itu. Terdengar seruan tertahan dari beberapa mulut yang penasaran dengan kelanjutan drama ini. Hamam memucat. Pias. Bagaikan darah tersirap meninggalkan wajahnya yang tampan. Ibunya terbeliak pasi dengan bibir gemetar. “Kau ..., bohong!” Getar bibirnya. Jari telunjuknya mengacung ke wajah bekas menantunya. Amy memandangnya tenang. Tak ada lagi rasa takut dalam dirinya. Hatinya sudah mati rasa. “Dalam kertas itu, salinan dari laporan hasil tes dari dokter obgyn terpercaya di kota ini, Ibu. Seorang dokter, yang kredibilitasnya telah diakui semua orang di sini.” Amy memandang ibu mertuanya dingin. “Jika orang sebesar itu mampu berbohong, maka, semua nama baik klinik besarnya bisa dituntut oleh semua orang,” sambungnya lagi.Semua orang terdiam. “Maka, marilah kita ambil kesimpulan, anak kesayanganmulah yang berbohong padaku. Pada kita semua yang ada di sini,” desis Amy. “Tepat dihari ia memukuli aku, di depan matamu, ia telah mengetahu
Amy butuh uang. Dia membutuhkan biaya untuk semua yang harus dilakukan dalam mempertahankan hak-haknya. Dia sedang mengusahakan sesuatu dengan menghubungi seorang teman lamanya di suatu tempat. Namun, hal itu membutuhkan waktu dan biaya kebutuhan yang membengkak tidak bisa menunggu lagi.Maka dia memutuskan masuk kantor kembali setelah dua bulan mengambil cuti sakit. Sesuatu yang muskil, tetapi dia tahu jika Reinaldi telah mengurus bagian HRD untuk memberikan izin cuti tersebut. Rasa segan untuk bertemu Reinaldi kembali hampir menyurutkan langkahnya memasuki gedung perkantoran megah tersebut. Namun, kebutuhan perut mengalahkan segalanya. Amy tidak bisa terus-menerus bergantung dari uang pesangon Mbok Napsiah yang tidak seberapa itu. Dia tidak tega merepotkan pembantunya yang setia itu.Ketika sebuah nomor yang sudah sangat dihapalnya itu menelepon, Amy terpaksa mengangkatnya.[Kamu butuh berapa?]Amy terdiam mendengar suara bariton di seberang sana."Aku tidak butuh apa-apa darimu!"