Share

Bab 4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bugh!

Hamam melayangkan tinjunya tepat ke pipi kiri laki-laki itu. Tak siap dengan serangan yang tiba-tiba, tubuh jangkung dan ramping segara melayang menghantam pot bunga besar yang ada di sisi kiri Hamam. Benda itu langsung hancur berkeping-keping ditimpa tubuh itu.

Ibu menjerit panik menyaksikan kemarahan Hamam. Dengan segera suami yang sedang disulut api amarah itu bergerak menghampiri tamu yang tak diundang dan bertubi-tubi melayangkan pukulan dan tendangan tanpa ampun. Laki-laki dengan tubuh kusut masai itu melawan dan menangkis semua serangan Hamam yang membabi-buta. Ketika pukulan terakhir Hamam hampir mengenai pelipisnya, ia menangkis dan mencengkram tangan suami yang sedaang murka tersebut. Serta-merta, menarik tubuh Hamam jatuh dan duduk di atas perutnya.

Hamam memicingkan mata, berusaha menjaga pandangan dari derasnya hujan yang mendera. Laki-laki yang menduduki tubuhnya menyeringai lebar lalu mendekatkan wajah dan berujar : “Bibirnya..., sama manis dengan senyumnya,” kekehnya pelan.

Seringai dingin meningkahi suaranya yang penuh dendam. Hamam membeliakkan mata. Membalas tatapan tajam lelaki itu dengan murka. Memberikan kekuatan baru pada dirinya. “Apa yang sudah kau lakukan pada istriku?! Bedebah! Kau apakan Amy?!” teriaknya sambil membanting tubuh jangkung itu hingga terkapar membentur tiang rumah.

Ibunya kembali menjerit-jerit. Memohon Hamam menghentikan semua perkelahian mereka. Bukannya takut, laki-laki itu malah tertawa keras dan sumbang. Membalas teriakannya. Hamam menggertakkan rahang dan bersiap menyerang kembali.

“Sakit bukan? Rasanya bila wanita yang kau cintai direbut paksa darimu?”

Hamam berdiri mematung.

Laki-laki itu duduk dengan satu tungkai kakinya menekuk dan satunya lagi berselonjor begitu saja. Dengan santai ia mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan tangan bertumpu pada tungkai kaki yang menekuk. Ia memandang Hamam dingin. Menyunggingkan cengiran seolah-olah  pukulan demi pukulan yang Hamam layangkan tadi hanyalah sapuan angin lalu.  Dengan perlahan ia menjilati bibirnya yang basah dan kembali berkata, “Amy yang malang..., harus terjebak bersamamu tanpa kepastian,” kekehnya lagi.

Darah Hamam kembali bergejolak dan hendak kembali melayangkan tendangan ketika tiba-tiba ibunya menjerit dan jatuh berdebam dari teras rumah. “Hamam, hentikan..., hentikan, Nak. Sudah. Jangan lakukan lagi. Ibu mohon,” jerit Ibunya sambil memukul-mukul ubin jalan.

Hamam bergeming. Ragu. Antara ingin menuruti ibu atau nafsu amarahnya.

“Ya, Hamam. Hentikan dan bersembunyilah di bawah ketiak ibumu,” seru laki-laki itu mengejek.

Hamam balik memandangnya marah tetapi segera dihentikan ibunya yang memohon untuk dibantu berdiri. Hamam berbalik dan memapah wanita tua itu untuk berdiri. Seluruh tubuhnya bergetar menahan amarah.

“Sudahlah, Nak. Tak usah kau percayai dia. Masuklah. Tenangkan dirimu. Jika kau teruskan, ada yang akan terluka. Nak, ibu mohon. Masuklah!”

Suara dan keadaan ibunya yang memelas membuat amarah di hati Hamam mereda. Dengan tajam ia memandang laki-laki itu. Lalu memaksakan diri untuk masuk disertai dorongan pelan dari ibunya. Setelah tubuh Hamam hilang dari pandangan, ibunya berbalik dan memandang laki-laki penyebab masalah anaknya. Laki-laki itu telah berdiri dan sedang mengusap pipinya yang lebam.

Pandangan keduanya bertemu. Dengan ketenangan yang terlalu dipaksakan, wanita tua itu berujar dingin, “Pergilah. Tinggalkan keluarga kami. Kau tak tahu akibat yang akan kau timbulkan pada Amy,” ucapnya perlahan.

Laki-laki itu membeku. Sorot matanya seolah-olah baru menyadari masalah besar yang ditimbulkannya.

“Jangan ganggu kami! Amy sudah bersuami. Godalah wanita lain saja!” ucapnya gemetar. “Pergilah. Dan jangan kembali,” suruh wanita tua itu kemudian berbalik dan dengan tergesa menutup pintu rumah.

Laki-laki itu berdiri diam dalam hujan. Matanya memicing, menyadari arti ucapan wanita tua itu. Sejenak, ia ragu untuk pergi. Tetapi, nalurinya memerintahkan untuk segera pergi dari rumah itu.

Dengan gontai, laki-laki itu melangkah mendekati mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Ia duduk beberapa lama di dalam mobil dalam keadaan basah kuyup. Wajah yang tampan dan maskulin itu berkerut. Berpikir dan menimbang. Lalu, setelah beberapa saat kemudian, ia menstarter mobilnya dan segera berlalu dari situ.

"Amy ..., Kekasihku .... Semoga kau baik-baik saja di sana ...." Lirih suaranya hilang ditelan decit ban yang beradu dengan kerikil halaman.

***

Hamam murka.

Walaupun telah melampiaskan amarahnya pada laki-laki yang dikenalnya itu, belum juga menuntaskan kemarahannya. Dengan langkah-langkah panjang, ia masuk ke dalam kamar. Dan mendapati istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Belum menyadari apa yang barusan saja terjadi.

“Mas..., wajahmu..., kenapa?” tanya wanita itu perlahan. Langkahnya terhenti di depan kaca rias. Wajah Hamam penuh lebam. Aura marah terpancar jelas di wajahnya.

Hamam terpaku. Menelusuri tubuh istrinya yang hanya berbalut handuk putih di atas lututnya. Rambut panjang sebahu tergerai basah jatuh di punggungnya. Membiarkan bahu dan sebagian dada atasnya terbuka. Amy segera menyadari kesalahannya dan berusah menutupi tubuhnya yang terbuka.

“Barusan Reinaldi datang,” desisnya membuat wajah Amy seketika pias. “Di tengah malam. Hendak mengantarkan tas dan sebelah sepatu milikmu,” dengusnya murka.

Mulut Amy membuka dan menutup. Berusaha berbicara tetapi langsung diputus oleh Hamam.

“Yang katanya..., tertinggal di dalam mobilnya.”

Mata Hamam berkilat menyeramkan saat ia melanjutkan ucapannya.

“Saat mengantarkanmu pulang.”

Tubuh Amy bergetar hebat menyadari bahaya yang akan menimpanya. Ia mundur beberapa langkah, hendak menghindar dari Hamam. Rasa sakit yang telah terekam dalam memori kulitnya selama bertahun-tahun membuat ia berdiri dengan rasa was-was yang amat sangat. Mata Hamam membeliak melihat gestur tubuh Amy. Merasa bahwa semua prasangka yang dikira adalah benar. Serta merta tangannya bergerak mencengkram handuk yang membebat tubuh istrinya. Membuat wanita itu tersentak membentur dada Hamam.

“Ini apa?” desisnya sambil menyentuh jejak-jejak keunguan yang membekas di sepanjang leher dan dada atas Amy. Cengkramannya semakin kuat.

Amy menjadi pias. Ia mencicit panik.

“Mas..., Mas..., aku bisa jelaskan. Aku bisa jelaskan...., Mas..., aaww.”

Amy menjerit kesakitan ketika tangan kekar Hamam menamparnya tanpa ampun membuat tubuh kecilnya terpelanting membentur dipan ranjang.

“Beraninya, kau! Beraninya berbohong padaku!” teriak Hamam kalap sambil menjambak rambut istrinya dan melayangkan pukulan bertubi-tubi ke arahnya.

Amy menjerit-jerit. Berteriak memohon ampun tetapi tak digubris sedikitpun oleh Hamam. “Ampun, Mas..., ampun..., aku..., aku..., bisa jelaskan..., ampun Mas...,” jeritnya pilu.

Hamam menarik handuk yang melilit tubuh Amy dan melepaskannya paksa. Ia memukulkan handuk tebal itu ke tubuh istrinya bertubi-tubi. “Ampun, Mas..., ampun..., aku bisa jelaskan. Mas..., salah paham...,” jerit Amy berkali-kali.

Tubuhnya yang tak dilindungi sehelai benangpun terombang-ambing ke sana kemari, mengikuti arah pukulan Hamam.

“Hamam! Hentikan! Hentikan!” teriak ibunya yang baru datang tergesa-gesa.

Mbok Napsiah yang mendengar jeritan nyonya rumahnya ikut datang dan mendekap mulut dengan pilu menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Amy terkapar di lantai kamar dengan  darah bercucuran dari hidung dan mulutnya. Perempuan itu menjerit-jerit memohon ampun  dengan tubuh telanjang. Tangannya menutupi kepala berusaha untuk melindungi diri. Ibu Hamam berteriak-teriak berusaha menahan Hamam untuk tidak memukuli Amy lagi.

“Hentikan, Hamam! Hentikan! Kau bisa membunuhnya!”

Setelah beberapa saat, Hamam berhenti. Dengan frustasi ia berteriak keras, melemparkan handuk dengan kasar ke tubuh Amy. Ia hendak melangkah keluar.

“Mas..., aku tidak salah...,” isak Amy memohon. Dengan kalut ia merangkak meraih kaki Hamam dan memeluknya. Menciumi tapak suaminya, memohon pengampunan.

“Aku bisa jelaskan, Mas.... Aku tidak melakukan hal yang memalukan,” ratapnya. Di bawah kaki Hamam.

Ibu mertuanya membuang muka. Tak mempercayai ucapan perempuan malang itu. Hamam menyentakkan kaki, dan seketika pelukan Amy terlepas sehingga ia terjerambap kembali ke lantai. Hamam berlalu dalam diam. Keluar kamar dan duduk lama di meja makan. Urat pelipisnya berdenyut-denyut.

Ibu mertua menghampiri Amy. Lalu memandang wanita malang itu dari bawah matanya. “Pakai bajumu. Kita bicarakan ini baik-baik,” ucapnya datar tanpa sedikitpun niat untuk menolong Amy. Ia merasa jijik melihat menantunya.

Dari balik kulit matanya yang mulai membengkak, Amy mengangguk-angguk. Lalu meracau mengucapkan terimakasih. Ibu mertuanya berlalu. Dan segera duduk di sebelah Hamam. Meraih tangannya, berusaha menenangkan hati laki-laki itu.

Sementara, Mbok Napsiah menolong Amy sambil menangis. Menyaksikan keadaan majikannya yang memilukan. Mengusap wajah Amy yang bengkak dan membiru dengan kasih. Ia memapah Amy dan menyelimuti tubuhnya kembali dengan handuk. Lalu membantu Amy cepat-cepat berpakaian. Takut jika tuannya kembali ke kamar dan memukuli nyonya.

Sementara, di ruang makan, Hamam duduk diam. Lama.

Ibunya mengucapkan semua kata-kata menenangkan yang ia bisa. Genggaman tangan keriput itu menyelimuti tangan kekar dan berotot yang barusan memukuli tubuh tak berdaya istrinya. Entah, sudah yang ke berapa ratus kali tangan itu melakukannya selama enam tahun pernikahan mereka.

Tiba-tiba handphone yang tergeletak di atas meja makan berdenting, menandakan ada sms yang masuk. Hamam berkerenyit. Melayangkan tanda tanya ke arah gawainya. Penasaran. Siapa yang telah mengirimkan sms di tengah malam seperti ini. Hamam meraih gawai dan menyentuh layar handphonenya. Seketika tubuhnya tersentak membaca isi sms itu.

[Kau tenang saja. Aku belum sempat menggauli istrimu. Dia terlalu mulia. Dia bertahan menolak dan kabur dariku. Sayang sekali. Amy bukan wanita murahan. Tidak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah kau tiduri.]

Hamam menegang. Sialan. Bahkan dia tau nomor handphone-ku. Batinnya.

Seraut wajah kurus, terbakar sinar matahari dengan perawakan dekil dan keringat berbau debu seketika bertandang ke dalam ingatannya. Masa lalu terkadang datang tanpa diundang. Seseorang dengan dendam yang 'tak berkesudahan mengintai Hamam dan keluarganya.

Si Br*ngsek itu!! batin Hamam sambil menggebrak meja.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zufzit Ufd
ya wajarlah lakinya mrh. klo tdk mrh bkn laki namanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status