Share

Bab 6. Pelakor yang Direstui

Sudah tiga hari Hamam tak pulang. Amy hanya bisa mereguk kecewa saat bayangan suaminya tak menyapa netra. Mbok Napsiah memberitahu dirinya, Hamam pulang keesokan hari, setelah kejadian yang menyedihkan itu.

"Tuan ngambil pakaian sama tas dan laptop kerjanya aja, Nya. Waktu Nyonya Amy masih tidur. Terus langsung pergi pake mobil Tuan. Kayaknya mau ke kantor."  Mata tua itu menatap sedih Amy. "Mungkin nginap di rumah Ndoro Besar, Nya," usulnya.

Amy dirundung kekecewaan yang dalam. Bahkan suaminya tak memberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri. Hamam lebih memilih mendengarkan ibunya ketimbang istri yang selalu dipukuli setiap ia merasa kesal ini.

"Nya, makan dulu. Biar cepat sehat," bujuk Mbok Napsiah. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Amy yang sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Kosong. Tangan tuanya mengangsurkan semangkuk bubur ayam pada wanita itu.

"Bagaimana mau makan, Mbok. Mulutku bengkak begini. Susah buat ngunyah. Sakit semua...," ucap Amy lirih. Ada bening di sudut mata. Dengan perlahan, Mbok Napsiah mengusap airmatanya. Bagai kasih sayang seorang ibu, wanita berumur itu mengangsurkan sesendok bubur yang masih mengepulkan asap tipis ke mulut Amy. Harum aromanya menerbitkan selera sang nyonya.

"Dicoba dulu, Nya. Biar badan Nyonya kembali kuat."

Amy beringsut duduk. Mencoba membuka mulutnya sedikit dan seketika mengaduh. Lalu menggelengkan kepala dan kembali membaringkan tubuhnya ke ranjang.

"Taruh di situ aja, Mbok. Nanti kalo sudah mendingan, saya makan sendiri," bisiknya lirih sambil memejamkan mata. Berusaha untuk tidur kembali.

Dia sedang tak ingin bergerak. Tubuhnya terasa sakit dan ngilu.

Mbok Napsiah menahan tangis. Lalu dengan perlahan meletakkan mangkuk berisi bubur dan segelas teh hangat di atas meja di samping tempat tidur. Wanita tua itu berjalan keluar dan menutup pintu perlahan. Ia mengusap mata yang berair dengan ujung kebaya lusuhnya. Merasa sedih dengan keadaan nyonya rumah. Yang walaupun baik hati tetapi  bernasib malang sekali.

***

"Oh, Amy...."

Poppy mendekap mulutnya saat melihat keadaan sepupu satu-satunya itu ketika datang berkunjung di sore hari. Tiga hari setelah kejadian tragis itu. Seolah-olah mendapatkan firasat buruk mengenai Amy.

Dan, ternyata benar.

Amy terlihat begitu buruk.

Walaupun sudah mengempis, memar dan bengkak di wajahnya masih terlihat mengerikan. Kulit di sekitar matanya membiru, mulutnya bengkak hebat hingga terlihat aneh dan menyedihkan.

"Tinggalkanlah dia, Amy. Kau tak pantas diperlakukan seperti ini. Bahkan binatangpun dilindungi dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang begitu," ucapnya sambil menangis.

Amy memandang ke arahnya melalui matanya yang sendu. "Aku memang salah, Pop. Tidak bisa menjaga diri dan marfuah suami. Menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah diberikan kepadaku," jawabnya menunduk.

Poppy membelalak tak percaya. Wanita yang sebaya itu segera menggenggam tangan Amy. Iris kecoklatannya membesar, geram dengan kebodohan sepupu yang lemah ini. "Seberapapun besar kesalahanmu, kau tak pantas diperlakukan seperti ini," serunya, "Kau berharga, Amy. Kau istrinya! Bukan sasak tinju yang bisa dipukul kapan saja setiap dia mau!" Nafasnya memburu meluapkan kekesalan melihat kelemahan wanita yang duduk termangu di depannya.

"Sampai kapan kau akan bertahan, Amy? Sampai kapan? Sampai tulang-belulangmu ikut hancur dipukulinya? Atau kau mati terkapar di rumahmu sendiri?!"

Amy menatapnya sedih. Berujar lirih melalui mulutnya yang bengkak.  "Aku mencintainya, Pop. Sangat ...."

Poppy melepaskan genggamannya. "Oh, Allah...," ucapnya sambil mengelus dada.

"Mas Hamam sudah berubah, Pop. Dia gak pernah mukul lagi selama setahun ini...," ucap Amy sambil meraih tangan Poppy. Matanya berbinar berusaha meyakinkan sepupunya yang balas memandang tak percaya.

Mungkin kepalanya ikut rusak setelah bertahun-tahun terkena pukulan Hamam.Batin Poppy masgyul.

"Kami sudah mulai hidup bahagia, Pop. Sungguh. Kami saling mencintai. Setahun ini, kami sudah saling mencintai," ucapnya tanpa menyadari bulir-bulir airmata yang mengalir tanpa permisi di pipinya.

Poppy kehilangan kata-kata. Baru ia menyadari sekarang, betapa KDRT telah merenggut begitu banyak bagian dari diri Amy. Gadis yang dulunya pandai dan ceria, berubah menjadi wanita pemurung dan suka berhalusinasi. Mengatakan bahwa pernikahannya baik-baik saja.

"Lalu, bagaimana dengan tahun-tahun penuh deritamu dulu, Sepupu? Lima tahun ke belakang bukanlah sesuatu yang sebentar," ucapnya lirih. Jari-jemarinya menyeka airmata yang jatuh bergulir di pipi Amy. Wanita malang itu menunduk dan terisak.

"Berhentilah bermimpi untuk membawa Hamam ke jalan kebaikan. Pelaku KDRT akan selalu mengulang tabiatnya, jika kau hanya diam dan menerimanya bulat-bulat tanpa perlawanan," ucap Poppy perlahan. Berharap Amy akan mencerna perkataannya dan menerima.

Bibir Amy bergetar.

"Aku malu sama, Uwak. Apa katanya di sana, saat tahu keponakan yang dibesarkan tidak mampu menjaga keutuhan rumah tangga. Setidaknya, biarkan anak yatim piatu ini berbakti padanya."

"Ayah juga tidak mungkin menginginkan kehidupan yang seperti ini untukmu, Amy. Malah beliau akan menangis bila tahu kau menjadi sasak tinju laki-laki itu selama bertahun-tahun," sangkal Poppy bergetar.

"Aku tak bisa. Aku tak bisa berpisah dari Mas Hamam. Aku akan mati jika melakukannya," isaknya lirih.

Poppy menggenggam kedua tangan Amy. Lalu dengan penuh tekad ia berkata : "Kita akan menempuh jalur hukum, Amy. Aku akan membantumu kali ini. Aku tak akan meninggalkanmu. Percayalah. Kita akan menang!"

Amy menggeleng lemah.

"Kau tak tahu betapa berkuasanya Mas Hamam, Pop. Bukan sekali dua kali ini aku mencoba berpisah darinya. Tapi, semuanya sia-sia. Akhirnya, tak ada yang benar-benar menolongku," rintihnya pedih.

Poppy meneguk ludah. Kepalang tanggung. Pikirnya.

"Ada Ali, Sepupuku. Ada dia yang akan menolong kita," ujarnya yakin.

Amy seketika melepaskan genggaman tangan Poppy. Matanya nanar menatap sepupu yang telah lancang menyebut nama laki-laki itu. "Jangan kau sebut-sebut nama dia di depanku," desis Amy marah, "kau tahu, dialah penyebab semua ini. Penyebab kehancuran rumah tanggaku," jerit Amy histeris.

"Aku dan Mas Hamam baru saja hendak menata semuanya kembali. Saat ia tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan kami dan meluluhlantakkan semuanya," jerit Amy frustasi. "Apa kau ada hubungannya dengan semua ini, Pop? Apakah kalian saling menghubungi selama ini? Jawab Pop!" bentak Amy.

Poppy berkaca lalu menggeleng lemah. "Tidak," ucapnya teguh, "aku hanya tak ingin melihatmu hancur seperti ini. Ali tak akan pernah menyakitimu begitu rupa, Amy."

Wajah wanita malang itu berpendar sedih. Membenarkan ucapan Poppy di relung hatinya yang terdalam.

"Ali masih sangat mencintaimu...," ucapnya lagi. Lirih. Selirih hembusan bayu.

Amy mengeleng kuat-kuat. "Aku tak bisa! Aku tak bisa berpisah dari Mas Hamam! Aku masih sangat mencintainya. Oh, Poppy, mengertilah..., mengertilah dengan keadaanku..., dia akan berubah. Percayalah!"

Poppy seketika lemas tak berdaya menyaksikan kebodohan Amy. Lama menelusuri wajah sepupu satu-satunya yang sangat ia sayangi ini. Meremas dadanya yang sakit melihat keadaan Amy. Lalu ia menunduk dan berujar dengan suara lemah penuh kekecewaan. Kerongkongannya tercekat saat ia bersuara penuh kepahitan.

"Aku tak bisa menolongmu, Amy," ucapnya bergetar, "hanya engkau yang bisa menolong dirimu sendiri untuk keluar dari penderitaanmu ini," ujarnya lirih sambil membawa Amy ke dalam pelukannya. Poppy mencium ubun-ubun saudarinya itu dengan masgyul. Lalu melepaskan pelukkannya.

"Aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik. Jangan sungkan untuk menghubungiku ketika kau membutuhkan aku," kecupnya sebelum bangkit berdiri dan berlalu.

Amy hanya mengangguk lemah di atas tempat tidurnya. Matanya terasa perih karena terlalu banyak menangis. Ia membaringkan tubuh kembali di atas dipan. Dan mulai terlelap karena rasa letih yang mendera.

***

Poppy berjalan keluar dari rumah. Setelah berpamitan dengan Mbok Napsiah dan meninggalkan pesan, agar pembantu setia itu selalu menjaga Amy dan menghubunginya jika terjadi sesuatu kembali. Tangannya meraih gawai yang sedari tadi tersimpan di kantung celana. Dengan gemetar dan emosional ia menyentuh layar androidnya. Mencoba menghubungi seseorang.

"Pop...?"

Suara bariton di ujung sana menyahut, menuntut penjelasan. Membuat pertahanannya jebol.

"Jangan lakukan itu lagi..., Ali!" ucap Poppy di sela-sela isakannya. "Kau akan membuatnya terbunuh, Reinaldi Ghazali!!"

Tangisnya pecah, bahkan sebelum sempat mencapai pagar rumah Amy.

***

Sudah satu minggu Amy ijin dari kantornya. Ia langsung bisa menduga, pasti ada campur tangan Reinaldi dalam turunnya izin ketidakhadiran dirinya di kantor. Biasanya, kantor hanya memberikan ijin tiga hari saja untuk tak masuk kerja. Dalam keadaan apapun. Persaingan dalam dunia kerja di sana begitu ketat. Hingga, tidak seorangpun mau bersusah-payah mengurus ijin berlama-lama tidak masuk kerja ke HRD. Bisa-bisa langsung mendapat amplop SP satu.

Amy baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian, tubuhnya langsung terhenyak melihat seorang wanita cantik melenggang masuk ke dalam kamarnya begitu saja.

"Sudah kau siapkan semua yang diminta Mamih, Mbok?"

Lengking suara serak basah yang menggoda itu. Didesahkannya begitu saja tanpa memandang kepada pemilik kamar. Tubuhnya yang sintal dibalut dengan dress mini berwarna peach muda. Begitu serasi dan menonjolkan lekuk tubuh pemiliknya yang indah dan semampai. Untaian permata dan berlian menghiasi leher, telinga dan tangannya. Elegan. Dan tidak terkesan norak. Rambutnya yang di smoothing halus dan mahal terikat tinggi-tinggi. Menampakkan leher jenjang dan putih.

Halus menggoda.

Ia berjalan dengan angkuh dan penuh percaya diri. Melangkah dengan Jimmy Cho berwarna senada dengan dress dan tas tangannya.

Mahal dan elegan.

Bibirnya yang bergincu pink mengilap, keluaran terbaru Dior, tersenyum merendahkan saat sudut matanya menelusuri sosok Amy yang berdiri mematung di dekat kaca rias.

"Siapa kamu? Lancang masuk-masuk kemari!" tegur Amy marah.

Alih-alih memperhatikannya, gadis itu malah berjalan dengan genit ke arah tempat tidur dan menyentuh kepala dipan dengan dramatis. Matanya yang hazel kecoklatan meneliti seluruh kamar. Lalu pandangannya menunduk, lekat menatap ranjang dan menyentuhkan ujung-ujung kuku jarinya yang mengilap dan terawat. Lalu perlahan bergerak menelusuri seprai putih polos dengan jarinya hingga ke ujung ranjang.

Hati Amy mendidih melihat kekurang-ajaran gadis itu. Tubuhnya bergetar. Amarahnya merambat naik hingga ke puncak ubun-ubun.

"Siapa kau?! Keluar!!" desisnya tertahan.

Gadis itu kembali menatap Amy dengan pandangan geli dan mencemooh. Seolah-olah dialah yang memang berhak terhadap segala sesuatu di dalam kamar itu. "Oh, dear, kau tak tahu?" bisiknya manja.

Matanya pura-pura membulat terkejut lalu mengerling nakal.

"Wanita malang," ejeknya mendesah.

Senyum kemenangan tersungging di bibirnya yang penuh dan sensual. Saat ia mengangkat kelima jari kirinya dan memamerkan sebuah cincin platinum bermata berlian kuning yang besar. Melingkari jari manisnya.

"Aku Angelique," ucapnya puas menikmati rona pucat pasi di wajah Amy.

"Tunangan suamimu," ujarnya lantang.

Seketika tubuh Amy merosot jatuh ke lantai, setelah mendengar kelanjutan ucapannya. :

"Aku akan menjadi istri sah suamimu pekan depan," bisiknya bergairah menikmati kemenangannya.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zufzit Ufd
uwih, mantap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status