"Permisi, Bu! Pesan antar paket. Apakah ada orang di rumah?"
Kuhentikan gerakkan spatula yang sedang beradu dengan kuali di atas kompor. Pendengaranku menangkap suara teriakan dari depan rumah. Paket siapa itu yang datang di siang bolong begini."Permisi! Paket, Bu."Aku menoleh ke belakang pada arah pintu tengah, yang menjadi penghubung antara ruang tengah dan dapur di rumahku. Suara itu terdengar kembali dengan mengucapkan kata yang sama."Permisi, Bu! Paket.""Iya, sebentar! Tunggu!"Kutinggalkan olahan ikan pindang patin yang belum matang di kuali tanpa mengecilkan api kompornya. Suara itu terus berteriak tanpa menyadari bahwa aku mulai terganggu akan suara cemprengnya itu."Berisik! Jangan teriak terus! Saya nggak budek!"Satu teriakan akhirnya keluar dengan bersamaan terbukanya pintu rumah yang kubuka lebar. Aku melotot pada dua lelaki yang berdiri di depan rumah."Maaf, Bu, kami pikir tak orang di rumah. Jadi kami .…""Walaupun nggak ada orang di rumah ini, ya, jangan teriak-teriak, dong! Ganggu tetangga yang lain juga, Mas! Banyak yang istirahat di kompleks ini kalau siang hari tau!" Kupotong cepat satu kalimat itu yang belum selesai terucap.Aku menatap kurir itu dengan kesal. Kulipat siku di depan dada, menyandarkan bahu pada bingkai pintu, serta mengangkat dagu untuk memberi kesan galak pada kurir dari ekspedisi ternama."Sekali lagi maaf, Bu, kami tak bermaksud seperti itu. Kami hanya ingin paket ini sampai di alamat yang tepat. Soalnya ini paket mahal takutnya diambil orang kalau ditinggal begitu saja." Lagi, lelaki bernama Sabrang yang tertulis di seragamnya itu menjelaskan."Ya udah saya maafkan. Tapi jangan diulangi di tempat lain, Mas. Itu nggak sopan. Penghuni di perumahan ini tak suka dengan suara keributan. Lagian itu, kan, ada bel, sih, kenapa tak tekan belnya saja. Kan, praktis. Jadi tak perlu berteriak kek di hutan." Satu telunjuk aku angkat pada dinding di samping pintu rumah.Kedua lelaki berkulit sawo gelap itu pun kompak melihat keatas, kemudian satu tarikan senyum malu-malu mereka sematkan padaku. Aku hanya menggeleng. Bel rumah sebesar dua jari itu tak nampak oleh mereka."Lalu, paket apa yang kalian kirim ke rumah saya?"Aku menelisik pakaian yang melekat pada keduanya. Warna merah mencolok yang menjadi dasar pada seragam yang mereka pakai, celana bahan berwarna hitam, yang di lengkapi dengan sepatu hitam khas kurir dari ekspedisi JNA."Kami dari ekspedisi JNA, Bu. Apa benar ini alamat rumahnya Bapak Arman? Kami ingin mengantarkan paket pesanan beliau dari butik.""Butik. Paket apa itu? Rasa-rasanya kami tak ada pesan apapun dari butik, Mas. Salah alamat kali."Aku mulai mencecar mereka yang membuat rasa penasaranku membuncah. Kutarik langkah untuk berdiri pada tepian teras, melihat ke arah mobil box di jalan.Keduanya menatapku seolah tengah berpikir. Setelahnya, Basrang mengecek ulang nota di tangannya. Dahinya tampak berkerut. Sesekali ia menatapku sebentar, lalu melihat nomor rumah, dan fokusnya kembali lagi pada nota yang masih ada di tangannya."Dalam nota ini alamat yang tertulis benar di rumah ini. Untuk penerima atas nama Bapak Arman Pramudya. Dan untuk pengirimnya atas nama Luna Sandoro. Dengan isi paket satu pasang baju pengantin dari Butik Vinatoone. Benarkan Bapak Arman Pramudya tinggal disini, Bu?"Kalimat penjelas itu membuat rasa terkejutku semakin naik. Vinatoone Butik katanya."Apa, Mas? Sepasang baju pengantin? Nggak salah alamat itu?" tanyaku balik untuk meminta penjelasan pada mereka.Dadaku seketika berdegup kencang saat kalimat penjelas itu mulai merasuk dalam otak."Iya sepasang baju pengantin, Bu. Dari Vinatoone Butik.""Vinatoone Butik, yang beralamat di Gang Sarilayu yang tak jauh dari komplek sini, kan?""Iya, benar, Bu."Kusambar satu nota yang masih ada di tangan Sabrang. Aku baca satu per satu kalimat yang tersusun rapi di dalamnya. Semua keterangan pada kertas itu sangat membuatku terkejut. Benar. Isi paketnya gaun pengantin.Milik siapa?Mendadak kedua kakiku mulai goyah. Seakan-akan tak ada lagi kekuatan di dalamnya. Rasanya hatiku patah-patah karena beban yang mendadak masuk dalam rumah tanggaku."Astagfirullah. Ya Tuhan ini cobaan apa." Refleks aku berpegangan pada tiang penyangga di teras. Kedua tungkai mendadak lemas tak mampu membuatku berdiri lama."Aduh, Bu, hati-hati. Ibu nggak apa-apa? Mari saya bantu berdiri." Sabrang dengan cekatan menahan tubuh ini, agar tak merosot ke lantai."Duduk dulu, Bu. Hati-hati kakinya kebentur meja."Kedua kurir itu menuntunku untuk duduk pada kursi berbahan plastik yang ada di teras rumah."Sudah nggak apa-apa, Mas. Terima kasih, ya!"Mereka mengangguk dengan menatapku iba. Aku menghirup udara berulang kali untuk menormalkan debaran di dada. Rasa tak nyaman di dalamnya telah merembet pada sekujur tubuh, hingga sekedar untuk duduk pun aku tak sanggup."Bawa kesini paketnya, Mas! Letakkan di sana saja!""Baik, Bu."Kuarahkan mereka untuk menyimpan paket itu di pojok teras, di dekat pintu masuk. Karena enggan untuk membawanya masuk ke dalam rumah, aku putuskan untuk menggantung satu pasang gaun pengantin yang masih terbungkus plastik bening itu pada jemuran, yang biasa kupakai untuk menjemur pakaian.Kuremas kepala yang tertutup jilbab segiempat berwarna navy. Suamiku sendiri mendapat paket gaun pengantin dari butik ternama.Aku tergugu dalam kesepian. Fakta itu sungguh sangat mengejutkan.Suara decit ban mobil yang bergesekan dengan paving block di halaman rumah telah menarik kesadaranku ke permukaan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sosok yang sedari tadi menjadi peran utama dalam pikiranku, kini sudah ada di depan mata.Lelaki itu tampak terburu-buru ketika keluar dari mobil. Langkah panjang ia lakukan setelah membanting pintu mobil dengan kuat. Dari jarak beberapa meter, aku bisa melihat wajah kepanikan disertai rahang yang mengetat kuat.Aku semakin berdecih, ketika Mas Arman nekat masuk ke teras yang telah di pasang pagar keliling tanpa melepas sepatunya."Mana paketku, Al? Apa kamu ada menerimanya?"Tanpa basa basi, kalimat itu akhirnya terlontar dari bibir tebalnya."Paket apa yang kau tanya, Mas? Aku tak paham dengan maksudmu."Dalam kepura-puraan, kualihkan pertanyaan itu tanpa senyum yang tertarik."Omong kosong apa itu, Al! Tadi aku berpapasan sama mobil ekspedisi JNA di simpang gang lima. Pasti mobil itu ke rumah ini, kan! Mana paketku!"Teriakan itu mulai menggelegar seperti elang yang kelaparan.Tatapan elangnya yang dulu penuh kehangatan, kini penuh akan aura kebencian terhadap diri ini yang pernah melahirkan satu anak perempuannya."Itu gaun siapa, Mas? Apakah benar kamu yang memesannya? Untuk apa?"Masih dalam kepura-puraan, aku berusaha tenang saat melempar tanya."Bukan urusanmu! Kau tak perlu tahu tentang gaun itu!"Seperti bensin yang tersulut api, amarahku naik seketika. Aku bangkit dari kursi dengan kecepatan beberapa detik."Aku ini istrimu, Mas! Aku berhak tahu tentang itu! Kamu jangan macam-macam, ya!" Kutarik paksa pundaknya untuk berbalik ke arahku.Kami saling beradu pandang. Aku takkan pernah takut melawan kebathilan yang terjadi dalam rumah tanggaku. Angkara murka harus kubalas dengan keji."Persetan dengan statusmu! Aku tak peduli! Kau pikir kau itu siapa berani mencampuri semua urusanku, hah! Minggir! Aku mau pergi!"Seperti buta dalam kegelapan, lelaki yang telah mengucap kalimat ijab kabul di sepuluh tahun yang lalu itu mendorong bahuku tanpa perasaan."Aww!"Aku menatapnya dengan kilatan api yang semakin menjadi. Sungguh tak kusangka, kesadaraannya yang seolah tak ada di rumah. Ia semakin tak memperdulikan suara kesakitanku yang terbentur dinding rumah.Langkah panjang itu terus ia tarik untuk meninggalkan rumah, serta membawa sepasang gaun pengantin itu ke dalam mobil. Sekuat tenaga aku berusaha bangkit untuk mengejarnya.Penjelasan. Hanya penjelasan yang kuinginkan saat ini juga atas perlakuannya hari ini. Tertatih-tatih aku berusaha mendekati mobilnya yang telah mundur ke arah jalan gang kompleks, hingga suara deru mobinya yang mulai menghilang tak menyurutkan langkahku untuk terus mengejarnya sampai di ujung gang."Keterlaluan kau, Mas! Lihat saja! Akan kubalas semua perlakuanmu hari ini! Camkan itu! Takkan aku biarkan kau hidup tenang setelah ini! Arggh! Sialan!"Umpatan demi umpatan terus kulontarkan akibat kekecewaan di hati. Kukepalkan dua telapak tangan dengan kuat. Rasa sakit di hati takkan aku biarkan menguap begitu saja. Sakit ini akan aku perjuangkan untuk kebahagian yang akan datang, walau harus hidup tanpanya.Mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, telah menarik ingatanku dalam kilasan masa lalu yang telah terjadi sekian lama.Ternyata inilah jawaban atas tiadanya restu dari pernikahanku.♡♡♡♡♡♡Bagiku satu pengkhianatan pasti akan terulang kembali suatu saat nanti. Jadi, tak ada istilahnya mendapat kesempatan kedua dikemudian hari. Mas Arman, boleh saja kau tersenyum puas untuk hari ini. Esok hari siapa yang sangka akan ada kejadian buruk yang terjadi kepadamu.Langkahku yang masih tertatih-tatih terhenti seketika diambang pintu rumah. Indra penciumanku mengendus bau sesuatu yang tak enak dirasa. "Astagfirullah ikanku gosong." Kupercepat langkah dengan menahan sakit yang tak kunjung hilang. Ikan patin pindang yang seharusnya menjadi makan siangku telah gosong tak terbentuk. Nyala api di kompor segera aku matikan saat kepulan asapnya telah memenuhi ruangan dapur."Argh! Sialan! Ini semua gara-gara lelaki pengkhianat itu! Awas kau Mas! Aku tak terima diperlakukan seperti ini! Takkan kubiarkan kalian hidup bahagia diatas penderitaanku!" Aku terus berteriak histeris di dalam dapur dengan kepulan asap yang mulai menghilang.Dalam keadaan perut kosong emosiku semakin menjadi. Ku
Mataku seketika berkunang-kunang ketika mobil bernomor plat BM 3 AI itu melaju dengan kencang. Ia meninggalkanku dengan sejuta malu yang harus kutanggung sendirian. Rasanya wajahku semakin memerah ketika beberapa orang menatapku kasihan. Tatapan mereka seolah memperingatkan bahwa aku telah kalah dalam perselingkuhan suamiku sendiri."Jangan patah semangat, ya, Mbak. Saya yakin Mbak pasti kuat.""Sudah tinggalkan lelaki pengkihanat itu, Bu. Sekali selingkuh selamanya akan selingkuh. Ingat itu.""Sabar, Mbak. Tetap semangat meninggalkan lelaki itu. Buat ia miskin dulu, lalu kamu tinggalkan. Itu balasan yang setimpal untuknya.""Tetap tenang, ya, Bu. Balas lelaki itu dengan elegan dan sadis. Tuhan selalu membersamai istri sah yang dizholimi. Saya titip satu tamparan untuk lelaki itu.""Santuy saja, Mbk. Saya siap menyediakan jasa persantetan dan pesugihan yang kejam.""Tenang, Mbak. Perlakukan dan layani lelaki itu dengan lembut. Setelah ia terbuai, langsung kasih sianida kasih sayang pa
"Aku punya kabar penting tentang Mas Arman. Berita hot ini, Mbak."Mataku seketika melebar saat mendengar kalimat itu. Aku menoleh ke belakang. Lana tersenyum lebar serta menaik-turunkan alisnya untuk menggodaku.Seketika aku mencebik. Ia memang senang menggoda kakaknya. Perlahan aku melepas pelukan tanganku pada pinggang Aleeya, lalu turun perlahan dari ranjang. Setelah berhasil turun dari ranjang tanpa membuat kebisingan, kupegang tangan Lana, segera kuseret ia keluar dari kamar. Aku tak mau Aleeya terbangun dari tidur siang karena mendengar obrolanku dengan tantenya."Is, kenapa aku diseret, sih, Mbak! Sakit tau tanganku. Lepas."Lana berusaha melepas cengkraman tanganku. Ia mendengus sebal. Aku menyeretnya ke belakang kamar, dimana ada kolam ikan disana. Kolam ikan ini tempat aman untuk menggosip. Jaraknya jauh dari dapur, dimana Ibu lagi memasak.Aku mendelik padanya, setelah Keadaan sudah cukup aman. "Nanti Aleeya bangun. Ada apa? Ada kabar apa tentang Mas Arman?" Tanpa basa bas
Suara lembut itu sedikit berubah. Ada nada ketakutan di dalamnya. Tak biasanya air muka Ibu menegang ketika mendengar obrolanku dengan Ilana.Apakah ibu mulai khawatir itu akan menjadi kenyataan dalam kisah hidup anaknya.Lalu, siapa yang mau mengalami hidup seperti itu. Tidak ada. Semua itu karena takdir yang harus diterima, walau hati tak suka. Takdir dari kesalahan manusianya sendiri yang kerap lalai dari tanggung jawabnya sendiri."Al, kenapa diam saja? Kamu anak Ibu yang paling besar. Ibu yakin kamu nggak akan berbohong sama Ibu. Ada apa? Boleh cerita sama Ibu? Kita masih keluarga, kan?" cecar Ibu mulai tak sabar.Langkahnya sedikit demi sedikit mulai mendekatiku. Tatapannya tak sedikitpun beralih dari kami berdua. Aku dan Ilana semakin terdesak. Kalimat ancaman itu takkan pernah berhenti jika hanya diam yang kami lakukan. Wanita yang bernama Siti Raudhah itu semakin menatapku tajam. Seolah-olah ia akan memakanku hidup-hidup.Mati-matian aku menahan diri untuk tak membuka suara d
Bab. 6. Seperti pepatah berkata, seenak-enaknya tinggal dirumah saudara, masih lebih enak tinggal di rumah sendiri. Begitulah yang seperti aku rasakan jika sudah ada di rumah Ibu. Akan terasa nyaman untuk memejamkan mata, namun akan terasa malas untuk hanya beranjak sebentar saja. Seolah-olah aku akan lupa waktu, dan lupa segalanya karena kenyamanan yang aku terima. Walau sudah berkeluarga dan memiliki satu keturunan, Ibu tak pernah membandingkan aku dengan Ilana. Kasih sayangnya masih sama seperti yang dulu. Mendadak rasa dilematis menyerangku untuk enggan kembali ke rumah sendiri. Bahkan, untuk hanya sekedar melanjutkan perjalanan ke butik yang jaraknya hanya beberapa kilo pun aku rasanya malas. Hingga, kubiarkan jarum pendek itu berlalu begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku masih terlalu nyaman untuk beranjak dari dudukku di meja makan. Sayangnya, yang namanya hidup harus tetap berlanjut. Jika berlanjut bermalas-malasan, maka aku akan ketinggalan di masa depan. Pukul empat sore
Hingga beberapa menit kemudian, aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada pinggang ramping itu. Siapa wanita itu? Apa benar ia teman Mas Arman? Atau, wanita itu adalah seseorang yang ada dalam ponselnya Ilana? Jangan-jangan …. "Mbak, Mbak, hello," tegur Mbak Ayu padaku, yang masih terdiam menatap punggung ramping itu. Seketika aku terkesiap, lalu berpaling padanya. "Eh, iya, ada apa, Mbak? Kenapa?" "Mbak ini malah melamun, loh. Padahal dari tadi saya ajakin ngomong." "Hihi, iya, maaf, Mbak. Malah ngelamun sayanya," ujarku tak enak padanya. Senyum kikuk pun tertarik akibat fokusku pecah karena wanita itu. "Ya sudah, nggak apa-apa, Mbak. Saya cuma mau ngasih tau itu ada polisi yang juga mengantarkan korban ke rumah sakit ini. Siapa tahu Mbak butuh keterangan lebih jelas. Bisa ditanya langsung sama polisi itu, ya." "Oh, oke. Terima kasih, Mbak. Saya permisi, ya." Kuanggukan kepala padanya sebagai tanda terima kasih. Karena tak mau basa-basi, kutinggalkan ia yang masih berdiri
"Alana. Ka--mu kenapa bisa disini? Si--apa yang mengabari kamu kalau Mas disini?" Mas Arman bertanya dengan terbata-bata. Wajah piasnya membuatku gemas ingin memakannya. Pintar sekali ia berakting di depanku. Kalimat terbata itu, hampir saja membuatku tertawa keras. Kalimat itu terdengat menggelikan di telingaku. Kenapa Mas Arman jadi sepanik itu? Padahal kalimatnya yang terlontar itu sangat begitu romantis untuk wanita di belakangku. Lihatlah bola mata itu. Ia terus bergerak ke kanan ke kiri seolah mencari kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri. Apakah ia tak menyadari dengan kehadiran dua orang yang berdiri di pintu kamar inapnya? Atau ia gagal fokus karena kebaradaanku saat ini? Kubawa langkah untuk masuk dalam kamar inapnya yang berukuran 7x7 m persegi. Tampak besar, namun terasa sepi. Kupindai seluruh ruangannya yang berwarna putih gading. Aku terus melangkah, memutari ranjang dengan mengetuk-ngetukkan jari-jariku di pinggiran ranjang perawatannya. Dari jarak tiga meter
Tak sampai lima menit pintu itu tertutup dari luar, aku memulai kembali interogasiku pada Mas Arman. Lelaki ini semakin dibiarkan akan semakin menjadi. Sikapnya akan semakin parah jika aku hanya diam tak bergerak.Mungkin ia lupa, bahwa aku pernah mengucap sebaris kalimat pamungkas sesaat setelah ia mengucapkan akad kala itu, bahwa aku membenci pengkhianatan.Saat ini, lelaki yang tengah mencoba mengalihkan pembahasan penting itu semakin salah tingkah. Sepertinya ia mulai sadar jika aku telah mencurigainya."Kamu yakin, Mas, tidak mengenal wanita itu? Kalau aku perhatikan kalian seperti sudah saling mengenal lama. Benarkah begitu?" tanyaku lagi dengan kalimat yang sama.Kuangkat bobot tubuh dari sofa untuk mendekatinya, yang seolah sibuk dengan bantalnya yang ada di belakang punggung berseragam rumah sakit."Kamu ini apa-apaan, sih, Al! Sudah berkali-kali aku bilang nggak kenal ya nggak kenal! Tolonglah, Al, jangan ngomong ngelantur kemana-mana! Mas lagi sakit ini. Perihatin sedikit k