Share

Gaun Pengantin Untuk Maduku
Gaun Pengantin Untuk Maduku
Author: Dwiratna4005

Bab. 1. Paket Gaun Pengantin

"Permisi, Bu! Pesan antar paket. Apakah ada orang di rumah?"

Kuhentikan gerakkan spatula yang sedang beradu dengan kuali di atas kompor. Pendengaranku menangkap suara teriakan dari depan rumah. Paket siapa itu yang datang di siang bolong begini.

"Permisi! Paket, Bu."

Aku menoleh ke belakang pada arah pintu tengah, yang menjadi penghubung antara ruang tengah dan dapur di rumahku. Suara itu terdengar kembali dengan mengucapkan kata yang sama.

"Permisi, Bu! Paket."

"Iya, sebentar! Tunggu!"

Kutinggalkan olahan ikan pindang patin yang belum matang di kuali tanpa mengecilkan api kompornya. Suara itu terus berteriak tanpa menyadari bahwa aku mulai terganggu akan suara cemprengnya itu.

"Berisik! Jangan teriak terus! Saya nggak budek!"

Satu teriakan akhirnya keluar dengan bersamaan terbukanya pintu rumah yang kubuka lebar. Aku melotot pada dua lelaki yang berdiri di depan rumah.

"Maaf, Bu, kami pikir tak orang di rumah. Jadi kami .…"

"Walaupun nggak ada orang di rumah ini, ya, jangan teriak-teriak, dong! Ganggu tetangga yang lain juga, Mas! Banyak yang istirahat di kompleks ini kalau siang hari tau!" Kupotong cepat satu kalimat itu yang belum selesai terucap.

Aku menatap kurir itu dengan kesal. Kulipat siku di depan dada, menyandarkan bahu pada bingkai pintu, serta mengangkat dagu untuk memberi kesan galak pada kurir dari ekspedisi ternama.

"Sekali lagi maaf, Bu, kami tak bermaksud seperti itu. Kami hanya ingin paket ini sampai di alamat yang tepat. Soalnya ini paket mahal takutnya diambil orang kalau ditinggal begitu saja." Lagi, lelaki bernama Sabrang yang tertulis di seragamnya itu menjelaskan.

"Ya udah saya maafkan. Tapi jangan diulangi di tempat lain, Mas. Itu nggak sopan. Penghuni di perumahan ini tak suka dengan suara keributan. Lagian itu, kan, ada bel, sih, kenapa tak tekan belnya saja. Kan, praktis. Jadi tak perlu berteriak kek di hutan." Satu telunjuk aku angkat pada dinding di samping pintu rumah.

Kedua lelaki berkulit sawo gelap itu pun kompak melihat keatas, kemudian satu tarikan senyum malu-malu mereka sematkan padaku. Aku hanya menggeleng. Bel rumah sebesar dua jari itu tak nampak oleh mereka.

"Lalu, paket apa yang kalian kirim ke rumah saya?"

Aku menelisik pakaian yang melekat pada keduanya. Warna merah mencolok yang menjadi dasar pada seragam yang mereka pakai, celana bahan berwarna hitam, yang di lengkapi dengan sepatu hitam khas kurir dari ekspedisi JNA.

"Kami dari ekspedisi JNA, Bu. Apa benar ini alamat rumahnya Bapak Arman? Kami ingin mengantarkan paket pesanan beliau dari butik."

"Butik. Paket apa itu? Rasa-rasanya kami tak ada pesan apapun dari butik, Mas. Salah alamat kali."

Aku mulai mencecar mereka yang membuat rasa penasaranku membuncah. Kutarik langkah untuk berdiri pada tepian teras, melihat ke arah mobil box di jalan.

Keduanya menatapku seolah tengah berpikir. Setelahnya, Basrang mengecek ulang nota di tangannya. Dahinya tampak berkerut. Sesekali ia menatapku sebentar, lalu melihat nomor rumah, dan fokusnya kembali lagi pada nota yang masih ada di tangannya.

"Dalam nota ini alamat yang tertulis benar di rumah ini. Untuk penerima atas nama Bapak Arman Pramudya. Dan untuk pengirimnya atas nama Luna Sandoro. Dengan isi paket satu pasang baju pengantin dari Butik Vinatoone. Benarkan Bapak Arman Pramudya tinggal disini, Bu?"

Kalimat penjelas itu membuat rasa terkejutku semakin naik. Vinatoone Butik katanya.

"Apa, Mas? Sepasang baju pengantin? Nggak salah alamat itu?" tanyaku balik untuk meminta penjelasan pada mereka.

Dadaku seketika berdegup kencang saat kalimat penjelas itu mulai merasuk dalam otak.

"Iya sepasang baju pengantin, Bu. Dari Vinatoone Butik."

"Vinatoone Butik, yang beralamat di Gang Sarilayu yang tak jauh dari komplek sini, kan?"

"Iya, benar, Bu."

Kusambar satu nota yang masih ada di tangan Sabrang. Aku baca satu per satu kalimat yang tersusun rapi di dalamnya. Semua keterangan pada kertas itu sangat membuatku terkejut. Benar. Isi paketnya gaun pengantin.

Milik siapa?

Mendadak kedua kakiku mulai goyah. Seakan-akan tak ada lagi kekuatan di dalamnya. Rasanya hatiku patah-patah karena beban yang mendadak masuk dalam rumah tanggaku.

"Astagfirullah. Ya Tuhan ini cobaan apa." Refleks aku berpegangan pada tiang penyangga di teras. Kedua tungkai mendadak lemas tak mampu membuatku berdiri lama.

"Aduh, Bu, hati-hati. Ibu nggak apa-apa? Mari saya bantu berdiri." Sabrang dengan cekatan menahan tubuh ini, agar tak merosot ke lantai.

"Duduk dulu, Bu. Hati-hati kakinya kebentur meja."

Kedua kurir itu menuntunku untuk duduk pada kursi berbahan plastik yang ada di teras rumah.

"Sudah nggak apa-apa, Mas. Terima kasih, ya!"

Mereka mengangguk dengan menatapku iba. Aku menghirup udara berulang kali untuk menormalkan debaran di dada. Rasa tak nyaman di dalamnya telah merembet pada sekujur tubuh, hingga sekedar untuk duduk pun aku tak sanggup.

"Bawa kesini paketnya, Mas! Letakkan di sana saja!"

"Baik, Bu."

Kuarahkan mereka untuk menyimpan paket itu di pojok teras, di dekat pintu masuk. Karena enggan untuk membawanya masuk ke dalam rumah, aku putuskan untuk menggantung satu pasang gaun pengantin yang masih terbungkus plastik bening itu pada jemuran, yang biasa kupakai untuk menjemur pakaian.

Kuremas kepala yang tertutup jilbab segiempat berwarna navy. Suamiku sendiri mendapat paket gaun pengantin dari butik ternama.

Aku tergugu dalam kesepian. Fakta itu sungguh sangat mengejutkan.

Suara decit ban mobil yang bergesekan dengan paving block di halaman rumah telah menarik kesadaranku ke permukaan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sosok yang sedari tadi menjadi peran utama dalam pikiranku, kini sudah ada di depan mata.

Lelaki itu tampak terburu-buru ketika keluar dari mobil. Langkah panjang ia lakukan setelah membanting pintu mobil dengan kuat. Dari jarak beberapa meter, aku bisa melihat wajah kepanikan disertai rahang yang mengetat kuat.

Aku semakin berdecih, ketika Mas Arman nekat masuk ke teras yang telah di pasang pagar keliling tanpa melepas sepatunya.

"Mana paketku, Al? Apa kamu ada menerimanya?"

Tanpa basa basi, kalimat itu akhirnya terlontar dari bibir tebalnya.

"Paket apa yang kau tanya, Mas? Aku tak paham dengan maksudmu."

Dalam kepura-puraan, kualihkan pertanyaan itu tanpa senyum yang tertarik.

"Omong kosong apa itu, Al! Tadi aku berpapasan sama mobil ekspedisi JNA di simpang gang lima. Pasti mobil itu ke rumah ini, kan! Mana paketku!"

Teriakan itu mulai menggelegar seperti elang yang kelaparan.

Tatapan elangnya yang dulu penuh kehangatan, kini penuh akan aura kebencian terhadap diri ini yang pernah melahirkan satu anak perempuannya.

"Itu gaun siapa, Mas? Apakah benar kamu yang memesannya? Untuk apa?"

Masih dalam kepura-puraan, aku berusaha tenang saat melempar tanya.

"Bukan urusanmu! Kau tak perlu tahu tentang gaun itu!"

Seperti bensin yang tersulut api, amarahku naik seketika. Aku bangkit dari kursi dengan kecepatan beberapa detik.

"Aku ini istrimu, Mas! Aku berhak tahu tentang itu! Kamu jangan macam-macam, ya!" Kutarik paksa pundaknya untuk berbalik ke arahku.

Kami saling beradu pandang. Aku takkan pernah takut melawan kebathilan yang terjadi dalam rumah tanggaku. Angkara murka harus kubalas dengan keji.

"Persetan dengan statusmu! Aku tak peduli! Kau pikir kau itu siapa berani mencampuri semua urusanku, hah! Minggir! Aku mau pergi!"

Seperti buta dalam kegelapan, lelaki yang telah mengucap kalimat ijab kabul di sepuluh tahun yang lalu itu mendorong bahuku tanpa perasaan.

"Aww!"

Aku menatapnya dengan kilatan api yang semakin menjadi. Sungguh tak kusangka, kesadaraannya yang seolah tak ada di rumah. Ia semakin tak memperdulikan suara kesakitanku yang terbentur dinding rumah.

Langkah panjang itu terus ia tarik untuk meninggalkan rumah, serta membawa sepasang gaun pengantin itu ke dalam mobil. Sekuat tenaga aku berusaha bangkit untuk mengejarnya.

Penjelasan. Hanya penjelasan yang kuinginkan saat ini juga atas perlakuannya hari ini. Tertatih-tatih aku berusaha mendekati mobilnya yang telah mundur ke arah jalan gang kompleks, hingga suara deru mobinya yang mulai menghilang tak menyurutkan langkahku untuk terus mengejarnya sampai di ujung gang.

"Keterlaluan kau, Mas! Lihat saja! Akan kubalas semua perlakuanmu hari ini! Camkan itu! Takkan aku biarkan kau hidup tenang setelah ini! Arggh! Sialan!"

Umpatan demi umpatan terus kulontarkan akibat kekecewaan di hati. Kukepalkan dua telapak tangan dengan kuat. Rasa sakit di hati takkan aku biarkan menguap begitu saja. Sakit ini akan aku perjuangkan untuk kebahagian yang akan datang, walau harus hidup tanpanya.

Mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, telah menarik ingatanku dalam kilasan masa lalu yang telah terjadi sekian lama.

Ternyata inilah jawaban atas tiadanya restu dari pernikahanku.

♡♡♡♡♡♡

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status