Beranda / Rumah Tangga / Gaun Pengantin Untuk Maduku / Bab. 5. Bukti perselingkuhan.

Share

Bab. 5. Bukti perselingkuhan.

Penulis: Dwiratna4005
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-03 18:52:26

Suara lembut itu sedikit berubah. Ada nada ketakutan di dalamnya. Tak biasanya air muka Ibu menegang ketika mendengar obrolanku dengan Ilana.

Apakah ibu mulai khawatir itu akan menjadi kenyataan dalam kisah hidup anaknya.

Lalu, siapa yang mau mengalami hidup seperti itu. Tidak ada. Semua itu karena takdir yang harus diterima, walau hati tak suka. Takdir dari kesalahan manusianya sendiri yang kerap lalai dari tanggung jawabnya sendiri.

"Al, kenapa diam saja? Kamu anak Ibu yang paling besar. Ibu yakin kamu nggak akan berbohong sama Ibu. Ada apa? Boleh cerita sama Ibu? Kita masih keluarga, kan?" cecar Ibu mulai tak sabar.

Langkahnya sedikit demi sedikit mulai mendekatiku. Tatapannya tak sedikitpun beralih dari kami berdua. Aku dan Ilana semakin terdesak. Kalimat ancaman itu takkan pernah berhenti jika hanya diam yang kami lakukan. Wanita yang bernama Siti Raudhah itu semakin menatapku tajam. Seolah-olah ia akan memakanku hidup-hidup.

Mati-matian aku menahan diri untuk tak membuka suara di depan Ibu. Sikapku yang merupakan hasil dari keturunan Nenek, Kakek, dan juga Bapak yang memiliki sikap keras kepala, takkan luluh hanya karena ancaman recehan seperti itu.

"Ibu, sini aku jelasin. Jangan naik darah dulu. Ingat tensi Ibu bisa tinggi kalau banyak pikiran. Ibu nggak mau jika itu terjadi, kan?"

"Ya nggaklah. Amit-amit jangan naik lagi darah Ibu. Ibu nggak mau masuk rumah sakit lagi."

"Makanya santai dulu jangan gegabah, ya. Apa yang Ibu dengar itu bukan seperti dugaan Ibu. Jadi jangan salah paham dulu sebelum aku jelasin."

"Terus apa penjelasanmu itu Alana?"

"Sabar. Kita duduk dulu baru aku jelaskan semua."

"Jangan bertele-tele, Al. Ibu tahu kamu sengaja mengulur waktu, kan?"

"Is, baru juga di bilangin jangan marah-marah dulu, ini malah ngegas aja Ibu, loh."

"Iya, iya, bawel."

Segera kutarik langkah untuk menghampiri Ibu. Bahunya yang terlihat kurus, kupijat pelan, lalu aku bubuhkan satu ciuman sayang pada pelipisnya.

Pada kursi kayu di dekat kolam, kuajak Ibu untuk duduk di atasnya. Suara gemricik air di kolam ikan menandakan banyak kehidupan disana. Berbagai ikan nilai saling berloncatan untuk berebut makanan yang dilempar oleh Ilana.

"Lan, ambil, kan, Ibu, minum ke dalam, ya! Biar enak obrolan kita disini."

"Oke, Mbak."

"Jadi begini, Bu, tadi kami itu bahas tetanggaku yang ketahuan selingkuh sama janda belakang rumah, Bu. Ibu ingat, kan, sama janda yang namanya Reni, yang rumahnya di belakang rumahku. Si janda genit itu, loh...," jelasku sedikit berbohong.

Sambil berusaha mengalihkan pikirannya, kupijat terus bahu kurusnya dengan ritme pelan.

"Ingatlah. Mana mungkin Ibu lupa. Itukan janda genit yang sering goda Bapakmu."

Alana memotong cepat perkataanku sebelum Ibu sempat menjawab. Gadis itu mengulurkan satu gelas air putih pada Ibu. Kuangkat kembali gelas itu yang diletakan Ibu di meja. Kudekatkan pada bibirnya untuk segera diminum.

"Hah, betul. Ibu baru ingat. Ibu gak akan lupa sama lirikan genitnya. Janda gatel itu yang sering gangguin bapakmu kalau datang ke rumahmu, kan? Semua orang pasti ingat sama kelakuan genitnya itu. Emang selingkuh sama siapa lagi rupanya si genit itu? Nggak kapok-kapok rupanya sama sambelku yang nempel di mekinya, hah! Apa mau Ibu tambah lagi biar makin panas itu meki itemnya. Meki dekil gitu pun masih ada yang doyan!"

Dengan napas memburu, Ibu meluapkan isi hatinya yang tak suka dengan tetanggaku yang bernama Reni. Aku paham betul dengan perasaannya. Di depan mata, janda itu terang-terangan berani menggoda Bapak.

Aku pun sebenarnya ikut emosi. Hanya masih bisa kutahan karena yang dilakukannya itu belum termasuk fatal. Kecuali kalau kelakuannya sudah keterlaluan, mungkin aku akan berpikir ulang.

"Nanti aku ceritain lengkapnya, ya, Bu. Sekarang kita makan siang dulu. Aku lapar. Dari pagi cuma makan roti kukus doang."

"Ah, kamu ini kalau cerita setengah-setengah, ya! Gak asyik. Males Ibu jadinya." Ibu beranjak dari kursi, meninggalkanku di belakang.

Akhirnya dadaku sedikit longgar. Di belakangnya yang tengah melangkah untuk masuk ke dalam rumah, aku bisa mengelus dada dengan senang. Ternyata aku berhasil mengalihkan pikiran Ibu dengan tepat untuk tak mengingat tentang obrolan itu.

Kuangkat ibu jari untuk memberi tanda ok pada Ilana, adikku. Akhirnya rencana kami berhasil tanpa susah payah untuk menenangkan Ibu.

"Kamu ini kebiasaannya, ya, Al. Duit ada. Makanan banyak dijual. Tapi untuk makan sendiri pun malas. Macam orang susah aja kamu buat. Nggak usah ikut-ikutan suamimu yang pelitnya ke demit. Hidup itu harus dinikmati bukan disengsarakan."

Panjang lebar Ibu memberiku nasehat kebaikan. Tak mengapa mendengar kebawelannya tentang makanan. Karena itu pertanda ia tak ingat lagi dengan pembahasan tadi.

"Iya, iya, Bu. Sarannya aku terima. Mau gimana lagi, aku kan sibuk. Banyak jahitanku. Alhamdulillah rejekinya berkah berlimpah, walaupun jarang mengisi makanan di perut."

"Iya berkah melimpah banyak duit. Tapi ujung-ujungnya masuk rumah sakit, kan? Mau kayak gitu lagi kamu?" Lirikan itu membuatku cengengesan.

"Is, si Ibu ini bisa saja jawabnya. Dasar anak …." Ilana menyerobot kursi di ujung, dimana Bapak biasa duduk disana.

"Anak Pak Subroto, dong, kan, pinter ngelesnya, ya, guys, ya," sambarku cepat, lalu ikut duduk di sebelah Ilana.

Aku dan Ilana memang paling suka memotong perdebatan Ibu. Kata Ibu kami memang pintar mengambil celah.

"Alana!"

Seketika suara Ibu mengglegar. Matanya melotot sempurna padaku dan Ilana yang tengah asyik mengisi piring dengan nasi dan berbagai macam lauk pauk.

Bersamaan dengan itu, mau tak mau Ibu ikut duduk di meja makan. Ia memilih duduk di seberangku, yang juga bersebelahan dengan Ilana. Makan siang kali ini hanya di isi tiga anggota keluarga. Bapak yang biasa memimpin doa saat makan, kini berhalangan hadir.

Hanya iringan irama lagu campur sari dari tv tabung di ruang tengah. Tanpa adanya kehadiran Bapak, makan siang kami tampaklah sunyi. Bapak masih ada di kantor KUD. Mungkin urusannya belum selesai. Kata Ibu, Bapak lagi mengurus surat perizinan untuk membangun usaha UMKM di komplek perumahannya.

Setelah makan siang berakhir, Lana kembali mengomel saat Ibu pergi ke warung. Ia masih tak percaya tentang Mas Arman yang kepergok bersama wanita lain di pantai. Ia masih tak terima jika kabar itu benar adanya. Begitu pula denganku, yang belum sepenuhnya percaya tentang apa yang kulihat hari ini.

Bukan berniat ingin menjadi istri bodoh. Hanya saja kita sebagai istri sah harus memikirkan semua perilaku kita di kemudian hari. Biar tak ada sesal di kemudian hari. Dan rasa sesal itu hanya untuk suami yang telah mampu mengkhianati ikatan suci pernikahan di mata Tuhan.

"Ini kenapa ada foto wajahnya yang gak jelas, sih, Lan! Kamu bisa gak, sih, ngambil fotonya! Gak becus banget kamu, nih, ah! Jadi nggak jelas, kan, wajah ceweknya yang mana!"

Aku menggerutu kesal karena wajah wanita itu tak terlihat dengan jelas. Hanya dari samping wajah itu terlihat. Sedang wajah Mas Arman terlihat jelas, posisinya pas di depan kamera.

Beberapa menit kemudian, transferan data ponsel itu telah selesai, aku kembalikan lagi ponsel itu dengan kasar. Kalau saja wajahnya jelas, aku bisa menandai wajah itu saat bertemu di tempat umum.

Tanpa kuduga, Lana memekik dengan keras. "Mbak, ponselku jatuh. Ah, ela, jadi pecahkan anti goresnya."

Aku mendelik tak percaya. Ilana mengambil ponsel itu yang jatuh mengenaskan di lantai di bawah meja. Ternyata Lana belum menerima ponsel itu saat kulepas dari genggaman tanganku.

Aku mengangkat kepala tanpa rasa bersalah. Ia melotot sempurna saat mata kami beradu temu.

Selanjutnya aku yang memekik kesakitan. Lana mencubit tanganku dengan cepat.

Gerutuan kesal ia lontarkan dengan nada keras. "Mbak Alana ini memang gak tau terima kasih, ya! Udah bagus aku fotoin malah ngomel-ngomel gak jelas begitu! Lihat ponselku pecah! Aku nggak mau tau pokoknya ganti ponselku sama yang baru! Pokoknya haru ganti. Titik."

Lana menggeser ponsel itu di meja ke arahku. Sambil melipat siku di meja, ia menatapku kesal.

Aku sampai terdiam cukup lama saat ia mengomel begitu. Anak ini memang jarang ngomong, tapi sekalinya ngomong nyerocos terus tak bisa dihentikan.

"Mbak! Jangan diam saja! Jawab, ih!" Tanpa rasa sabar, ia menggebrak meja di depanku.

Kesabarannya memang setipis tisu.

Kembali aku terkekeh. Kemarahnnya tak sedikitpun membuatku takut. Ia terus bersungut-sungut saat kudiamkan.

"Makanya kalau ngomong tuh pake rem. Nyerocos terus kayak petasan kamu, ya."

"Makanya kalau ngomong juga tuh dipikir dulu. Jangan asal keluar dari bibir. Dikira gampang apa ngambil foto orang diam-diam begitu. Susah tau. Apalagi kalau ketauan bisa habis aku dimasa. Kayak engga tahu saja sikap suami situ gimana. Galak kek singa kelaparan," cibirnya kesal yang masih tak terima karena aku salahkan.

"Iya, iya, maaf. Mbak yang salah," ujarku padanya dengan setengah hati.

"Jangan diulangi lagi?"

"Iya."

"Janji, Mbak!"

"Iya bawel."

Kuambil ponselnya yang masih di tergeletak di meja. Layar sentuh itu kunyalakan. Senyum merekah aku tarik sempurna. Layar itu masih menyala terang, bahkan masih bisa dipakai dengan biasanya.

"Pakai ini dulu. Tunggu honor Mbak cair baru ganti yang baru. Tapi ada syaratnya…,"

Kunaik-turunkan alis menunggu jawaban atas penawaran itu. Ia takkan menolak atas tawaran yang menggiurkan ini.

"Apa syaratnya?"

Senyumanku tertarik kembali saat mendengar pertanyaan itu.

"Bantuin, Mbak, untuk mencari bukti perselingkuhan itu lagi."

"Lalu...,"

Ah, ia selalu tahu tentang aku yang banyak maunya.

"Tolong sadap wa dan semua aplikasi dialam ponselnya."

"Untuk apa?"

"Semua bukti harus Mbak dapatkan. Di pengadilan nanti ia takkan kubuat menang."

"Oke. Syarat di terima."

Seketika aku berdiri untuk memeluknya dengan rasa haru. Walaupun kami sering berantem. Ia selalu bisa diandalkan.

"Bukti ini harus diamankan. Akan kubuat mampus lelaki itu. Enak sekali ia main di belakangku."

Kembali jariku menari-nari di layar ponselku. Aku buat galeri khusus pada aplikasi game agar tak terdeketsi oleh siapapun. Aku simpan semua bukti itu disana.

"Yang di ponselku tak simpen juga ya. Jaga-jaga buat buck-apan gitu."

"Oke."

"Permianan sudah dimulai, Mas. Kau yang memulai duluan! Kau juga yang akan mengakhiri ini semua."

Bersambung.....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 22. Maling Uang.

    "Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 21. Memohon-mohon

    "Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 20. Pelaku

    Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 19. Video Asusila

    "Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 18. Melabrak Dengan Mata Sendiri

    Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 17. Paket Misterius

    Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status