Share

Bab. 5. Bukti perselingkuhan.

Suara lembut itu sedikit berubah. Ada nada ketakutan di dalamnya. Tak biasanya air muka Ibu menegang ketika mendengar obrolanku dengan Ilana.

Apakah ibu mulai khawatir itu akan menjadi kenyataan dalam kisah hidup anaknya.

Lalu, siapa yang mau mengalami hidup seperti itu. Tidak ada. Semua itu karena takdir yang harus diterima, walau hati tak suka. Takdir dari kesalahan manusianya sendiri yang kerap lalai dari tanggung jawabnya sendiri.

"Al, kenapa diam saja? Kamu anak Ibu yang paling besar. Ibu yakin kamu nggak akan berbohong sama Ibu. Ada apa? Boleh cerita sama Ibu? Kita masih keluarga, kan?" cecar Ibu mulai tak sabar.

Langkahnya sedikit demi sedikit mulai mendekatiku. Tatapannya tak sedikitpun beralih dari kami berdua. Aku dan Ilana semakin terdesak. Kalimat ancaman itu takkan pernah berhenti jika hanya diam yang kami lakukan. Wanita yang bernama Siti Raudhah itu semakin menatapku tajam. Seolah-olah ia akan memakanku hidup-hidup.

Mati-matian aku menahan diri untuk tak membuka suara di depan Ibu. Sikapku yang merupakan hasil dari keturunan Nenek, Kakek, dan juga Bapak yang memiliki sikap keras kepala, takkan luluh hanya karena ancaman recehan seperti itu.

"Ibu, sini aku jelasin. Jangan naik darah dulu. Ingat tensi Ibu bisa tinggi kalau banyak pikiran. Ibu nggak mau jika itu terjadi, kan?"

"Ya nggaklah. Amit-amit jangan naik lagi darah Ibu. Ibu nggak mau masuk rumah sakit lagi."

"Makanya santai dulu jangan gegabah, ya. Apa yang Ibu dengar itu bukan seperti dugaan Ibu. Jadi jangan salah paham dulu sebelum aku jelasin."

"Terus apa penjelasanmu itu Alana?"

"Sabar. Kita duduk dulu baru aku jelaskan semua."

"Jangan bertele-tele, Al. Ibu tahu kamu sengaja mengulur waktu, kan?"

"Is, baru juga di bilangin jangan marah-marah dulu, ini malah ngegas aja Ibu, loh."

"Iya, iya, bawel."

Segera kutarik langkah untuk menghampiri Ibu. Bahunya yang terlihat kurus, kupijat pelan, lalu aku bubuhkan satu ciuman sayang pada pelipisnya.

Pada kursi kayu di dekat kolam, kuajak Ibu untuk duduk di atasnya. Suara gemricik air di kolam ikan menandakan banyak kehidupan disana. Berbagai ikan nilai saling berloncatan untuk berebut makanan yang dilempar oleh Ilana.

"Lan, ambil, kan, Ibu, minum ke dalam, ya! Biar enak obrolan kita disini."

"Oke, Mbak."

"Jadi begini, Bu, tadi kami itu bahas tetanggaku yang ketahuan selingkuh sama janda belakang rumah, Bu. Ibu ingat, kan, sama janda yang namanya Reni, yang rumahnya di belakang rumahku. Si janda genit itu, loh...," jelasku sedikit berbohong.

Sambil berusaha mengalihkan pikirannya, kupijat terus bahu kurusnya dengan ritme pelan.

"Ingatlah. Mana mungkin Ibu lupa. Itukan janda genit yang sering goda Bapakmu."

Alana memotong cepat perkataanku sebelum Ibu sempat menjawab. Gadis itu mengulurkan satu gelas air putih pada Ibu. Kuangkat kembali gelas itu yang diletakan Ibu di meja. Kudekatkan pada bibirnya untuk segera diminum.

"Hah, betul. Ibu baru ingat. Ibu gak akan lupa sama lirikan genitnya. Janda gatel itu yang sering gangguin bapakmu kalau datang ke rumahmu, kan? Semua orang pasti ingat sama kelakuan genitnya itu. Emang selingkuh sama siapa lagi rupanya si genit itu? Nggak kapok-kapok rupanya sama sambelku yang nempel di mekinya, hah! Apa mau Ibu tambah lagi biar makin panas itu meki itemnya. Meki dekil gitu pun masih ada yang doyan!"

Dengan napas memburu, Ibu meluapkan isi hatinya yang tak suka dengan tetanggaku yang bernama Reni. Aku paham betul dengan perasaannya. Di depan mata, janda itu terang-terangan berani menggoda Bapak.

Aku pun sebenarnya ikut emosi. Hanya masih bisa kutahan karena yang dilakukannya itu belum termasuk fatal. Kecuali kalau kelakuannya sudah keterlaluan, mungkin aku akan berpikir ulang.

"Nanti aku ceritain lengkapnya, ya, Bu. Sekarang kita makan siang dulu. Aku lapar. Dari pagi cuma makan roti kukus doang."

"Ah, kamu ini kalau cerita setengah-setengah, ya! Gak asyik. Males Ibu jadinya." Ibu beranjak dari kursi, meninggalkanku di belakang.

Akhirnya dadaku sedikit longgar. Di belakangnya yang tengah melangkah untuk masuk ke dalam rumah, aku bisa mengelus dada dengan senang. Ternyata aku berhasil mengalihkan pikiran Ibu dengan tepat untuk tak mengingat tentang obrolan itu.

Kuangkat ibu jari untuk memberi tanda ok pada Ilana, adikku. Akhirnya rencana kami berhasil tanpa susah payah untuk menenangkan Ibu.

"Kamu ini kebiasaannya, ya, Al. Duit ada. Makanan banyak dijual. Tapi untuk makan sendiri pun malas. Macam orang susah aja kamu buat. Nggak usah ikut-ikutan suamimu yang pelitnya ke demit. Hidup itu harus dinikmati bukan disengsarakan."

Panjang lebar Ibu memberiku nasehat kebaikan. Tak mengapa mendengar kebawelannya tentang makanan. Karena itu pertanda ia tak ingat lagi dengan pembahasan tadi.

"Iya, iya, Bu. Sarannya aku terima. Mau gimana lagi, aku kan sibuk. Banyak jahitanku. Alhamdulillah rejekinya berkah berlimpah, walaupun jarang mengisi makanan di perut."

"Iya berkah melimpah banyak duit. Tapi ujung-ujungnya masuk rumah sakit, kan? Mau kayak gitu lagi kamu?" Lirikan itu membuatku cengengesan.

"Is, si Ibu ini bisa saja jawabnya. Dasar anak …." Ilana menyerobot kursi di ujung, dimana Bapak biasa duduk disana.

"Anak Pak Subroto, dong, kan, pinter ngelesnya, ya, guys, ya," sambarku cepat, lalu ikut duduk di sebelah Ilana.

Aku dan Ilana memang paling suka memotong perdebatan Ibu. Kata Ibu kami memang pintar mengambil celah.

"Alana!"

Seketika suara Ibu mengglegar. Matanya melotot sempurna padaku dan Ilana yang tengah asyik mengisi piring dengan nasi dan berbagai macam lauk pauk.

Bersamaan dengan itu, mau tak mau Ibu ikut duduk di meja makan. Ia memilih duduk di seberangku, yang juga bersebelahan dengan Ilana. Makan siang kali ini hanya di isi tiga anggota keluarga. Bapak yang biasa memimpin doa saat makan, kini berhalangan hadir.

Hanya iringan irama lagu campur sari dari tv tabung di ruang tengah. Tanpa adanya kehadiran Bapak, makan siang kami tampaklah sunyi. Bapak masih ada di kantor KUD. Mungkin urusannya belum selesai. Kata Ibu, Bapak lagi mengurus surat perizinan untuk membangun usaha UMKM di komplek perumahannya.

Setelah makan siang berakhir, Lana kembali mengomel saat Ibu pergi ke warung. Ia masih tak percaya tentang Mas Arman yang kepergok bersama wanita lain di pantai. Ia masih tak terima jika kabar itu benar adanya. Begitu pula denganku, yang belum sepenuhnya percaya tentang apa yang kulihat hari ini.

Bukan berniat ingin menjadi istri bodoh. Hanya saja kita sebagai istri sah harus memikirkan semua perilaku kita di kemudian hari. Biar tak ada sesal di kemudian hari. Dan rasa sesal itu hanya untuk suami yang telah mampu mengkhianati ikatan suci pernikahan di mata Tuhan.

"Ini kenapa ada foto wajahnya yang gak jelas, sih, Lan! Kamu bisa gak, sih, ngambil fotonya! Gak becus banget kamu, nih, ah! Jadi nggak jelas, kan, wajah ceweknya yang mana!"

Aku menggerutu kesal karena wajah wanita itu tak terlihat dengan jelas. Hanya dari samping wajah itu terlihat. Sedang wajah Mas Arman terlihat jelas, posisinya pas di depan kamera.

Beberapa menit kemudian, transferan data ponsel itu telah selesai, aku kembalikan lagi ponsel itu dengan kasar. Kalau saja wajahnya jelas, aku bisa menandai wajah itu saat bertemu di tempat umum.

Tanpa kuduga, Lana memekik dengan keras. "Mbak, ponselku jatuh. Ah, ela, jadi pecahkan anti goresnya."

Aku mendelik tak percaya. Ilana mengambil ponsel itu yang jatuh mengenaskan di lantai di bawah meja. Ternyata Lana belum menerima ponsel itu saat kulepas dari genggaman tanganku.

Aku mengangkat kepala tanpa rasa bersalah. Ia melotot sempurna saat mata kami beradu temu.

Selanjutnya aku yang memekik kesakitan. Lana mencubit tanganku dengan cepat.

Gerutuan kesal ia lontarkan dengan nada keras. "Mbak Alana ini memang gak tau terima kasih, ya! Udah bagus aku fotoin malah ngomel-ngomel gak jelas begitu! Lihat ponselku pecah! Aku nggak mau tau pokoknya ganti ponselku sama yang baru! Pokoknya haru ganti. Titik."

Lana menggeser ponsel itu di meja ke arahku. Sambil melipat siku di meja, ia menatapku kesal.

Aku sampai terdiam cukup lama saat ia mengomel begitu. Anak ini memang jarang ngomong, tapi sekalinya ngomong nyerocos terus tak bisa dihentikan.

"Mbak! Jangan diam saja! Jawab, ih!" Tanpa rasa sabar, ia menggebrak meja di depanku.

Kesabarannya memang setipis tisu.

Kembali aku terkekeh. Kemarahnnya tak sedikitpun membuatku takut. Ia terus bersungut-sungut saat kudiamkan.

"Makanya kalau ngomong tuh pake rem. Nyerocos terus kayak petasan kamu, ya."

"Makanya kalau ngomong juga tuh dipikir dulu. Jangan asal keluar dari bibir. Dikira gampang apa ngambil foto orang diam-diam begitu. Susah tau. Apalagi kalau ketauan bisa habis aku dimasa. Kayak engga tahu saja sikap suami situ gimana. Galak kek singa kelaparan," cibirnya kesal yang masih tak terima karena aku salahkan.

"Iya, iya, maaf. Mbak yang salah," ujarku padanya dengan setengah hati.

"Jangan diulangi lagi?"

"Iya."

"Janji, Mbak!"

"Iya bawel."

Kuambil ponselnya yang masih di tergeletak di meja. Layar sentuh itu kunyalakan. Senyum merekah aku tarik sempurna. Layar itu masih menyala terang, bahkan masih bisa dipakai dengan biasanya.

"Pakai ini dulu. Tunggu honor Mbak cair baru ganti yang baru. Tapi ada syaratnya…,"

Kunaik-turunkan alis menunggu jawaban atas penawaran itu. Ia takkan menolak atas tawaran yang menggiurkan ini.

"Apa syaratnya?"

Senyumanku tertarik kembali saat mendengar pertanyaan itu.

"Bantuin, Mbak, untuk mencari bukti perselingkuhan itu lagi."

"Lalu...,"

Ah, ia selalu tahu tentang aku yang banyak maunya.

"Tolong sadap wa dan semua aplikasi dialam ponselnya."

"Untuk apa?"

"Semua bukti harus Mbak dapatkan. Di pengadilan nanti ia takkan kubuat menang."

"Oke. Syarat di terima."

Seketika aku berdiri untuk memeluknya dengan rasa haru. Walaupun kami sering berantem. Ia selalu bisa diandalkan.

"Bukti ini harus diamankan. Akan kubuat mampus lelaki itu. Enak sekali ia main di belakangku."

Kembali jariku menari-nari di layar ponselku. Aku buat galeri khusus pada aplikasi game agar tak terdeketsi oleh siapapun. Aku simpan semua bukti itu disana.

"Yang di ponselku tak simpen juga ya. Jaga-jaga buat buck-apan gitu."

"Oke."

"Permianan sudah dimulai, Mas. Kau yang memulai duluan! Kau juga yang akan mengakhiri ini semua."

Bersambung.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status