Share

Chapter 2 Gelora Asmara CEO

“Kamu enggak usah mengancam saya!” cetus Zuna dengan suara menyentak kepada seseorang yang berada di hadapannya.

“Ancam? Aku enggak ancam kamu kok, tapi yang harus kamu ingat dengan janji-janji kamu selama dua tahun kita menjalin hubungan, Pak Zuna. Apa kamu lupa?” ungkap orang itu dengan santai dan menunjukkan wajah bersahabat ke arahnya. Berbeda dengan Zuna yang tampaknya tengah menahan emosi.

“Kamu enggak akan mengkhianati aku, tapi apa yang terjadi kamu malah menikahi perempuan lain, bahkan mengkhianati cinta kita. Dan di posisi ini siapa yang jauh disakiti,” ujarnya dengan perasaan yang kecewa dan mencondongkan wajahnya berdekatan dengan Zuna.

“Saya butuh keturunan, dan orang tua saya terus mendesak saya untuk segera menikah. Jika saya tidak menyegerakan keinginan mereka, tentu saja apa yang dialami oleh saya akan terbongkar. Kamu tahu jika selama ini saya menyembunyikan hal ini dari mereka, tidak ada satu pun yang tahu apa yang saya lakukan! Dengan saya menikah tentu saja itu menyelamatkan saya dari anggapan negatif mengenai apa yang saya derita selama tiga tahun ini!” tegas Zuna sembari menggebrak meja dengan kasar.

Tidak ada yang mendengar karena keduanya berada di ruangan kedap suara dan tersembunyi. Zuna sengaja memesan ruangan khusus untuk bertemu dengannya.

Namun, seseorang yang berada di hadapannya hanya menaikkan ujung bibirnya tipis sembari berdecih.

“Kamu enggak mikirin perasaan aku, kamu hanya mikirin perasaan kamu dengan keluarga kamu aja, Pak Zuna. Aku sudah jatuh cinta mati-matian, tapi apa ini balasan yang kamu berikan untukku,” ungkap orang tersebut dengan suara yang bergetar, menandakkan sebuah kekecewaan yang luar biasa dirasakannya.

“Tapi aku bukan orang lemah, jika kamu mengkhianatiku tentu saja aku akan membuat perempuan yang telah menjadi istrimu mati seketika!” ancam orang tersebut yang tidak main-main dengan ucapannya.

“Lalu, kamu menginginkan apa?” tanya Zuna yang sudah paham dengan arah pembicaraan yang dimaksud olehnya.

“Jadikan aku sebagai asisten pribadi Pak Zuna di rumah.”

“Hah?” Zunair menjelak. “Itu enggak mungkin banget,” lanjutnya seakan menolak dengan halus.  

“Lho kenapa enggak mungkin, enggak ada yang akan curiga kok dengan hubungan kita, kita bisa menjalani hubungan secara diam-diam. Menutupi hubungan sesama jauh lebih mudah dibanding hubungan dengan lawan jenis di belakang hubungan yang sehat,” ucap orang tersebut yang terus menerbitkan senyuman di hadapan Zuna.

Zuna sendiri tidak merasa takut dengan ancamannya, namun orang seperti Renggana bisa dengan nekat untuk melukai Citra, perempuan yang tidak tahu apa pun, termasuk hubungannya dengan dia.

“Gimana? Mudah kok bagi Pak Zuna untuk mempekerjakan aku di sana, aku jamin enggak ada satupun yang curiga. Kita akan terlihat normal di mata orang-orang,” ujar Renggana yang menyentuh punggung tangan Zuna, lalu menggenggamnya dengan erat seperti pasangan kekasih.

Zuna memang merahasiakan hubungannya dengan lelaki itu, tidak ada satupun anggota keluarganya yang tahu dengan ketidaknormalan yang dialaminya. Dan tujuannya menikahi Citra hanya untuk menutupi hubungannya dengan Renggana. Namun, rasanya tidak tega jika Citra harus terlibat dalam masalah ini, karena perempuan itu tidak tahu apa pun.

“Ok, tapi kamu jangan pernah mengganggu perempuan itu, dia tidak bersalah. Urusan kamu hanya dengan saya,” pungkas Zuna dengan suara menekan.

“Kenapa kamu perhatian banget, Pak? Kamu enggak mungkin suka sama perempuan itu, ‘kan? Apa jangan-jangan kamu ada rasa sama dia? Setelah dua bulan menikah? Apakah hubungan kita yang sudah terjalin selama dua tahun lebih kalah dengan hubungan yang baru berjalan dua bulan?”

 “Hentikan omong kosong kamu, Renggana, saya enggak ada rasa sama dia, dan saya sudah menjelaskan kepada kamu tujuan saya menikahi karena apa? Hanya untuk menutupi dan mendapatkan keturunan, saya bukan orang biasa yang hidup dengan kebebasan, apa pun yang saya lakukan akan menjadi penilaian keluarga saya maupun orang lain. Terlebih di usia saya yang sudah matang, mereka mengharapkan keturunan dari saya. Dan kenapa saya meminta kamu untuk tidak menyeret istri saya, karena dia perempuan yang cukup polos dan baik, dia tidak tahu apa pun!” pungkas Zuna dengan tegas. Padahal tujuannya menikahi Citra tidak hanya untuk menutupi kelainannya saja, melainkan karena dirinya pun ingin berubah.

“Aku sangat percaya kok jika itu tujuan Pak Zuna menikahinya, maka dari itu aku harus terus berada di samping Pak Zuna agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” cetus Renggana yang semakin melebarkan bibirnya, sejak dari tadi orang tersebut terus memberikan senyuman kepada lelaki yang dicintainya.

Dengan sangat terpaksa Zunair menganggukkan kepalanya, toh tidak ada cara lain yang dapat dilakukannya, hal itupun demi menekan ancaman Renggana kepada istrinya. Lagi pula tidak akan ada yang curiga mengenai hubungannya dengan Renggana.

***

“Sudah selesai urusannya, Pak?” tanya Dave kepada Zuna yang baru saja menuruni anak tangga. Sejak tadi Dave dengan setia menunggunya tanpa mengetahui siapa yang ditemui oleh atasannya.

“Udah kok.”

“Terus kita akan ke mana lagi, Pak? Ke perusahaan atau rumah?” tanya kembali lelaki itu.

Zuna menghentikan langkah kakinya, lalu menatap ke arah Dave.

“Ke rumah aja, Dave, pekerjaan di kantor udah diurus sama Mikha,” ujar lelaki itu yang kembali melanjutkan langkah kakinya menuju mobil.

Dengan sigap Dave segera membuka pintu mobilnya, memudahkan atasannya untuk masuk ke dalam. Namun, Dave pun merasa ada yang aneh dengan cara dan sikap dari atasannya yang tak biasa, wajahnya seperti tertekan menyembunyikan hal penting darinya. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke arah bangunan di mana Zuna baru saja bertemu dengan seseorang, karena ketidaktahuannya itulah yang membuat Dave merasa penasaran.

“Apa yang kamu lihat sih, Dave!” tukas Zuna yang menyadarkan lelaki itu karena tidak langsung mengikutinya masuk ke dalam mobil.

“Ehm … enggak kok, Pak.”

Dave segera memasuki mobilnya lalu melajukan mobil meninggalkan tempat ini. Sementara Zuna masih memikirkan segala ucapan dan permintaan dari Renggana yang mungkin bisa dia katakan terlebih dahulu kepada Dave.

“Saya akan mempekerjakan asisten baru, besok dia akan langsung bekerja,” sahut Zuna yang membuat Dave harus membagi pandangannya.

“Asisten baru, Pak? Asisten yang bekerja khusus apa?” timpal lelaki itu.

“Ya seperti kamu, Dave, kamu sama dia akan berteman mungkin kalian seusia juga, setiap saya pergi dia pun akan ikut dengan saya.”

“Owh begitu, Pak, laki-laki atau perempuan?” tanya kembali Dave tanpa merasa curiga sedikitpun.

“Laki-laki dong, saya enggak mungkin mempekerjakan asisten perempuan di rumah kecuali jika di kantor,” cetus Zuna yang memantik senyuman dari Dave.

“Iya juga si, Pak. Ya bagus sih supaya saya ada temennya.”

Zuna kembali fokus menatap arah jalan, meski tidak ada satupun yang tahu mengenai Renggana, dan akan dianggap normal sebagai hubungan seperti teman. Namun, tetap saja dirinya harus berhati-hati.

***

Sesampainya di mansion mewah milik keluarga Sanjaya, Zuna dikejutkan dengan perlakuan kasar dari seorang pelayan senior kepada istrinya, rahang Zuna sudah mengeras dengan salah satu tangan mengepal erat ketika Citra dibentak secara tidak hormat begitu, padahal perempuan itu merupakan istrinya. Membentak Citra sama saja tidak menghargainya.

“Berani sekali kamu membentak istri saya!” bentak Zuna yang berjalan menghampiri kedua perempuan itu.

Citra yang sejak tadi menundukkan kepala seolah menerima bentakan dari pelayan itu dibuat terkejut melihat keberadaan suaminya. Sang pelayan yang merupakan pelayan senior langsung berubah raut wajahnya, menegang dan bibir pias setelah apa yang dia lakukan terlihat oleh majikannya.

“Apa yang kamu lakukan ke dia!” Zuna langsung mencengkeram leher perempuan setengah baya tersebut tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

Citra yang melihat hal itupun segera meminta Zuna untuk menghentikan karena merasa tidak tega juga, meski dirinya diperlakukan kasar sejak tadi.

“Mas, tolong jangan lakuin,” pinta Citra sembari memegangi pergelangan suaminya.

“Biarkan! Supaya dia tahu posisi kamu di sini itu jauh lebih tinggi dibandingkan dia. Rasanya aneh seorang pelayan membentak istri dari atasan!” tegas Zuna yang semakin mengeratkan cengkeramannya dan membuat pelayan itu meringis menahan sesak.  

“T-tolong maafkan saya, Pak,” ucapnya dengan terbata-bata.

“Saya tahu ada seseorang yang menyuruh kamu, siapa orang tersebut?” tanya Zuna yang terus mengeraskan rahangnya tanpa ada rasa kasihan sedikitpun.

“Ayo jawab! Saya enggak segan untuk memecat kamu, meski kamu adalah pelayan senior di sini, tapi saya ingin kamu belajar etika terlebih dahulu cara menghormati orang lain, enggak hanya kepada istri majikan kamu tapi kepada siapapun itu. Jadi beritahukan kepada saya orang yang telah menyuruh kamu membentak istri saya jika kamu masih ingin bekerja di sini!” desak Zuna yang terus menggertaknya.  

“Ehm ….” Perempuan itu seolah enggan untuk mengatakan karena memang sudah diancam sebelumnya.

“Jadi, kamu enggak sayang dengan pekerjaan kamu yang udah lama di sini. Ya udah kamu beresin semua pakaianmu setelah itu pergi dari sini! Rasanya saya enggak mau melihat wajah kamu lagi!” ucap Zuna yang akan melangkah pergi sembari menarik pergelangan Citra untuk ikut dengannya.

“Nyonya Marina yang menyuruh saya, Pak,” cetus perempuan itu yang pada akhirnya berani untuk mengungkapkan siapa orang yang telah menyuruhnya.

Dan nama yang dilontarkannya tadi cukup membuat Zuna mengepalkan tangan kirinya, entah mengapa dia sudah menduga jika tantenya-lah dalang dari semua ini.

Perempuan itu langsung bersimpuh di bawah kedua kaki Zuna sembari memohon ampun, agar lelaki itu memaafkan dan tidak jadi mengusirnya dari sini. Walau bagaimanapun dia masih membutuhkan pekerjaan di rumah ini.

“Tolong maafkan saya, Pak, saya enggak pernah berniat untuk membentak Nona Citra, karena saya pun tahu jika Nona adalah istri dari Bapak, tapi saya hanya menerima perintah dan saya tidak bisa melawan karena beliau mengancam saya. Tolong pikirkan kembali keputusan dari Pak Zuna yang ingin memecat saya. Tolong, Pak,” lirih perempuan itu yang terus memohon seolah lupa dengan perbuatannya tadi.

Citra yang melihatnya pun dibuat tak tega, rasanya memang tidak mungkin pelayan tersebut berani membentaknya tanpa ada yang memerintahkan.

“Nona Citra, tolong maafin saya, saya enggak ada wewenang untuk melakukan itu jika enggak disuruh.” Kini perempuan itu bersimpuh di kedua kaki Citra, berharap jika perempuan itu mau memaafkannya.

Dan Citra pun segera menghentikan apa yang dilakukannya dengan menundukkan tubuhnya bersejajar dengan sang pelayan.

“Bibi jangan ngelakuin hal ini, ya, dari awal aku udah curiga kok kalau bibi hanya disuruh orang lain, enggak benar-benar keinginan Bibi,” ucap Citra dengan penuh kelembutan.

Citra mendongak ke arah suaminya dan terlihat raut wajah laki-laki itu yang masih kesal dan kecewa. Zuna memilih untuk pergi demi menenangkan pikirannya.

“Mas!” panggil Citra yang langsung berdiri.

“Mungkin pak Zuna kecewa dengan saya, Non. Saya juga merasa bersalah dan sangat menyesal sekali. Kalau begitu maafkan saya yang telah berbuat tidak baik kepada Nona Citra. Saya akan membereskan pakaian saya terlebih dahulu sebelum berpamitan.”

“Bi, tunggu.” Citra memegang pergelangan tangan perempuan itu.

“Saya akan berusaha berbicara dengan pak Zuna supaya enggak memecat Bibi,” ucap Citra yang berharap jika kali ini Zuna mau mendengarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status