Share

Chapter 3 Gelora Asmara CEO

Jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan suaminya belum juga pulang. Sebelumnya Zuna mengatakan akan pergi sebentar, padahal posisinya baru datang dengan Dave, akan tetapi harus pergi lagi. Dan sampai detik ini juga lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Beberapa kali Citra meneleponnya pun tidak ada satu balasan karena ponselnya tidak aktif.

Suara decitan pintu yang terbuka membuat Citra langsung mengedarkan pandangan ke arah pintu. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan luka di area perutnya yang sedang dibopong oleh Dave dan salah satu bodyguard-nya.

“M-mas Zuna,” ucap Citra yang langsung beranjak bangun dari tempat tidur menuju suaminya berada.

“P-pak Dave a-apa yang terjadi dengan M-mas Zuna?” tanya Citra dengan suara terbata-bata, apalagi dengan darah yang menempel di kemeja putih suaminya, dengan wajah yang memucat dan tidak sadarkan diri.

“Ceritanya panjang, Non, nanti saya akan ceritakan kronologinya seperti apa. Saya akan memanggil mas Kalingga terlebih dahulu untuk mengobati luka Pak Zuna,” ucap Dave yang segera bergegas pergi setelah membaringkan Zuna ke atas ranjang dengan hati-hati.

Citra hanya menganggukkan kepalanya sembari mendapati keadaan Zuna yang begitu menyedihkan. Sulit sekali berkata-kata, bahkan tubuhnya bergetar seperti menahan air mata yang ingin sekali dikeluarkan. Entah apa yang terjadi di luar sana, jika sejak awal dia tahu akan terjadi seperti ini, mungkin dia akan melarang suaminya pergi tadi.

Tak berselang lama Dave pun kembali bersama Kalingga— yang merupakan adik laki-laki Zuna yang berprofesi sebagai dokter, dan sekarang sedang menjalani pendidikan spesialis bedah di salah satu Universitas terkemuka di Jakarta dan di salah satu RS ternama juga yang sudah bekerja sama.  

Lelaki berusia 28 tahun tersebut sedang mengobati luka parah di bagian perut kakaknya, Citra yang melihatnya pun memilih untuk berjauhan dengan Zuna, karena dia cukup takut melihat luka di perut suaminya. Namun, sesekali Citra memperhatikan wajah adik iparnya itu yang tampak biasa.

Hampir satu jam Kalingga mengobati luka di tubuh kakaknya, dan kini suaminya sudah tidur dalam keadaan telanjang dan hanya memakai selimut untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, bagian perut ke atas dibiarkan terbuka atas perintah dari Kalingga.

“Luka di perut Pak Zuna enggak apa-apa ‘kan, Kal?” tanya Dave yang ikut mengkhawatirkan atasannya.

“Enggak kok, luka tusukan yang dialami Mas Zuna enggak terlalu dalam menembus organ dalam yang lainnya, hanya di lapisan atas kulit perut. Denyut nadinya pun cukup teratur. Yang penting nanti besok saya akan mengganti perbannya lagi,” tutur Kalingga yang memberikan obat bius agar kakaknya tidak merasakan sakit.

“Serius enggak apa-apa, Kal?” timpal Citra dengan mata yang masih sembab.

“Iya, enggak apa-apa kok, nanti juga lukanya kering. Mbak Citra jangan terlalu khawatir ya, lebih baik Mbak juga istirahat sekarang,” pinta adik iparnya itu yang sikapnya jauh lebih baik dibanding adik ipar perempuannya.

“Iya, makasih banyak ya, Kal,” timpal Citra yang belum bisa merasa tenang karena melihat keadaan suaminya sekarang.

Kalingga pun meninggalkan kamar setelah mengobati luka kakaknya, dan meninggalkan Citra dan Dave. Perempuan itu langsung mengarahkan pandangan kepada sekretaris pribadi suaminya, satu-satunya orang yang tahu dengan kronologi peristiwa itu terjadi.

“Gimana semua ini bisa terjadi, Pak Dave? Kenapa suami saya bisa terluka? Apa ada penyerangan saat kalian pulang?” tanya Citra dengan pertanyaan berjajar.

Dave yang masih syok dengan kejadian beberapa waktu yang lalu pun berusaha tenang, jangan sampai jawaban yang keluar dari mulutnya malah membuat Citra semakin syok.

“Ceritanya panjang, Non, tapi ada hubungan dengan musuh dari Pak Zuna dan kami mengalami apa yang Nona katakan tadi, penyerangan saat akan pulang,” jawab lelaki itu sembari menghela napas pelan.

“Sebagai pengusaha sukses dan terkenal, tentu saja banyak lawan yang harus dihadapi di sisi manapun, termasuk di tempat dan waktu yang tidak terduga dan di saat kita lengah,” ujar lelaki itu yang berhati-hati saat mengungkapkan.

Saking terkejutnya Citra sampai menutup mulut.  “M-musuh? Jadi selama ini Pak Zuna memiliki musuh?”

“Tentu, Non, dan hari ini saya cukup lengah tidak membawa bodyguard, sehingga mereka dengan leluasa melukai Pak Zuna, nasib baik luka tersebut tidak terlalu parah” ungkap lelaki itu dengan suara parau dan penuh penyesalan.

Citra semakin terpukul mendengarnya, tidak menyangka di balik kekayaan yang dimiliki suaminya ternyata banyak musuh yang sedang mengintainya. Nyawa lelaki itu benar-benar tidak aman, meski dia meyakini hal seperti itu memang sering terjadi di dunia bisnis.

Melihat raut wajah istri atasannya yang tampak menekuk, membuat Dave akan berusaha untuk menenangkan.

“Tapi Nona tenang saja, saya akan berusaha untuk melindungi Pak Zuna, tidak hanya saya melainkan beberapa bodyguard handal yang sudah terlatih untuk menjaganya. Dan kejadian malam ini akan menjadi pelajaran bagi kami untuk jauh lebih berhati-hati lagi,” tutur Dave.

 “Ya, aku sangat percaya pada kamu, Pak Dave.”

Setelah kepergian asisten pribadi suaminya, dan Citra pun baru saja mengganti baju mengenakan gaun tidur. Lalu mendekat ke arah ranjang untuk melihat keadaan Zuna. Ditatap dan diperhatikan perban yang menutup luka tusuk di perutnya. Tetap saja membuat Citra meringis membayangkan rasa sakit yang dirasakan oleh suaminya. Citra berusaha untuk terjaga tidak tidur, mungkin nanti malam Zuna membutuhkannya, meski Kalingga telah memberikan obat bius.

***

Keesokan pagi, ketika jam menunjukkan pukul lima pagi, Zuna terbangun dari tidurnya. Ekor matanya langsung disuguhkan dengan pemandangan di samping dia berada, di mana Citra tidur dalam keadaan duduk menyandar di kepala ranjang dengan tangan tersilang di dada.

Selain itu, Zuna pun harus meringis merasakan sakit karena obat bius yang diberikan oleh adiknya sudah habis, dan sekarang malah terasa sakit akibat luka tusukan itu. Namun, dia tetap berusaha untuk bangun dari baringannya sembari menekan perutnya agar tidak terlalu sakit.

Terasa jika ada pergerakan tubuh menyadarkan Citra yang baru satu jam tertidur, perempuan itu dengan setia membuka matanya demi menjaga Zuna.

“Mas Zuna ingin sesuatu? Mas bilang aja ke aku, biar aku yang ambilin,” sahut Citra yang mengubah posisi duduknya sembari mengusap wajahnya yang masih mengantuk.

Wajah lelaki itu terlihat sangat pucat, apalagi sekarang Zuna tengah menahan rasa sakit dengan ringisan yang tidak bisa disembunyikan.

“Aku panggil Kalingga ya, Mas.”

Namun, Zuna menahan pergelangan Citra yang akan pergi.

“Enggak usah.”

“Tapi muka kamu pucat banget, Mas, aku takut kamu kehilangan banyak darah.”

Zunair menurunkan pandangannya ke area perut yang sudah diperban sebegitu kuat, noda merah yang menempel di perbannya hanya noda sisa semalam.

“Kamu enggak lihat kalau perut saya udah diperban gini gimana darah akan keluar,” cetus Zuna yang masih bisa memarahi istrinya itu.

Citra tersenyum aneh, merutuki kebodohannya yang berhasil membuat suaminya marah. “Iya sih, tapi aku enggak paham. Terus Mas Zuna kenapa bangun?” Pertanyaan aneh kembali terlontar di lidah perempuan itu.

Zuna langsung menatapnya tajam.

“Ehm … maksud aku mungkin Mas laper apa gimana?”

“Saya enggak laper, saya cuma pengen bangun aja, kayanya kamu pengen banget kalau saya tidur terus,” cetus Zuna dengan suara ketus.

“Hehe, bukan seperti itu, Mas.” Citra melingkarkan tangannya di pergelangan tangan suaminya.

Namun, karena takut melihat tatapan tajam dari suaminya membuat perempuan itu kembali melepaskannya lagi.

“Dari semalam aku terus berjaga takut kamu terbangun dan membutuhkan sesuatu, makanya aku tanya, mungkin kamu haus, jadi kamu bisa bilang ke aku untuk mengambilkan. Aku enggak berniat apa pun kok, melihat kamu pulang dalam keadaan seperti ini aja membuatku syok dan takut, Mas,” ungkap Citra yang membuat Zunair langsung mengubah raut wajahnya sekilas. Tatapan dingin yang sejak tadi menghiasi wajahnya kini mulai mengendur dengan pengorbanan istrinya semalam.

“Ya udah sekarang kamu istirahat aja, sepertinya kamu kurang tidur,” titah Zuna.

“Enggak bisa, gimana kalau Mas Zuna mau ke kamar mandi, enggak mungkin Mas jalan sendiri.” Citra langsung menyergah.

“Kalau saya butuh sesuatu pun pasti akan meminta bantuan juga. Kamu harus banyak tenaga untuk membantu saya nanti,” pungkas Zuna yang mengedarkan pandangannya ke arah lain di saat Citra masih menatapnya. Ada hal yang mengganggu pikirannya jika sudah ditatap intens oleh perempuan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status