Share

Gelora Asmara CEO
Gelora Asmara CEO
Penulis: Librocubicularist

Chapter 1 Gelora Asmara CEO

“Kamu udah hamil, Cit?” tanya Tante Marina yang merupakan adik bontot mama mertuanya, salah satu anggota keluarga yang sering sekali menyudutkan Citra jika ada acara keluarga seperti ini.

 “Eh, udah dua bulan ‘kan ya kalian nikah, masa belum ada kabar kehamilan juga sih? Kan Tante penasaran?” tanyanya kembali yang membuat orang-orang menatap ke arah Citra.

Citra menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum tipis seolah tahu dengan arah pembicaraan ini yang akan ke mana, pasti ujungnya dia yang akan tersudutkan.

“Belum, Tan,” balas perempuan itu apa adanya.

“Lho kok belum aja, ya? Kalian udah pernah checkup, ‘kan?” tanya Marina yang cukup tersontak mendengar pengakuan dari Citra.

“Udah kok, kata dokter keadaanku dan mas Zuna baik-baik aja enggak ada hal yang dikhawatirkan. Mungkin memang belum dikasih, jadi kita cuma nunggu sambil berdoa dan berikhtiar,” jawab Citra yang berusaha untuk tersenyum, walaupun terasa getir saat ditanya seperti itu lagi di depan banyak orang.

Entah untuk keberapa kali pertanyaan seperti itu terdengar di telinganya, seolah jika dia yang memang tidak bisa memiliki anak, padahal pernikahan saja baru berjalan selama dua bulan, namun sudah dihebohkan dengan permasalahan yang tak kunjung hamil.

“Kalau misalkan dua-duanya dalam keadaan baik kenapa susah kamu hamil. Kamu nikah sama Zuna ‘kan udah dua bulan lho. Semua keturunan dari keluarga Sanjaya itu pada subur, enggak lama untuk punya anak. Kamu berhubungan berapa kali dalam seminggu,” tutur Marina yang seolah menyalahkan Citra atas keterlambatannya, dan tidak seharusnya ditanyakan di muka umum.

“Ya udah kalau kamu enggan menjawab. Tapi rahim kamu benar-benar subur, ‘kan, seharusnya kalian melakukan checkup-nya tidak hanya sekali melainkan beberapa kali supaya memastikan aja kalau di antara kalian itu subur,” tutur kembali Marina tanpa memperhatikan perubahan di wajah Citra yang tengah menahan kegelisahan dengan segala pertanyaannya itu.

 “Rahim Citra dalam keadaan baik-baik aja kok, dia juga subur,” sahut Zunair yang langsung menimpal dan duduk di sebelah istrinya.

Ekor mata Citra menoleh ke arah suaminya dan keadaannya pun mulai terasa lega sekarang, berharap jika lelaki itu akan membela.

“Subur? Kamu serius? Seharusnya kamu melakukan medical checkup seminggu minimal dua kali, jangan sebulan sekali. Kalau misalnya rahimnya subur kenapa sampai sekarang dia belum hamil juga!” tukas Marina yang masih saja memperdebatkan hal itu, walaupun sudah ada keponakannya yang membela Citra.

“Aku udah bilang ‘kan Tan mungkin Tuhan belum memberikan. Tapi aku sama Mas Zuna juga lagi berusaha kok.”

Marina mengembuskan napasnya dengan kasar sembari melegoskan pandangannya ke arah lain. “Saya juga tahu jika ujung-ujungnya memang Tuhan belum memberikan, tapi sebagai keluarga dari Zuna tentu saja saya ingin segera melihat keponakan saya memiliki anak, dan kami pun hanya ingin tahu aja apakah kamu benar-benar subur atau enggak! Kalau permasalahan itu ada di rahim kamu, kita bisa melakukan segala cara agar Zuna bisa segera memiliki anak!”

Zunair mengembuskan napasnya dengan kasar sembari mengusap wajahnya. Dirinya memang sering sekali berdebat dengan tantenya yang satu ini.

“Apakah Tante enggak mendengar kalau tadi aku bilang Citra dalam keadaan baik-baik aja?” ketus Zuna yang membungkam Marina seketika.

“Kenapa aku menegaskan rahim Citra itu enggak bermasalah, karena yang bilang itu dokter kandungan sendiri. Sejak awal kami menikah aku sering melakukan medical checkup sebanyak dua kali dalam seminggu setelah kami berhubungan. Jadi, jangan terus menyudutkan masalah keturunan, jika sudah waktunya pun Citra akan hamil juga!” tegas Zuna yang sudah kepalang emosi dengan sikap tantenya ini yang selalu memperkarakan hal kecil menjadi besar.

Setelah perdebatan kecil usai, Citra pun mulai menikmati hidangan yang telah disajikan, diantaranya makanan Western, Japanese, dan beberapa makanan khas Indonesia. Namun, teringat dengan permintaan dari suaminya untuk menjaga pola makan agar tubuhnya tetap bagus, Citra hanya memakan dua potong ikan salmon dalam ukuran sedang dan salad sayur. Padahal makanan Indonesia yang ada di hadapannya jauh lebih menggugah selera di banding makanan yang lain.

Zuna melirik ke arah Citra, diperhatikan raut wajah perempuan itu yang terlihat tidak baik-baik saja, bahkan tampaknya Citra pun tak berselera untuk makan.

“Bulan ini kamu udah datang bulan?” tanya Zuna untuk membuka obrolan lagi.

“Belum, Mas, biasanya pertengahan bulan, ini baru tanggal 12. Memangnya kenapa, Mas?” Citra balik bertanya, dan keadaannya sekarang agak lebih baikan daripada sebelumnya.

“Nanti kamu kasih tahu saya kalau datang bulan atau telat, tapi inget kamu harus jaga pola makan, saya enggak mau kamu dihina oleh mereka karena berat badan yang naik,” ujar lelaki itu yang tidak dimengerti oleh Citra, mengapa menyuruhnya untuk terus menjaga tubuh agar tetap ideal.

Citra pun mengubah posisi tubuhnya ke arah Zuna. “Apa di mata Mas Zuna aku berisi, ya? Perasaan tubuhku ini langsing deh, Mas. Tapi, kenapa aku disuruh untuk diet mulu?” Citra balik bertanya karena dia merasa telah melakukan serangkaian perintah dari Zuna. Namun, tampaknya pria itu masih belum puas dengan tubuh istrinya.

Zunair memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung mata kaki istrinya yang memang sempurna, tidak berisi dan juga penampilan yang cantik.

“Langsing, tapi kalau kamu enggak jaga pola makan yang ada nanti tubuh kamu berisi. Yang harus kamu tahu di rumah ini penampilan adalah nomor satu, karena penampilan itu akan terlihat oleh banyak orang. Kamu akan terlibat kemanapun saya pergi. Sudah dua bulan kamu berada di sini, kamu harus lihat tata cara dan pola hidup mereka seperti apa. Jika saya enggak mendompleng kamu ini dan itu, kamu akan menjadi bahan candaan oleh mereka,” ungkap Zunair yang memalingkan wajahnya ke arah lain ketika Citra menatapnya lekat, tampaknya perempuan itu mulai menyadari dengan sikap suaminya yang cukup menyebalkan, tapi demi dirinya juga. Namun, tetap saja dia seperti dijajah harus melakukan apa pun perintahnya.

***

Citra merasa sendiri di tengah banyaknya orang yang berada di halaman rumah yang sedang mengobrol, berlalu lalang, dan sebagian lagi sedang barbeque-an diselingi dengan candaan yang membuat Citra tak nyaman. Perempuan itu memilih untuk tidak ikut bergabung dan sesekali mengobrol dengan para pelayan, apalagi setelah kejadian tadi siang yang membuat tante Marina tidak bisa berkutik ketika mas Zuna datang untuk membelanya. Walaupun dirinya bahagia, tapi ada rasa tak nyaman karena pastinya tante Marina akan semakin tidak menyukainya.

Namun, karena sang pelayan harus kembali bekerja, terpaksa Citra ditinggalkan sendiri dan lebih mencari kesibukan. Sementara suaminya sedang mengobrol dengan orang tuanya. Setelah dua bulan berada di sini, adik perempuan dari suaminya pun tidak pernah menyapa, mereka seperti tidak menganggapnya sebagai kakak ipar, berbeda dengan Kalingga—adik ipar laki-lakinya yang begitu baik dan ramah.

 “Nona sendiri aja kenapa enggak ikut gabung?”

Suara vokal yang khas membuat Citra langsung mengedarkan pandangannya ke belakang, terlihat seorang laki-laki berperawakan tinggi dan berbadan tegap yang hampir mirip dengan Zuna, yang kini sedang tersenyum ke arahnya. Citra memang tidak tahu siapa lelaki itu, dia hanya membalas senyumannya yang terlihat tulus.

“Mas bicara sama saya?” tanya Citra kepada lelaki itu. Dia hanya memastikan saja agar tidak malu membalas senyuman dari orang lain yang mungkin saja bukan untuknya. Kemudian Citra pun menoleh ke kanan dan kiri.

“Ya tentu dong, emangnya di sini ada siapa lagi selain Nona yang lagi diem sendiri, di saat orang-orang lagi pada happy,” timpal lelaki itu yang terus memamerkan senyuman dan menghampirinya.

“Jangan panggil Nona, panggil Citra saja,” balasnya yang tampaknya malu-malu saat lelaki itu berada di dekatnya.

“Kamu istri dari mas Zuna, ‘kan? Jadi, wajar dong saya panggil kamu Nona,” ujar lelaki itu yang terlihat sok kenal dan sok akrab sekali. Namun, jujur saja hanya lelaki itu yang mau menyapanya selain beberapa pelayan.

“Hehe, iya juga. Mas ini siapa, ya? Kenapa saya baru lihat?” tanya Citra yang terus memperhatikan pria di hadapannya ini yang masih berdiri. Terlihat dari pakaiannya yang rapi dan modis meyakinkan Citra jika lelaki ini bukanlah seorang pelayan.

“Sebelum saya jawab kira-kira boleh gak nih saya duduk di sini? Enggak mungkin ‘kan kita bicara dalam posisi gini?” tanya lelaki itu terlebih dahulu dengan kalimat yang sangat sopan.

“B-boleh kok, Mas, hehe. Seharusnya Mas langsung duduk aja enggak harus minta izin dulu ke saya. Toh ini kursi bukan punya saya kok,” ujar Citra yang menyelipkan beberapa helai anak rambut ke belakang daun telinganya. Hal itu dilakukan agar tidak terlalu grogi.

“Ya harus izin dong, kan kamu istrinya dari mas Zuna,” ujar lelaki itu yang langsung mendudukkan bokongnya di atas kursi bersebalahan dengan Citra.

“Memangnya Mas ini siapanya mas Zuna? Dan pertanyaan saya tadi juga belum dijawab,” tagih Citra yang membuat lelaki itu tersenyum tipis karena melihatnya yang tak sabaran.

“Saya Airlangga, sepupu dari mas Zunair,” ucapnya yang menyodorkan tangan mengajak Citra untuk bersalaman. “Kamu bisa panggil saya Mas Air atau Mas Langga, tapi orang-orang di sini itu panggil saya Mas Langga. Ah … apa aja deh terserah kamu,” lanjutnya kembali yang memperkenalkan diri diselingi dengan candaan agar Citra tidak grogi.

Citra pun segera membalas pagutan tangan lelaki itu. “Salam kenal, Mas, saya Citra, istrinya mas Zuna.” Dengan sangat sopan Citra memperkenalkan dirinya sembari menundukkan wajah beberapa detik yang membuat lelaki itu merasa terkesan dengan sikapnya yang menyenangkan.

 Lalu keduanya pun menyudahi pagutan tangan dan kembali ke posisi masing-masing dengan senyuman yang masih menghiasi wajah.

“Namanya sangat indah sesuai dengan orangnya yang cantik jelita” puji Airlangga yang tak segan melontarkan kalimat penuh pujian kepada perempuan yang baru dikenalnya.

“Makasih atas pujiannya, Mas L-lang-ga,” timpal Citra yang sedikit terbata saat memanggil nama lelaki itu.

“Oh ya kamu sendiri aja di sini, orang-orang lagi pada bakar-bakaran tuh, kamu enggak ikut gabung kah?” tanya Airlangga sembari meraih gelas yang berisi cola, namun tatapannya tak teralih dari Citra yang tampaknya berat saat ditanya seperti itu.

“Hehe, enggak deh, aku lebih nyaman sendiri dan menjadi penonton aja. Tapi sebelumnya aku enggak sendiri kok lagi ngobrol sama beberapa pelayan, karena mereka sibuk ya udah ditinggal sendiri deh,” jawab Citra dengan jujur.

Airlangga mendapati hal berbeda dari raut wajah dan juga jawaban dari perempuan itu, seperti ada rasa ketidaknyamanan berada di sini. Dirinya sangat memahami karena Citra merupakan orang baru di keluarga Sanjaya, jadi wajar saja jika perempuan itu belum terlalu akrab dengan semua anggota di rumah ini.

“Oh gitu.”

“Mas sendiri kenapa di sini? Kenapa enggak gabung sama keluarga Mas?” Kini giliran Citra yang bertanya sembari menunjuk ke arahnya.

“Owh, saya baru datang jadi belum ketemu banyak orang, termasuk suaminya kamu juga saya enggak tahu di mana. Tapi, karena saya ketemu kamu, ya udah saya ajak ngobrol aja dan kamu orangnya asyik juga, daripada kamu bengong sendiri,” ujar Airlangga yang mampu mencairkan suasana, bahkan Citra pun merasa nyaman saat mengobrol dengannya, walau baru beberapa menit yang lalu bertemu dan saling mengenal, akan tetapi dia dibuat tidak canggung.

“Enggak apa-apa, ‘kan? Kamu keberatan gak saya di sini? Atau enggak suka?” tanya lelaki itu agar bisa memahami kepribadiannya.

“Enggak kok, Mas, santai aja, malahan saya senang karena ada Mas Langga di sini, kita bisa ngobrol juga,” ujar Citra yang menahan lelaki itu agar tidak pergi.

“Ya udah makasih kalau gitu.”

Memperhatikan sikap dari Airlangga yang cukup berbeda dengan suaminya, lelaki itu jauh lebih bersahabat dari segala apa pun, murah senyum dan asyik diajak bercanda. Sejak pertama kali menikah sikap Zuna pun seperti itu, makanya dia merasa nyaman. Namun, sekarang sangatlah berbeda, dia baru tahu dengan sikap asli suaminya itu. Citra menggelengkan kepalanya pelan, tidak seharusnya dia membandingkan lelaki yang baru dikenal dengan suaminya yang sudah berkorban banyak untuknya.

Tanpa sadar jika dari arah yang tidak jauh Zunair tengah memperhatikan kedua orang itu yang tampak akrab, bahkan beberapa kali Citra terus tertawa sampai tak sadar menepuk lengan Airlangga dengan begitu spontan. Entah apa yang mereka obrolkan, namun jujur saja Zuna merasa tak nyaman melihat istrinya tersenyum untuk orang lain.

Di tengah tertawanya Citra tak sengaja melihat keberadaan Zuna yang sedang berdiri dengan wajah sedikit tertekuk.

“Mas Zuna,” teriak Citra yang menggerakan tangan ke arah lelaki itu dengan penuh senyuman. Tidak menyadari jika di dalam hatinya Zuna sedang melawan rasa kesal terhadapnya.

Airlangga pun ikut mengedarkan pandangannya ke arah Zuna, di mana lelaki itu sudah berjalan dengan wajah yang bersahabat kali ini.

“Kamu baru datang, Lang?” tanya lelaki itu yang duduk di sebelah Citra.

“Hehe, iya, Mas, tadi kejebak macet, nasib baik enggak ketinggalan ikut acara ini, agak nyesek sih karena enggak dari pagi kumpul,” ujar Airlangga yang berjabat tangan dengan sepupunya.

“Oh gitu, kalau masuk hari libur kemacetan di sini jangan diragukan lagi. Tapi, masih mending kamu bisa pulang dan kumpul bareng keluarga besar, kapan lagi coba kamu bisa cuti penerbangan,” timpal Zunair yang melirik ke arah Citra.

“Kalian udah kenalan sebelumnya?” tanya Zuna yang merasa heran karena keduanya tampak ngobrol dekat tadi. Padahal dia belum memperkenalkan istrinya dengan Airlangga atau bahkan sebaliknya.

“Udah kok, dan aku baru tahu kalau Mas Airlangga ini saudara kamu, Mas Zun, kita ngobrol banyak banget, ‘kan, Mas Lang?” Citra bertanya kepada Airlangga.

“Iya, Cit. Makasih ya kamu udah izinin saya untuk jadi teman kamu.”

“Enggak masalah, aku juga senang banget punya temen seperti Mas Langga,” timpal Citra yang tak segan untuk memberikan senyuman kepadanya.

Zunair terpaksa tersenyum, meski cukup kesal melihat tingkah Citra yang begitu riang dengan sepupunya ini. Mungkin hati perempuan itu tengah berbunga-bunga sekarang karena memiliki teman baru.

“Oh gitu, ya, bagus dong. Kalian udah puas ‘kan ngobrolnya?” Kini giliran Zuna yang mengeluarkan suara.

“Maksudnya, Mas?” Citra tak mengerti dan menoleh ke arah Zuna.

“Ya maksudnya kamu kembali ke kamar aja, istirahat karena ini udah malem, atau persiapin malam ini kek nanti saya susul kamu ke kamar, soalnya saya mau ngobrol dulu sama Langga.”

“Owh, jadi aku ke kamar gitu. Padahal aku masih mau ngobrol, Mas,” cetus Citra dengan bibir yang dikerucutkan, terlihat begitu menggemaskan di mata kedua lelaki itu.

“Jangan membantah ucapan suami, saya minta kamu mempersiapkan malam ni untuk saya. Kamu pasti paham deh maksud saya.” Zunair terpaksa menjelaskan agar istrinya ini mengerti, meski terasa malu karena terdengar oleh Airlangga.

“Ya udah kalau gitu, aku pamit deh. Mas Langga aku pamit ya.” Citra beranjak bangun dari kursi dengan wajah yang terus menyiratkan senyuman, bahagia karena dia memiliki teman baru.

“Mas aku tunggu di kamar, ya,” bisik Citra malu-malu karena sudah mengerti dengan maksud suaminya tadi.

“Hem,” sahut Zuna yang terus menahan malu saat Airlangga tersenyum karena ucapannya tadi. Padahal dia mengatakan hal itu agar istrinya segera pergi tidak terus mengobrol dengan sepupunya.

Citra sudah melangkah pergi meninggalkan kedua lelaki itu dan meninggalkan senyuman lebar dari Airlangga yang begitu terkesan dengan tingkah Citra yang sangat menyenangkan.

“Istrinya Mas Zuna itu lucu, ya, kenal darimana sih, Mas? Pacaran? Atau hasil perjodohan?” tanya Airlangga yang tidak segan untuk menanyakan.

“Ya elah kamu tahu ‘kan kalau saya paling anti dengan yang namanya perjodohan. Dia adik kelas saya saat SMA, dan kita pacaran setahun, sebentar sih, tapi saya udah jatuh cinta sama dia. Ya udah dinikahin deh, ngapain pacaran lama-lama.” Zunair terpaksa berbohong lagi. Jika ada yang bertanya pasti itulah jawaban yang sering keluar dari mulutnya.

“Oh gitu, beruntung banget Mas Zuna nikah sama dia, sepertinya hari-hari Mas Zuna bakalan seru deh, karena saya lihat dia itu sosok yang lucu dan periang, Mas Zuna enggak bakalan boring. Jujur, saya juga nyari spek istri yang seperti itu, kalau saya capek pulang kerja ada yang nyambut dengan senyuman dan tingkahnya,” ujar Airlangga.

“Dia tipe kamu?” tanya Zuna dan langsung diangguki oleh Airlangga tanpa ragu.

“Dia itu perempuan yang polos banget, beberapa kali menangis karena belum memahami karakter penghuni rumah ini yang terkadang membuatnya sakit hati,” timpal Zunair menghabiskan minuman yang ada di hadapannya, tanpa dia tahu pemilik dari minuman tersebut yang merupakan milik dari Omnya yang sengaja disimpan di situ.

“Mungkin karena belum terbiasa, karena tadi saya juga lihat Citra itu memilih untuk sendiri di sini sebelum saya datang. Terkadang lingkungan yang enggak nyaman membuat seseorang lebih memilih untuk sendiri,” ujar Airlangga yang memberitahu Zuna.

Zuna sangat memaklumi dengan keadaan istrinya itu, padahal dia sudah berusaha untuk merahasiakan identitas aslinya, menyetarakan derajat dia dengan anggota keluarganya. Namun, Citra tetap merendah karena merasa tak sepadan dengan dirinya. Padahal yang tahu dengan latar belakang perempuan itu hanya suaminya seorang.

“Lho minuman Om di sini mana?” tanya Om Rangga yang baru saja datang sembari menunjuk tempat dia menyimpan gelas minumannya, apalagi keponakannya itu memegang gelas yang sama persis dengan gelas miliknya.

“Di sini ‘kan banyak gelas minuman, Om, yang mana aja kali,” sahut Zuna.

“Yang lain ‘kan jus sama cola, kalau minuman Om ini moktail, tadi tantemu menyimpannya di sini.” Om Rangga terus mencari minumannya yang berbeda warna dengan minuman yang lain.

“Owh … itu, tadi Zuna enggak sengaja minum, Om, hehe, maaf ya, kirain punya siapa aja. Soalnya udah lama juga Zuna enggak minum moktail,” ungkap Zuna yang berterus terang.

“Kamu minum, Zun?” Om Rangga tampak tak percaya saat Zuna mengakui jika minumannya telah dihabiskan olehnya.

“Iya, Om, emangnya kenapa?”

“Ya ampun Zuna, itu minuman udah dicampur sama obat kuat, sengaja Om simpan di sini supaya enggak ada yang minum. Tadi Om ke toilet dulu,” ujar lelaki itu yang berterus terang karena sebelumnya dia tidak menyimpan sembarangan takut ada yang meminumnya.

“Hah!” Zuna terbelanga dan menatap lekat gelas kosong yang tengah dipegangnya.

Airlangga yang mendengarnya pun dibuat terkekeh sangat mengerti dengan obat tersebut, meski dirinya belum menikah.

“Om serius? Kalau minuman Om itu ada obat kuatnya?” ulang Zuna yang masih belum percaya sembari mengusap-usap tenggorokannya.

“Ya serius, tantemu sengaja mencampur karena malam ini kita mau ….” Om Rangga menghentikan ucapannya sendiri karena merasa malu untuk mengungkapkan kegiatan yang akan dilakukannya.

“Ena-ena kan, Om,” timpal Airlangga yang dijawab dengan senyuman.

Tiba-tiba saja Zunair terbatuk rasanya ingin sekali memuntahkan kembali minuman tersebut yang sudah masuk ke dalam perutnya.

“Tapi, enggak apa-apa deh, toh kamu udah menikah juga, kalau obatnya bereaksi kamu bisa minta jatah sama istrimu, daripada Airlangga yang minum ‘kan berabe karena dia belum nikah, nanti kalau dia terangsang gimana, masa ngehamilin anak orang.” Om Rangga tidak bisa berhenti tertawa. Sementara Zuna sudah merasakan perubahan di tubuhnya, dirinya tidak bisa menahan hasrat efek minuman tersebut yang begitu dahsyat di dalam tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status