Share

Chapter 5 Gelora Asmara CEO

Pagi ini Citra sudah disibukkan membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga besar suaminya, walau tidak membantu memasak. Namun, perempuan itu ikut sibuk membantu menyimpan hidangan ke atas meja, dan merasa bahagia bisa berkontribusi untuk keluarga ini, meski tidak bisa menghindari tatapan tajam dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.

“Oh ya, di mana Airlangga kenapa dia enggak ada di sini?” tanya Marina yang tengah mencari salah satu keponakannya itu.

“Ada kok, Tan?” sahut lelaki itu yang baru saja tiba di ruang makan sembari memamerkan senyuman, dan senyuman itu kini beralih kepada Citra yang ikut mendongak ke arahnya. Perempuan itu membalas senyuman dari Airlangga yang sudah menjadi temannya.

“Maaf ya, dari kemarin sampai pagi ini saya ditunggu terus, kalau hari libur atau lagi cuti saya jarang banget bangun pagi,” ujar Airlangga yang duduk berhadapa dengan Zuna dan Citra.

“Enggak apa-apa kok, lagian kapan lagi kita bisa berkumpul secara lengkap begini. Nasib baik kamu bisa hadir di acara penting Om Bara dan Tante,” timpal Amalia yang tak lain mama mertua Citra.

“Makasih, Tan.”

Lagi, Airlangga melirik ke arah Citra yang sudah menikmati hidangannya, seperti biasa perempuan itu tidak memakan nasi putih hanya nasi merah untuk mengganjal perutnya. Pola makannnya benar-benar sudah dijaga agar tetap langsing tidak berisi dan membuat suaminya bangga.

“Kamu cuti berapa hari, Lang?” tanya Zuna yang hanya menikmati salad buah saja.

“Seminggu, kenapa?  Mas Zuna rindu penerbangan?”

“Iya, saya rindu banget, rasanya pengen main ke sana udah lama juga setelah saya resign dari dunia penerbangan enggak main-main ke sana,” balas Zuna.

“Main aja, Mas, sambil ajak Nona Citra, lagian Mas Zuna pun masih memegang lisensi penerbangan kan. Masih mahir juga kok. Mas Zuna bisa beli jet pribadi nanti,” tutur Airlangga yang tampak menikmati sarapan pagi ini.  

“Iya juga ya, ya udah deh nanti saya pikir-pikir lagi buat beli tuh jet pribadi. Iya kan, Pa?” Zuna pun menggoda papanya agar memberikannya izin untuk membeli benda tersebut.

***

Setelah selesai acara sarapan bersama dengan keluarga besar Sanjaya, Citra dilanjutkan menyiapkan perlengkapan suaminya untuk ke kantor. Mempersiapkan kemeja kantor, dasi, sepatu dan segalanya. Kegiatan yang selalu dilakukannya setiap hari.

Namun, gerakan tangan perempuan itu terhenti ketika terdengar suara ponselnya yang berbunyi, perempuan itu segera meraih benda pipih tersebut yang tergeletak di atas meja riasnya. Dan ternyata yang meneleponnya adalah mama Sella. Citra merasa bingung dan memilih untuk menahan tidak langsung menjawab panggilannya.

Namun, karena dia pikir mungkin saja ada hal penting dan segera menjawab panggilannya.

 “Halo, ma, ada apa?” tanya Citra dengan suara pelan.

 “Kamu udah lupa sama saya?” Sella langsung menyergah dengan suara ketus.

Perempuan itu tampak tertohak saat mendengar suara mama Sella dengan nada tinggi.   

“Enggak kok, ma, mana bisa Citra lupa sama mama.”

“Ya bagus dong, jangan pernah melupakan jasa saya saat mengurus kamu! Oh ya, saya menelepon kamu karena saya butuh uang,” ucap Sella yang langsung to the point.

“U-uang, ma, bukannya pak Gernaldi udah kasih ya.”

“Memang udah, tapi saya bayarkan ke semua rentenir, karena kalau saya enggak bayar mereka akan mengusir saya. Jadi, sekarang saya benar-benar butuh uang, Citra. Kamu enggak mau ‘kan identitasmu terbongkar!” ancam perempuan itu.

Citra teringat dengan kartu debit pemberian dari mas Zuna, yang sampai sekarang uangnya benar-benar belum terpakai sama sekali, mungkin dirinya bisa memberikannya kepada mama Sella tanpa sepengetahuan dari suaminya, walaupun dia akan tahu akibatnya nanti karena bertindak tidak jujur. Namun, tidak ada cara lain daripada mama Sella terus mengancam.

“Ya udah nanti Citra kirim, ya, memangnya mama butuh berapa?” tanya perempuan itu.

“Seratus juta!” tegas Sella yang membuat Citra tertohak mendengar nominal tersebut.

“S-seratus juta,” ulang Citra yang seakan tidak percaya.

“Iya. Seratus juta. Jangan kamu pikir uang segitu cukup ya, Cit, buat bayar utang aja masih kurang. Nasib baik saya cuma minta seratus juta!Itu enggak ada apa-apanya dibanding saya ngurus kamu dari bayi! Bekorban banyak untuk membiayai kamu!” tukas Sella yang mulai memperhitungkan.

Zuna yang baru saja selesai mandi langsung terperanjat melihat Citra yang tengah mengobrol dengan seseorang via ponsel, meski dirinya tidak mendengar apa yang dibicarakan, namun melihat dari raut wajah istrinya, Zuna sudah yakin jika perempuan itu sedang mengobrol dengan ibu angkatnya yang licik itu.

Zuna menghampiri hanya memakai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya, memamerkan tubuh bidangnya yang masih terciprat air menempel di area punggung. Lelaki itu langsung merampas begitu saja ponsel di tangan Citra. Dan melihat nama yang menelepon istrinya itu yang sesuai dengan praduganya tadi, sementara Citra hanya diam tak bisa berkutik jika Zuna sudah berkespresi seperti itu.

Ujung bibir Zuna disunggingkan tipis, sudah paham dengan kelicikan dari ibu tua angkat Citra.  Zuna menempelkan jari di depan mulutnya meminta perempuan itu untuk diam.

“Halo Citra, ingat ya, kamu harus mentransfer uang sekarang! Karena saya butuh banget. Kalau kamu enggak transfer saya akan membongkar identitas kamu di depan keluarga suamimu!” titah perempan itu bernada ancaman.

“Jangan coba-coba mengancam jika kamu tidak ingin saya menghancurkan rumahmu! Bisa dengan mudah bagi saya untuk melakukannya!” timpal Zuna yang balik mengancam dan tidak main-main dengan perkataannya.

“P-pak Zuna,” timpal Sella yang sangat terkejut ketika yang bersahut adalah lelaki itu dan bukan putri angkatnya.

“Jika identitas Citra terbongkar dari mulut kamu, saya pastikan akan menghancurkan hidup kamu juga, menjebloskan kamu ke penjara. Kejahatan kamu itu banyak, mudah bagi saya untuk mencari kejahatan apa saja yang telah kamu lakukan. Jadi jangan macam-macam terhadap saya!” lanjut Zuna yang langsung mematikan sambungan ponselnya.

 “Mas, tolong jangan lakukan itu,” pinta Citra yang memegang pergelangan suaminya.

“Perempuan seperti Sella memang seharusnya diberikan ancaman agar dia tidak sembarangan untuk membongkar identitas kamu. Dia udah berani mengancam saya!” timpal Zuna dengan rahang mengeras.

“A-aku tahu, Mas, tapi walau bagaimanapun dia tetap mama angkatku. Kalau enggak ada dia mungkin aku enggak ada sampai sekarang. Mungkin dengan cara ini aku bisa membalas jasa ibu angkatku selama ini,” ungkap Citra yang mulai bergetar saat memegang pergelangan suaminya, karena dia sangat tahu dengan karakter dari Zuna yang seperti apa.

Zuna pun melemah jika sudah mendengar hal itu, walau ia sangat tahu dengan kelicikan Sella. Namun, dirinya tidak mungkin bersikap sekejam itu karena ada Citra yang merupakan putri angkatnya.

Citra mendongakkan wajahnya ke arah Zuna. “Bolehkan aku transfer uang buat mama Sella dari kartu debit yang Mas Zuna berikan ke aku?” tanya perempuan itu dengan hati-hati.

“Berapa yang dia inginkan?” Zuna balik bertanya.

“Seratus juta, Mas.”

“Ya udah kamu transfer aja, tapi jika dia meminta lagi kamu langsung beritahukan ke saya, agar saya bisa selidiki uang itu dia gunakan untuk apa,” timpal Zuna yang melengos pergi dari hadapan Citra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status