Share

Chapter 6 Gelora Asmara CEO

Mobil yang ditumpangi oleh Citra sudah tiba di salah satu restoran tempat dirinya akan bertemu dengan ibu angkatnya—Sella, itupun setelah dia berusaha meyakinkan suaminya agar mengizinkan untuk pergi.

“Di sini tempatnya, Bu?” tanya Renggana yang diperintahkan oleh Zunair untuk mengantar istrinya. Padahal lelaki itu merupakan asisten utama setelah Dave yang akan ikut andil dengan urusan Zuna.

“Iya di sini, ya sudah saya turun dulu, ya, mas Renggana enggak apa-apa kok pulang lebih dulu saja, biar saya naik taksi saja,” ujar perempuan itu yang sedang membuka seat belt-nya.

“Mana bisa, Bu, saya sudah diperintahkan oleh pak Zuna untuk mengantar dan pulang bersama Ibu. Jadi, saya akan tetap menunggu Bu Citra.”

“Owh terima kasih banyak, kalau begitu saya pergi dulu, ya.”

“Baik, Bu.”

Dengan sangat ramah lelaki itu keluar lebih dulu untuk membukakan pintu agar memudahkan Citra keluar. Setelah itu barulah Citra melangkah untuk menemui ibu angkatnya. Renggana tampak lekat memperhatikan langkah kaki perempuan itu, tidak ada yang salah memang dengan wajah dan penampilannya, wajah yang cantik ditunjang dengan penampilannya yang sangat elegan. Pak Zuna benar-benar bisa memantaskan gadis itu untuk masuk ke keluarganya.

Namun, yang membuat Renggana penasaran apakah lelaki itu mulai memiliki perasaan terhadapnya, mengingat saat berangkat tadi dia melihat tatapan mendalam Zuna terhadapnya, bahkan lelaki itu yang memintanya untuk mengantar Citra.

Di tengah kebingungan Renggana dibuyarkan oleh getaran ponsel di saku celananya. Dengan cepat lelaki itu merogoh benda pipih tersebut dan ternyata panggilan dari lelaki yang membuatnya ingin sekali marah.

“Apa maksud pak Zuna meminta saya untuk mengantar bu Citra?” Renggana langsung mengungkapkan kekesalannya ketika sambungannya sudah terhubung.

“Memangnya kenapa? Saya melakukannya agar dia tidak curiga?”

“Siapa yang akan curiga, baru kemarin saya bekerja dengan pak Zuna, lagi pula saya menempatkan diri menjadi rekan kerja anda, Pak, bukan sebagai kekasih anda. Saya tahu itu hanyalah alasan anda saja!” tegas Renggana.

“Renggana, dengarkan saya, memang tidak ada yang curiga, tapi banyak mata-mata di rumah itu. Apa kamu lupa jika kamu sudah menjadi detektif untuk saya cukup lama, seharusnya kamu sudah bisa membedakan donh. Kamu ikuti saja perintah dari saya.”

“Lalu, tujuan anda menelepon untuk apa?”

“Saya hanya memastikan jika kamu mengantar ke tempat yang benar.”

“Wah, apa anda sudah benar-benar jatuh cinta kepadanya? Kenapa terdengar perhatian sekali, seolah jika saya akan membawanya pergi jauh.”

“Berhentilan omong kosong! Kamu tetap tunggu dan antar Citra kembali, ibu angkatnya adalah orang jahat dan matre, dia bisa melakukan apa pun, tetap perhatikan gerak-geriknya.”

“Ya, ya!”

Dengan terpaksa Renggana mengiyakan perintah dari Zuna, meski dia tidak mengerti dengan sikap lelaki itu yang cukup perhatian kepada istrinya, bukankah tujuannya menikahi perempuan itu hanya untuk menyelamatkan diri dari pikiran negatif karena belum menikah di usia matang, dan juga untuk keturunan, bagi keluarga konglomerat dan sultan sepertinya keturunan merupakan hal terpenting. Apakah dirinya harus percaya karena hal itu.

“Awas saja jika sampai pak Zuna benar-benar mencintainya, saya bisa menghancurkan siapapun orang yang berani untuk menghancurkan asmara yang pernah kita jalani,” cetus Renggana yang memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

Lelaki itu dengan setia menunggu istri atasannya yang masih berada di dalam, meski penasaran apa yang tengah dibicarakan olehnya dan juga ibu angkatnya itu, membuat Renggana berinisiatif untuk masuk ke dalam dan berpura-pura menjadi seorang pelanggan.

Di dalam resto tersebut lelaki itu tengah memperhatikan kedua orang yang sedang berbicara, namun tatapannya terlihat dingin dari perempuan di hadapan Citra, seolah benar dengan perkataan dari Zuna mengenai ibu tiri istrinya yang jahat, terlihat dari tatapannya sudah menakutkan.

“Ingat dengan apa yang telah Ibu lakukan kepadamu, Cit, setelah ayahmu meninggal Ibulah yang merawat dan membiayaimu, meski tidak sampai ke perguruan tinggi, tapi Ibu didik dirimu menjadi perempuan yang cerdas dan mandiri. Tapi, setelah kamu menikah dengannya, seolah kamu lupa kepada perempuan yang telah menjagamu selama ini,” cetus Sella dengan suara ketus, mencoba bersikap perhitungan kepada putri tirinya yang sudah hidup dengan lelaki dari keluarga konglomerat.

“Aku bukan melupakan, Ibu,” Citra menyentuh tangan perempuan itu. “Bagaimana bisa aku melupakan semua pengorbanan Ibu selama ini, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun karena semua itu ada di bawah kendali mas Zuna, Bu,” ujar Citra yang menjelaskan.

“Walaupun aku menikah dengan lelaki yang berasal dari keluarga konglomerat, tetapi semua keluarga pak Zuna enggak tahu dengan latar belakangku yang sesungguhnya, karena dia yang telah mengubah seluruh identitasku,” lanjut Citra.

“Ya kamu jelaskan padanya, dia seperti ingin membuang Ibu dari kehidupanmu, apa salah Ibu meminta uang kepadamu untuk kehidupan ibu di sini. Ya itung-itung kamu membalas budi.”

Kata-kata itulah yang tidak ingin didengar oleh Citra, tidak salah memang jika dirinya membahagiakan perempuan itu karena telah berjuang untuknya. Namun, tidak harus mengatakan kata-kata ‘balas budi’

Semakin lama, Renggana pun berpikir mungkin suatu saat nanti dirinya bisa memanfaatkan perempuan yang bernama Sella itu, terlihat matre memang. Namun, dia bisa bekerja sama dengannya untuk mencapai apa yang dia inginkan.

***

 “Bagaimana pertemuan dengan ibu angkatmu?” tanya Zuna yang menatap wajah istrinya lekat.

Citra yang tengah membuka dasi di kerah kemeja suaminya pun dibuat terdiam, pasalnya dia dengan perempuan itu sempat bertengkar.

“Kenapa kamu diam, apa dia mengancammu? Katakan saja padaku jangan takut?” Zuna bertanya kembali dan menghentikan gerakan tangan Citra.

Gadis itu mendongak ke arah wajah suaminya.

“Kenapa mendengar dari kaliamt yang Mas Zuna keluarkan seolah jika ibuku seperti seorang penjahat, Mas? Padahal beliau itu adalah orang yang sangat berjasa dalam hidupku, dia yang merawatku setelah ayahku meninggal, bahkan ibu kandung yang telah melahirkanku saja aku tidak tahu keberadaannya di mana. Ibu Sella bukan seorang penjahat. Dan menurutku wajar jika dia meminta uang kepadaku, meski bukan uang milikku, tapi milik Mas Zuna,” ungkap Citra dengan suara bergetar. Dia ingin mengubah pandangan lelaki itu terhadap ibu tirinya.

Zunair berusaha untuk mencerna kalimat yang dilontarkannya, tidak salah memang karena gadis itu tidak tahu dengan perbuatan Sella di belakangnya.

“Jika dia orang baik, kamu enggak mungkin dijual hanya untuk melunasi semua utangnya, lagian saya enggak merasa rugi jika kamu memberikan uang untuknya, itu memang keharusan kamu sebagai anak yang telah dia rawat, tapi seharusnya kamu sadar apa yang dia gunakan dengan uang itu, selain untuk main judi!” tegas Zuna yang melengos dari hadapannya.

Lelaki itu memilih untuk membuka kemejanya seorang diri, sedangkan Citra masih merasa serba salah. Dia tahu memang dengan kelakuan dari ibunya yang selalu berjudi, dan berutang kepada rentenir. Tapi, beberapa kali dia menasihati yang ada ibunya malah marah-marah.

Dengan mengembuskan napasnya yang terdengar berat, Citra meraih kemeja dan celana suaminya yang berserakan di lantai setelah lelaki itu memasuki kamar mandi. Namun, ketika dia yang akan menyimpan kemejanya ke dalam keranjang khusus baju kotor, Citra menghirup aroma parfum yang berbeda di kemeja tersebut, pasalnya aroma parfum tersebut bukanlah parfum yang sering dipakai oleh suaminya, bahkan wanginya cenderung maskulin, bukan aroma parfum khas dari perempuan melainkan parfum yang sering dipakai oleh lelaki.

Karena pikirannya yang sudah berat, Citra memilih tidak terlalu memedulikan hal itu, mungkin saja tertempel pakaian rekan kerja suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status