Dari kaca jendela kamarnya yang ada di lantai 2 Zayn menyaksikan kepergian dua orang wanita berbeda generasi itu berjalan kaki berangkulan menuju pintu gerbang rumahnya. Dia sudah dapat membayangkan pertemuan Intan dan ibu asuhnya dengan mamanya. Pastilah teramat menyakitkan hati.
Pria muda itu menghela napas dalam-dalam dengan kedua tangan terbenam di saku celana panjang kainnya. Tiba-tiba pintu kamar Zayn diketok dari luar.
"Masuk, nggak dikunci kok!" ujar Zayn ringan dengan punggung masih membelakangi pintu kamarnya.
Ternyata mamanya yang mengunjunginya, wanita itu menghampiri Zayn di depan jendela kaca yang tertutup. "Perempuan yang bernama Intan itu hamil dan ingin meminta pertanggung jawabanmu, Nak. Mama memberikannya cek giro untuk dicairkan di bank sebanyak 100 juta rupiah," cerita Nyonya Selvi.
"Ma, jangan kasih dia duit. Enak aja duit sebanyak itu dikasih cuma-cuma!" protes Zayn keras dengan alis berkerut.
"Ohh ... Mama tadi pikir biar dia nggak ganggu kamu lagi, Zayn. Kamu jadi berangkat ke Swiss 'kan bentar lagi?" balas Nyonya Selvi berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun, puteranya menatap tajam. "Mama—batalkan cek giro itu, telepon ke bank sekarang juga!" tegas Zayn tak dapat diganggu gugat.
Wanita paruh baya yang bersanggul itu menghela napas lalu menjawab, "Oke. Mama telepon bank sekarang." Dia melangkah keluar dari kamar Zayn menuju ke kamarnya sendiri diikuti oleh puteranya tersebut.
Nyonya Selvi mengambil ponselnya di atas meja rias lalu menelepon manager bank tempat dia memberi cek giro tadi untuk Intan. "Halo, Pak Rusli. Begini—saya minta cek giro senilai 100 juta yang akan ditebus hari ini atau besok di bank Anda dibatalkan saja ya."
"Halo, baik, Bu Selvi. Alasan pembatalannya apa ya? Mungkin penerima cek giro tersebut akan bertanya ke teller," balas Pak Rusli, manager bank tersebut.
"Transaksinya sudah dibatalkan. Kalau orangnya mau tahu beri tahu saja nomor ponsel saya ini ke dia. Akan saya jelaskan ke dia nanti!" jawab Nyonya Selvi lalu mengakhiri sambungan teleponnya usai mengucap terima kasih.
Zayn mengangguk puas kepada mamanya. Dia tidak suka Intan mengambil manfaat atas kehamilannya itu. Lebih baik janin itu digugurkan saja dari pada menimbulkan masalah di kemudian hari. Hak waris itu hal yang sensitif karena keluarga Pradipta sangat kaya raya menurutnya.
"Sudah beres. Kamu puas, Zayn?" ucap Nyonya Selvi dengan senyum lega terukir di wajahnya.
"Puas. Kalau perempuan bernama Intan itu mengemis-ngemis minta uang lebih baik Mama kirim dia langsung ke dokter yang bisa menggugurkan kandungan. Zayn nggak butuh anaknya!" jawab pria itu tanpa perasaan iba sedikit pun kepada Intan maupun janinnya.
"Baiklah, kita lihat saja nanti, Zayn. Sekarang yang paling penting, kamu buruan siap-siap berangkat ke bandara biar nggak ketinggalan pesawat ke Swiss, oke?" tutur Nyonya Selvi merangkul bahu puteranya keluar dari kamarnya.
Tak lama setelahnya mereka berdua naik ke mobil Alphard hitam yang dikendarai oleh sopir pribadi menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Martin Jaelani, asisten yang akan mengurus semua keperluan Zayn selama tinggal di Swiss duduk di samping bangku sopir.
Sementara itu Intan dan Bunda Kartini kembali ke panti asuhan untuk memikirkan langkah selanjutnya sambil membawa cek giro senilai 100 juta rupiah yang mereka terima dari mamanya Zayn.
"Bunda, sebetulnya bukan uang yang Intan harapkan dari keluarga Zayn," ujar gadis remaja itu duduk bersebelahan di tepi ranjang kamarnya yang berukuran 3x4 itu.
"Benar, Bunda berpikiran sama sepertimu, Tan. Tadi Bunda terima karena tak tahu apa kamu akan membutuhkannya atau tidak. Terus ini cek giro ini lantas mau diapakan enaknya, Nak?" Bunda Kartini meletakkan secarik kertas berharga itu ke tangan Intan.
Intan menghela napas menimbang-nimbang sebelum berkata, "Besok pagi kita ke bank saja untuk mencairkan ini, Bunda. Anggap saja ini itikad baik dari keluarga Zayn untuk si jabang bayi. Pastinya kehamilan dan melahirkan butuh biaya yang tidak sedikit 'kan?"
"Baik, besok Bunda akan antar kamu ke bank. Disimpan saja uangnya di rekening milikmu. Kalau kamu perlu bisa diambil sedikit-sedikit sesuai kebutuhan," nasihat Bunda Kartini dengan bijak.
Keesokan paginya mereka berdua berangkat ke bank yang tertera namanya di cek giro pemberian Nyonya Selvi dengan naik taksi online. Sesampainya mereka berdua di bank, satpam menanyakan keperluan mereka bertransaksi di sana.
"Kami ingin mencairkan cek giro di bank ini, Pak Satpam," terang Bunda Kartini.
Satpam bank itu pun mengambilkan nomor antrean di teller lalu mempersilakan mereka berdua duduk menunggu nomor tersebut dipanggil oleh petugas.
Ketika sampai di depan teller dan cek giro tersebut diperiksa, ternyata tak ada dana yang akan dipindahkan. Sang empunya rekening pengirim mengunci dana tersebut. Petugas teller pun berkata, "Maaf Mbak Intan. Cek giro ini sudah dibatalkan transaksinya oleh Ibu Selvi Ratna Pradipta. Alasannya saya kurang tahu, hanya saja beliau berpesan kalau Mbak Intan butuh penjelasan bisa hubungi beliau di nomor ini ya."
Secarik kertas bertuliskan sebuah nomor telepon dan nama Ibu Selvi Ratna Pradipta disodorkan di hadapan Intan.
"Baik, Mbak. Saya akan hubungi beliau dulu. Terima kasih," ucap Intan membawa kembali kertas cek giro dan juga kertas berisi nomor ponsel mamanya Zayn tersebut lalu dia duduk kembali di samping kursi Bunda Kartini.
Wanita tua itu pun bertanya karena Intan malah menangis bukannya menerima uang dari teller, "Lho, ada apa, Intan?"
"Hiks ... hiks ... cek ini kosong, Bunda. Kata tellernya, mamanya Zayn telah membatalkan transaksinya," jawab Intan sembari menangis dengan tubuh lemas dan berkeringat dingin.
Dengan segera Bunda Kartini memeluk gadis remaja itu dan mencoba menenangkan isak tangisnya. "Ya sudah, kita pulang saja ya, Nak!" bujuknya dengan nada lembut.
"Intan mau telepon dulu, Bunda mumpung masih di bank. Sebentar—" Gadis itu merogoh ke dalam tas selempangnya lalu mengambil ponselnya serta memasukkan nomor yang tertera di kertas yang dia pegang.
"Selamat pagi, Bu Selvi. Ini Intan. Saya sedang di bank dan ternyata cek giro yang Anda berikan itu kosong. Apa yang harus saya lakukan?" ujar Intan tanpa basa-basi.
Suara tawa pongah terdengar dari ujung telepon, Nyonya Selvi pun menjawab, "Ternyata benar dugaan Zayn, kamu hanya mengincar uang kami. Hehh perempuan murahan, gugurkan saja janin itu. Biaya rumah sakit kamu akan ditanggung penuh oleh keluarga Pradipta!"
"Ya Tuhan! Bu, apa Anda tidak punya belas kasihan untuk calon cucu Anda ini?" tegur Intan miris. Dia berbicara dengan wanita yang seharusnya menjadi nenek dari janin yang sedang tumbuh di rahimnya.
"Ckckck ... pandai kamu berdrama, Intan. Sayangnya itu semua nggak akan mempan sama aku. Sudah ya, pulang saja kamu dari pada malu-maluin di bank nggak ada duit. Kamu ngemis ke teller pun percuma!" ejek Nyonya Selvi dengan nada sinis sebelum menutup panggilan telepon dari Intan.
Suara nada telepon diputus terdengar, Intan pun menatap kosong layar ponselnya. Hatinya terasa begitu berat, dadanya seolah sesak oleh air mata kepedihan. Harga dirinya diinjak-injak sekali lagi oleh mamanya Zayn.
"Intan, sudah ayo kita pulang saja," ajak Bunda Kartini yang tadi mendengar sepenggal perbincangan Intan bersama mama Zayn dan beliau menyimpulkan bahwa tak ada gunanya karena Intan telah tertolak sejak semula.
Ketika Intan mencoba untuk bangkit dari bangku tunggu bank mendadak tubuhnya limbung lalu hilang kesadaran.
"INTAN ... INTAN ... TOLONG!" teriak Bunda Kartini panik melihat anak asuhnya pingsan di pelukannya.
Dengan pikiran buntu dan hati yang panas Zayn berjalan kaki di trotoar setelah meninggalkan kediaman Richermond. Harapan terakhirnya pupus sudah. Semua gara-gara pria sialan keturunan Adira Lukmana itu! Zayn merutuki Jovan.Ketika sampai di sebuah halte bus, Zayn memilih untuk duduk sendiri bengong meratapi nasibnya yang naas. Dia seharusnya menjadi pewaris tunggal aset kekayaan mendiang papanya. Namun, semua tidak bisa diusut. Pengacara keluarga Pradipta malah tersandung kasus hukum hingga masuk bui. Dia sekarang luntang lantung hanya punya dompet dan HP saja. Entah barangnya di kost sudah dibuang ke mana oleh pengelola tempat tersebut atau pula disimpan kalau orangnya baik hati. Zayn belum sempat pulang ke kost. Sebuah mobil sedan Ferrari merah berhenti tak jauh dari halte bus tempat Zayn duduk bengong sendirian di sana. Seorang wanita dengan penampilan heboh dan riasan tebal mendekati Zayn."Hai, apa Mas lagi butuh pekerjaan? Kenalkan namaku Mami Rosa. Aku suka wajah dan perawaka
"Bebaskan saja dia dari tuntutan hukum, Pak Sondang Sirait. Saya lebih senang kalau Zayn menghidupi dirinya sendiri di luar penjara. Cabut laporan kasus saya dari kepolisian ya!" tutur Dokter Maya Suratih pasca sembuh dari cedera di kepalanya.Kepalanya memang bocor di sisi kiri akibat dipukul oleh mantan suaminya itu menggunakan trofi yang terbuat dari kaca. Sungguh tragis justru dia dilukai dengan trofi favorit kebanggaannya sebagai rumah sakit favorit konsumen 6 tahun yang lalu. Saat itu Rumah Sakit Permata Indah Medika masih dipegang managemen lama belum diakuisisi oleh grup Richermond, jadi rumah sakitnya menjadi pilihan utama pasien ibu kota.Usut punya usut, mantan suaminya pernah punya masa lalu hingga memiliki anak haram dengan komisaris utama rumah sakit tersebut. Namun, Dokter Maya menganggap rahasia kelam itu sebatas cukup tahu saja.Pengacara kepercayaan Dokter Maya pun menjawab disertai peringatan, "Baik kalau itu yang diinginkan oleh Bu Dokter Maya. Saya cabut berkas pe
Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB Mariana merasakan bagian paha dalamnya dialiri air hangat. Awalnya dia berpikir sedang bermimpi dan mengompol. Namun, ketika merabanya dan mendapati bahwa itu sepertinya air ketubannya ia segera menggoyang-goyang bahu suaminya."Mas Jovan, aku pecah ketuban!" ucapnya sedikit panik karena hampir melahirkan.Jovan yang tadinya masih mengantuk karena baru tidur beberapa jam setelah beberapa putaran bercinta dengan Mariana semalam segera bangun lalu duduk di ranjang. Dia bertanya, "Kuantar ke rumah sakit sekarang ya?""Iya, Mas. Ganti baju dulu. Panggil Pak Sapto buat anterin kita," jawab Mariana lalu perlahan bangkit dari tempat tidur dengan perutnya yang sangat besar. HPL memang besok sebetulnya, wajar lebih cepat sehari. Berat janin terakhir sudah 3.4 kilogram sudah cukup untuk dilahirkan kata Dokter Royce Adler. Mariana mengganti gaun tidurnya yang basah dengan daster batik berkancing depan agar mudah berganti baju pasien nanti di rumah sakit.Setela
"Permisi, Bu. Saya Zayn Alarik Pradipta, kliennya Om Charles. Apa beliau ada di tempat?" ujar Zayn berusaha menemui pengacaranya yang berjanji akan membantu mengurus masalah hak warisnya yang sulit diproses karena surat-surat habis terlahap api saat kediaman Pradipta kebakaran tempo hari.Wanita yang berjaga di bagian front desk kantor firma pengacara serta notaris Hutapea and Friends menghela napas mengulang kalimat yang sama untuk kesekian kalinya ke klien bosnya. "Maaf ya, Mas. Sepertinya saya nggak bisa memberi tahukan sampai kapan beliau tidak bisa memproses kasus hukum Anda. Pak Charles Hutapea tersandung kasus money laundry pejabat pemerintahan sehingga harus ditahan di Rutan Salemba untuk sementara," terang Bu Dyah Pertiwi, karyawati berusia setengah abad itu kepada Zayn yang mendadak bengong."Ta—tapi, perkara hak waris saya gimana dong, Bu? Mungkin rekan Om Charles bisa bantu?!" kejar Zayn, dia risau uang tabungannya tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya. "Bisa, sil
Jorges D'Argentine mengusap sudut matanya yang basah. Di sisinya, puteri kesayangannya mengenakan gaun putih sederhana dengan model sabrina mermaid dress memegang lekuk lengannya berjalan dalam langkah anggunnya menuju ke sebuah gazebo berhias mawar putih.Pagi yang sejuk tanpa tertutup lapisan salju di Danau Biel menjadi hari pernikahan sakral yang dinantikan oleh Patrick Olsen. Setelah perjuangan tanpa henti selama berbulan-bulan bolak-balik Jakarta-Genewa, segalanya terbayar lunas. Pada akhirnya Mariana melepaskan kepergian dokter spesialis obsgyn andalannya kembali ke Swiss untuk seterusnya. Dokter Royce Adler yang terikat kontrak menggantikan dirinya sebagai dokter praktik di poli obsgyn rumah sakit jaringan Richermond.Wanita pujaan hatinya yang mungkin adalah jawaban doanya untuk seorang kekasih yang baik hati itu melangkah di seberangnya bersama Tuan Jorges D'Argentine, papanya. Sama seperti calon papa mertuanya, Patrick pun menitikkan air mata haru yang membuat tamu undangan
Sudah beberapa bulan berlalu semenjak pernikahan resmi antara Zayn dan Dokter Maya. Rumah tangga mereka nampak harmonis tanpa ada pertengkaran yang berarti. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh jua.Memang Zayn sudah mendapat mobil baru untuk akomodasinya pulang pergi ke rumah sakit dan bepergian sendiri. Dokter Maya berangkat ke tempat kerjanya tanpa suaminya seusai sarapan pagi bersama. Dia tidak menaruh curiga sama sekali seperti apa kelakuan Zayn di balik punggungnya.Kehidupan seksual pasangan pengantin baru itu pun sangat aktif nyaris setiap malam mereka bermesraan. Itu pun Dokter Maya bukan hanya dihajar satu atau dua ronde di atas ranjang. Maka dari itu dia tidak pernah berpikir masih ada hasrat yang tak tersalurkan oleh suaminya. Akan tetapi, sesuatu yang tak pernah ia duga terjadi di bawah atap rumahnya.Pintu kamar tidur Zayn diketok tiga kali sebelum dibuka perlahan dari luar. Seorang perempuan berambut panjang hitam legam tergerai sepunggung masuk
Dokter Patrick Olsen mencoba mensiasati kesulitannya untuk resigned dari rumah sakit tempat bekerjanya saat ini dengan mengumpulkan jatah cutinya selama beberapa bulan terakhir. Memang mencari dokter spesialis yang bagus tidak mudah, biasanya dokter yang sudah berpengalaman terkontrak praktik di rumah sakit lain. Sedangkan, dokter yang baru lulus pendidikan spesialis masih butuh menimba pengalaman di meja praktik. Adik angkatan sealmamaternya yang diterima bekerja di rumah sakit jaringan Richermond masih di bawah pemantauannya dan dokter senior poli obsgyn lainnya. Kini dia harus berpesan dengan serius kepada Dokter Royce Adler selama mengambil cuti seminggu penuh."Dokter Royce, kuharap kau ingat semua tips dan trick praktik obsgyn yang sudah kuajarkan kepadamu. Ingat-ingat itu semua selama aku pergi seminggu ke Swiss, okay?" ujar Dokter Patrick duduk berhadapan di ruangan praktiknya bersama Dokter Royce Adler.Pria berambut model taper fade warna pirang itu menyeringai jenaka. "He
"Untuk apa perjanjian pranikah ini, Pak?!" bentak Zayn setelah membaca judul berkas yang disodorkan oleh notaris Dokter Maya Suratih kepadanya di ruang tunggu kantor dinas kependudukan Jakarta Pusat.Pak Rian Fantoni yang dipercaya oleh Dokter Maya mewakilinya sebagai pihak legal dalam setiap perjanjian hukum yang dia buat menjawab standar saja pertanyaan Zayn, "Ini sudah jadi keputusan klien saya, Pak. Zaman sekarang harus serba hati-hati terutama Bu Maya itu seorang wanita sukses dengan banyak harta. Kalau Anda menolak mungkin pernikahan ini tidak bisa terlaksana. Kami nantikan itikad baiknya untuk menanda tangani perjanjian pranikah tersebut!"Kening Zayn berkerut dalam, dia tak menyangka bahwa dalam dua pernikahan dia harus selalu diatur dengan perjanjian pranikah. Harta terpisah, tak ada gono gini setelah bercerai. Hatinya terasa dongkol, niatnya mendapat cipratan harta kekayaan Dokter Maya pun pupus sudah. Apa gunanya jadi suami kere setelah menikahi janda kaya raya itu? pikir Z
"Mas Zayn, maaf. Bukannya tidak bisa diurus hal warisnya, tapi butuh waktu yang tidak diprediksi lamanya karena semua berkas penting habis dilahap api dalam kebakaran rumah tempo hari," tutur Charles Hutapea, pengacara langganan keluarga Pradipta. Kemudian Zayn membalas, "Apa mendiang papa nggak membuat surat warisan semasa hidup dulu, Om?" Sebuah gelengan dengan raut wajah prihatin itu disertai jawaban, "Beliau tidak ingin berpikir cepat meninggal dunia waktu saya menyarankan dulu, Mas. Sayang sekali ketika jatuh sakit, saya tidak tahu karena memang sibuk dengan pekerjaan dan Pak Bram pun sama sekali tidak menghubungi saya lagi.""Ckkk ... payah sekali, lantas jalan keluar yang bisa saya tempuh apa dong, Om? Eman-eman sekali warisan ratusan milyar itu nilainya!" Zayn berdecak kesal dengan wajah tertekuk bersandar di sofa kantor pengacara kondang tersebut.Charles Hutapea beranjak berdiri lalu mengambil sebuah map berkas di rak dokumennya. Dia pun duduk kembali dan menyodorkan sebua