Share

Mati Rasanya Seorang Perempuan

Pak Rusli, manager bank tempat Intan akan mencairkan cek giro dari mama Zayn itu ikut panik. Beliau pun menelepon Nyonya Selvi harus dibawa ke rumah sakit mana karena bingung.

"Ohh ... baik—baik, saya mengerti. Akan saya bawa ke rumah sakit itu, Bu Selvi!" jawab Pak Rusli sebelum menutup panggilan teleponnya. Kemudian dia memanggil sopir pribadinya untuk menjemput di depan pintu keluar bank.

Bunda Kartini tidak menaruh curiga sedikit pun dan malah berterima kasih karena manager bank swasta tersebut mau direpotkan mengurusi Intan yang pingsan. 

Mobil Expander hitam tersebut melaju kencang menuju ke Rumah Sakit Persada Medika. 

"Terima kasih lho, Pak Rusli atas bantuannya!" ujar Bunda Kartini di dalam mobil yang masih dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Tidak perlu sungkan, Bu. Kasihan Mbak Intan ini 'kan sedang hamil muda. Takut janinnya terganggu karena syok. Semoga saja dokter di sana bisa merawat ibu dan janinnya dengan baik," jawab Pak Rusli yang memang tidak begitu paham persoalan Intan dan keluarga Pradipta.

"Amin," sahut Bunda Kartini yang memeluk Intan yang duduk bersandar dalam kondisi tak sadarkan diri di bangku tengah mobil.

Akhirnya setelah beberapa lama mobil Expander hitam tadi sampai di depan pintu masuk IGD Rumah Sakit Persada Medika. Beberapa para medis menjemput Intan dengan brankar untuk dibawa masuk ke poli IGD.

Ternyata pengaturan telah dibuat oleh Nyonya Selvi. Rumah sakit swasta itu memang dimiliki oleh keluarga Pradipta, jadi dia bisa menyuruh dokter kepercayaannya menjalankan perintah yang dia suruh diam-diam.

Dokter Sandoro Gumilang memberi arahan kepada paramedis, "Kalian berdua bawa pasien ini ke ruang OK, saya yang akan menangani keluhan kesehatannya!"

Kedua paramedis itu tahu fungsi ruang OK adalah untuk tindakan operasi, mereka pun saling bertukar pandang ada apa sebenarnya dengan pasien yang pingsan tersebut hingga perlu dioperasi. Namun, mereka hanya diam dan menuruti perintah Dokter Sandoro untuk membawa pasien wanita muda tersebut ke ruang OK.

Ruangan yang berpencahayaan redup dengan lampu operasi yang menyorot tubuh pasien itu terasa dingin oleh AC yang dipasang dengan suhu 17° Celcius. Intan pun merasa tak nyaman dengan perubahan suhu yang cukup mendadak dan dia pun terbangun dari pingsannya. Dengan terkejut bercampur bingung dia pun bertanya lemas, "Dimana aku? Kalian siapa? Mau apa denganku?"

"Tenang, Saudari Intan. Kami akan segera menolong Anda," jawab Dokter Sandoro yang justru membuat Intan tambah panik ketika melihat pakaian dokter tersebut seperti akan melakukan operasi lengkap dengan sarung tangan latex dan masker wajah serta topi bedah.

"Apa saya akan dioperasi? Untuk apa?!" seru Intan mencoba bangun dari ranjang pasien.

Dokter Sandoro memberi kode ke perawat serta paramedis untuk memegangi tubuh Intan yang akan segera diberi suntikan obat pembiusan epidural sebelum operasi kuret. 

Namun, Intan beritikad untuk kabur karena jelas situasinya sangat janggal. Dia sehat dan tidak butuh operasi apa pun kecuali mungkin kandungannya akan digugurkan oleh tim medis tersebut. 

"PRAAANGG ... PRAAANNGG ... KLONTANG!" Suara berisik dari alat-alat medis di sekitar ranjang pasien tempat Intan tadinya berbaring dilempar sembarangan hingga berhamburan ke lantai karena perempuan muda itu melawan dan bergegas menghindari sergapan perawat serta paramedis dari berbagai sisi.

Aksi kejar mengejar di dalam ruang OK begitu menegangkan, Intan melempar alat-alat medis yang dapat terjangkau oleh tangannya. "Biarkan aku pergi! Ini tidak benar, kalian pasti malpraktik. Akan kulaporkan ke polisi kalian semua!" teriak Intan mencoba membuat takut orang-orang yang berada dalam ruangan redup tersebut.

Ketika perawat dan paramedis yang akan menangkapnya merasa bimbang dengan tuduhan Intan, tanpa membuang kesempatan dia berlari menuju ke pintu keluar. Beruntung Intan berhasil kabur sekalipun masih dikejar-kejar beberapa paramedis laki-laki untuk coba ditangkap.

Tanpa alas kaki Intan berlarian di koridor rumah sakit dan ketika sampai di bagian ruang tunggu pendaftaran dia melihat Bunda Kartini sedang duduk menunggu antrean untuk dipanggil petugas.

"BUNDA! Kita harus cepat pergi dari sini. Mereka akan menggugurkan janinku. Ayo cepat sekarang!" teriak Intan panik dengan wajah pucat pasi dan tangan yang dingin seperti es memegangi lengan Bunda Kartini.

Wanita tua itu syok seakan tak percaya dengan perkataan Intan, tetapi Bunda Kartini mengiyakan ajakan Intan untuk pergi secepatnya dari situ. Mereka pun berlari-lari kecil menuju pintu keluar rumah sakit dan untungnya ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. 

"TAKSI!" seru Intan menghentikan sopir taksi tersebut agar mengangkut mereka berdua pergi dari rumah sakit.

Beberapa para medis yang ditugaskan mengejar Intan menoleh ke kanan kiri celingukan mencari-cari pasien kabur tersebut. Namun, mereka tak akan menemukan perempuan itu karena Intan telah dibawa pergi oleh taksi ke jalan raya untuk pulang ke panti asuhan.

Di dalam mobil yang tengah melaju stabil, Intan menangis karena emosi yang bercampur aduk. Dia masih mengenakan pakaian pasien operasi warna biru muda.

"Maafkan, Bunda ya, Nak. Bunda tidak tahu kalau ada rencana jahat untuk melenyapkan janinmu itu. Tadinya Bunda mengira hanya perawatan biasa karena usai diterima di poli IGD lalu perawat jaga meminta Bunda mengisi formulir pendaftaran pasien di bagian resepsionis depan. Tadi pun antreannya panjang sekali, makanya Bunda tidak tahu kalau kejadiannya yang menimpa kamu seperti itu!" terang Bunda Kartini yang diwarnai nada penyesalan sembari merangkul bahu Intan yang masih terisak-isak.

"Mereka jahat—pasti ada yang menyuruh dokter melakukan operasi pada Intan. Itu rumah sakit milik keluarga Zayn, segalanya pasti disetir oleh mama atau papanya Zayn," duga Intan yang sedikit banyak mengetahui latar belakang keluarga mantan pacarnya.

Bunda Kartini menghela napas dalam-dalam sembari menggeleng-gelengkan kepalanya merasa prihatin. Beliau berkata, "Sebaiknya kamu jangan hubungi lagi keluarganya Zayn. Jangan sampai janin itu kenapa-kenapa. Mungkin kita orang miskin, tapi bukan berarti harus menggadaikan hati nurani sebagai pembunuh nyawa tak bersalah."

"Bunda benar, Intan akan rajin mencari nafkah dan menabung untuk kebutuhan biaya melahirkan nanti. Jangan pernah Zayn dan keluarganya mencari lagi anak Intan ini. Mereka tak punya belas kasihan sama sekali!" tegas Intan dengan kebulatan tekad. Dia tak mau mengemis simpati dari keluarga Pradipta maupun ayah jabang bayinya satu kalipun lagi.

Akhirnya taksi yang membawa Intan dan Bunda Kartini sampai di depan pintu gerbang panti asuhan. Mereka berdua turun usai Bunda Kartini membayar ongkos taksi ke sopir. 

"Kamu mandi lalu istirahat dulu ya, Tan. Ini Bunda buatkan bubur kaldu ayam untukmu," tutur Bunda Kartini setelah masuk ke dalam rumah.

Intan mengiyakan dan mengucap terima kasih sebelum masuk ke kamarnya sendiri. Untungnya tas yang berisi dompet dan ponselnya masih dibawakan oleh Bunda Kartini saat ia pingsan tadi. 

Dia mandi sebentar lalu berganti pakaian bersih. Setelahnya Intan membuka ponselnya, dia ingin mengirim pesan untuk Zayn yang hari ini kemungkinan telah berada di luar negeri melanjutkan pendidikan jenjang perguruan tingginya.

'Zayn, ini Intan. Kamu bisa lupakan aku dan hapus semua kenangan tentang kita seluruhnya baik itu di medsos, galeri ponselmu, dan juga ingatanmu. Anggap saja aku sudah mati!' Intan mengirimkan pesan terakhirnya lalu memblokir nomor mantan kekasihnya yang juga tak lain ayah janin yang dikandungnya.

Hidup baru seperti apakah yang menanti Intan Malika Kahiyang selanjutnya?

Komen (23)
goodnovel comment avatar
Riema
slalu ingt inu intan, jika suatu saat ada yg dtang mnta maaf sm kmu.
goodnovel comment avatar
Riema
tega bngt sich.. ngk ksian sdkiiiittt aja sm intan
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
good gitu dong intan gk ush qm mnt belas kasihan dari Zayn dan keluarga nya untung aja qm bisa bebas dari operasi yg dokter lakukan utk mengambil janin mu intan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status