Share

Bab. 3

Penulis: Daisy Quinn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-24 11:07:58

Bram lantas turun dari ranjang dengan gerakan tergesa. Ia meraih boxer yang tergeletak di lantai, lalu segera mengenakannya. Napasnya masih berat, pelipisnya berdenyut, dan hatinya diliputi kebingungan.

Pelan, ia melangkah mendekati tubuh mungil yang masih terkulai di sisi ranjang. Wajah Celina tampak pucat, helai rambut panjangnya menutupi sebagian pipi yang basah oleh sisa air mata semalam.

“Celina…” suara Bram terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang penuh penyesalan.

Tubuh wanita muda itu sedikit bergerak, matanya perlahan terbuka. Pandangannya kabur, tapi begitu sadar siapa yang berdiri di hadapannya, tubuhnya refleks menegang.

“Jangan sentuh aku…” bisik Celina parau, ia berusaha bangkit namun tubuhnya lemah.

Bram menelan ludah, rasa bersalah menohok dada. “Celina, aku… aku tidak tahu apa yang terjadi tadi malam. Aku kehilangan kendali.”

Air mata menggenang di pelupuk mata Celina. Ia menatap pria itu dengan sorot yang penuh luka. “Kau pikir dengan ucapan itu semuanya akan baik-baik saja? Kau sadar apa yang sudah kau lakukan padaku? Aku… tunangan Rian, Bram. Putramu sendiri!”

Kata-kata itu menghantam Bram keras, membuat pria paruh baya itu memejamkan mata sejenak. Sesak menghantui dadanya, namun di sisi lain ada dorongan aneh yang tak bisa ia redam.

“Celina, aku menyesal…” ucapnya terbata, mencoba menyentuh bahu wanita itu.

Celina langsung menepis kasar, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. “Kau tidak hanya merusak kehormatanku, Bram. Kau juga menghancurkan hidupku.”

Sunyi menjerat ruangan itu, hanya terdengar isakan tertahan dari Celina. Bram berdiri kaku, merasa seluruh dunia seakan runtuh di hadapannya.

Bram berjongkok di hadapan Celina, kedua tangannya gemetar saat mencoba meraih pergelangan wanita itu. Tatapannya redup, penuh rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan.

“Celina… maafkan aku,” suaranya parau, nyaris pecah. “Aku benar-benar tak sadar semalam. Ada seseorang—salah satu klien yang ingin menjatuhkanku. Mereka memasukkan sesuatu ke dalam minumanku… aku kehilangan kendali.”

Mata Celina membelalak, lalu perlahan senyuman getir terbit di bibirnya. Ia menatap Bram dengan sorot penuh luka, bercampur kemarahan.

“Obat perangsang?” ia mengulang sinis, tawa kecil lolos dari tenggorokannya yang tercekat. “Lalu itu menjadi alasanmu merenggut kehormatanku? Aku ini siapa bagimu, Bram? Wanita murahan yang bisa kau jamah kapan pun kau hilang kendali?”

Bram terdiam, wajahnya tertunduk semakin dalam. Rasa malu membelenggu, tapi ia tetap berusaha menjelaskan. “Aku tidak bermaksud… aku tidak ingin ini terjadi. Demi Tuhan, Celina, aku sendiri masih tidak percaya dengan apa yang kulakukan padamu.”

Air mata jatuh di pipi Celina, namun tatapannya tetap tajam menusuk. “Kau lupa satu hal penting. Aku adalah tunangan Rian. Putramu sendiri. Seharusnya aku menjadi bagian dari keluargamu, bukan korban dari nafsu buasmu.”

Kata-kata itu menusuk jantung Bram lebih dalam dari sembilu. Napasnya tersengal, ia menatap Celina dengan mata memohon.

“Celina, beri aku kesempatan menebus semua ini…” ucapnya terbata, suara penuh ketakutan akan kehilangan.

Celina hanya menggeleng pelan, senyumnya getir. “Tidak ada yang bisa menebus kehormatan yang sudah kau rampas dariku, Bram. Tidak ada.”

Keheningan menggantung, hanya terdengar isakan halus dari Celina dan desahan berat napas Bram yang kini terasa sia-sia.

Bram mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh tekad meski tubuhnya masih bergetar. Ia mendekat sedikit, suaranya rendah tapi mantap.

“Kalau begitu… biar aku yang bertanggung jawab. Aku akan katakan semuanya pada Rian. Dia berhak tahu apa yang sudah terjadi semalam.”

Celina terperanjat, darahnya seolah berhenti mengalir. Ia lalu menatap tajam, wajahnya memerah oleh amarah yang meledak.

“Jangan berani kau lakukan itu, Bram!” teriaknya dengan suara bergetar. “Kau pikir dengan mengakuinya semua masalah akan selesai? Kau pikir aku akan sudi dinikahkan denganmu, hanya demi menutupi aib ini?”

Bram terdiam, dadanya naik turun menahan rasa bersalah yang makin menyesakkan. “Celina, aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku. Aku tidak bisa berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi. Kalau Rian tahu dari mulut orang lain, itu akan lebih menghancurkan—”

“Cukup!” Celina memotong dengan teriakan yang menggema di kamar itu. Matanya basah, tapi sinarnya begitu tajam menusuk. “Kau tidak berhak mengatur hidupku, Bram! Jangan pernah berpikir aku akan sudi menjadi istrimu hanya karena satu malam yang kau ciptakan dengan kebiadabanmu!”

Bram tercekat, seolah kata-kata itu mencabik hatinya. Bibirnya bergetar, tapi ia tak mampu membalas.

Celina menarik napas panjang, lalu menatapnya dengan getir. “Kau sudah menghancurkan aku. Tapi jangan kau kira kau juga berhak memutuskan masa depanku. Itu hidupku, bukan milikmu.”

Sunyi kembali merayap, hanya meninggalkan Bram yang membeku di tempatnya, sementara Celina menggenggam selimut erat-erat, seakan itu satu-satunya perisai yang tersisa untuk melindungi dirinya dari pria yang kini ia benci setengah mati.

Celina akhirnya memberanikan diri untuk berdiri. Kakinya masih gemetar, tubuhnya terasa lemah, tapi tatapannya mantap, penuh luka sekaligus tekad. Ia merapikan selimut yang menutupi tubuhnya, seolah ingin menghapus setiap jejak yang baru saja mengikatnya dengan Bram.

Dengan suara serak namun tegas, ia berkata, “Lupakan malam ini, Bram. Tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita… anggap saja ini mimpi buruk yang tidak pernah ada.”

Bram mendongak, wajahnya pucat pasi. “Celina…” suaranya bergetar, penuh penyesalan.

Celina menggeleng cepat, air matanya jatuh lagi namun ia tetap memaksakan senyum getir. “Tidak ada apa-apa antara kita. Tidak akan pernah ada. Aku tak mau lagi melihat wajahmu, bahkan mendengar suaramu pun cukup membuatku muak.”

Kata-kata itu menghantam dada Bram bagai palu besi, membuatnya terdiam tak berkutik.

Celina lalu menegakkan tubuhnya, meski goyah. Ia melangkah mendekati Bram, berdiri tepat di depannya. “Sekarang buka pintunya. Aku harus pergi dari sini… sebelum aku benar-benar kehilangan akal karena terus melihatmu.”

Ruangan itu seketika hening. Bram terdiam, hanya menatap Celina yang berdiri dengan keberanian rapuhnya. Ada ribuan kata ingin ia ucapkan, tapi semuanya terkunci di tenggorokannya.

Tangan Bram perlahan bergerak ke arah pintu. Ia menunduk, menahan napas, lalu membuka kunci itu dengan gemetar. Bunyi klik sederhana terdengar begitu memekakkan, seolah menjadi tanda berakhirnya segalanya.

Celina melangkah melewati pintu tanpa menoleh sedikit pun. Ia meninggalkan Bram yang masih terpuruk di dalam kamar, menatap punggung wanita yang barusan ia hancurkan hidupnya.

Bram hanya bisa tertegun ketika pintu menutup dengan suara dentuman lirih di belakang Celina. Hening menyergap kamar itu, meninggalkan dirinya sendiri bersama rasa bersalah yang menyesakkan. Napasnya berat, dadanya seolah dihantam beban yang tak terlihat.

Ia menatap kosong ke arah pintu, seolah masih berharap wanita itu kembali. Tapi ia tahu, Celina benar-benar pergi dengan luka yang terlalu dalam.

Bram meremas rambutnya kasar, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Tuhan, apa yang sudah kulakukan? pikirnya, wajahnya menunduk, rahangnya mengeras menahan rasa hancur.

Dalam hatinya, ia bersumpah. Aku tidak akan membiarkan Celina menanggung semua ini sendirian. Apa pun yang terjadi, aku akan bertanggung jawab. Aku yang merusak hidupnya… aku yang harus menebusnya.

Tatapannya kini berubah, meski masih diselimuti penyesalan, ada bara tekad yang menyala di dalamnya. Bram tahu jalan yang harus ia pilih tidak mudah, bahkan mungkin akan menghancurkan hubungannya dengan Rian, juga keluarganya. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak bisa mundur.

“Celina…” bisiknya pelan, suara serak penuh luka. “Aku akan menebus semuanya… walaupun kau membenciku seumur hidupmu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 8

    Dalam hati, Melisa merasa dadanya sesak. Kata-kata Bram barusan seolah menusuk tepat ke dalam relung hatinya yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Ia sudah lama mengagumi pria itu—Bram, dengan ketampanan dewasa, kharisma seorang pemimpin, dan pesona duda yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, semua perasaan itu hanya bisa ia pendam. Baginya, Bram adalah mimpi indah yang tidak boleh disentuh. Hanya bisa dinikmati dari kejauhan, diam-diam, sambil berharap suatu hari takdir berbaik hati. "Andai saja kau bisa melihatku, Bram... andai saja kau tahu betapa aku ingin menjadi orang yang selalu ada di sisimu," batinnya bergetar. Lamunannya buyar ketika suara Bram yang berat dan serak menyentak kesadarannya. “Melisa…” Wanita itu tersentak, matanya berkedip cepat, berusaha menata ekspresi agar tak terlihat linglung. “Ya, Pak?” suaranya agak tergagap. Bram menatapnya dengan sorot mata yang penuh luka, membuat Melisa semakin sulit bernapas. “Aku bert

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab.7

    Bram melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan bahu merosot, seolah seluruh beban dunia menempel di punggungnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi empuk di balik meja besar itu. Tangannya refleks terangkat, memijat pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Sesak. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang tak mau diam, terutama tangisan Celina yang terus terngiang. "Astaga, Celina... kenapa kau harus menangis seperti itu di hadapanku?" batinnya menggeram, namun sesal menusuk jauh lebih kuat daripada amarah. Ia menunduk, jemarinya mencengkeram rambut sendiri, seolah dengan begitu bisa meredam rasa bersalah yang menghantam. Pikiran Bram melayang pada wajah Celina—mata bening yang kini dipenuhi air mata, bibirnya yang bergetar saat memohon agar ia tidak lagi mengganggu kehidupannya. Suara tangis itu kembali menggema di telinganya. "Tolong, Om... jangan buat semuanya semakin sulit..." Bram menghela napas panjang, matanya terpejam rapat. “Celina…” gumam

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 6

    Bram mencoba menahan dirinya tetap terlihat tenang, meski dadanya terasa sesak. Pandangan matanya sempat melirik Rian yang begitu antusias bercerita tentang Celina, membuat hatinya makin tersayat. Ada desakan kuat dalam dirinya untuk mengungkapkan kebenaran, untuk berteriak bahwa ada sesuatu yang harus Rian ketahui. Namun, setiap kali niat itu menguat, bayangan Celina dengan tatapan dingin dan kata-kata tegasnya kembali menghantui. "Kalau kau benar-benar tidak ingin punya hubungan lagi denganku, Bram... lupakan insiden semalam. Anggap saja itu tidak pernah terjadi." Ucapan itu terus berulang di kepalanya, bagai gema yang tak mau padam. Rian, yang tidak menyadari pergolakan batin ayahnya, menepuk bahu Bram sambil tersenyum lebar. “Pa, aku serius dengan Celina. Aku merasa dia wanita yang tepat. Kau pasti akan suka padanya kalau lebih mengenalnya,” ucap Rian penuh semangat. Bram terdiam sejenak, jemarinya mengepal di sisi kursi. Ingin rasanya ia berkata ‘Rian, kau salah... Ce

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 5

    Di seberang telepon terdengar tarikan napas panjang. Rian berusaha menahan gejolak hatinya, lalu berkata dengan nada tegas, mantap, tanpa keraguan sedikit pun. “Lin, aku nggak mau menunda lagi. Aku akan menikahi kamu secepatnya.” Kata-kata itu membuat dada Celina berdesir hebat. Ia memejamkan mata, menggenggam ponselnya erat-erat. Air matanya hampir tumpah, bukan karena tak bahagia, melainkan karena hatinya diselimuti ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. “Mas...” suaranya pelan, bergetar. “Bisa nggak... kasih aku waktu? Aku... aku belum siap.” “Belum siap?” Rian langsung menukas, nada kecewanya tak bisa ia sembunyikan. “Lin, kita sudah setahun bersama. Setahun. Apa itu masih kurang buat kamu? Masih kurang waktu untuk saling mengenal?” Celina terdiam, napasnya tercekat. Dalam hati ia tahu, Rian benar. Mereka sudah melewati banyak hal bersama. Rian selalu ada, selalu setia, selalu menunjukkan kesungguhannya. Rian melanjutkan, suaranya semakin mantap, seolah ingin menepis s

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 4

    Celina menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu kontrakannya yang catnya sudah mulai mengelupas. Begitu pintu terbuka, aroma dapur sederhana langsung menyambut, bercampur dengan wangi teh hangat yang baru diseduh. Dewi, teman satu kerjaannya di restoran, langsung menoleh dari kursi rotan tempatnya duduk. Wajahnya yang polos mendadak berubah tegang, matanya melebar penuh kecemasan. “Celina... astaga, kemana saja kamu semalam? Aku tunggu sampai hampir tengah malam, tapi kamu nggak pulang juga,” suara Dewi bergetar, ada nada khawatir sekaligus penasaran. Celina tersenyum tipis, meski senyum itu terasa dipaksakan. Dia melangkah masuk, menutup pintu pelan-pelan seakan ingin menunda percakapan itu. Jantungnya berdegup tak karuan, pikirannya masih kacau, berusaha mencari alasan yang terdengar masuk akal. “Aku... maaf, Wi,” ucap Celina lirih sambil meletakkan tasnya di atas meja kecil. “Aku ketiduran... di rumah salah satu kenalan.” Dewi mengerutkan kening, jelas tak puas

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 3

    Bram lantas turun dari ranjang dengan gerakan tergesa. Ia meraih boxer yang tergeletak di lantai, lalu segera mengenakannya. Napasnya masih berat, pelipisnya berdenyut, dan hatinya diliputi kebingungan. Pelan, ia melangkah mendekati tubuh mungil yang masih terkulai di sisi ranjang. Wajah Celina tampak pucat, helai rambut panjangnya menutupi sebagian pipi yang basah oleh sisa air mata semalam. “Celina…” suara Bram terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang penuh penyesalan. Tubuh wanita muda itu sedikit bergerak, matanya perlahan terbuka. Pandangannya kabur, tapi begitu sadar siapa yang berdiri di hadapannya, tubuhnya refleks menegang. “Jangan sentuh aku…” bisik Celina parau, ia berusaha bangkit namun tubuhnya lemah. Bram menelan ludah, rasa bersalah menohok dada. “Celina, aku… aku tidak tahu apa yang terjadi tadi malam. Aku kehilangan kendali.” Air mata menggenang di pelupuk mata Celina. Ia menatap pria itu dengan sorot yang penuh luka. “Kau pikir dengan ucapan itu sem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status