Malam itu setelah Enrico berhasil memaksa Francesca untuk mandi. Pria tersebut bahkan membantu mengeringkan rambut gadis tersebut. Menyisirnya dengan lembut, memperlakukan dengan baik seakan barang yang rapuh.
Dia mengajak Francesca untuk makan bersama di ruang makan. Gadis itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya bertindak dalam diam.Memasukan makanan ke dalam mulutnya tanpa bisa merasakan. Mengunyah tanpa mengecap. Semua kelembutan dan perhatian Enrico hanya dia balas dengan sikap dingin.Senyuman dan tatapan Leonardo tak dia hiraukan. Bahkan tak sekali pun mata gadis itu menatap pada sosok pria di hadapannya. Pria pengkhianat yang sudah menipu dirinya.Berjanji akan membebaskan dia dari pulau Olive, namun pada kenyataannya semua hanyalah tipuan. Tak akan pernah dia lupakan hal tersebut.Setelah makan, bagaikan robot dia masuk kembali ke dalam kamar di lantai dua. Francesca memutusk
"Pilihlah apapun yang kau suka." Bisikan lembut suara Enrico tak membuatnya bergeming.Enrico menundukan kepalanya menatap gadis cantik yang tak juga bergeming dari tempatnya berdiri. Pria itu kemudian meletakan tangannya ke bahu Francesca."Dia sedikit pemalu, bantu dia memilih beberapa jenis pakaian."Seorang pramuniaga toko segera mengangguk dan mengambil beberapa pakaian untuk di tunjukan. Semua pakaian yang di bawa oleh pramuniaga, tak juga membuat Francesca tertarik."Pilihlah beberapa pakaian untukmu," bisik Enrico lagi."Aku tidak perlu." sahut Francesca dingin."Lalu, apakah kau hendak telanjang di hadapanku?""Apa maksudmu?" Francesca akhirnya menoleh pada pria tersebut dan menatapnya dengan sengit.Enrico merasa senang Francesca mulai bersikap hidup. Gadis itu menunjukan sikap tegas dan berani semenjak mengetahui kedua saudaranya sedang berusaha
Gadis itu meronta dengan segala cara ketika ciuman Enrico dengan ganas melibas lehernya. Hisapan dan sentuhan bibir lembut itu memberikan sensasi yang tidak ingin dia rasakan.Semakin lama berada di dekat monster bermata biru ini, membuat kewarasannya seolah tenggelam dalam dasar lautan.Sentuhan yang awalnya sangat ia benci dan selalu membuatnya mual, lambat laun seringkali menjadikan dirinya merasa terbiasa.Francesca sekuat tenaga berusaha untuk menjaga kesadaran dirinya. Tangannya sudah terasa sakit dan pegal dalam cengkeraman tangan Enrico. Dia meronta bahkan mengigit pundak pria itu.Lelaki itu menggunakan cara diluar dugaan Francesca untuk menghentikan serangannya. Tangan kekar itu merambat ke punggung dan menurunkankan resleting gaun."Aaa! Jangannn!" bentaknya marah, "aku akan berteriak jika kau terus melakukannya!" serunya lagi dengan napas tersenggal-senggal.Gadis itu menghimpitkan bahu dan pan
"Tuan, kita sudah sampai di Mansion."Kata-kata itu telah menyelamatkan Francesca. Dia memanfaatkan jedah waktu untuk mendorong tubuh Enrico, sekaligus menjejakan kakinya ke perut pria itu dengan keras.Francesca membuka pintu mobil dan lari dengan sempoyongan sambil membenahi gaunnya. Dia terus berlari masuk ke dalam mansion lalu menuju kamar dan menutupnya dengan keras.Sementara Francesca membanting tubuh dan menangis dengan keras, Enrico menyeringai mendapatkan perlakuan kasar dari dirinya.Pria itu duduk bersandar dengan kemeja kusutnya sesaat sebelum akhirnya keluar dari dalam mobil.Dia masih terkekeh ketika sudah berdiri di luar mobil, sambil merapikan kemeja yang dia kenakan."Tuan ...," panggil Serra perlahan."Katakan.""Kenapa kau tidak menikahi saja nona Francesca?" ujar Serra perlahan."Menikahinya?""Iya, Tuan. Jika anda ing
"Nona ... bangunlah. Saya membawakan makan malam untuk Anda." Serra meletakan nampan berisi makanan di meja.Gadis pelayan itu kemudian mendekati Francesca dan berjongkok di hadapannya.Mata Francesca sudah terbuka, tetapi gadis itu hanya diam saja tak menghiraukan perkataan Serra."Nona, kau baik-baik saja, bukan?" Serra meletakan tangannya di kening Francesca.Dia merasa lega ketika tidak merasakan panas di tubuh Francesca. Dirapikannya rambut gadis cantik yang tergerai menutupi wajahnya."Makanlah, Nona. Hari sudah malam.""Aku tidak lapar," sahut Francesca lemah."Kau harus makan, Nona. Kau harus kuat. Bukankah kau ingin bertemu dengan saudaramu?" Perkataan Serra membuat Francesca mengalihkan pandangan ke arah wanita itu, menatap penuh harap."Serra ... kakakku mencariku, bukan? Mereka ada di kota ini, kan?" gumaman Francesca terdengar sangat lemah."Nona ...." Serra tak kuasa
Francesca mengerjapkan matanya saat merasakan sentuhan hangat di wajahnya. Sentuhan lembut itu sesaat membuatnya merasa nyaman dan terlindungi.Andaikan saja kehangatan itu datang dari sosok pangeran yang mencintainya dengan tulus, bukan sosok yang membenci dan menyiksa dirinya, gadis itu pasti akan merasa bahagia.Saat mata indah lentik dengan manik berwarna hazel itu terbuka, yang ia lihat adalah sosok pria bermata biru yang selalu menyiksa dirinya.Tangannya memegang tangan kekar yang berlabuh di wajahnya. Ia terdiam sejenak terpesona dengan mata biru yang menatapnya dengan lembut.Mata biru secerah langit dan sedingin samudra itu seakan hendak menembus jauh ke dalam batinnya. Keheningan malam dalam keremangan lampu, membuat dua pasang mata itu saling terpaku mencari makna di balik tatapan.Francesca menepiskan tangan Enrico dari wajahnya. Dia beringsut dari tidur dan duduk bersandar pada din
"Aku memang Monster. Dan semua keputusan ada di tanganmu, Malaikatku." bisik Enrico lagi menekankan kalimat sebelumnya.Bibir Francesca menjadi kelu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Batinnya memberontak untuk membuat keputusan. Dia tidak mau menikah dengan cara seperti ini.Air matanya terus mengalir, kedua tangannya mencengkeram kemeja Enrico. Pria itu bagaikan seonggok mesin, tidak bereaksi terhadap tangisan pilu gadis dalam dekapannya.Lutut-lutut kaki Francesca bergetar dan menjadi lemas, gadis itu tak berdaya dan dia ambruk dalam dekapan Monster. Pria yang sudah memberinya pilihan sulit.Monster itu tersenyum tipis dengan mendekap tubuh rapuh Malaikat cantiknya. Dia membiarkan air mata gadis itu membasahi kemejanya. Bahkan tangan pria itu membelai rambut Francesca dengan lembut."Sssttt ... menangislah sepuasmu. Kau masih punya waktu satu jam lagi."Kata-kata lembut Enrico tidak membuat Francesca menjadi
Francesca menghela napasnya dengan berat. Dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sudah cukup lama dirinya tidak pernah berdiri dan mematut diri di depan cermin.Saat ini Francesca hampir tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Seorang penata rias sudah menyulap wajahnya menjadi sangat cantik. Polesan sederhana namun sangat menonjolkan mata lebar dan bibir penuhnya, membuat Francesca nyaris tak mengenali dirinya sendiri.Rambutnya yang lurus panjang sudah di bentuk bergelombang. Tergerai sempurna dan indah di bahunya yang terbuka. Gaun putih bergelombang seindah bulu-bulu angsa yang mengembang membebat tubuh mungilnya.Gadis itu mendesah melihat tampilan dirinya. Begitu cantik dan anggun di depan cermin tapi terasa beban berat yang mengganjal di dalam diri. Ia menghela napas dengan berat, berusaha untuk belajar tersenyum.Francesca memutar tubuhnya ketika mendengar pintu di buka. Dia mundur selangkah dan berpegangan pada
Francesca melangkah menuju altar dengan Devonte yang mengamit lengannya. Pernikahan yang sangat sederhana di dalam Capel di Mansion Enrico.Di depan altar sudah berdiri Enrico yang menatapnya dengan lembut. Namun, Francesca tidak merasakan kelembutan dari mata dingin tersebut. Hatinya di liputi pergolakan dan keinginan untuk lari.Tidak ada tamu undangan, hanya Leonardo dan seluruh pelayan Mansion. Tidak ada yang berani menyuarakan keberatan akan pernikahan ini, ketika Pastor menanyakan."Apakah ada yang keberatan dengan pernikahan ini, jika ada berbicaralah sekarang atau diam selamanya."Hati Francesca terasa miris mendengarnya. Dia ingin berteriak menyuarakan kegundahan hatinya, namun pandangan tajam Devonte yang menujukan pistol di balik jas yang dia kenakan, membuat Francesca bungkam."Aku Enrico Torres, menerimamu Francesca Knight, sebagai istriku. Untuk memiliki satu sama lain dalam duka, bahagia, mis