Francesca tidak pernah menyangka jika Enrico akan kembali dengan membawa baki berisi makanan. Pria itu meletakan makanan tersebut di meja, membuat Francesca merasa heran dengan dua porsi makanan yang sudah tersedia.
Pria dingin bermata biru itu duduk di sampingnya dalam diam. Dia memakan sarapan paginya dengan perlahan. Francesca menelan ludah melihat bagaimana pria itu menikmati makanannya .
Gadis itu memalingkan wajah, enggan menyaksikan pemandangan yang membuatnya semakin kelaparan. Sudah cukup tersiksa dengan aroma makanan tersebut.
"Makan, Bodoh!" perintah Enrico.
Francesca menoleh, menatap Enrico dengan heran. "Saya, Tuan?" tanyanya dengan heran. "Tentu saja Kau, Bodoh! Apa ada orang lain lagi di sini?" "Benar ini untuk saya?" tanya Francesca tak percaya. Pagi ini, Enrico terasa berbeda bagi Francesca. "Apa ada orang lain sePandangan mata Enrico berubah menjadi gelap. Ingatan akan Caroline, wanita kejam yang sudah menghancurkan kebahagiaan masa kecilnya, memicu kebencian yang luar biasa memenuhi pikiran Enrico.Dan tepat dihadapannya adalah pantulan wanita jalang itu. Wajah dan tubuh yang serupa ~ doppleganger~. Wanita yang dia benci dengan segenap jiwa dan raganya. Nurani Enrico menggelap, terbawa oleh dendam dan kebencian yang mengakar dengan kuat."Semua karena kau, Wanita jalang!" teriaknya penuh dendam.Kedua tangan Enrico mencengkeram leher Francesca. Gadis itu terkejut ketika merasa cengkeraman tangan besar itu semakin menguat, mencekik lehernya.Francesca meronta! Ia memukul-mukul dada Enrico, menggapai wajah pria itu ... meninggalkan cakaran di wajahnya. Gadis itu kemudian meremas kuat tangan Enrico.Kakinya menjejak dengan sekuat tenaga di lantai, mendorong, berusaha mengangkat tubuh,
"Francescaaaaa! Keluar kau dari bawah tempat tidur! Anak tidak tahu diri!" Wanita berambut coklat expresso yang bergelombang indah itu menarik tubuh gadis kecil yang meringkuk ketakutan.Wajah wanita itu memerah dengan mulut yang berbau alkohol. Matanya menyala, membulat menatap gadis kecil di bawah kolong tempat tidur dengan tajam.Tangan dengan kuku-kuku panjang bercat merah itu berusaha menggapai tubuh gadis yang meringkuk ketakutan dan menutupi wajah dengan telapak tangannya yang kecil.Tangan panjang wanita itu berhasil menggapai kaki kecil gadis tersebut. Dia menariknya dengan kuat, memaksa gadis itu keluar dari tempat tidur."Tidakkkk! Jangannn! Jangan sakiti aku," teriaknya pilu ketika wanita itu berkali-kali menampar wajahnya."Kau berani melawan ku?! Anak tidak tahu diri!" Wanita itu tanpa belas kasihan menarik rambut gadis kecil tersebut.Tubuh gadis itu yang awalnya duduk di lantai,
Hujan turun sangat deras mengguyur bumi. Angin berhembus dengan kencang membawa ombak bergulung-gulung menghantam daratan dengan keras. Langit gelap gulita, pepohonan kelapa bergoyang seakan hendak tercabut dari akarnya.Cuaca malam ini sangat menakutkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, semua manusia telah meringkuk di balik selimut. Menghangatkan tubuh, mengusir rasa dingin yang diantarkan oleh cuaca.Enrico duduk terdiam dalam kegelapan, memandang tajam pada sosok wanita yang berbaring tenang, dalam balutan selimut tebal. Kegelapan tak menghalangi pandangan matanya untuk menatap gadis itu.Dia diam tanpa menghiraukan waktu yang bergulir. Bahkan dirinya mampu duduk tak bergerak berjam-jam lamanya hanya untuk menatap gadis yang mulai menyentuh hatinya.Monster dalam diri Enrico seakan mengkerdil dihadapan gadis itu. Gadis yang terbuai di peraduan dengan nyenyak, tanpa menyadari sepasang mata biru memperhatikan dirinya.M
Serra menggandeng tangan Francesca dengan riang. Dia banyak bercerita mengenai kehidupannya di pulau ini. Bagaimana penduduk yang hanya sedikit di tempat ini, selalu hidup dengan rukun.Penduduk pulau sangat tertutup dengan dunia luar. Mereka menghormati Pompei sebagai anak dari kepala desa, mandor dan kepercayaan Enrico di pulau ini. Bagi mereka Enrico bukan saja tuan tanah, melainkan dewa penolong.Enrico kecil datang ke pulau ini bersama Leonardo ~adiknya~ dan ibu dari Seera. Seluruh anggota keluarga Enrico telah meninggal. Enrico saat itu baru berusia sepuluh tahun.Namun tekadnya yang bulat untuk membalas dendam pada Caroline, membuat anak kecil itu berubah. Berkat ketekunan dan kecerdasan Enrico, dia bisa memajukan kehidupan penduduk pulau dan menyekolahkan Leonardo.Dari cerita Serra, Francesca juga mengetahui jika Enrico setelah dewasa tidak pernah lama tinggal di pulau ini. Namun, selama lebih
Enrico memandang punggung Francesca dari kejauhan di kegelapan malam. Dia berdiri di antara pepohonan yang tak juga menghalangi pandangannya. Matanya tak bisa teralih dari sosok gadis yang sedang duduk di antara rerumputan.Gadis itu tersenyum dengan sangat lembut. Dia menikmati sepotong ikan bakar dengan cara yang sangat anggun. Dia tertawa mendengarkan lelucon yang di ucapkan para penduduk pulau.Baru kali ini Enrico melihat tawa gadis itu. Bibirnya yang terbuka lebar dengan gigi-gigi yang rapi. Sorot mata yang ceria seakan tak pernah ada duka. Wajah mungil dengan dagu runcing, memberikan gambaran raut wajah cinta yang begitu sempurna.Francesca bagaikan seorang dewi kecantikan di mata Enrico. Menghipnotis pria itu untuk terus memandangnya tanpa berkedip. Membuat kaki-kaki gagah itu berdiri diam dengan kaku.Keinginan untuk mendekati dan merengkuh gadis itu dia urungkan. Ia terlalu takut senyuman itu akan sirna ketika g
"Kau ... tidak apa-apa, Tuan?"Enrico tertegun mendengar pertanyaan Francesca. Dia terkesima melihat gadis itu kembali mendekatinya. Masih ada sinar ketakutan yang bercampur dengan kekhawatiran. Gadis bodoh, budak liarnya kembali dan mengkhawatirkan dirinya."Aku rasa bahuku terkilir," sahut Enrico perlahan.Francesca tampak ragu-ragu mendekati pria yang duduk di tanah. Saat dia bisa melihat jika, pria tersebut benar-benar kesakitan, gadis cantik itu tidak tega untuk meninggalkan. Dia kembali dengan perlahan dan mengulurkan tangannya."Mari aku bantu. Tapi tolong ... jangan sakiti aku," ucap Francesca dengan wajah memelas.Enrico terpana melihat tangan mungil nan halus yang terulur padanya. Dia tidak menyangka gadis yang baru saja lari ketakutan menghindari dirinya, benar-benar kembali untuk menolong. Pria itu mengangkat kepalanya dan menatap Francesca."Aku tidak akan menyakitimu," ucapnya per
Malam itu, peratama kali dalam sekian puluh tahun Enrico bisa merasakan ketenangan. Ada perasaan damai yang menelusup di relung hatinya, saat merasakan kehangatan tubuh Francesca dalam pelukan.Malam semakin larut, mata Enrico belum bisa terpejam, seakan dia tidak ingin melepaskan satu detik pun kebersamaan dengan malaikat disisinya. Budak bodoh dan liar, yang entah bagaimana bisa menempati posisi dalam hatinya.Hembusan nafas gadis itu sudah teratur. Dia tertidur dalam kehangatan tubuh monster yang ditakutinya. Dia lupa dengan kewaspadaan yang selalu dijaganya ketika berada bersama pria bermata dingin itu.Seakan tak pernah bosan, Enrico memandangi wajah cantik itu. Dia terus menatap Francecsa hingga matanya memerah dan terasa lelah. Enrico menutup matanya sejenak, hingga tanpa sadar dia jatuh tertidur.Fajar menyingsing dengan ceria. Seberkas sinar matahari menyusup melalui celah-celah jendela berusaha menembus kege
Enrico tampak sibuk di gudang persediaan. Ia mengawasi para pekerja mengangkut ratusan karung buah zaitun dan meletakannya di dalam truk. Truck yang datang bersamaan dengan kapal barang.Setelah muatan penuh, truk itu kembali ke dalam kapal dan para pekerja memindahkan kembali karung-karung buah zaitun dengan rapi. Setelah muatan truk kosong, pengemudi membawanya kembali ke gudang dan mengangkut karung lainnya.Ada dua buah truk besar yang datang dan beberapa kali bergantian, mengangkut karung-karung berisi zaitun.Semua pekerja tampak sibuk. Pompei dan beberapa mandor lainnya mengawasi sekaligus mencatat jumlah karung yang diangkut. Setelah muatan hampir selesai, Enrico segera menunggangi kudanya kembali ke dermaga.Dia berjalan masuk ke dalam kapal. Di sana ia mulai memeriksa sekali lagi bagaimana mereka mengatur karung-karung tersebut. Enrico cukup puas dengan apa yang dilihatnya. Ia melangkah keluar kapal.