“Enggak apa-apa ya, Mas, pulangnya lusa saja,” ujarku pasca kami sudah bermandi peluh menikmati proses memperlancar jalan lahir bayi.Bian tak menjawab. Dia sudah pasti tak akan mengatakan bahwa sebenarnya Miranda memintanya menemaninya ke kondangan. Bian tak mau membuatku sedih dan kesal.“Aku masih capek kalau harus pulang pagi-pagi besok.” Kuutarakan alasanku lagi.“Ya sudah nunggu kamu enggak capek. Jam 10 an pasti sudah cukupkan untuk istirahat, kan?” Bian masih menawar.“Memangnya Mas Bian ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, ya?” kupancing apakah Bian akan berbohong dalam hal ini?“Bukan pekerjaan, ada janji dengan seseorang, Sayang. Enggak enak kan kalau aku tidak tepati.”Pasti Bian sudah mengiyakan permintaan Miranda. Dia memang pria yang tidak enakan kalau sudah berjanji.Hanya saja aku tak berhenti sampai di situ.“Mas Bian juga pernah tidak tepati janji padaku saat mau mengantarku periksa. Tapi kalau sama teman kok tidak enakan begitu, ya? Aku kok jadi merasa Mas
Notif pesan di layar ponsel Bian terpampang saat benda pipih itu tergeletak di meja riasku.Itu dari Miranda,[Sayang, besok bisa temani aku ke kondangan temanku?]Lalu notif ke dua pun masuk kembali,[Aku tak banyak meminta waktumu, hanya kali ini saja usahakan, ya?]Sudah tahu bahwa wanita itu penuh intrik dan manipulasi, aku jadi kesal sekali. Bisa-bisanya dia masih bisa membohongi Bian padahal selama ini dia masih berhubungan dengan kekasihnya itu.Pintar dia memulas kebohongannya itu. Tidak cukupkah tiga tahun saat dia koma sudah membohongi Bian?Belum kapok juga kali ini dia masih mau membohongi Bian.Kalau aku tiba-tiba mengatakan bahwa Miranda saat ini hanya berbohong, pasti banyak yang tidak percaya. Apalagi setotal itu dia berdrama. Bahkan sampai meninggalkan keluarganya demi mempertegas niatnya berubah itu.Mungkin Bian yang tidak tegaan bisa dibohonginya dengan alasan ingin berubah, tapi tidak denganku.Karena kesal, aku bertekad tidak ingin membiarkan Bian mengantarnya ke
"Mas aku belum bisa tidur?”Kubuka obrolan dengan pura-pura tidak bisa tidur.“Mana yang tidak nyaman?” Bian mengelus punggungku dan menambahkan bantal di pinggangku.“Sini aku peluk!” tukasnya menyusupkan lengannya di bawah punggungku.Sudah nyaman dalam pelukannya, kupermainkan kancing piyamanya sembari bertanya. “Kenapa tadi Mas Bian cepat pulangnya? Biasanya kan sampai malam sekali baru pulang?” “Pasti karena ada Miranda di apartemen jadi pengen cepet-cepet pulang, ya?” malah kugoda dia.“Kamu mah, ada-ada saja. Suka banget sih nyari masalah dengan perasaanmu sendiri.” Bian mencubit pipiku. Dia tahu aku hanya memancing-mancing saja.“Hehe, Mas Bian yang ada-ada saja. Kalaupun iya juga enggak apa-apa.”Bian tak meladeni candaanku. Dia malah menatapku dengan serius.“Maaf ya, Mel. Aku membuatmu dalam situasi rumit begini. Sebenarnya punya istri dua sama sekali tidak ada dalam angan-anganku sejak dulu.” Bian tampak sedih saat mengatakannya.Kami saling berpandangan dengan pemikiran
Bian baru datang mengantar Miranda pulang di rumah Kalisari. Duduk menghempaskan punggungnya di sofa sembari merentangkan kedua tangannya lelah.Kuhampiri dia sembari membawakannya minuman.“Capek, Mas?” tanyaku menyodorkan minuman untuknya.Bian mengambil minuman itu dan meneguknya.“Tidak apa kok, Mas Bian menginap di rumah Kalisari. Miranda kan juga masih istri mas,” ujarku karena selama bersamaku ini Bian tidak pernah menginap di tempat Miranda.Aku tidak tahu bagaimana hubungan mereka. Tidak tahu juga bagaimana Bian menjalankan kewajibannya pada Miranda. Karena pernah coba kutanyakan itu Bian tidak mau menjawab. Dia hanya bilang kalau bersamanya tak perlu membahas tentang Miranda.Karenanya aku tak bertanya urusannya. Lagipula dia lelaki dewasa yang bahkan lebih paham agama dari aku. Aku tidak mau sok pintar saja.Tapi sekarang aku jadi penasaran sekali. “Aku tidak bisa meninggalkanmu saat hamil besar begini, Mel. Tidak tega.”“Miranda tidak masalah dengan hal ini?” tanyaku tak
Bian ada acara sore ini, biasanya aku akan lebih nyaman kalau kugunakan saat begini untuk bersantai dan rebahan. Sesekali beryoga dan mendengar musik-musik penenang. Hanya saja, ada Miranda di apartemen. Bilangnya daripada jemu di rumah Kalisari tak ada teman, katanya dia mau menemaniku saja. Tapi aku mulai sedikit kurang nyaman lama-lama bersama Miranda. Awalnya kuharap itu hanya perasaanku yang sering overthinking saja. Tapi, sepertinya memang ada yang tidak sreg saja. “Kau ada makanan, Mel? Aku kok lapar, ya?” tukasnya. “Ada kok, tadi aku masak banyak buat Tante Aini dan Om Damar. Kau mau coba?” aku menawarkan. “Boleh. Tapi, maaf, aku tak bisa makan masakan yang sudah dingin. Apa bisa dihangatkan dulu?” pintanya. “Boleh, Mir. Tunggu bentar, ya?” Aku sedikit kerepotan saat bangun dari duduk di sofa. Gimana lagi, Miranda mau minta makanannya dihangatkan. Apa wanita itu tidak merasa kasihan perutku sudah sebesar ini tapi masih merepotkan saja. Gumamku sendiri sembari membatin.
“Tadi Mas Bian sendiri yang bilang kalau tante mau mampir, kan?”Aku langsung mengomeli Bian saat dia balik dari rumah yang di Kalisari.Kesal kenapa tidak memberitahu kalau Tante Aini dan Om Damar tidak bisa lama-lama di Surabaya. Mereka langsung balik ke Magetan.“Tante Aini sendiri yang bilang katanya mau mampir ke apartemen, tapi tidak tahu bagaimana mereka hanya mampir ke Kalisari. Mungkin kangen dengan rumah keluarganya. Apalagi tahu Miranda baru datang.” Bian mencoba menjelaskan dengan baik agar aku tak salah paham dan kesal.“Tapi Mas Bian harusnya memberitahuku. Aku bisa kok naik ojek atau grab ke rumah sana sekedar mau bertemu dengan mereka. Tidak enak kan mereka datang aku tidak menyambut.” Kusahut sekalian kusindir Bian. Kalau dia tak mau repot menjemputku aku bisa ngojek.“Jangan aneh-aneh, mereka juga mengerti kondisimu, kok. Kau sedang hamil besar jadi tak perlu lagi keluar-keluar.” Bian masih mencoba membujuk agar aku tidak marah.“Bilang saja kalau kalian tidak mau