Sorenya ketika aku di antar Andik ke tempat gym yoga ibu hamil, tak sengaja aku bertemu dengan seorang wanita.Aku tak mengenalnya, tapi herannya dia terlihat sinis sekali padaku.“Hamil hasil merusak rumah tangga orang saja bangga!” gumamnya ketika berpapasan denganku.Deg!Kenapa dia berkata demikian?Apa dia mengenalku?“Maaf, Kak? Apa kita saling kenal?” aku menoleh padanya dan menahan langkahnya yang hendak menjauhiku.“Kau saja yang bodoh kalau tidak kenal aku! Muak aku melihat tampangmu!” umpatnya lagi lalu berlalu.Aku masih tertegun menatapnya keluar dari tempat gym.Kuingat-ingat lagi siapa wanita itu?Selama mengikuti instruktur yoga tadi aku memang merasa wanita itu terus melirik ke arahku. Aku sama sekali tak berfikir bahwa ada orang yang mengenalku di kelas yoga khusus ibu hamil yang kuikuti itu.Membuatku semakin penasaran dan tidak enak. Apalagi tadi dia sempat mengataiku bodoh karena tidak mengenalnya.“Sore, Ma! Mari duluan…” sapa yang lain saat melewatiku hendak pul
“Aku tambah gendut, Mas,” ujarku saat bercermin dan melihat perutku semakin membulat. Tubuhku pun tampak berisi.“Kan kamu hamil, Sayang,” tukas Bian tertawa kecil melihatku mengeluhkan bentuk badanku.“Mas Bian masih bergairah sama aku enggak sih kalau aku segendut ini?” aku malah melanjutkan pembahasan itu.“Kamu amnesia apa gimana? Yang setiap bercinta masih juga tergila-gila padamu itu siapa?”Diingatkan tentang itu aku sedikit tersipu. Kehamilan ini sama sekali tidak menyurutkan gairah bercinta kami. Justru seringnya kurasakan dorongan yang selalu membuatku menginginkan bercinta dengan suamiku itu.Kata dokter, itu normal sih.Jadi kami tak pernah membatasi keinginan bercinta. Asal aku-nya nyaman, aman, dan tidak mengeluhkan sakit.Aku baru mengulas senyum dan duduk di sampingnya dengan manja. Walau begitu kalau teringat sedikit kerepotan yang aku buat ahir-ahir ini, aku pun meminta maaf.Bagaimana tidak. Terkadang keinginan bercinta itu tidak tahu waktu.Seperti baru kemarin Bi
Yang kuharapkan adalah Bian memelukku lalu meminta maaf karena sudah menyakiti hatiku, dan setidaknya—biarpun hanya kata-kata—kuingin dia mengatakan : Kalau kau berubah pikiran, aku tidak akan menikahi Melati besok.Tidak!Dia sama sekali tidak ada keinginan sekedar menghibur hatiku yang galau karena suamiku besok akan resmi menjadi suami wanita lain juga.Bian justru memintaku berlibur ke luar negri.Brengsek bukan!Apa dia pikir dengan berlibur ke luar negri bisa menggantikan sakit hatiku membayangkannya menikah dengan wanita lain?Apalagi mendapat kiriman foto-foto itu dari Tante Aini, muak sekali aku dengan mereka. Bian dan keluarganya memang sama saja.Jadi, jangan harap kehidupannya dengan wanita sialan itu akan bahagia.Selama napasku masih berhembus, kupastikan kehidupan mereka berantakan.Lihat saja. Pelan-pelan akan kugerogoti kebahagiaan itu.Mauku, wanita sialan itu harus juga merasakan bagaimana ada di posisiku saat ini. Panggilan dari Bian membuatku harus kembali menj
~ POV Miranda ~[Bian dan Melati sudah menikah, terima kasih ya atas kebesaran hatimu.]Pesan itu kuterima dari Tante Aini lengkap dengan foto-foto keluarga yang bahagia itu.Aku tersenyum menatapnya, lalu ku balas. [Subhanallah, tabarakallah, Tante. Mudah-mudahan setelah ini semua akan berjalan lebih baik. Aku juga sudah tak sabar ingin menjadi ibu dari anak yang dikandung Melati][Tentu, Mir. Kau tak hanya akan menjadi ibu dari anak Melati. Kau bahkan pantas mendapatkan surga. wanita yang rela suaminya menikah lagi untuk urusan kebaikan, pasti menjadi penghuni surga. Kau akan kubanggakan di majlis taklimku sebagai wanita yang patut diteladani][Ah, Tante. Jangan berlebihan. Terima kasih atas bimbingan dan semuanya.]Tepat saat mengahiri berbalas pesan itu, aku tak bisa lagi menyembunyikan gemuruh di dadaku.Kulempar ponsel itu hingga hancur. Dan aku kesal sekali.Surga katanya?Ambil saja surga itu. Aku tak butuh!…Aku pulang lebih cepat dari rencanaku, namun tak kuberitahu Bian ak
Tidak ada dalam rencana mereka menginap di rumah, tapi tak mungkin juga kami menolak keinginan dua gadis kecil yang sudah mengatur schedule mereka.Keduanya sudah tampak akrab layaknya seorang saudara. Aku dan Bian mencandai Tom dan Elis agar mereka juga menikah saja.“Ya kalau memang ada jodoh, kenapa tidak?” ucap Tom seolah sebuah penandasan bahwa dia tak menolak kalau saja Elis mau bersamanya.Hanya saja temanku itu bukan wanita yang gampang memutuskan sesuatu. Jadi tak berani menanggapi candaan kami.“Sudah malam, kalian ngomong apa sih?” tukasnya.Lalu karena tak mau dibilang terlalu mengintervensi kami pun tak melanjutkan candaan itu.“Anak-anak akan tidur bersamaku, saja.” Elis mengajak dua anak itu bersamanya.Kutunjukan kamar untuknya. Kebetulan di apartemen ada 3 kamar. Jadi kamar yang satunya bisa dipakai Tom Lee.“Maaf El, sedikit berantakan. Kemarin keluarga Magetan sebagian menginap di sini, ujarku sembari mengambilkan selimut bersih untuk Elis dan anak-anak.“Jangan begi
“Sialan, lagi ngapain sih, lu? Dibel dari tadi enggak dibuka!”Umpatan langsung terdengar ketika Bian membuka pintu apartemen kami.Aku yang kebetulan tak jauh dari Bian mendengar itu.Bukankah Itu suara Tom Lee? Apa dia datang hanya sendiri? “Papa Bian, Mama Melati mana?” suara menggemaskan itu kudengar. Menghapus rasa penasaranku yang barusan terlintas di benakku.“Flowra?” panggilku.Segera bocah kecil itu muncul dari balik pintu dan langsung berlari ke arahku.“Ma, aku kangen mama!” Flowra langsung bergelanyut di kakiku.“Iya, mama juga kangen Flowra. Maaf ya, mama sementara harus tinggal di Surabaya,” ujarku mengelus kepala bocah itu.Tiba-tiba bocah lain pun menghampiri. “Tante Melati tidak kengen Laila?”“Lho, Laila juga ikut?” tukasku terkejut.Seketika kucari-cari sosok mama dari bocah ini. Dan kutemukan di samping Tom Lee yang sudah berdiri menatap kami.“Elis?” sapaku setengah terpekik. Aku senang sekali melihat temanku itu datang mengunjungiku.Senangku bukan hanya karen