Tidak ada dalam rencana mereka menginap di rumah, tapi tak mungkin juga kami menolak keinginan dua gadis kecil yang sudah mengatur schedule mereka.Keduanya sudah tampak akrab layaknya seorang saudara. Aku dan Bian mencandai Tom dan Elis agar mereka juga menikah saja.“Ya kalau memang ada jodoh, kenapa tidak?” ucap Tom seolah sebuah penandasan bahwa dia tak menolak kalau saja Elis mau bersamanya.Hanya saja temanku itu bukan wanita yang gampang memutuskan sesuatu. Jadi tak berani menanggapi candaan kami.“Sudah malam, kalian ngomong apa sih?” tukasnya.Lalu karena tak mau dibilang terlalu mengintervensi kami pun tak melanjutkan candaan itu.“Anak-anak akan tidur bersamaku, saja.” Elis mengajak dua anak itu bersamanya.Kutunjukan kamar untuknya. Kebetulan di apartemen ada 3 kamar. Jadi kamar yang satunya bisa dipakai Tom Lee.“Maaf El, sedikit berantakan. Kemarin keluarga Magetan sebagian menginap di sini, ujarku sembari mengambilkan selimut bersih untuk Elis dan anak-anak.“Jangan begi
“Sialan, lagi ngapain sih, lu? Dibel dari tadi enggak dibuka!”Umpatan langsung terdengar ketika Bian membuka pintu apartemen kami.Aku yang kebetulan tak jauh dari Bian mendengar itu.Bukankah Itu suara Tom Lee? Apa dia datang hanya sendiri? “Papa Bian, Mama Melati mana?” suara menggemaskan itu kudengar. Menghapus rasa penasaranku yang barusan terlintas di benakku.“Flowra?” panggilku.Segera bocah kecil itu muncul dari balik pintu dan langsung berlari ke arahku.“Ma, aku kangen mama!” Flowra langsung bergelanyut di kakiku.“Iya, mama juga kangen Flowra. Maaf ya, mama sementara harus tinggal di Surabaya,” ujarku mengelus kepala bocah itu.Tiba-tiba bocah lain pun menghampiri. “Tante Melati tidak kengen Laila?”“Lho, Laila juga ikut?” tukasku terkejut.Seketika kucari-cari sosok mama dari bocah ini. Dan kutemukan di samping Tom Lee yang sudah berdiri menatap kami.“Elis?” sapaku setengah terpekik. Aku senang sekali melihat temanku itu datang mengunjungiku.Senangku bukan hanya karen
“Kau tidak mau bulan madu?”Bian mengejutkanku dengan memeluk dari belakang saat aku sibuk merapikan lemari.“Ya ampun, Mas. Kapan datangnya? Bikin jantungan saja,” ujarku.Dia bilang tadi ada urusan sebentar setelah keluarga dari Magetan pulang semua. Tak tahunya tiba-tiba datang saja.“Enggak jadi urusannya. Aku sudah kangen istriku,” bisiknya sembari menciumi pipi dan leherku.“Ayo bulan madu.” Lagi katanya.Kulirik Bian dengan protes. Kita ini bukan pengantin baru. Hanya administrasinya saja yang baru. Pada hakikatnya kami sudah menikah hampir 8 bulan yang lalu. Apalagi sekarang, perutrku sudah mulai terlihat membesar.“Masih mau bulan madu saja, setiap malam kita juga bulan madu, kan?” tukasku.“Serius kamu enggak kepengen jalan-jalan? Ke bali atau ke Luar Negri?” tanya Bian lagi membalikan tubuhku agar kami bisa saling menatap.“Apa boleh perjalanan jauh? Aku sedang hamil, lho?” kuingatkan pria ini dengan keadaanku. Apa dia lupa ada bayi mungil di rahimku?“Oh, emang tidak bol
“Aku sudah banyak berdosa pada Bian, Mel. Aku hanya ingin menebus dosa-dosaku. Dia begitu legowo memaafkanku atas kekhilafanku berselingkuh bersama teman baikku. Dan selama ini, Bian sudah begitu direpotkan oleh ulah kakak dan mamaku. Mereka sudah keterlaluan sekali.”Miranda menangis. Tampak sangat menyesali semua kebodohannya selama ini. Aku juga tahu semua dosa-dosa Miranda itu. Ternyata Miranda benar-benar menyadarinya.Miranda melanjutkan ucapannya, “Jadi seharusnya aku juga menerima semua keputusan Bian. Aku juga harus legowo karena sikapku yang buruk selama ini membuatnya kemudian jatuh hati padamu. Aku tentu saja iklas apapun keinginannya. Asal dia bahagia, Mel.”Aku terkesan dengan sikap besar hatinya.Setelah memahami semuanya, kini aku malah bisa merasakan kesedihannya.Bagaiamana seandainya aku ada di posisi Miranda?Apakah aku bisa seiklas itu mengizinkan suamiku menikah lagi?Oh…“Tidak apa, ya, besok aku tidak bisa datang mengantarmu dan Bian menikah di KUA. Bian bi
“Kita nikah besok, Mas?”Aku terkejut ketika Bian menyampaikan akan segera mengurus dokumen pernikahan kami di kantor urusan agama.“Kenapa? Kau mau menunggu anak kita lahir baru menikah?”Bian tampak heran melihatku malah tegang mendengarnya mengatakan akan segera melegalkan pernikahan kami.“Sudah ada Iqdam selaku walimu, kalau mereka butuh pakde yang dulu menikahkan kita, dia juga sudah di perjalanan. Ibu juga akan datang.”Ternyata Bian sudah mengatur semuanya.Kapan pria ini melakukannya?Semalam kami bahkan begadang sampai tengah malam dan setelah itu baru terlelap bersamaan.Aku bahkan tidak bisa makan dan minum. Sejak tadi hanya mempermainkan jemariku sendiri.Bian menyentakku, “Ada apa, Mel?”Dengan polosnya aku mengatakan padanya, “Lalu Tom Lee dan Bu Rosi gimana?”Bian langsung melotot ke arahku.Sepertinya kesal mendengar ternyata aku tidak bisa makan dan minum karena memikirkan mereka.“B-bukan itu saja yang ku pikirkan, Mas. Jangan melotot begitu, ah!” tukasku menyenggol
“Kau menangis karena itu?”“Benar, Mas. Maaf, ya. Aku begitu lelah dan tak nyaman malam itu. Aku bahkan tak tahu apa yang kukatakan pada Mas Bian sampai Mas Bian marah padaku malam itu dan langsung balik ke Surabaya.” Bian mengernyitkan dahinya mentapku. Aku pun menatapnya dengan sisa-sisa air mata yang masih menggenang.Baru dia mengelus pipiku untuk menghapus sisa air mata itu dengan lembut. “Aku tidak marah padamu.”Dia pasti bohong padaku.Bian memintaku duduk kembali, membiarkanku tenang dulu baru kami lanjut mengobrol. “Memangnya budemu bilang apa sampai kau sesedih itu?”“Bude menceritakan tentang penyitaan yang dilakukan kakak Miranda di rumah Om Damar. Maaf, aku baru tahu hal itu. Bude dan ibu saat itu juga sedang di Batu karena ada undangan pernikahan kerabat ayahku. Jadi kami semua tidak tahu.”“Baru tahu dua minggu kemudian ketika bersilaturrahmi langsung ke rumah Om Damar. Setelah tahu hal itu, bude dan ibu juga tidak memberitahuku karena berpikir aku pasti sudah leb