Home / Romansa / Gelora Cinta Pria Arogan / 1. Hati yang Hancur

Share

Gelora Cinta Pria Arogan
Gelora Cinta Pria Arogan
Author: Neza Visna

1. Hati yang Hancur

Author: Neza Visna
last update Huling Na-update: 2025-02-12 19:57:38

Rinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.

Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.

“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat lelah.

“Aku hanya merasa sedikit lelah,” jawabnya singkat. Rinjani berjalan ke belakang kursi Brama. Tanpa banyak bicara, tangannya mulai memijat pelan kepala Brama. Brama tidak menolak, kerutan di kening pria itu perlahan mulai berkurang.

Dia menyandarkan    kepalanya ke belakang, membiarkan tangan lentik itu mengurangi rasa penat di sekitar kepalanya.

“Kamu begadang lagi? Kapan kamu akan lebih peduli  kesehatan sendiri? Semalam juga kamu nggak pulang. Tidur di kantor?” tanya  Rinjani, suaranya hampir seperti  protes lemah  yang terdengar pasrah.

Lima tahun bersama, dia tahu Brama sangat gila kerja. Kekasih yang sekaligus juga atasannya itu tidak akan  berubah hanya dengan satu protes darinya.

“Hmm.” Brama hanya bergumam tidak jelas, menanggapi ucapan Rinjani itu. 

“Brama,” Rinjani memulai, suaranya sedikit meragu, tapi melihat Brama mulai rileks, dia memberanikan diri untuk bertanya. “Semua gosip tentangmu dan Kiara, apa itu benar?” tanyanya hati-hati.

Brama terdiam sejenak. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih sunyi, seolah waktu berhenti berputar. Rinjani berhenti memijat, tangannya masih terbangkit di atas bahu Brama. Dia menunggu, jantungnya berdebar kencang.

“Semua itu benar. Aku akan segera bertunangan dengan Kiara,” jawab Brama akhirnya, suaranya datar, tanpa emosi.

Rinjani tertegun. Tangannya jatuh lemas di sisi tubuhnya. Dia merasa seperti ditampar keras. “Tu-nangan?”

Lalu bagaimana dengannya? Sudah lima tahun, apa dia masih belum bisa melunakkan hati Brama?

Dia tidak  ingin percaya pendengarannya sendiri sekarang.  Beberapa minggu ini, dia mulai mendengar kabar gosip pertunangan pria itu dari orang-orang di sekelilingnya, dan bahkan orangtuanya juga mengatakan itu.

Namun, pengakuan Brama-lah yang menghancurkannya.

Brama berdiri dari kursinya, wajahnya berkerut. “Hmm, papa sudah menyuruhku untuk segera bertunangan. Kiara adalah pilihan terbaik, sekarang.”

Rinjani tidak mampu lagi memijat kepala Brama, tangannya terkepal menahan rasa sakit di dadanya. “Oke, aku mengerti. Aku akan pindah secepatnya dari apartemen itu.”

Gadis itu mencoba untuk tetap tenang. Meski, dia tidak ingin suaranya sedikit bebrgetar menahan tangis.

“Rinjani, jangan menambah masalah. Kepalaku sudah cukup pusing dengan semua masalah yang ada.”

Gadis itu menggiggit bibirnya kuat. “Aku nggak cari masalah. Aku hanya berbicara apa adanya. Kamu akan segera bertunangan. Hubungan kita  harus segera berakhir, kan?”

Hatinya bagai diremas, dia juga ingin marah, dia juga ingin teriak.  Dunia di sekitarnya  terasa runtuh. Dia mencintai Brama sejak dia masih muda, memantaskan diri untuk Brama sudah nyaris bagai obsesi dalam dirinya.

Dia melakukan semua yang Brama mau, menjadi sekretaris yang bisa diandalkan, menjadi kekasih yang sempurna yang bisa menjadi tempat  Brama  mendapatkan ketenangan.

Dengan harapan, kalau itu bisa mengurangi kesenjangan yang terbentang lebar di antara mereka berdua.

Sayangnya, sekarang dia harus menerima kenyataan, semua perjuangan itu sia-sia.  Brama tidak akan pernah bertunangan dengan anak pembantunya sendiri.

“Pertunangan itu nggak akan mengubah apapun di antara kita.” Tegas suara Brama tidak terbantahkan. Dia memilih memejamkan matanya, mengabaikan reaksi Rinjani.

Rinjani menghela napas panjang. Dia kenal Brama dan tahu pria itu tidak ingin melanjutkan pembicaraan di antara mereka.  

“Rinjani, bangunlah! Sudah waktunya berhenti bermimpi.           Kamu  hanya anak pembantu yang beruntung mendapatkan beasiswa di keluarga ini.  Brama tidak akan pernah serius denganmu,” batinnya pedih.

Semenjak kecil dia sudah mengenal Brama, sedari kecil dia tahu kalau Brama adalah tuan muda yang tidak terjangkau, sedangkan dia hanyalah anak pasangan pembantu di keluarga itu.

Dia yang tidak tahu diri, dibutakan cinta, dan berani berharap sesuatu  yang mustahil. Sakit ini, adalah akibat dari perbuatannya sendiri.

Rinjani berjalan menjauh dari Brama, hendak keluar dari ruangan itu. Saat itu tiba-tiba  pintu ruangan terbuka. Kiara masuk dengan langkah percaya diri, senyum tipis terukir di bibirnya.

“Bram, sorry aku ganggu pekerjaan kamu ya?” Dengan langkah riang, gadis cantik itu menghampiri Brama, dan langsung merangkul lengannya manja.

Rinjani menatap Kiara, lalu kembali ke Brama. Dia merasa seperti orang ketiga di ruangan itu. Hatinya hancur, tapi dia tidak mau menunjukkan kelemahannya di depan Kiara.

“Saya permisi dulu, Pak.” bisik Rinjani, suaranya hampir tidak terdengar. Dia mengambil dokumen dari atas meja dan berjalan keluar ruangan dengan langkah terburu-buru. Air matanya jatuh tanpa henti, tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin pergi dari sana, jauh dari Brama dan Kiara.

“Tunggu dulu!”

Rinjani benar-benar tidak ingin berbalik sekarang ini. Dia tidak ingin sisa harga diri yang berusaha dia bertahankan saat itu, tergerus bagai debu tidak berarti. Matanya masih berair dan dia tidak punya kepercayaan diri untuk menghadapi Kiara.

“Kamu ada perlu apa sama sekretarisku?” tanya Brama.  “Kamu datang ke sini untukku, atau untuknya?”

Langkah kaki Rinjani terpaku saat itu, dia tidak tahu harus berbalik atau pergi begitu saja, meninggalkan tempat yang untuknya terasa memuakkan itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gelora Cinta Pria Arogan   Uninterested

    Orangtuanya yang turun lebih dulu sudah menyambut Brama dengan sikap bingung. Rinjani bisa melihat dari dalam mobil bagaimana Brama menyapa mereka dengan hormat.Sementara itu, Radit mematikan mesin mobil dan langsung membuka bagasi belakang untuk membawa semua barang Rinjani.Dengan ragu, Rinjani ikut turun dari dalam mobil, dan melangkah kaku ke arah Brama. Dia tidak tahuh harus mengucapkan apa."Rinjani? Lama tidak bertemu," sapa Brama dengan nada datar yang sempurna, seolah mereka memang hanya kenalan biasa. Sebuah senyum tipis sopan terukir di bibirnya.Rinjani nyaris tersedak melihat akting pria itu. Dasar aktor ulung, pikirnya sambil memaksa senyum kaku. “Hai ....”Jadi, begini maksudnya mendekati orangtuanya tanpa memberitahu kalau mereka bersama?Mereka harus berbohong lagi?Sungguh Rinjani sudah lelah. Dia tahu, satu kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan lainnya, dan akhirnya sama sekali tidak baik.Masalah perceraiannya dengan Jagat adalah salah satu contohnya. Karena

  • Gelora Cinta Pria Arogan   146. Ketegangan Baru

    “Yu!” katanya, menatap putrinya tajam. “Masih ada yang kamu sembunyikan dari kami?”Dunia Rinjani seakan berhenti sejenak.Kepalanya berdenyut. Napasnya tercekat. Dia tahu, ini adalah kesempatannya untuk mengatakan ke orangtuanya kalau dia kembali bersama Brama. Namun, dia tidak berani.Aku cuma… nggak mau kalian jadi bahan gosip,” suara Rinjani pecah di ruang tamu yang terasa terlalu lengang.Pada akhirnya dia terlalu pengecut untuk mengakui itu dan mengatakan hal yang sejak tadi memberatkan hatinya. “Semua tetangga udah tahu aku menikah, kalau aku tiba-tiba pulang dan tinggal di rumah ini lagi, pasti mereka kepo. Mereka bakal nanya-nanya, bisik-bisik, ngasih tatapan aneh. Aku nggak mau kalian jadi jadi bahan omongan.”Karena orangtuanya menjual sarapan di pagi hari mereka dengan begitu mudahnya berbaur dengan tetangga sekitar tempat itu, dia tidak ingin kehadirannya menggangu kehidupan sehari-hari mereka."Kita tidak hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain!"Sementara ibunya m

  • Gelora Cinta Pria Arogan   145. Minggat!

    Apa semudah itu? Dia merasa tidak pernah berhasil membuat orangtuanya tenang. Dia tahu jelas, masalah ini akan membuat mereka kecewa kalau tahu, tapi dia masih melakukan itu.Ibu Jagat menghampirinya dan merangkulnya. Merasakan hangat pelukan itu, tangis Rinjani meledak tanpa bisa dia tahan.Tubuhnya gemetar, wajahnya basah, dan suaranya tertahan dalam sesenggukan yang bergetar."Mereka, mereka membenciku sekarang. Aku harus gimana, Ma?” gumamnya sembari sesegukan.Ibu Jagat membelai punggung Rinjani perlahan, menenangkannya seperti seorang ibu pada anaknya sendiri. “Ssst… tenang, sayang. Nggak ada orangtua yang benci anaknya. Mereka cuma butuh waktu untuk menenangkan diri.”“Mereka bilang nggak peduli lagi sama aku!" Rinjani tersedu-sedu.Ayah Jagat mendekat sambil membawa segelas air hangat. “Itu Cuma omongan orang emosi, jangan dimasukkan ke hati. Kasih mereka waktu untuk menenangkan diri.Rinjani menggeleng, matanya merah dan sembap. “Maaf, maaf membuat keributan kaya gini. Karena

  • Gelora Cinta Pria Arogan   144. Murka Ayah dan ibu

    Dia menatap Brama panik, Brama memegang tangan Rinjani, berusaha menenangkannya.“Bu, nggak usah dipikirkan. Itu bukan apa-apa.”“Yu, jangan bohong sama Ibu. Jangan disembunyikan kalau ada masalah.”Rinjani menghela napas panjang, mendadak dia lelah menutupi ini semua. Dia bisa memaksa Brama untuk tidak membongkar hubungan mereka, tapi dia tidak berhak untuk melarang Jagat dan Evie untuk ikutan sembunyi-sembunyi.“Bu, aku akan bawa Jagat untuk menjelaskan semuanya ke Ibu. Semua itu Cuma salah paham. Kalian nggak perlu khawatir.“Kamu serius?”“Iya, Bu. Aku masih di luar ini. Baru mau pulang, sudah dulu ya.”Dia buru-buru menyudahi pembicaraan itu karena tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya bisa menatap benda pipih di tangannya itu dengan pandangan melankolis.Seketika, suasana romantis malam itu buyar begitu saja.“Maaf, aku merusak suasana.”“Jangan dipikirkan. Bukan salah kamu.” Brama tidak ingin melihat Rinjani kecewa seperti itu. “Apa rencana kamu?”“Aku nggak tahu.” R

  • Gelora Cinta Pria Arogan   143. Ibu Curiga

    Radit yang baru saja tiba, langsung menegur Brama dengan nada tidak senang."Radit! Sopan santun!" tegur sang ibu.Radit menghela napas. "Maaf, Bu. Aku cuma terkejut." Brama tersenyum maklum. “Nggak Papa, Tante. Aku pamit dulu.” Dia menyalami keduanya sekali lagi dengan penuh sopan santun.Radit sampai terkejut melihatnya. “Biar aku yang antar ke depan.” Dengan gerakan kasar, Radit menyambar lengan Brama. "kita bicara di depan!”Brama membiarkan Radit menariknya menjauh dari sana.“Mbak Rinjani tahu kamu datang ke sini?” Radit bertanya dengan suara kecil saat mereka sudah jauh di gerbang rumah.“Nggak.” Kalau Rinjani tahu, dia tidak akan mengizinkan Brama datang, Brama tahu jelas itu.“Heh! Sudah kuduga! Mbak Rinjani nggak akan pernah setuju membiarkan ayah dan ibu tahu tentang kalian! Kamu bilang apa ke mereka?”Brama menatap pria di depannya itu tenang. Rasanya dia sangat jarang bicara dengan Radit, meski mereka pernah tinggal di tempat yang sama. “Kenapa kamu begitu an

  • Gelora Cinta Pria Arogan   142. Memohon Maaf Orangtua

    Kiara mengejar Rinjani dan mencegatnya."Tolong," desisnya, suara serak dari terlalu banyak menangis. "Aku bisa membayar saham itu. Papa nggak akan melepasnya. Kamu tahu itu!"Rinjani melepaskan genggaman Kiara dengan gerakan halus tapi tegas. "Kalau kamu ingin tetap berkarier, saham itu harus kembali."“Brama, please. Kamu tahu betapa papa menginginkan saham itu.’Di belakang mereka, Brama mengawasi dengan tangan di saku, wajahnya seperti topeng. "Kamu harus berterima kasih pada Rinjani," ujarnya dingin. "Tanpa dia, aku tidak akan memberikan pilihan ini sama sekali."Kiara terhuyung mundur seperti ditampar.Rinjani memandang Kiara dengan tatapan yang tidak menghakimi. "Kamu beruntung masih punya pilihan. Banyak orang kehilangan segalanya tanpa kesempatan untuk memperbaikinya."Kiara tertawa getir. "Kamu pikir tahu segalanya tentangku? Kamu nggak akan ngerti, perjuanganku untuk sampai di titik ini! Kamu dapat segalanya tanpa usaha!""Kamu pikir aku tidak berjuang?" Rinjani mengangkat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status