“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”
Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.
Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.”
“Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.
Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.
Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana.
Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh untuk keduanya. Tangannya bergerak fokus mengerjakan tugasnya.
“Brama, sore ini mama bakal ke rumah orangtua kamu untuk membicarakan tentang pertunangan itu. Tante sudah ngasih tahu kan?”
“Hmm. Nanti kita berangkat bareng.”
“Itu juga tujuanku datang ke sini. Mama bilang papa kamu minta pertunangan itu diadakan bulan depan, apa nggak terlalu buru-buru?”
“Semakin cepat pertunangan itu diadakan, semakin bagus.”
Prang!
Tangan Rinjani bergetar mendengar pembicaraan itu, sehingga saat dia mengangkat dua gelas itu tanpa sengaja teh panas itu tumpah mengenai lengannya.
“Aahh!”
Terkejut, Rinjani refleks melepaskan gelas itu, sembari meringis.
Rinjani dan Kiara langsung menatapnya.
“Hati-hati.” Kiara menatap dengan pandangan khawatir. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Rinjani menggelengkan kepalanya. “Maaf, saya nggak sengaja.”
“Bereskan itu semua dan segera keluar!” Dingin suara Brama membuat bahu Rinjani tersentak terkejut.
Rinjani menundukkan kepalanya sembari membereskan semua pecahan kaca itu, dengan perasaan campur aduk. Dia bahkan mengabaikan saat tangannya terkena pecahan kaca itu dan mulai mengeluarkan darah.
Sekarang, dia hanya ingin secepatnya keluar dari sini, tidak ingin lebih lama dipermalukann.
“Brama, nggak usah galak begitu. Dia juga nggak sengaja.”
Saat itu, hanya satu keinginan Rinjani, dia ingin menghilang dari sana, menjauh dari kemesraan Brama dan Kiara.
Setelah membereskan semuanya, dia segera keluar dari sana tanpa mengatakan apapun dan langsung pergi ke kamar mandi.
Dia tidak ingin siapapun melihatnya dalam keadaan berantakan seperti ini. Rinjani membilas tangannya di bawah air dalam diam. Bagian telapak tangannya mulai memerah terkena air panas, dan salah satu ujung jarinya masih terluka mengucurkan darah.
Rinjani kecewa pada dirinya sendiri, miris rasanya dia tidak bisa marah saat kekasihnya bertunangan dengan wanita lain.
Jauh dalam dirinya, Rinjani tahu dia merasa sangat rendah diri terhadap Brama. Di hubungan mereka, dia adalah pihak yang lemah karena posisinya dan juga karena dia lebih cinta.
Dia selalu merasa bagai mimpi saat Brama membalas perasaannya, sehingga dia tidak berani menentang pria itu. Semuanya selalu ikut kemauan Brama.
Bahkan saat Brama memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka dia hanya bisa menerima pasrah.
“Aku tidak ingin hubungan yang rumit, kalau kamu bisa jadi perempuan penurut dan nggak banyak drama, kita bersama.” Itu yang dikatakan Brama sebelum mereka memulai semuanya.
Sayangnya, saat itu Rinjani terlalu naif, dia kira dia akan bisa mencairkan kedinginan hati Brama, dan menjadi sosok spesial di hati pria itu.
Sayangnya, Rinjani harus dikecewakan. Semua sabar dan penantiannya terasa bagai lelucon.
“Waktunya bangun Rinjani, waktumu bermimpi sudah habis,” gumamnya menepuk wajah lembut, tapi air matanya terus mengalir tanpa bisa dia tahan.
Belum sempat Rinjani berhasil menata perasaannya ponselnya sudah berbunyi nyaring. Mata Rinjani melembut melihat nama penelepon di layar ponselnya.
“Halo, Bu.” Dia berusaha terdengar ceria, tidak ingin membuat ibunya khawatir.
“Halo, Yu kamu sore ini ke sini bisa?” tanyanya.
Rinjani memejamkan matanya, perih. Apa boleh dia menolak? Bisa, bu. Nanti sore, Aku ke sana.”
“Yu, kamu baik-baik saja, kan?” Mendengar nama panggilannya dipanggil dengan nada lembut itu membuat Rinjani tercekat lagi. Air mata kembali mengumpul di pelupuk matanya.
“Iya, Bu. Ayu baik-baik saja, kok.”
“Beneran loh ya? Kalau ada masalah, cerita sama ibu.”
“Nggak kok buk. Nanti sore kita bicara lagi ya, aku harus balik kerja lagi.” Rinjani dengan cepat mengakhiri pembicaraan itu takut dia tidak mampu lagi menahan diri.
Setelah lima belas menit di kamar mandi Rinjani baru merasa dirinya jauh lebih stabil, dia menegakkan tubuhnya dan memasang senyum profesional di wajahnya.
Meski seharian itu dia tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, tapi setidaknya tidak boleh ada yang melihat kesedihannya.
Rinjani melangkah pelan menuju rumah keluarga Abiyasa. Rumah itu megah, dengan pagar tinggi yang seolah memisahkan dunia mereka dengan dunia luar. Di halaman depan, dia melihat ayahnya sedang asyik mencuci mobil mewah milik keluarga itu. Ayahnya menoleh, tersenyum lebar saat melihat Rinjani mendekat.
"Yu, kamu sudah sampai?" sapa ayahnya, suaranya ramah namun terasa lelah.
"Iya, Yah. Ayah capek? Ayu bantu ya?” Setelah menyalami ayahnya sopan, Rinjani berusaha mengambil kain lap itu dari tangan ayahnya.
“Eh, nggak usah. Nanti baju kamu basah. Ini juga sudah mau selesai. Ayah Cuma bersihkan yang satu ini saja. Kamu ke belakang sana. Ibuk sudah tunggu.”
Karena ayahnya terus menolak, Rinjani akhirnya tidak lagi bersikeras, setelah berbincang sejenak dengan ayahnya dia langsung bergegas ke belakang.
Dari sana ada pintu belakang yang langsung berhubungan dengan dapur. Di mana ibunya tengah sibuk masak di sana bersama dengan beberapa orang pembantu lain.
“Rinjani datang? Makin cantik saja, apa kabar?”
Rinjani membalas semua yang menyapanya dengan senyum ramah. Dia juga besar di rumah ini bersama dengan semua pembantu lain. Jadi hubungannya dengan mereka sudah sangat dekat.
Rinjani menyalami ibunya, lalu menyingsingkan lengan bajunya hendak membantu ibunya.
“Ini masukkan ke dalam rantang. Nanti bawakan untuk adikmu.”
“Iya, Bu.”
Dengan patuh, dia melakukan perintah ibunya itu. “Ini masaknya banyak banget. Memangnya ada acara nanti?” tanyanya basa-basi.
“Nanti malam, keluarga calon tunangan Mas Brama datang. Mau membicarakan masalah pertunangan mereka katanya.”
Deg!
“Sudahlah, kamu nggak perlu ngerti. Aku juga nggak pernah mengomentari pertunangan kamu dengan Kiara kan?”Rinjani mengabaikan kebingungan Brama, dan memutuskan untuk fokus ke ponselnya, menjawab beberapa email dari klien dan membalas pesan masuk dari pegawainya soal pekerjaan.Melihat Rinjani tidak berniat lagi membahas masalah itu, Brama juga akhirnya memutuskan untuk diam.Hubungan mereka baru saja membaik, Brama tahu kalau sekarang Rinjani masih akan condong membela Jagat saat ini.Tetapi, teringat Kiara, Brama menyadari kalau dia masih belum menyelesaikan urusannya dengan gadis itu.Sepertinya dia tidak bisa menunda lagi untuk menyelesaikan masalah ini.Sampai jam makan siang, mereka berdua tidak banyak lagi berbicara. Ada keheningan yang familiar menyelingkupi keduanya.Rinjani merasa mereka seperti kembali ke masa-masa dulu, saat mereka masih bersama. Tidak ada pembicaraan kosong dan kalimat gombal seperti pasangan pada umumnya. Mereka lebih suka menghabiskan waktu bersa
“Itu adalah syarat dariku! Kalau kamu bisa terima, silahkan. Kalau nggak, aku juga nggak masalah! Aku yakin, Jagat masih bisa menyelesaikan masalah ini!”Brama mengamati Rinjani dengan tatapan tidak sabar, bibirnya mengerut dalam kebingungan. Dia masih tidak mengerti. Ini bukan sesuatu yang baru antara dia dengan Rinjani.“Nggak kaya, belum pernah juga!”gerutunya.Di saat yang sama ada kemarahan yang menggelegak dalam dadanya. Rasa cemburu yang mengancam hendak meledak keluar. Apa Rinjani sebegitu ingin menjaga tubuhnya untuk Jagat?Rinjani menghindari kontak mata. “Apa yang kita lakukan itu salah! Dan aku nggak mau mengulanginya lagi.”Tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah dia buat. Tidak mengulangi itu, tidak akan membuat dia kembali suci, tapi Rinjani ingin menghargai dirinya sendiri.Belajar mencintai dirinya sendiri dengan benar, sembari berbenah hati sebelum mulai membuka hati lagi untuk hubungan yang baru.Brama tersenyum t
***Dua hari berlalu dan Rinjani masih belum bisa menemukan waktu yang tepat untuk saat mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. Semakin hari kehamilan itu semakin besar, dan karena perkembangan yang terhambat di awal, dokter menyarankan Evie untuk kontrol lebih sering.Jagat masih belum bisa menemani Evie karena sibuk, sehingga sebagai gantinya Rinjani yang menemani. “Kamu nggak perlu menemani aku, aku bisa sendiri. Nggak enak merepotkan kamu.”“Nggak papa. Aku hari ini lagi kosong, kok. Tenang saja.” Rinjani tidak mengatakan dia sengaja mengosongkan jadwalnya untuk menemani Evie. Kesulitan yang dialami Jagat sekarang adalah karena dia. “Aku malah merepotkan semua orang. Padahal aku juga bilang ke Jagat kalau aku nggak perlu ditemani.” “Jagat kaya gitu karena dia peduli sama kamu.” Rinjani membiarkan Evie duduk di salah satu kursi yang masih kosong di sana, sedangkan dia sendiri berdiri. Di depan mereka sudah ada beberapa ibu hamil juga yang menunggu jadwal kontrol.Se
“Percayalah. Brama nggak akan semudah itu melepaskanmu. Kamu sudah menikah saja dia masih bersikeras.”“Tapi itu bukan alasan kamu untuk menantang Brama kaya gitu! Kamu nggak tahu apa saja yang bisa dia lakukan!”Rinjani ingin sekali membenturkan kepalanya ke jendela sekarang. Dia tidak mengerti kenapa laki-laki suka sekali mendeklarasikan perang seperti ini.Apakah adu ego antar laki-laki itu sebegitu pentingnya? “Aku tahu.” Jagat tersenyum tipis. “Tapi setelah semua yang kamu lakukan untukku dan keluargaku setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuk kamu kan?” Kening Rinjani berkerut, tidak mengerti maksud Jagat."Aku akan membantumu melihat apakah Brama benar-benar serius denganmu.”Rinjani mengangkat alis. "What? Nggak perlu, makasih.”Dia bergidik membayangkan kemungkinan itu. “Percayalah, kamu dan Brama nggak akan berakhir semudah itu. Dia bukan orang yang mudah menyerah.”“Kamu memangnya kenal dia?”Jagat terkekeh mendengar itu. “Saranku hanya satu, jangan terlalu cepat
Evie menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku nggak akan melakukan itu, Rin. Aku nggak bisa terima kamu mengalah seperti ini."Rinjani tersenyum kecil. "Pernikahan kami hanya siri, Evie. Mungkin lebih baik juga kalau nggak banyak orang yang tahu. Jadi aku bisa berpura-pura tidak pernah menikah?" candanya. “Rin ....”“Vie, situasinya sudah begini. Ini adalah yang terbaik. Nggak ada hal sempurna yang mungkin terjadi. Kalau kamu terus ragu begini, kamu malah akan terkesan munafik.” Evie terdiam, matanya berkaca-kaca. Rinjani dengan lembut mengalihkan pembicaraan. "Lupakan soal itu. Hari ini aku mau creambath, mau ikut?"Wajah Evie langsung berbinar. Dia tidak menyangka Rinjani akan mengajaknya. "Mau! Aku mau.Sepanjang hari itu, Rinjani dengan sabar menemani Evie. Setelah creambath, mereka berbelanja pakaian hamil di department store, di mana Rinjani dengan teliti membantu memilih model yang nyaman sekaligus stylish. "Ini bagus, bahannya stretchy tapi nggak panas," ujarnya sambil
Brama terdiam, Rinjani bukan tidak menjelaskan padanya semua alasan itu. Namun, dia tidak bisa mengerti. Dia tidak melihat semua masalah yang dikatakan Rinjani itu.“Di awal, kamu takut Om akan macam-macam ke Rinjani dan keluarganya makanya kamu menyembunyikan semuanya, jadi sekarang kamu merasa kalian nggak ada halangan lagi, tapi untuk Rinjani, rintangan kalian masih begitu besar.” “Aku bisa menyelesaikan semua masalah itu.”Untuk Brama yang ada hanya mau dan tidak mau. Bukan tidak bisa. Dia tidak pernah memikirkan untuk menikahi Rinjani sebelum ini, karena tidak pernah terlintas di kepalanya kalau Rinjani akan meninggalkannya.Ternyata dia salah. Sekarang dia tahu kalau dia ingin bersama gadis itu, jadi apapun halangan yang ada dia siap menghadapinya.Kevin menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membuat Brama mengerti. "Brama, kamu harus pahami alasan Rinjani menolakmu. Hanya dengan begitu kamu bisa menemukan cara yang benar untuk meyakinkannya."