Beranda / Romansa / Gelora Cinta Pria Arogan / 2. Hanya anak Pembantu

Share

2. Hanya anak Pembantu

Penulis: Neza Visna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-12 19:58:44

“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”

Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu  bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama.  “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku  dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.

Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.” 

“Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.

Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja  di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi   Brama dan juga Kiara dia  merasa sedikit lebih tenang.

Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga  di salah satu sudut ruangannya dibuat  bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana. 

Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh untuk keduanya.  Tangannya bergerak fokus  mengerjakan tugasnya.

“Brama,  sore ini mama bakal ke rumah  orangtua kamu untuk membicarakan tentang pertunangan itu.  Tante sudah ngasih tahu kan?”

“Hmm. Nanti kita berangkat bareng.”

“Itu juga tujuanku datang ke sini. Mama bilang papa kamu minta pertunangan itu diadakan bulan depan, apa nggak terlalu buru-buru?”

“Semakin cepat pertunangan itu diadakan, semakin bagus.” 

Prang!

Tangan Rinjani bergetar mendengar pembicaraan itu, sehingga saat dia mengangkat dua gelas itu tanpa sengaja teh panas itu tumpah mengenai lengannya.

“Aahh!”

Terkejut, Rinjani refleks melepaskan gelas itu, sembari meringis. 

Rinjani dan Kiara langsung menatapnya.

“Hati-hati.”  Kiara menatap dengan pandangan khawatir. “Kamu nggak apa-apa, kan?”

Rinjani menggelengkan kepalanya. “Maaf, saya nggak sengaja.”

“Bereskan itu semua dan segera keluar!”  Dingin suara Brama membuat bahu Rinjani   tersentak terkejut.  

Rinjani menundukkan kepalanya sembari membereskan semua pecahan kaca itu, dengan perasaan campur aduk.   Dia bahkan mengabaikan saat tangannya terkena pecahan kaca itu dan mulai mengeluarkan darah.

Sekarang, dia hanya ingin secepatnya keluar dari sini, tidak ingin lebih lama dipermalukann.

“Brama, nggak usah galak begitu. Dia juga nggak sengaja.”  

Saat itu, hanya satu keinginan Rinjani, dia ingin menghilang dari sana, menjauh dari kemesraan Brama dan Kiara. 

Setelah membereskan semuanya, dia segera keluar dari sana tanpa mengatakan apapun dan langsung pergi ke kamar mandi.

Dia tidak ingin siapapun melihatnya dalam keadaan berantakan seperti ini. Rinjani membilas tangannya di bawah air dalam diam. Bagian telapak tangannya mulai memerah terkena air panas, dan salah satu ujung jarinya masih terluka mengucurkan darah.

Rinjani  kecewa pada dirinya sendiri, miris rasanya dia tidak bisa marah saat kekasihnya bertunangan dengan wanita lain.

Jauh dalam dirinya, Rinjani tahu dia merasa sangat rendah diri terhadap Brama. Di hubungan mereka, dia adalah pihak yang lemah karena posisinya dan juga karena dia lebih cinta.

Dia selalu merasa bagai mimpi saat Brama membalas perasaannya, sehingga dia  tidak berani menentang pria itu.  Semuanya selalu ikut kemauan Brama.

Bahkan saat Brama memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka dia hanya bisa menerima pasrah.

“Aku tidak ingin hubungan yang rumit, kalau kamu bisa jadi perempuan penurut dan nggak banyak drama,  kita bersama.”  Itu yang dikatakan Brama sebelum mereka memulai semuanya.

Sayangnya, saat itu Rinjani  terlalu naif, dia kira dia akan bisa mencairkan kedinginan hati Brama, dan menjadi sosok spesial di hati pria itu.

Sayangnya, Rinjani harus dikecewakan. Semua sabar dan penantiannya terasa bagai lelucon.

“Waktunya bangun Rinjani,  waktumu bermimpi sudah habis,” gumamnya menepuk wajah lembut, tapi air matanya terus mengalir tanpa bisa dia tahan.

Belum sempat Rinjani berhasil menata perasaannya ponselnya sudah berbunyi nyaring.  Mata Rinjani melembut melihat nama penelepon di layar ponselnya.

“Halo, Bu.”  Dia berusaha terdengar ceria, tidak ingin membuat ibunya khawatir.

“Halo,  Yu kamu sore ini ke sini  bisa?” tanyanya.

Rinjani memejamkan matanya, perih. Apa boleh dia menolak? Bisa,  bu. Nanti sore, Aku ke sana.”

“Yu, kamu baik-baik saja, kan?”  Mendengar nama panggilannya dipanggil dengan nada lembut itu membuat Rinjani tercekat lagi. Air mata kembali mengumpul di pelupuk matanya.

“Iya, Bu. Ayu baik-baik saja, kok.”

“Beneran loh ya? Kalau ada masalah, cerita sama ibu.”

“Nggak kok buk. Nanti sore kita bicara lagi ya, aku harus balik kerja lagi.” Rinjani dengan cepat mengakhiri pembicaraan itu takut dia tidak mampu lagi menahan diri.

Setelah lima belas menit di kamar mandi Rinjani baru merasa dirinya jauh lebih stabil, dia menegakkan tubuhnya dan memasang senyum profesional di wajahnya. 

Meski seharian itu dia tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, tapi setidaknya tidak boleh ada yang  melihat kesedihannya.

Rinjani melangkah pelan menuju rumah keluarga Abiyasa. Rumah itu megah, dengan pagar tinggi yang seolah memisahkan dunia mereka dengan dunia luar. Di halaman depan, dia melihat ayahnya sedang asyik mencuci mobil mewah milik keluarga itu. Ayahnya menoleh, tersenyum lebar saat melihat Rinjani mendekat.

"Yu, kamu sudah sampai?" sapa ayahnya, suaranya ramah namun terasa lelah.

"Iya, Yah. Ayah capek? Ayu bantu ya?” Setelah menyalami ayahnya sopan, Rinjani berusaha mengambil kain lap itu dari tangan ayahnya.

“Eh, nggak usah. Nanti baju kamu basah. Ini juga sudah mau selesai. Ayah Cuma bersihkan yang satu ini saja. Kamu  ke belakang sana. Ibuk sudah tunggu.”

Karena ayahnya terus menolak, Rinjani akhirnya tidak lagi bersikeras, setelah berbincang sejenak dengan ayahnya dia langsung bergegas ke belakang.

Dari sana ada pintu belakang yang langsung berhubungan dengan dapur. Di mana ibunya tengah  sibuk masak di sana bersama dengan beberapa orang pembantu lain.

“Rinjani datang? Makin cantik saja, apa kabar?”

Rinjani membalas semua yang menyapanya dengan senyum ramah. Dia juga besar di rumah ini bersama dengan semua   pembantu lain. Jadi hubungannya dengan mereka sudah  sangat dekat.

Rinjani menyalami ibunya, lalu menyingsingkan lengan bajunya hendak membantu ibunya.

“Ini masukkan ke dalam rantang. Nanti bawakan untuk adikmu.”

“Iya, Bu.”

Dengan patuh, dia melakukan perintah ibunya itu. “Ini masaknya banyak banget. Memangnya ada acara nanti?” tanyanya basa-basi.

“Nanti malam,  keluarga calon tunangan Mas Brama datang. Mau membicarakan masalah pertunangan mereka katanya.”

Deg!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gelora Cinta Pria Arogan   152. Ayah di Rumah Sakit

    “Ma.”Hari sudah malam saat Brama masuk ke rumah ibunya. Dia sama sekali tidak pulang dulu ke rumah dan masih menggunakan sepeda motor yang tadi dia bawa.“Yang datang, kamu? Kamu bawa motor?”Ibunya langsung berdiri dan berjalan keluar. Dia nyaris melotot melihat sepeda motor di depan rumah itu.“Dari mana kamu? Mama nggak tahu kamu ada hobi begini?”“Dari tempat Rinjani. Bukan hobi, Cuma mau coba sesuatu yang baru.” Itu hanyalah sepeda motor yang diberikan salah seorang teman, yang membuka showroom motor gede. Dia memberikan satu ke Brama karena Brama membantu permodalan tempat itu.Tetapi benda itu udah tergeletak begitu saja di parkiran apartemennya tanpa pernah dipakai. Hingga akhirnya Brama memakainya hari ini karena ingin mencoba sesuatu yang baru, bersama Rinjani.Ibunya melotot kesal menatap Brama. “Brama! Rinjani lagi, Rinjani lagi! Mama nggak pernah sangka anak mama akan diperbudak cinta seperti ini!”“Ma, Rinjani sudah cerai sekarang. Nggak ada lagi alasan aku nggak bis

  • Gelora Cinta Pria Arogan   151. Pagi Manis Berdua

    Ayah Rinjani akhirnya bicara, “Kami tahu siapa kamu, Brama. Dan kami tahu, kadang seseorang tidak bisa memilih dari keluarga mana dia lahir.”Brama menunduk hormat. “Terima kasih, Om, Tante.” Dia benar-benar kecewa dan frustrasi dengan keadaan ini.Di saat dia kira semuanya berjalan lancar, ada saja halangan yang membuat semuanya kacau.Ibu Rinjani menatap putrinya, lalu Brama, kemudian suaminya. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak satu pun kata keluar. Hanya napas pelan yang ditarik, kemudian dihembuskan perlahan seolah mencoba menurunkan segala gejolak emosi.Rinjani sendiri masih diam. Emosinya seperti dikeruk habis, marah, malu, lega, sakit hati, semuanya berdesakan seperti tamu tak diundang. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.Ayahnya yang lebih dulu bersuara.“Masuklah dulu,” ucapnya singkat sambil berbalik, lalu berjalan ke dalam.Brama ingin menyusul, tapi tangan ibu Rinjani tiba-tiba terangkat menghentikannya. Bukan kasar, tapi tegas.“Ini sudah mala

  • Gelora Cinta Pria Arogan   150. Semua yang Terjadi

    ***“Ini aku bawa ayam bakar. Kata Andre, enak, tapi sambelnya cukup pedas.”“Thanks.”Rinjani hanya bisa menerima makanan yang dibawa Brama itu dengan ekspresi wajah canggung. Ini adalah hari ke sekian pria itu datang ke rumahnya setelah jujur ke orangtuanya kalau ingin mendekatinya.Untuk kesekian kalinya juga, Rinjani belum memiliki keberanian untuk mengaku jujur ke orangtuanya.Rinjani tahu, ia sedang bermain api. Menunda pembicaraan hanya akan membuat bom waktu dalam dirinya makin besar. Tapi ia belum siap. Belum sanggup melihat bagaimana ekspresi ayah dan ibunya jika tahu bahwa ia diam-diam menjalin hubungan kembali dengan Brama. Hubungan yang mereka anggap berbahaya. Hubungan yang dulu membuat keluarganya harus menundukkan kepala dan menanggung malu di depan keluarga Brama.Namun Brama tidak seperti dulu. Ia datang bukan hanya dengan janji. Tapi juga dengan tindakan. Ia mengunjungi rumah, menyapa orangtuanya, dengan sangat ramah.Bahkan memuji masakan ibunya meski dia kuran

  • Gelora Cinta Pria Arogan   149. Tanpa Paksaan

    “Aku nggak mau bohong lagi,” ucap Rinjani lirih, duduk di hadapan kedua orangtuanya di ruang tamu. Malam itu udara terasa berat, seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka."Sebenarnya sebelum bercerai, Brama mencoba bicara tapi dia baru serius waktu aku tahu aku pisah tadi.” Rinjani berusaha membentuk citra baik Brama di depan orangtuanya.Dia ingin perlahan jujur pada orangtuanya kalau kemungkinan dia dan Brama itu kembali sama sekali tidak tertutup.Orangtuanya saling pandang. Ayahnya menghela napas panjang sebelum berbicara dengan suara yang tak biasa lembut."Nak, tidak semua cinta harus berakhir di pelaminan. Kegagalan ini harus jadi pelajaran."Rinjani menatap ibunya Kata-kata itu begitu pelan tapi seperti hantaman. Ia tahu, maksud Ibu bukan untuk meremehkan perasaannya, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal rasa, tapi juga pilihan dan konsekuensi.“Ibu dan ayah cuma berharap,” sambung ayah dengan suara berat, “kegagalan kemarin bisa bikin kamu lebih ha

  • Gelora Cinta Pria Arogan   148. Hati ke Hati

    Brama tak segera menjawab. Dia menatap lurus ke mata ayah Rinjani."Aku bisa, Om!" Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan baja. "Selama Rinjani menerimaku, status apapun itu, aku nggak masalah." Ibu Rinjani meletakkan tangannya di paha. "Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka merestui hubungan ini?"Mereka masih mengingat jelas, reaksi orangtua Brama saat tahu tentang hubungan itu. Mudah dibayangkan, kalau mereka tidak akan dengan mudah berubah pikiran.Brama menghela napas halus. "Mama sduah membebaskan pilihanku." Ada jeda singkat sebelum dia melanjutkan, "Dan papa ... pendapatnya tidak mempengaruhi keputusanku."Radit yang duduk di sudut ruangan mengangkat alis. "Wah, berani sekali." Ada nada sindiran di suaranya.Sikap Radit terhadap Brama memang masih sangat ambigu. Terkadang, dia terkesan mendukung Brama, tapi terkadang masih terasa kalau dia belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan Brama di hidup Rinjani.Setelah membangun sendiri usahanya dia semakin sadar betapa jauh

  • Gelora Cinta Pria Arogan   147. Uninterested

    Orangtuanya yang turun lebih dulu sudah menyambut Brama dengan sikap bingung. Rinjani bisa melihat dari dalam mobil bagaimana Brama menyapa mereka dengan hormat.Sementara itu, Radit mematikan mesin mobil dan langsung membuka bagasi belakang untuk membawa semua barang Rinjani.Dengan ragu, Rinjani ikut turun dari dalam mobil, dan melangkah kaku ke arah Brama. Dia tidak tahuh harus mengucapkan apa."Rinjani? Lama tidak bertemu," sapa Brama dengan nada datar yang sempurna, seolah mereka memang hanya kenalan biasa. Sebuah senyum tipis sopan terukir di bibirnya.Rinjani nyaris tersedak melihat akting pria itu. Dasar aktor ulung, pikirnya sambil memaksa senyum kaku. “Hai ....”Jadi, begini maksudnya mendekati orangtuanya tanpa memberitahu kalau mereka bersama?Mereka harus berbohong lagi?Sungguh Rinjani sudah lelah. Dia tahu, satu kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan lainnya, dan akhirnya sama sekali tidak baik.Masalah perceraiannya dengan Jagat adalah salah satu contohnya. Karena

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status