Brama terdiam, Rinjani bukan tidak menjelaskan padanya semua alasan itu. Namun, dia tidak bisa mengerti. Dia tidak melihat semua masalah yang dikatakan Rinjani itu.“Di awal, kamu takut Om akan macam-macam ke Rinjani dan keluarganya makanya kamu menyembunyikan semuanya, jadi sekarang kamu merasa kalian nggak ada halangan lagi, tapi untuk Rinjani, rintangan kalian masih begitu besar.” “Aku bisa menyelesaikan semua masalah itu.”Untuk Brama yang ada hanya mau dan tidak mau. Bukan tidak bisa. Dia tidak pernah memikirkan untuk menikahi Rinjani sebelum ini, karena tidak pernah terlintas di kepalanya kalau Rinjani akan meninggalkannya.Ternyata dia salah. Sekarang dia tahu kalau dia ingin bersama gadis itu, jadi apapun halangan yang ada dia siap menghadapinya.Kevin menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membuat Brama mengerti. "Brama, kamu harus pahami alasan Rinjani menolakmu. Hanya dengan begitu kamu bisa menemukan cara yang benar untuk meyakinkannya."
Brama membuka matanya saat mendengar suara Rinjani. “Kamu di sini?” tanyanya terkejut. Dia berusaha bangkit duduk dan bersandar di belakang tempat tidurnya.“Pelan-pelan!” Rinjani refleks membantu Brama saat melihat pria itu kesulitan dengan selang infus di tangannya.Rinjani tidak tahu apa yang terjadi dengan hidupnya, sampai dia jadi sangat sering ke rumah sakit beberapa waktu ini. “Apa sebenarnya yang ada di pikiran kamu?” gumamnyaRinjani menatap Brama dengan pandangan tak percaya. Perutnya mual memikirkan bagaimana pria itu nekat menyiksa diri sendiri hanya untuk membuktikan sesuatu yang menurutnya sama sekali tidak masuk akal."Kamu pikir ini lucu? Kamu bukan anak remaja lagi Brama!" suara Rinjani bergetar antara marah dan frustrasi. "Makan makanan pedas sampai masuk rumah sakit?!”Brama yang masih terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit justru tersenyum tipis. "Aku mau mencoba sesuatu yang kamu suka. Aku juga bisa berkorban untuk kamu."Rinjani menggelengkan kepala. "
Brama sungguh tidak tahu lagi untuk mengatakan apa agar gadis itu memberikannya kesempatan. Rasanya kesempatan itu begitu dekat di depan mata, saat dia tahu apa yang terjadi pada Jagat. Namun, Rinjani bilang mereka sudah tidak mungkin? Selagi Brama tenggelam dalam pikirannya, Rinjani sudah berbalik dan hendak menjauh dari sana.Brama kembali menahan Rinjani. Dia tidak bisa terima pembicaraan mereka berhenti berakhir di sana begitu saja.“Aku harus apa, supaya kamu mau mencoba lagi?”Rinjani menghela napas panjang. Pria di depannya ini benar-benar keras kepala dan dia tidak tahu lagi harus mengatakan apa agar Brama mengerti.Rinjani menarik napas dalam. "Kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, Bram. Apakah kamu benar-benar mencintai aku, atau hanya nyaman dengan semua perhatian yang selalu kuberikan padamu?" Suaranya bergetar pelan.“Kamu pikir, aku akan berbuat sejauh ini kalau aku nggak yakin?” "Kalau aku tidak lagi memusatkan seluruh hidupku untukmu, setelah kita bersama, ap
Brama terlihat kikuk mendengar pertanyaan itu. “Bukan itu maksudku! Apa kamu yakin dia juga mau dimadu?” Pria itu menyesali sikapnya yang tidak bisa menahan emosi dan malah menyulut amarah Rinjani. Dia tahu, dia tidak bisa untuk memaksa Rinjani saat ini, itu hanya akan membuat gadis itu semakin menghindarinya. Tujuannya, bukan itu. Brama berharap gadis itu akan meninggalkan pria itu dan memilihnya.“Itu akan menjadi urusan kami. Kami akan menyelesaikannya dengan baik-baik.” Brama tertawa jengkel. “Kalau memang kamu bersedia di madu, kenapa aku tidak punya pilihan itu?” tanyanya marah.Egonya sebagai laki-laki terluka mendengar itu. Dia sudah berusaha meminta kesempatan bahkan nyaris memohon, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Namun, wanita itu memilih untuk dimadu dibanding memberinya kesempatan. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, kenapa Rinjani menolak memberinya kesempatan itu? Bukankah gadis itu sudah sangat lama mencintainya? Sekarang
Rinjani memutar bola matanya malas, dia skeptis mendengar hal semacam itu. Seorang Brama?Entah dia sadari atau tidak, Rinjani dengan sengaja mengabaikan fakta, kalau Brama memang sudah bersikap aneh semenjak hubungan mereka berakhir.Rinjani menggeleng-gelengkan kepala. "Aku nggak mau memikirkannya sekarang. Ayo sarapan, perutku keroncongan."“Oke.” Setelah membersihkan diri dan berias sederhana, keduanya langsung menuju ke restoran yang ada di tempat itu.Di area sarapan, suasana tenang tiba-tiba berubah ketika Rinjani melihat sosok familiar duduk di meja tak jauh dari mereka. Brama, dengan setelan kasual yang tetap terlihat mahal, dan Kevin, yang selalu setia menemani pria itu.Kevin langsung menyapa. "Rinjani! Selamat pagi!"Rinjani memaksakan senyum. "Pagi, Kevin. Kalian ngapain di sini?" tanyanya heran.Kevin menatap Brama yang tetap diam, lalu tergagap. "Oh itu, kami ada urusan bisnis di sini.”Rinjani mengerutkan kening. "Di sini?"Dia tidak melihat ada proyek yang cukup
Brama mengabaikan jawaban ketus itu dan memilih menatap Rinjani seksama. “Dia sudah benar-benar mabuk. Biar kubawa ke kamarnya.”Brama mencoba mendekat, tapi Celia melangkah maju menghalangi. "Biar aku yang membantu dia.”Brama mulai mengerutkan kening, terganggu dengan semua gangguan dari sahabat Rinjnai itu."Aku cuma mau bantu. Dia hampir jatuh dari kursi," Brama membela diri.Rinjani tiba-tiba tertawa keras. "Aku gaperlu bantuan siapa-siapa! Aku kuat!"Tapi tubuhnya bergoyang, dan Brama refleks menahan lengannya. Rinjani memandangnya, matanya berkaca-kaca.“Eh, Brama? Ngapain di sini?” tanyanya dengan suara tinggi. Tangannya menyentuh wajah pria itu seenaknya. “Aku salah lihat nggak sih? Nggak mungkin dia di sini, kan?”Celia menepuk jidatnya lelah. “Heh, salah aku bawa kamu minum.” Rinjani benar-benar terlalu awam dengan minuman beralkohol itu dan daya tahannya sama sekali tidak kuat.“Kita ke kamar sekarang!” Dia takut semakin lama di sini, Rinjani akan semakin men
Cepat atau lambat, dia harus keluar dari rumah ini. Kosan akan jadi pilihan yang jauh lebih ekonomis untuknya yang baru merintis dan tinggal sendirian tanpa perlu space yang terlalu lebar.Karena sesungguhnya dia tidak terbiasa tinggal di tempat luas sendirian.Keesokan harinya, saat sarapan, ibu Jagat memperhatikan Rinjani yang terlihat lebih pendiam dari biasanya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut.Rinjani mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis. "Aku baik, Ma ... Tante. Hanya memikirkan beberapa hal."Dia mengubah panggilannya dengan canggung karena tidak tahu harus mengatakan apa.“Tetap panggil, Mama saja. Kamu nggak perlu mengubah apapun. Papa sudah bilang kan dia menganggap kamu seperti anaknya sendiri. Mama juga gitu.”Mata Rinjani sudah terasa panas tapi dia memilih untuk menahan tangisannya sekuat tenaga. “Dari dulu, mama sudah menginginkan anak perempuan, siapa sangka akhirnya mama dapatkan dengan cara begini. Jalan hidup kadang memang nggak bisa ditebak.
Mendengar itu, wajah Rinjani berubah pucat, matanya membesar dengan ekspresi ngeri. "Tidak!" bantahnya tegas, menarik tangannya kembali. "Aku nggak pernah berminat sama sekali dengan harta Jagat, Ma! Jangan membuatku takut!" Dadanya naik turun, suaranya gemetar. Kalimat itu jauh lebih mengejutkan untuknya dibanding saat Jagat memutuskan untuk bercerai dengannya.“Rin, jangan menolak. Ini adalah hak kamu.”"Ma aku Cuma mau semuanya selesai dengan cepat." Rinjani berusaha meyakinkan mertuanya itu. “Masalah harta hanya akan jadi beban baru untukku.”Uang yang diberikan Jagat di awal saja sudah cukup untuk membuatnya merasa tidak enak pada pria itu, kalau ditambah lagi dia tidak akan mampu menerimanya.Ibu Jagat terkejut melihat reaksinya. "Rinjani, jangan terlalu baik. Ambil apa yang menjadi hak kamu. Kamu sudah dirugikan, masa nggak mau ambil apa-apa. Gimana juga, itu akan berguna untuk kamu ke depannya.”"Aku tidak kehilangan apa-apa, Bu," Rinjani memotong, suaranya lebih lembut
Ibu Jagat menatap lekat gadis muda di depannya itu. “Aku salah menilaimu. Dan memaksa Jagat meninggalkanmu tanpa alasan yang benar."Ucapan itu mengejutkan Evie, dia tidak menyangka kalau ibu Jagat itu akan mengatakan hal semacam itu.Dia sudah bersiap dengan segala makian dan kalimat menyakitkan yang mungkin diucapkan oleh wanita itu.Siapa sangka, ibu Jagat itu jauh lebih kooperatif dari yang dia kira.Mata wanita paruh baya itu. . "Kalau kamu ingin marah, marahlah padaku. Jagat tidak bersalah dalam hal ini. Dia hanya terpaksa mengikuti keegoisanku."Evie menghela napas. "Sudahlah, Tante. Aku bisa mengerti alasan Jagat melakukan itu, tapi itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah menyerah dengan hubungan kami dan sudah menikahi Rinjani. Di antara kami tidak akan ada hubungan selain sebagai orangtua anak ini.”“Vie, kenapa kamu terus bicara itu? Kita sudah sepakat untuk menemui orangtua kamu kan?”Jagat tidak bisa menahan diri untuk menghampiri mereka setelah mendengar tanggapa