Deg!
Rinjani tertegun, mendengar itu.
“Siapa yang bilang begitu?”
Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.
“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”
“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya.
"Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”
Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"
Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”
Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara terus berbicara.
“Mungkin, ada baiknya kamu lebih sadar diri? kamu pikir, kamu itu something Cuma karena kamu sudah kenal Brama lama? Brama nggak akan mungkin serius denganmu. Kamu tahu itu.”
Semakin lama, ucapan Kiara semakin menyakitkan. Perempuan cantik itu tidak menyadari tatapan Rinjani padanya semakin tajam.
"Atau jangan-jangan, keluargamu yang mengajarimu seperti ini? Kamu memafaatkan kebaikan hati Brama dan keluarganya untuk merayu Brama? berharap kamu menikahi orang kaya agar bisa mengangkat derajat mereka? Betapa menyedihkan."
Cukup!
Tanpa berpikir lebih lama, Rinjani mengayunkan tangannya dan menampar wajah Kiara dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat Kiara terperangah.
“Kamu berani menamparku?”
“Jaga mulutmu! Aku tidak peduli kalau kamu hanya menghinaku, tapi jangan pernah sebut orangtuaku dengan mulut kotormu itu!”
Telunjuk Rinjani tertuju ke wajah Kiara tajam. Mata Rinjani penuh dengan amarah. Dia Napasnya tersenggal berusaha menahan emosinya.
Kiara murka dan mengangkat tangannya, hendak membalas.
Namun sebelum Kiara sempat bergerak lebih jauh, langkah kaki terdengar dari arah lorong. Brama kembali ke ruangan, masih mengancingkan lengan kemejanya.
Seketika itu juga, Kiara mengubah ekspresinya. Tatapan tajam dan penuh kebencian itu lenyap, digantikan oleh wajah lembut dan ekspresi penuh kepolosan. Dengan suara yang dibuat gemetar, ia berkata, "Brama... Rinjani... dia menamparku..."
Brama mengerutkan kening, menatap mereka berdua dengan bingung. Sementara itu, Rinjani hanya bisa berdiri diam, dadanya naik turun karena emosi yang belum reda.
Satu hal yang pasti, Kiara baru saja menyatakan perang dengannya. Dan dia menolak untuk mundur sekarang.
“Rinjani, apa yang kamu lakukan?”
Dingin nada suara pria itu, membuat Rinjani bergidik. Ada rasa takut dalam hatinya. Ketakutan yang sudah menahun bagai insting dalam dirinya. Dia selalu merasa takut saat Brama sudah berbicara seperti ini tapi sekarang dia menolak mundur.
“Aku tidak akan pernah memaafkan siapapun yang sudah menghina orangtuaku!” gumamnya menahan amarah.
Brama langsung menoleh ke arah Kiara mendengar itu. “Kamu bilang apa?” tanyanya datar.
“Brama, aku hanya mencoba berbicara baik-baik dengannya. Tapi dia… dia langsung marah. Aku sama sekali nggak berniat menghina orangtua Rinjani. Aku Cuma tanya, sejak kapan mereka kerja di rumah ini.”
Rinjani menatap Kiara tidak percaya, begitu lihat perempuan itu memutar balikkan keadaan.
Kiara memanfaatkan momen itu dengan menangis pelan, seolah ia yang menjadi korban. “Mungkin, kata-kataku ada yang menyinggung kamu, Rin. Aku minta maaf, aku sama sekali nggak bermaksud merendahkan siapapun.”
Rinjani merasa seperti terjebak. Ia tahu Kiara sedang memutar balikkan fakta, tapi ia tidak memiliki bukti untuk membela diri. Ia hanya bisa menatap Brama, berharap ia bisa melihat kebenaran yang sebenarnya.
“Minta maaf!”
Rinjani terdiam, dia tidak ingin lagi membela diri. Dia kenal Brama dan dia bisa melihat pria itu tidak ingin lagi memperpanjang masalah itu.
Harga dirinya tidak mengizinkannya untuk minta maaf, tapi tatapan Brama membuatnya ragu.
“Kiara, ingat! Orangtuamu masih bekerja di sini!”
Deg! Sekarang, bahkan Brama mengancam orangtuanya? Rinjani menatap Brama dengan tatapan tajam. Apa ini pria yang selama ini dia cintai? Sejenak dia meragu, apa ini pria yang dia kenal selama lima tahun ini.
“Aku minta maaf,” gumamnya terbata, menelan kembali semua harga dirinya. Dia menundukkan kepalanya dan segera pergi dari sana.
Saat ia berjalan, air matanya mulai mengalir. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Kiara, tapi juga oleh Brama yang tidak bisa melihat kebenaran.
Sementara itu, di taman, Kiara masih memegang lengan Brama, wajahnya penuh dengan kepura-puraan. “Brama, aku khawatir dengan Rinjani. Dia tampak sangat emosional. Mungkin dia butuh bantuan.”
Brama hanya bergumam tidak jelas. “Lebih baik kita segera ke ruang tamu.” Dia lalu membimbing Kiara pergi dari sana. Setelah beberapa langkah dia menoleh sekilas ke belakang tapi kemudian langsung kembali menatap lurus ke depan.
Rinjani tidak tahu bagaimana dia meninggalkan rumah itu. Dia bagai boneka tanpa jiwa yang hanya berjalan dengan instingnya.
Dia bersyukur mobilnya tidak menambrak apapun dan dia tiba di apartemen adiknya dalam keadaan utuh.
Rinjani melihat wajahnya di cermin, mata sembab dan bengkak, wajah berantakan. Dia tidak ingin bertemu adiknya dengan wajah seperti ini. Akhirnya dia menitipkan makanan tadi di lobi apartemen itu dan pulang ke apartemennya sendiri.
Sampai di sana, hal pertama yang Rinjani lakukan adalah menyusun semua barang-barangnya.
Apartemen ini adalah apartemen pemberian Brama saat anniversery mereka yang ke tiga. Sebelumnya dia tinggal bersama dengan adiknya di sebuah apartemen yang sederhana.
Tetapi, Brama merasa tidak leluasa mengunjungi Rinjani sehingga dia menyuruh Rinjani pindah.
Rinjani menatap foto mereka berdua yang terletak di sebelah tempat tidur dengan mata berair.
“Mungkin memang aku hanya teman tidur untukmu, perempuan murahan yang bersedia melakukan apapun karena cinta,” sindirnya pedih pada dirinya sendiri.
Untuk Brama dia nyaris rela melakukan apapun hingga kehilangan diri. Namun, hasilnya tetap saja.
Dia memasukkan semua barang yang berisi kenangan mereka di satu kotak besar. Lalu menyusun barangnya sendiri di kotak lain. Rinjani tidak ingin berhenti bekerja, rasanya kalau dia hanya berdiam diri dia akan meledak.
“Apa ini semua? Kamu mau ke mana?”
Rinjani mendongak menatap Brama yang sudah berada di kamarnya tanpa dia sadari.
Brama sungguh tidak tahu lagi untuk mengatakan apa agar gadis itu memberikannya kesempatan. Rasanya kesempatan itu begitu dekat di depan mata, saat dia tahu apa yang terjadi pada Jagat. Namun, Rinjani bilang mereka sudah tidak mungkin? Selagi Brama tenggelam dalam pikirannya, Rinjani sudah berbalik dan hendak menjauh dari sana.Brama kembali menahan Rinjani. Dia tidak bisa terima pembicaraan mereka berhenti berakhir di sana begitu saja.“Aku harus apa, supaya kamu mau mencoba lagi?”Rinjani menghela napas panjang. Pria di depannya ini benar-benar keras kepala dan dia tidak tahu lagi harus mengatakan apa agar Brama mengerti.Rinjani menarik napas dalam. "Kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, Bram. Apakah kamu benar-benar mencintai aku, atau hanya nyaman dengan semua perhatian yang selalu kuberikan padamu?" Suaranya bergetar pelan.“Kamu pikir, aku akan berbuat sejauh ini kalau aku nggak yakin?” "Kalau aku tidak lagi memusatkan seluruh hidupku untukmu, setelah kita bersama, ap
Brama terlihat kikuk mendengar pertanyaan itu. “Bukan itu maksudku! Apa kamu yakin dia juga mau dimadu?” Pria itu menyesali sikapnya yang tidak bisa menahan emosi dan malah menyulut amarah Rinjani. Dia tahu, dia tidak bisa untuk memaksa Rinjani saat ini, itu hanya akan membuat gadis itu semakin menghindarinya. Tujuannya, bukan itu. Brama berharap gadis itu akan meninggalkan pria itu dan memilihnya.“Itu akan menjadi urusan kami. Kami akan menyelesaikannya dengan baik-baik.” Brama tertawa jengkel. “Kalau memang kamu bersedia di madu, kenapa aku tidak punya pilihan itu?” tanyanya marah.Egonya sebagai laki-laki terluka mendengar itu. Dia sudah berusaha meminta kesempatan bahkan nyaris memohon, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Namun, wanita itu memilih untuk dimadu dibanding memberinya kesempatan. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, kenapa Rinjani menolak memberinya kesempatan itu? Bukankah gadis itu sudah sangat lama mencintainya? Sekarang
Rinjani memutar bola matanya malas, dia skeptis mendengar hal semacam itu. Seorang Brama?Entah dia sadari atau tidak, Rinjani dengan sengaja mengabaikan fakta, kalau Brama memang sudah bersikap aneh semenjak hubungan mereka berakhir.Rinjani menggeleng-gelengkan kepala. "Aku nggak mau memikirkannya sekarang. Ayo sarapan, perutku keroncongan."“Oke.” Setelah membersihkan diri dan berias sederhana, keduanya langsung menuju ke restoran yang ada di tempat itu.Di area sarapan, suasana tenang tiba-tiba berubah ketika Rinjani melihat sosok familiar duduk di meja tak jauh dari mereka. Brama, dengan setelan kasual yang tetap terlihat mahal, dan Kevin, yang selalu setia menemani pria itu.Kevin langsung menyapa. "Rinjani! Selamat pagi!"Rinjani memaksakan senyum. "Pagi, Kevin. Kalian ngapain di sini?" tanyanya heran.Kevin menatap Brama yang tetap diam, lalu tergagap. "Oh itu, kami ada urusan bisnis di sini.”Rinjani mengerutkan kening. "Di sini?"Dia tidak melihat ada proyek yang cukup
Brama mengabaikan jawaban ketus itu dan memilih menatap Rinjani seksama. “Dia sudah benar-benar mabuk. Biar kubawa ke kamarnya.”Brama mencoba mendekat, tapi Celia melangkah maju menghalangi. "Biar aku yang membantu dia.”Brama mulai mengerutkan kening, terganggu dengan semua gangguan dari sahabat Rinjnai itu."Aku cuma mau bantu. Dia hampir jatuh dari kursi," Brama membela diri.Rinjani tiba-tiba tertawa keras. "Aku gaperlu bantuan siapa-siapa! Aku kuat!"Tapi tubuhnya bergoyang, dan Brama refleks menahan lengannya. Rinjani memandangnya, matanya berkaca-kaca.“Eh, Brama? Ngapain di sini?” tanyanya dengan suara tinggi. Tangannya menyentuh wajah pria itu seenaknya. “Aku salah lihat nggak sih? Nggak mungkin dia di sini, kan?”Celia menepuk jidatnya lelah. “Heh, salah aku bawa kamu minum.” Rinjani benar-benar terlalu awam dengan minuman beralkohol itu dan daya tahannya sama sekali tidak kuat.“Kita ke kamar sekarang!” Dia takut semakin lama di sini, Rinjani akan semakin men
Cepat atau lambat, dia harus keluar dari rumah ini. Kosan akan jadi pilihan yang jauh lebih ekonomis untuknya yang baru merintis dan tinggal sendirian tanpa perlu space yang terlalu lebar.Karena sesungguhnya dia tidak terbiasa tinggal di tempat luas sendirian.Keesokan harinya, saat sarapan, ibu Jagat memperhatikan Rinjani yang terlihat lebih pendiam dari biasanya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut.Rinjani mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis. "Aku baik, Ma ... Tante. Hanya memikirkan beberapa hal."Dia mengubah panggilannya dengan canggung karena tidak tahu harus mengatakan apa.“Tetap panggil, Mama saja. Kamu nggak perlu mengubah apapun. Papa sudah bilang kan dia menganggap kamu seperti anaknya sendiri. Mama juga gitu.”Mata Rinjani sudah terasa panas tapi dia memilih untuk menahan tangisannya sekuat tenaga. “Dari dulu, mama sudah menginginkan anak perempuan, siapa sangka akhirnya mama dapatkan dengan cara begini. Jalan hidup kadang memang nggak bisa ditebak.
Mendengar itu, wajah Rinjani berubah pucat, matanya membesar dengan ekspresi ngeri. "Tidak!" bantahnya tegas, menarik tangannya kembali. "Aku nggak pernah berminat sama sekali dengan harta Jagat, Ma! Jangan membuatku takut!" Dadanya naik turun, suaranya gemetar. Kalimat itu jauh lebih mengejutkan untuknya dibanding saat Jagat memutuskan untuk bercerai dengannya.“Rin, jangan menolak. Ini adalah hak kamu.”"Ma aku Cuma mau semuanya selesai dengan cepat." Rinjani berusaha meyakinkan mertuanya itu. “Masalah harta hanya akan jadi beban baru untukku.”Uang yang diberikan Jagat di awal saja sudah cukup untuk membuatnya merasa tidak enak pada pria itu, kalau ditambah lagi dia tidak akan mampu menerimanya.Ibu Jagat terkejut melihat reaksinya. "Rinjani, jangan terlalu baik. Ambil apa yang menjadi hak kamu. Kamu sudah dirugikan, masa nggak mau ambil apa-apa. Gimana juga, itu akan berguna untuk kamu ke depannya.”"Aku tidak kehilangan apa-apa, Bu," Rinjani memotong, suaranya lebih lembut
Ibu Jagat menatap lekat gadis muda di depannya itu. “Aku salah menilaimu. Dan memaksa Jagat meninggalkanmu tanpa alasan yang benar."Ucapan itu mengejutkan Evie, dia tidak menyangka kalau ibu Jagat itu akan mengatakan hal semacam itu.Dia sudah bersiap dengan segala makian dan kalimat menyakitkan yang mungkin diucapkan oleh wanita itu.Siapa sangka, ibu Jagat itu jauh lebih kooperatif dari yang dia kira.Mata wanita paruh baya itu. . "Kalau kamu ingin marah, marahlah padaku. Jagat tidak bersalah dalam hal ini. Dia hanya terpaksa mengikuti keegoisanku."Evie menghela napas. "Sudahlah, Tante. Aku bisa mengerti alasan Jagat melakukan itu, tapi itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah menyerah dengan hubungan kami dan sudah menikahi Rinjani. Di antara kami tidak akan ada hubungan selain sebagai orangtua anak ini.”“Vie, kenapa kamu terus bicara itu? Kita sudah sepakat untuk menemui orangtua kamu kan?”Jagat tidak bisa menahan diri untuk menghampiri mereka setelah mendengar tanggapa
Jagat menggosok-gosok pelipisnya yang mulai berdenyut. "Ma, Evie baru saja diperbolehkan dokter untuk beraktivitas ringan. Kehamilannya masih rentan, bagaimana kalau tunggu sampai dia lebih stabil?”"Aku tidak akan memakannya hidup-hidup!" Ibu Jagat memotong, tangannya mengepal di atas meja. "Apa kalian semua menganggapku monster?"Rinjani yang diam di sudut ruangan mengamati ketegangan antara ibu dan anak itu. Dia melihat bagaimana rahang Jagat mengeras, tanda bahwa dia sedang berusaha menahan emosi."Bukan begitu, Ma." Jagat mencoba menenangkan. "Aku Cuma berusaha hati-hati. Dokter bilang, Evie belum boleh terlalu stres dan banyak pikiran.”Ibu Jagat mengerutkan kening. "Lalu kapan menurutmu waktu yang tepat? Setelah bayi itu lahir? Atau setelah kalian menikah diam-diam?""Ma, bukan gitu maksudnya.” Jagat sungguh tidak mengerti bagaimana mendamaikan keduanya. Rasanya sangat tidak mengenakkan harus terjebak di tengah dua perempuan yang penting di hidupnya."Itu permintaan mama
“Ma, jangan begitu. Kita juga harus tanya, bagaimana rencana anak-anak ini.”Dengan mata tajam, ibu Jagat menatap suaminya. “Jangan bilang, kamu setuju mereka bercerai? Kamu sudah lupa, kenapa Rinjani menikah dadakan dengan Jagat? Kamu lupa janji kita ke orangtua Rinjani?”Setelah ibu Jagat sadar, mereka memang menceritakan semua yang terjadi pada wanita paruh baya itu.Agar dia tidak terkejut dengan perubahan yang tiba-tiba. Kini mendengar apa yang terjadi, wanita paruh baya itu merasa kalau situasi saat itu tidak adil untuk Rinjani.“Rin, tante nggak tahu harus bilang apa lagi ke kamu. Ini semua salah mama, sudah gagal mendidik anak. Kalau bukan karena keadaan mama semuanya nggak akan jadi kaya gini.”“Ma, jangan bicara gitu. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini sudah kehendak takdir. Aku nggak sedih, nggak marah juga. Mama juga jangan marah, nanti kondisi mama drop lagi.”“Lebih baik mama mati kemarin itu! Jadi mama nggak harus melihat semua kejadian ini!” serunya frustrasi.Wanita pa