Share

4. Lepaskan aku

Author: Neza Visna
last update Huling Na-update: 2025-02-12 20:01:39

Deg!

Rinjani tertegun, mendengar itu.

“Siapa yang bilang begitu?”

Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.

“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”

“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat  lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya.

"Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa!  Bilang,  aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”

Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"

Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”

Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara terus berbicara.

“Mungkin, ada baiknya kamu lebih sadar diri? kamu pikir,  kamu itu something Cuma karena kamu sudah kenal Brama lama?  Brama nggak akan mungkin serius denganmu. Kamu tahu itu.” 

Semakin lama, ucapan Kiara semakin menyakitkan. Perempuan cantik itu tidak menyadari tatapan Rinjani padanya semakin tajam.

"Atau jangan-jangan, keluargamu yang mengajarimu seperti ini? Kamu memafaatkan kebaikan hati Brama dan keluarganya untuk merayu Brama? berharap kamu menikahi orang kaya agar bisa mengangkat derajat mereka? Betapa menyedihkan."

Cukup!

Tanpa berpikir lebih lama, Rinjani mengayunkan tangannya dan menampar wajah Kiara dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat Kiara terperangah.

“Kamu berani menamparku?”

“Jaga mulutmu! Aku tidak peduli kalau kamu hanya menghinaku, tapi jangan pernah sebut orangtuaku dengan mulut kotormu itu!”

Telunjuk Rinjani  tertuju ke wajah Kiara tajam. Mata Rinjani penuh dengan amarah. Dia Napasnya tersenggal berusaha menahan emosinya.

Kiara murka dan  mengangkat tangannya, hendak membalas.

Namun sebelum Kiara sempat bergerak lebih jauh, langkah kaki terdengar dari arah lorong. Brama kembali ke ruangan, masih mengancingkan lengan kemejanya.

Seketika itu juga, Kiara mengubah ekspresinya. Tatapan tajam dan penuh kebencian itu lenyap, digantikan oleh wajah lembut dan ekspresi penuh kepolosan. Dengan suara yang dibuat gemetar, ia berkata, "Brama... Rinjani... dia menamparku..."

Brama mengerutkan kening, menatap mereka berdua dengan bingung. Sementara itu, Rinjani hanya bisa berdiri diam, dadanya naik turun karena emosi yang belum reda.

Satu hal yang pasti, Kiara baru saja menyatakan perang dengannya. Dan dia menolak untuk mundur sekarang.

“Rinjani, apa yang kamu lakukan?”

Dingin nada suara pria itu, membuat Rinjani bergidik. Ada rasa takut dalam hatinya. Ketakutan yang sudah menahun bagai insting dalam dirinya. Dia selalu    merasa takut saat Brama sudah berbicara seperti ini tapi sekarang dia menolak mundur.

“Aku tidak akan pernah memaafkan siapapun yang sudah menghina orangtuaku!” gumamnya menahan amarah.

Brama langsung menoleh ke arah Kiara mendengar itu. “Kamu bilang apa?” tanyanya datar.

 “Brama, aku hanya mencoba berbicara baik-baik dengannya. Tapi dia… dia langsung marah. Aku sama sekali nggak berniat menghina orangtua Rinjani. Aku Cuma tanya,  sejak kapan mereka kerja di rumah ini.”

Rinjani menatap Kiara tidak percaya, begitu lihat perempuan itu memutar balikkan keadaan.

Kiara memanfaatkan momen itu dengan menangis pelan, seolah ia yang menjadi korban. “Mungkin, kata-kataku ada yang  menyinggung kamu, Rin. Aku minta maaf, aku sama sekali nggak bermaksud merendahkan siapapun.”

Rinjani merasa seperti terjebak. Ia tahu Kiara sedang memutar balikkan fakta, tapi ia tidak memiliki bukti untuk membela diri. Ia hanya bisa menatap Brama, berharap ia bisa melihat kebenaran yang sebenarnya.

“Minta maaf!”   

Rinjani terdiam, dia tidak ingin lagi membela diri. Dia kenal Brama dan dia bisa melihat pria itu tidak ingin lagi memperpanjang masalah itu.  

Harga dirinya  tidak mengizinkannya untuk minta maaf, tapi tatapan Brama membuatnya ragu.

“Kiara, ingat! Orangtuamu masih bekerja di sini!”

Deg! Sekarang, bahkan Brama mengancam orangtuanya? Rinjani menatap Brama dengan tatapan tajam. Apa ini pria yang selama ini dia cintai? Sejenak dia meragu, apa ini pria yang dia kenal selama lima tahun ini.

“Aku minta maaf,” gumamnya terbata, menelan kembali semua harga dirinya. Dia menundukkan kepalanya dan segera pergi dari sana.

Saat ia berjalan, air matanya mulai mengalir. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Kiara, tapi juga oleh Brama yang tidak bisa melihat kebenaran.

Sementara itu, di taman, Kiara masih memegang lengan Brama, wajahnya penuh dengan kepura-puraan. “Brama, aku khawatir dengan Rinjani. Dia tampak sangat emosional. Mungkin dia butuh bantuan.”

Brama hanya bergumam tidak jelas. “Lebih baik kita segera ke ruang tamu.” Dia lalu membimbing Kiara  pergi dari sana.  Setelah beberapa langkah dia menoleh sekilas ke belakang tapi kemudian langsung kembali menatap lurus ke depan.

Rinjani tidak tahu bagaimana dia meninggalkan rumah itu. Dia bagai boneka  tanpa jiwa yang hanya berjalan dengan instingnya.

Dia bersyukur mobilnya tidak menambrak apapun dan dia tiba di apartemen adiknya dalam keadaan utuh.

Rinjani melihat wajahnya di cermin, mata sembab dan bengkak, wajah berantakan. Dia tidak ingin bertemu adiknya dengan wajah seperti ini. Akhirnya dia menitipkan makanan tadi di lobi apartemen itu dan pulang ke apartemennya sendiri. 

Sampai di sana, hal pertama yang Rinjani lakukan adalah menyusun semua barang-barangnya.

Apartemen ini adalah apartemen pemberian Brama saat  anniversery mereka yang ke tiga. Sebelumnya dia tinggal bersama dengan adiknya di sebuah apartemen yang sederhana.

Tetapi,  Brama merasa tidak leluasa mengunjungi Rinjani sehingga dia menyuruh Rinjani pindah.

Rinjani menatap foto mereka berdua yang terletak di sebelah tempat tidur dengan mata berair.

“Mungkin memang aku hanya teman tidur  untukmu, perempuan murahan yang bersedia melakukan apapun karena cinta,” sindirnya pedih pada dirinya sendiri.

Untuk Brama dia nyaris rela melakukan apapun hingga kehilangan diri. Namun, hasilnya tetap saja.

Dia memasukkan semua barang yang berisi kenangan mereka di satu kotak besar. Lalu menyusun barangnya sendiri di kotak lain.  Rinjani tidak ingin berhenti bekerja, rasanya kalau dia hanya berdiam diri dia akan meledak.

“Apa ini semua? Kamu mau ke mana?”

Rinjani mendongak menatap Brama yang sudah  berada di kamarnya tanpa dia sadari.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gelora Cinta Pria Arogan   151. Pagi Manis Berdua

    Ayah Rinjani akhirnya bicara, “Kami tahu siapa kamu, Brama. Dan kami tahu, kadang seseorang tidak bisa memilih dari keluarga mana dia lahir.”Brama menunduk hormat. “Terima kasih, Om, Tante.” Dia benar-benar kecewa dan frustrasi dengan keadaan ini.Di saat dia kira semuanya berjalan lancar, ada saja halangan yang membuat semuanya kacau.Ibu Rinjani menatap putrinya, lalu Brama, kemudian suaminya. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak satu pun kata keluar. Hanya napas pelan yang ditarik, kemudian dihembuskan perlahan seolah mencoba menurunkan segala gejolak emosi.Rinjani sendiri masih diam. Emosinya seperti dikeruk habis, marah, malu, lega, sakit hati, semuanya berdesakan seperti tamu tak diundang. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.Ayahnya yang lebih dulu bersuara.“Masuklah dulu,” ucapnya singkat sambil berbalik, lalu berjalan ke dalam.Brama ingin menyusul, tapi tangan ibu Rinjani tiba-tiba terangkat menghentikannya. Bukan kasar, tapi tegas.“Ini sudah mala

  • Gelora Cinta Pria Arogan   150. Semua yang Terjadi

    Rinjani tahu, ia sedang bermain api. Menunda pembicaraan hanya akan membuat bom waktu dalam dirinya makin besar. Tapi ia belum siap. Belum sanggup melihat bagaimana ekspresi ayah dan ibunya jika tahu bahwa ia diam-diam menjalin hubungan kembali dengan Brama. Hubungan yang mereka anggap berbahaya. Hubungan yang dulu membuat keluarganya harus menundukkan kepala di depan banyak orang.Namun Brama tidak seperti dulu. Ia datang bukan hanya dengan janji. Tapi juga dengan tindakan. Ia mengunjungi rumah, menyapa orangtuanya, berbasa-basi dengan sopan, sesekali membantu ayahnya mengangkat barang-barang berat di halaman. Meski hanya terlihat seperti usaha biasa, Rinjani tahu maksudnya.Tapi orangtuanya tak pernah bertanya lebih jauh. Mereka hanya melihat Brama sebagai pria yang sedang mencoba menjalin hubungan baik—mungkin sebagai teman, mungkin juga sebagai bekas menantu yang ingin memperbaiki hubungan sosial pasca perceraian."Dia berubah," kata Rinjani pelan suatu sore ketika ia duduk di te

  • Gelora Cinta Pria Arogan   149. Tanpa Paksaan

    “Aku nggak mau bohong lagi,” ucap Rinjani lirih, duduk di hadapan kedua orangtuanya di ruang tamu. Malam itu udara terasa berat, seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka."Sebenarnya sebelum bercerai, Brama mencoba bicara tapi dia baru serius waktu aku tahu aku pisah tadi.” Rinjani berusaha membentuk citra baik Brama di depan orangtuanya.Dia ingin perlahan jujur pada orangtuanya kalau kemungkinan dia dan Brama itu kembali sama sekali tidak tertutup.Orangtuanya saling pandang. Ayahnya menghela napas panjang sebelum berbicara dengan suara yang tak biasa lembut."Nak, tidak semua cinta harus berakhir di pelaminan. Kegagalan ini harus jadi pelajaran."Rinjani menatap ibunya Kata-kata itu begitu pelan tapi seperti hantaman. Ia tahu, maksud Ibu bukan untuk meremehkan perasaannya, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal rasa, tapi juga pilihan dan konsekuensi.“Ibu dan ayah cuma berharap,” sambung ayah dengan suara berat, “kegagalan kemarin bisa bikin kamu lebih ha

  • Gelora Cinta Pria Arogan   148. Hati ke Hati

    Brama tak segera menjawab. Dia menatap lurus ke mata ayah Rinjani."Aku bisa, Om!" Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan baja. "Selama Rinjani menerimaku, status apapun itu, aku nggak masalah." Ibu Rinjani meletakkan tangannya di paha. "Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka merestui hubungan ini?"Mereka masih mengingat jelas, reaksi orangtua Brama saat tahu tentang hubungan itu. Mudah dibayangkan, kalau mereka tidak akan dengan mudah berubah pikiran.Brama menghela napas halus. "Mama sduah membebaskan pilihanku." Ada jeda singkat sebelum dia melanjutkan, "Dan papa ... pendapatnya tidak mempengaruhi keputusanku."Radit yang duduk di sudut ruangan mengangkat alis. "Wah, berani sekali." Ada nada sindiran di suaranya.Sikap Radit terhadap Brama memang masih sangat ambigu. Terkadang, dia terkesan mendukung Brama, tapi terkadang masih terasa kalau dia belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan Brama di hidup Rinjani.Setelah membangun sendiri usahanya dia semakin sadar betapa jauh

  • Gelora Cinta Pria Arogan   147. Uninterested

    Orangtuanya yang turun lebih dulu sudah menyambut Brama dengan sikap bingung. Rinjani bisa melihat dari dalam mobil bagaimana Brama menyapa mereka dengan hormat.Sementara itu, Radit mematikan mesin mobil dan langsung membuka bagasi belakang untuk membawa semua barang Rinjani.Dengan ragu, Rinjani ikut turun dari dalam mobil, dan melangkah kaku ke arah Brama. Dia tidak tahuh harus mengucapkan apa."Rinjani? Lama tidak bertemu," sapa Brama dengan nada datar yang sempurna, seolah mereka memang hanya kenalan biasa. Sebuah senyum tipis sopan terukir di bibirnya.Rinjani nyaris tersedak melihat akting pria itu. Dasar aktor ulung, pikirnya sambil memaksa senyum kaku. “Hai ....”Jadi, begini maksudnya mendekati orangtuanya tanpa memberitahu kalau mereka bersama?Mereka harus berbohong lagi?Sungguh Rinjani sudah lelah. Dia tahu, satu kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan lainnya, dan akhirnya sama sekali tidak baik.Masalah perceraiannya dengan Jagat adalah salah satu contohnya. Karena

  • Gelora Cinta Pria Arogan   146. Ketegangan Baru

    “Yu!” katanya, menatap putrinya tajam. “Masih ada yang kamu sembunyikan dari kami?”Dunia Rinjani seakan berhenti sejenak.Kepalanya berdenyut. Napasnya tercekat. Dia tahu, ini adalah kesempatannya untuk mengatakan ke orangtuanya kalau dia kembali bersama Brama. Namun, dia tidak berani.Aku cuma… nggak mau kalian jadi bahan gosip,” suara Rinjani pecah di ruang tamu yang terasa terlalu lengang.Pada akhirnya dia terlalu pengecut untuk mengakui itu dan mengatakan hal yang sejak tadi memberatkan hatinya. “Semua tetangga udah tahu aku menikah, kalau aku tiba-tiba pulang dan tinggal di rumah ini lagi, pasti mereka kepo. Mereka bakal nanya-nanya, bisik-bisik, ngasih tatapan aneh. Aku nggak mau kalian jadi jadi bahan omongan.”Karena orangtuanya menjual sarapan di pagi hari mereka dengan begitu mudahnya berbaur dengan tetangga sekitar tempat itu, dia tidak ingin kehadirannya menggangu kehidupan sehari-hari mereka."Kita tidak hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain!"Sementara ibunya m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status