Share

3. Tahu Diri!

Author: Neza Visna
last update Last Updated: 2025-02-12 20:00:50

Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.

“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama  calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku  Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”

“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.

“Halah! Ibuk masih di  sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”

Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet.   

Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.

“Rin!”  

Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo. 

“Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci dulu, biar tangannya nggak melepuh.”

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Rinjani ikut saja saat ibunya membawanya ke wastafel dan meletakkan tangannya di bawah air mengalir.

Ternyata, dia terlalu terlena dengan khayalannya sendiri sehingga tidak menyadari kalau sup panas itu sudah mengenai tangannya. Lagi dan lagi tangannya terkena  cairan panas.

Rinjani merasa hari ini adalah hari sialnya. Tanpa bisa dia tahan air matanya mengalir deras.

“Astaga, sakit ya Rin. Sebentar, aku ambil salep dulu ke kamar.” Seorang dari mereka sigap mengambil salep dari kotak obat.

“Kalian lanjut dulu  masaknya, biar aku yang urus Rinjani.” Tegas ibunya berkata. Yang lain juga hanya mengangguk sembari menatap mereka khawatir.

Rinjani hanya bisa menundukkan kepalanya menyembunyikan tangis di wajahnya.

Ibunya membawanya ke satu bangunan lain yang tidak jauh dari tempat itu. Di bangunan ini semua pembantu yang bekerja di keluarga itu tinggal.

Ini juga adalah rumah tempat Rinjani di besarkan. Ibunya membawa Rinjani duduk. Sembari mengoleskan salep itu dengan wajah serius.

“Yu, kamu ada  masalah?” tanya ibunya lembut.

“Nggak kok, Bu. Aku  cuma kecapekan,” dustanya.

Wanita paruh baya itu menarik napas panjang. “Rin,  ibu sudah kerja begitu lama di keluarga ini. Kita punya hutang budi sangat besar untuk keluarga ini. Ibu nggak mau mengecewakan orang rumah ini, siapapun itu.”

Rinjani terdiam mendengar itu.

“Maaf, kalau ibu dan ayah nggak bisa kasih kehidupan yang bagus untukmu dan adikmu. Sehingga kamu Cuma bisa dibesarkan sebagai anak supir dan pembantu.”

Rinjani menggelengkan kepalanya kuat. “Buk, ibuk kok ngomongnya gitu?” Suaranya bergetar. 

“Ibu tahu kamu suka sama Den Brama, tapi kamu juga tahu itu mustahil. Cepat atau lambat, Den Brama akan menikah juga.”

Rinjani menundukkan kepalanya, rasanya dia  bagai ditelanjangi saat itu. Seakan seluruh isi hati dan rasa mindernya dibongkar habis-habisan.

“Dan perempuan itu nggak mungkin kamu. Kamu juga sadar, itu kan?”

Kepala Rinjani semakin menunduk malu. Perasaannya pada Brama, bukan rahasia lagi di depan ibunya. Namun, bahkan sampai sekarang ibunya masih menganggap kalau itu hanya perasaan yang bertepuk sebelah tangan.

“Ayu tahu, Bu. Ayu sadar diri, nggak akan pernah berani berpikir macam-macam tenang saja.” Sejak ibunya menyadari perasaannya pada Brama, dia sudah selalu diingatkan untuk tahu diri, tahu diri dan tahu diri. Sampai dia jenuh mendengarnya.

Tetapi, baru sekarang Rinjani menyesali, kenapa dia tidak mendengarkan ibunya sedari dulu? Sekarang, hatinya hancur, hubungan mustahil itu akhirnya sampai pada akhirnya. Siapa yang bisa dia salahkan?

Ibunya sudah hendak membuka mulut menasehati anaknya itu lagi tapi kemudian dia menghela napas panjang  dan memeluk Rinjani.

Dia mengusap punggung anak gadisnya itu lembut. Rinjani tidak bisa lagi menahan diri dan meluapkan semua tangisnya di sana.  Hingga tinggal isak tangis yang tersisa dan suaranya parau.

“Maafin aku, Bu. Maaf, maaf.” Dia hanya bisa bergumam sesegukan.  Sementara ibunya terus mengangguk sembari mengusap rambut dan punggungnya lembut.

Setelah beberapa saat, Rinjani akhirnya merasa lelah. Matanya sudah sakit dan bahkan tidak bisa lagi mengucurkan air mata.

“Bu, apa ibu masih nggak berminat keluar dari kerjaan ibu sekarang?” tanyanya serak.

“Sekarang, aku dan adek bisa kok membiayai ibu dan bapak. Tabungan kalian juga sudah cukup untuk buka usaha kecil-kecilan. Kita nggak perlu lagi kerja di sini.”

Ibunya mendorong  Rinjani menjauh dari pelukannya dan menatap lekat mata anaknya itu. “Yu, sebagai manusia, kita itu harus tahu balas budi. Keluarga ini mau mempekerjakan ibu dan bapak yang nggak punya pendidikan, dan bahkan kasih anak-anak ibu beasiswa untuk sekolah tinggi. Selamanya ibu dan bapak nggak akan bisa balas budi baik keluarga ini.”

Rinjani tersenyum getir. Dia tahu, ibunya masih merasa berhutang budi pada keluarga Abiyasa.  Budi baik yang juga membuat kepalanya terasa berat saat menatap Brama.

Hutang budi yang membuatnya selalu merasa inferior dan tidak berani membantah Brama.   Yang akhirnya berakibat pada dinamika hubungan mereka yang terasa sangatt timpang.

Dia bahkan tidak yakin apakah mereka bisa disebut sebagai pasangan kekasih. Pernyataan cinta, perlakuan romantis, sikap manis, hal-hal semacam itu tidak pernah ada di  hubungan mereka. 

“Ayu tahu, Bu.”

Gagal lagi membujuk ibunya, Rinjani akhirnya pergi meninggalkan rumah itu dengan membawa rantang di tangannya.  Gadis itu mempercepat langkahnya tidak ingin bertemu dengan  Brama.

Sayangnya, hari ini keberuntungan sama sekali tidak di pihak gadis itu. Semesta seakan bekerja sama untuk  melukainya.

“Eh, Kamu juga di sini.”

Suara merdu yang sama sekali tidak ingin dia dengar   menyapa telinganya kasar. Rinjani tidak ingin menanggapi tapi menghindar juga hanya akan membuatnya terkesan semakin tidak sopan.

Rinjani menoleh dan tersenyum ke arah Kiara yang baru saja keluar dari mobil dengan Brama.

“Hei, kamu sekretaris Brama, kan? Kok di sini?”

Kiara bertanya  dengan nada polos.

“Orangtuaku juga kerja di sini, jadi aku menemui mereka.” Rinjani menjawab dengan sopan. Meski pandangannya terus menatap lantai.

“Oh iya? Aku kok nggak tahu? Brama kamu nggak cerita. Tahu begitu kan tadi kita bisa pulang bareng.”

Brama berdiri tegap tidak tahu dari mereka dengan sebelah tangan dimasukkan ke kantong.

“Kamu sendiri tadi yang bilang mau beli cake dulu.”

“Oh iya.” Kiara menjulurkan lidahnya jenaka mendengar itu.  

Rinjani tidak ingin melihat kemesraan dua orang itu lebih lama lagi. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak? Buk?” 

“Apa sih, kamu manggil aku ibuk segala. Apa wajahku setua itu? Yang bos kamu kan Brama bukan aku, panggil saja aku Kiara.”        

Kiara menggandeng tangan Rinjani akrab, seakan mereka sudah lama kenal. “Kamu nggak buru-buru kan? Bagaimana kalau temani aku dulu di sini? Ini kali pertama aku ke rumah Brama. Rasanya gugup banget. Bagaimana kalau om dan tante nggak suka sama aku?”

Tangan lembut mungil itu terasa bagai borgol di tangan Rinjani, betapa ingin dia menepis tangan itu kasar.  

Brama tampak tida  setuju, tapi Kiara hanya tersenyum dan menarik tangan Rinjani masuk ke dalam. Rinjani pun terpaksa melangkah masuk ke rumah itu.

Di belakangnya, Brama hanya bisa mengikuti mereka pasrah. “Pertunangan kita diatur oleh mama dan ibumu, jadi mama nggak mungkin nggak suka padamu.”

Mendengar itu, Kiara hanya menoleh sekilas ke belakang lalu tersenyum tipis. “Biarin saja, aku Cuma mau ada temannya saja. Namanya pertemuan pertama gugup itu kan wajar.” 

Rinjani hanya bisa diam, menelan kenyataan pahit itu seorang diri. Pandangannya berkali-kali bertemu dengan mata Brama, tapi pria itu tidak berkata apa-apa. Seolah-olah yang terjadi di antara mereka dulu tidak pernah ada.

“Terserahmu saja. Aku ganti baju dulu ke atas.”

Ketika Brama pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian, atmosfer di ruangan berubah drastis. Kiara, yang sebelumnya tampak hangat dan bersahabat, kini menatap Rinjani dengan dingin. Bibirnya melengkung sinis.

“Aku tahu, kamu teman tidur Brama.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Cinta Pria Arogan   151. Pagi Manis Berdua

    Ayah Rinjani akhirnya bicara, “Kami tahu siapa kamu, Brama. Dan kami tahu, kadang seseorang tidak bisa memilih dari keluarga mana dia lahir.”Brama menunduk hormat. “Terima kasih, Om, Tante.” Dia benar-benar kecewa dan frustrasi dengan keadaan ini.Di saat dia kira semuanya berjalan lancar, ada saja halangan yang membuat semuanya kacau.Ibu Rinjani menatap putrinya, lalu Brama, kemudian suaminya. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak satu pun kata keluar. Hanya napas pelan yang ditarik, kemudian dihembuskan perlahan seolah mencoba menurunkan segala gejolak emosi.Rinjani sendiri masih diam. Emosinya seperti dikeruk habis, marah, malu, lega, sakit hati, semuanya berdesakan seperti tamu tak diundang. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.Ayahnya yang lebih dulu bersuara.“Masuklah dulu,” ucapnya singkat sambil berbalik, lalu berjalan ke dalam.Brama ingin menyusul, tapi tangan ibu Rinjani tiba-tiba terangkat menghentikannya. Bukan kasar, tapi tegas.“Ini sudah mala

  • Gelora Cinta Pria Arogan   150. Semua yang Terjadi

    Rinjani tahu, ia sedang bermain api. Menunda pembicaraan hanya akan membuat bom waktu dalam dirinya makin besar. Tapi ia belum siap. Belum sanggup melihat bagaimana ekspresi ayah dan ibunya jika tahu bahwa ia diam-diam menjalin hubungan kembali dengan Brama. Hubungan yang mereka anggap berbahaya. Hubungan yang dulu membuat keluarganya harus menundukkan kepala di depan banyak orang.Namun Brama tidak seperti dulu. Ia datang bukan hanya dengan janji. Tapi juga dengan tindakan. Ia mengunjungi rumah, menyapa orangtuanya, berbasa-basi dengan sopan, sesekali membantu ayahnya mengangkat barang-barang berat di halaman. Meski hanya terlihat seperti usaha biasa, Rinjani tahu maksudnya.Tapi orangtuanya tak pernah bertanya lebih jauh. Mereka hanya melihat Brama sebagai pria yang sedang mencoba menjalin hubungan baik—mungkin sebagai teman, mungkin juga sebagai bekas menantu yang ingin memperbaiki hubungan sosial pasca perceraian."Dia berubah," kata Rinjani pelan suatu sore ketika ia duduk di te

  • Gelora Cinta Pria Arogan   149. Tanpa Paksaan

    “Aku nggak mau bohong lagi,” ucap Rinjani lirih, duduk di hadapan kedua orangtuanya di ruang tamu. Malam itu udara terasa berat, seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka."Sebenarnya sebelum bercerai, Brama mencoba bicara tapi dia baru serius waktu aku tahu aku pisah tadi.” Rinjani berusaha membentuk citra baik Brama di depan orangtuanya.Dia ingin perlahan jujur pada orangtuanya kalau kemungkinan dia dan Brama itu kembali sama sekali tidak tertutup.Orangtuanya saling pandang. Ayahnya menghela napas panjang sebelum berbicara dengan suara yang tak biasa lembut."Nak, tidak semua cinta harus berakhir di pelaminan. Kegagalan ini harus jadi pelajaran."Rinjani menatap ibunya Kata-kata itu begitu pelan tapi seperti hantaman. Ia tahu, maksud Ibu bukan untuk meremehkan perasaannya, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal rasa, tapi juga pilihan dan konsekuensi.“Ibu dan ayah cuma berharap,” sambung ayah dengan suara berat, “kegagalan kemarin bisa bikin kamu lebih ha

  • Gelora Cinta Pria Arogan   148. Hati ke Hati

    Brama tak segera menjawab. Dia menatap lurus ke mata ayah Rinjani."Aku bisa, Om!" Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan baja. "Selama Rinjani menerimaku, status apapun itu, aku nggak masalah." Ibu Rinjani meletakkan tangannya di paha. "Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka merestui hubungan ini?"Mereka masih mengingat jelas, reaksi orangtua Brama saat tahu tentang hubungan itu. Mudah dibayangkan, kalau mereka tidak akan dengan mudah berubah pikiran.Brama menghela napas halus. "Mama sduah membebaskan pilihanku." Ada jeda singkat sebelum dia melanjutkan, "Dan papa ... pendapatnya tidak mempengaruhi keputusanku."Radit yang duduk di sudut ruangan mengangkat alis. "Wah, berani sekali." Ada nada sindiran di suaranya.Sikap Radit terhadap Brama memang masih sangat ambigu. Terkadang, dia terkesan mendukung Brama, tapi terkadang masih terasa kalau dia belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan Brama di hidup Rinjani.Setelah membangun sendiri usahanya dia semakin sadar betapa jauh

  • Gelora Cinta Pria Arogan   147. Uninterested

    Orangtuanya yang turun lebih dulu sudah menyambut Brama dengan sikap bingung. Rinjani bisa melihat dari dalam mobil bagaimana Brama menyapa mereka dengan hormat.Sementara itu, Radit mematikan mesin mobil dan langsung membuka bagasi belakang untuk membawa semua barang Rinjani.Dengan ragu, Rinjani ikut turun dari dalam mobil, dan melangkah kaku ke arah Brama. Dia tidak tahuh harus mengucapkan apa."Rinjani? Lama tidak bertemu," sapa Brama dengan nada datar yang sempurna, seolah mereka memang hanya kenalan biasa. Sebuah senyum tipis sopan terukir di bibirnya.Rinjani nyaris tersedak melihat akting pria itu. Dasar aktor ulung, pikirnya sambil memaksa senyum kaku. “Hai ....”Jadi, begini maksudnya mendekati orangtuanya tanpa memberitahu kalau mereka bersama?Mereka harus berbohong lagi?Sungguh Rinjani sudah lelah. Dia tahu, satu kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan lainnya, dan akhirnya sama sekali tidak baik.Masalah perceraiannya dengan Jagat adalah salah satu contohnya. Karena

  • Gelora Cinta Pria Arogan   146. Ketegangan Baru

    “Yu!” katanya, menatap putrinya tajam. “Masih ada yang kamu sembunyikan dari kami?”Dunia Rinjani seakan berhenti sejenak.Kepalanya berdenyut. Napasnya tercekat. Dia tahu, ini adalah kesempatannya untuk mengatakan ke orangtuanya kalau dia kembali bersama Brama. Namun, dia tidak berani.Aku cuma… nggak mau kalian jadi bahan gosip,” suara Rinjani pecah di ruang tamu yang terasa terlalu lengang.Pada akhirnya dia terlalu pengecut untuk mengakui itu dan mengatakan hal yang sejak tadi memberatkan hatinya. “Semua tetangga udah tahu aku menikah, kalau aku tiba-tiba pulang dan tinggal di rumah ini lagi, pasti mereka kepo. Mereka bakal nanya-nanya, bisik-bisik, ngasih tatapan aneh. Aku nggak mau kalian jadi jadi bahan omongan.”Karena orangtuanya menjual sarapan di pagi hari mereka dengan begitu mudahnya berbaur dengan tetangga sekitar tempat itu, dia tidak ingin kehadirannya menggangu kehidupan sehari-hari mereka."Kita tidak hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain!"Sementara ibunya m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status