Wajah tua itu berkerut seperti kertas yang diremas. "Kamu sudah benar-benar berani sekarang? Merasa saya bukan lagi apa-apa, karena sudah pensiun!? Ingat! Saya masih bisa menghancurkan tempat ini dengan sangat mudah!”Dada Rinjani berdegup kencang, tapi senyum dinginnya tak goyah. "Lakukan saja. Tapi Bapak tidak diundang berada di sini lebih lama. Silahkan!”Ayah Brama tersentak seolah ditampar. Apa dia benar-benar sudah semakin tua sekarang? Sejak kapan dia bisa dipermalukan oleh gadis ingusan seperti ini? " Begini caramu memperlakukanku? Jangan harap akan dapat restuku untuk kalian?!"“Apa Bapak lupa? Saya sudah menikah!” Rinjani terseyum datang. “Lagipula, mungkin Bapak perlu berpikir lagi, apakah Bapak masih bisa mengontrol Brama sekarang?" Rinjani menyilangkan tangan, suaranya seperti pisau bedah, tajam.Tangan tua itu terangkat, siap menampar. Rinjani menutupkan matanya refleks. Sadar kalau dia tidak memiliki kesempatan lagi untuk mengelak."Pa!"Brama muncul seperti b
“Kalau kalian sudah bercerai, kenapa Mbak masih tinggal di rumah Jagat? Jangan bilang kalau orangtua Jagat belum tahu tentang ini? Kalian masih tidur sekamar?”Rinjani memukul tangan adiknya itu gemas. “Hush! Jaga bicaramu! Masih ada Evie yang mendengar!”Evie tersenyum kecil. “Aku nggak masalah. Aku dan Jagat juga hanya coparenting anak sejauh ini. Kami belum berencana untuk kembali bersama.”Jagat terlihat lesu mendengar jawaban itu tapi dia berusaha tersenyum meski terlihat getir.Radit menatap dengan pandangan mencemooh. “Rasakan itu!” ucapnya tanpa suara. Jagat hanya bisa melotot kesal tanpa bisa melakukan apa-apa. Dia sempat panik mengira kalau Evie akan salah paham, dan dia juga baru teringat dia tidak pernah menjelaskan dengan detil pada Evie apa yang sebenarnya terjadi.“Orangtua Jagat sudah tahu. Tenang saja, kami sudah pisah kamar. Aku Cuma belum pindah karena takut ayah dan ibu tahu.”“Makanya aku bilang lebih baik kasih tahu mereka kan! Kalau gini kan malah jadi rib
“Jangan hanya hmm saja! Itu bukan jawaban!”“Aku nggak bisa menjanjikan apapun ke Mama.”“Brama! Kamu benar-benar membuat Mama Stress!”Perempuan paruh baya itu tidak mengerti sama sekali, kenapa masa rebel anaknya itu datang sangat terlambat?Sedari dulu, dia bangga, karena Brama membuatnya sangat bangga, dan tidak pernah merepotkannya.Saat anak-anak lain merengek minta ditemani, Brama bisa sendirian.Saat anak-anak lain seusianya, gila bermain sampai lupa waktu belajar, Brama sudah sibuk dengan berbagai les privat.Bahkan, saat dia SMP, dan kebanyakan anak laki-laki mulai belajar bolos dan merokok, Brama menghabiskan waktunya untuk ikut olimpiade, dan cerdas cermat.Siapa sangka, semua bentuk pemberontakan itu datang saat dia sudah dewasa. Dan itu membuat ibunya sama sekali tidak siap.“Rinjani perempuan baik, tapi dia sudah menikah. Kamu nggak berniat menghancurkan itu, kan?”Dengan sikap Brama, dia merasa itu bukan sesuatu yang mustahil. “Tanpa persetujuan Rinjani, aku
Ibu Brama terhenti di tengah jalan, wajahnya berkerut melihat air mata Kiara yang mengalir deras. Tangannya sudah separuh terulur, ingin menghibur, tapi Brama dengan tegas menarik ibunya kembali."Ma, kita pergi!" Suaranya seperti baja yang dipadatkan.Hanya ibu Kiara yang langsung memeluk anaknya menenangkan. “Pa! Kenapa Papa semudah itu memutuskan! Ini pertunanganku!” Kiara tidak bisa menahan diri, dia merasa dikhianati oleh ayahnya sendiri. “Papa nggak berhak ikut campur!”“Kamu berani marah ke Papa? Memangnya kalau papa tidak setuju, dia akan mengurungkan niatnya? Brama bukan orang yang bisa dikontrol! Salahkan dirimu yang gagal bertahan!”Ucapan itu dingin, seakan bukan ucapan ayah ke anaknya tapi dari bos ke bawahannya yang gaga memenuhi target.Kiara menghentakkan kakinya kesal. “Aku bisa! Asal papa membantuku aku yakin bisa!”“Berhenti macam-macam. Jangan sampai kamu membuat Brama kesal dan merusak kerja sama kami! Sebaiknya kamu berhenti main-main dan mulai cari calon suam
Saat mereka tiba di kediaman keluarga Kiara, mereka sudah menunggunya di sana.“Anak Brama, ada apa ke sini? Nggak ada masalah apapun kan?”Brama memang sudah lebih dulu menyampaikan kalau dia ingin bertemu orangtua Kiara, dan bertanya kapan dia bisa ke sana saat keduanya di rumah.Tetapi dia tahu kalau mereka meluangkan waktu untuk bertemu dengannya. Semenjak pertunangan itu, keluarga Kiara sudah merasakan manisnya keuntungan kerja sama itu.Ditambah mereka melihat sendiri tegasnya Brama mengatasi masalah internal keluarganya, membuat ayah Kiara menyadari satu hal, kalau Brama bisa menjadi musuh yang menakutkan.Sebisa mungkin dia ingin menghindari permusuhan dengan pria itu.“Duduk dulu, silahkan. Ini ada minuman dan makanan sederhana, dicicip dulu.”Senyum manis ibu Kiara menyambut mereka di ruang tamu. Entah apakah dia masih bisa tersenyum setelah mendengar berita yang dibawa oleh Brama.Ibu Brama tersenyum canggung, semakin baik penyambutan pasangan itu, semakin dia merasa bers
Ayahnya mengangguk dingin. Beberapa saat tidak bertemu, pria itu masih searaogan yang dia ingat. "Aku dengar kamu mau membatalkan pertunangan ini. Kamu sudah gila?”Ibu Brama yang berdiri di sampingnya terlihat tegang. Dia sama sekali tidak berani menatap Brama.“Jadi, demi membuatku berhenti membatalkan pertunangan ini, mama sampai memanggil papa ke rumah ini?”“Mama melakukan ini semua juag demi kamu. Mama nggak mau kamu ada penyesalan.”“Jadi aku harus berterima kasih, demi aku, Mama sampai mau bertemu lagi dengan laki-laki yang Mama benci?” “Brama! Gitu cara bicara kamu ke orangtua sekarang? Di mana sopan santun kamu?”Brama menyadari kedua orangtuanya bisa sangat akrab kalau sudah menyangkut tentangnya, memastikan agar dia tetap berada di jalan yang sudah mereka susun untuknya.Sayangnya, mereka ditakdirkan untuk kecewa hari ini, karena semenjak awal semua usahanya adalah untuk menghindari hal itu. Brama menarik napas dalam. "Aku tidak mencintai Kiara. Pertunangan ini h