Menghapus Jejak
“Itu temanmu?” Naila mendengus di kursi kemudi. Tatapan mata Naila tajam menghunus. Naila masih terganggu dengan perilaku Xavier terhadapnya tadi.
Naila memukul setir kemudi. Meluapkan emosi yang membara di dadanya lalu kembali meremas setir kemudi.
Adrian yang duduk di sebelah Naila semakin menyusut. Amarah, serta erangan dari Naila membuat nyali Adrian ciut. Berapa kali pun Adrian melihat Naila mengamuk, tetap saja dirinya tidak bisa terbiasa.
“Jangan berteman lagi dengan bocah nakal sepertinya. Masa depanmu hanya akan jadi berantakan!” titah Naila tanpa mengalihkan pandangannya. Pemuda yang baru saja melewati usia dua puluh tahun itu telah membuat kekacauan dalam diri Naila.
“Xavier satu-satunya temanku yang tulus, Kak.”
“Tulus darimana? Apa kamu menilai seseorang itu tulus hanya dari omongannya saja? Jangan lupa, Adrian! Kamu putra dari Presdir Gabriel. Demi bisa mendapatkan manfaat darimu, siapapun akan bersikap tulus di depanmu. Jangan bodoh! Dunia tidak semanis kembang gula,” cerocos Naila.
Mendengar ceramah panjang dari kakaknya, Adrian memilih diam. Dia mengeluarkan ponselnya dari ransel punggung lalu mulai memainkan. Dirinya tidak ingin ambil pusing soal statusnya yang merupakan putra dari Presdir Gabriel yang kaya raya, atau putra dari Nyonya Halim yang dikenal ramah dan dermawan. Adrian hanya ingin dikenal sebagai dirinya sendiri, sebagai Adrian.
Mobil Naila berbelok, memasuki pekarangan rumah dari Keluarga Halim. Dua puluh tahun, terasa berjalan begitu lambat di rumah ini. Tidak banyak yang berubah, selain anggota keluarga yang sudah meninggalkan rumah ini dan membangun rumah mereka sendiri.
Naila dan Adrian turun dari mobil, pemuda itu segera berlari ke dalam rumah, menghindari Naila yang mungkin akan melanjutkan omelannya. Sedang Naila, masih dengan gaya yang arogan melempar kunci mobil pada salah satu penjaga dan melenggang ke dalam rumah.
“Mama!” pekik Adrian. Buru-buru Adrian mencari keberadaan wanita yang dipanggil Mama itu. Bersembunyi di ketiak Queen merupakan cara terbaik untuk menghindari amukan dari Naila.
Adrian naik dan turun tangga, keluar masuk semua pintu demi mencari sosok wanita bersahaja itu. Alis Adrian hampir bertemu, matanya masih memendar, raut wajahnya menjadi kecewa sebab Queen tidak lekas terlihat batang hidungnya.
“Mama dan Papa mana, Bi?” Naila mencegat salah satu pengurus rumah tangga yang baru saja kembali dari halaman belakang.
Ditanyai Naila, wanita itu menjadi gugup. Dirinya tahu benar karakter dari tuan putri yang satu ini, begitu mudah marah jika keinginannya tidak terpenuhi.
“Tsk! Ke luar negeri lagi?” tebak Naila. Naila mencebik. Lalu melipat kedua tangan di dada dengan ekspresi geram.
“Adrian! Siapkan kopermu! Kita susul Mama dan Papa ke Swiss,” ujar Naila pada Adrian yang baru saja bergabung.
“Susul? Ke Swiss? Kak ...,” rengek Adrian.
Adrian tidak bisa memahami kenapa keluarganya ini begitu senang ke luar negeri. Tidak hanya papa dan mamanya, namun juga Naila yang sering menghabiskan akhir minggu di negeri orang.
Naila mendelik Adrian, “Kamu tidak mau ikut? Ya sudah, tinggal saja di sini sendiri.”
“Hah? Kak, besok aku ujian, loh,” kilah Adrian sebelum Naila berlalu dari hadapannya.
“Lagipula, kita sudah dewasa, bisa mengurus diri sendiri. Kenapa harus menganggu Papa dan Mama yang sedang menikmati masa tuanya?” sambung Adrian.
“Aku anggap kamu tidak mau ikut!” Naila berjalan melewati Adrian. Tujuan utama dari gadis itu adalah kamarnya yang masih berada di ruangan yang sama. Hanya saja, desainnya berubah menjadi lebih minimalis dengan didominasi warna hijau tua.
Bagi Naila, warna hijau tua yang lembut itu, memberinya ketenangan ekstra setelah seharian bergelud di kantor. Naila merasa seperti dipeluk oleh alam, setiap dirinya kembali ke kamar.
“Kakak putus lagi? Haha!” tebak Adrian. Pemuda itu terkekeh. Kini Adrian tahu kenapa Naila begitu ingin menyusul ke Swiss. Sudah tabiat gadis itu, setiap kali hubungan percintaannya berakhir, maka Naila akan mengasingkan diri di luar negeri sembari menenangkan diri. Lalu kembali ke Indonesia, dengan sikap yang lebih gila.
Naila akan bekerja lembur setiap harinya. Menghabiskan waktu lebih banyak dengan bergelud di ruang kerja dalam satu hari. Kegilaan Naila, akan berhenti, setelah dirinya berhasil membalas mantan kekasihnya dulu.
“Kali ini, Kakak akan merebut proyek laki-laki itu, mendepaknya dari dunia hiburan atau mengusirnya dari dunia bisnis?”
“Kamu tahu darimana, Adrian?”
“Hahaha! Siapa lagi kalau bukan ....” Adrian memutar bola matanya. Merasa puas setelah menebak jalan pikiran Naila.
“Hilda? Dasar bocah nakal! Awas saja dia,” sembur Naila. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Merasa gemas pada Hilda.
“Memangnya Kakak berani sama Tante Ayunda? Bahkan Om Wahyu saja kalah jika berdebat dengan istrinya.” Adrian belum mau berhenti. Cita-citanya saat ini adalah mengganggu Naila agar kakaknya membatalkan keberangkatan mereka.
“Aku mau tidur, Adrian! Berhenti bergosip. Kita batal ke Swiss!” putus Naila. Naila mengibas rambutnya, lalu bergegas masuk ke kamar.
Adrian yang melihat kelakuan Naila menyunggingkan senyum. Kemenangan yang besar untuk Adrian jika Naila bisa menuruti keinginannya.
Selama ini, Naila hampir tidak menurut pada siapapun kecuali Queen dan Gabriel. Sebab itulah, Naila sering berselisih dengan rekan kerja serta bawahannya di kantor.
Meski kantor itu milik Gabriel sendiri, hingga saat ini Naila masih duduk di posisi manajer senior. Bukan tanpa alasan, gadis itu dinilai belum mampu bekerja sebagai sebuah tim dan masih mengedepankan keputusan individualnya saja. Walau kerap kali keputusan Naila itu briliant, tetap saja anggota dewan di perusahaan Halim menolak memberi Naila posisi yang lebih tinggi. Setidaknya, sampai Naila belajar menghargai pendapat orang lain.
Hempasan tubuh Naila membuat kasur berukuran king size itu membal. Derit pelan dari ranjang ikut terdengar.
Naila merentangkan kedua tangannya, menarik nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata. Perasaannya berubah sakit, begitu tersiksa begitu keheningan menyapa Naila.
Ini bukan kali pertama Naila ditinggalkan, sama seperti ucapan Adrian. Entah sudah berapa lelaki dari berbagai kalangan kelas atas menjadi kekasih dari Naila. Entah berapa kali juga, Naila dihempaskan begitu saja.
Begitu banyak alasan yang diutarakan para mantan kekasih dari Naila. Bahkan tidak jarang, Naila diputuskan hanya lewat sebuah pesan.
“Gadis gila!”
“Sombong!”
“Keras kepala!”
“Gadis kasar!”
Semua kalimat-kalimat itu terngiang di telinga Naila. Melesak masuk semakin dalam ke dalam batin Naila. Mengundang lelehan hangat yang mulai merembes pelan dari sudut mata Naila.
“Aku juga sakit, Rey. Apa aku tidak cukup baik hingga kamu bermain di belakangku?” ucap Naila sembari menghapus air matanya. Perpisahannya dengan Rey, telah mengungkit kembali kenangan buruk Naila bersama mantan-mantan kekasihnya.
Satu tangan Naila mencoba meraih ponsel dari saku blazer. Berulangkali Naila mengusap sudut matanya yang semakin basah. Ibu jari Naila bergerak dengan sedikit gemetar, menghapus satu persatu jejak dari Rey di ponselnya.
Foto, pesan, chat, log panggilan, hingga Voice Note Naila kirim ke tong sampah. Tekad Naila sudah bulat, untuk menghapus jejak Rey dari hidupnya.
“Selamat tinggal, Rey! Kamu yang memintaku, bukan?” ucap Naila sembari tersenyum setelah menghapus foto terakhir dari Rey.
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.