Tante ya Tante!
“Kak Naila!” Seruan keras dari lelaki muda membuat wanita itu menoleh.
Seketika wajahnya berubah masam. Sudah hampir dua puluh menit lamanya dia menunggu sang adik di sana. Menjadi pusat perhatian dari banyak mahasiswa yang lalu lalang di sepanjang jalan.
Naila, nama cantik yang diberikan Presdir dari Halim Group itu tidak sejalan dengan sikapnya. Arogan, keras kepala, bahkan mudah marah merupakan karakter utama yang mendasari sikap Naila.
Saat ini, tangan Naila sudah tergenggam. Bersiap-siap menoyor kepala adiknya yang membuatnya menunggu hampir setengah jam di sana.
Melihat kuda-kuda dari Naila, Andrian berhenti berjalan. Matanya memicing memastikan keadaan.
“Mau kemana?” Naila berteriak. Tidak perduli jika dirinya menjadi sorotan dari seluruh mahasiswa yang berkeliaran di sana.
“Kak! Kak, aku-aku .....”
“Aku apa, hah? Kamu membuatku menunggu dua puluh menit di sini, Adrian! Seharusnya aku sudah di rumah, beristirahat dengan nyaman. Bukannya menunggui adik nakal seperti dirimu,” gerutu Naila.
Adrian menggaruk belakang kepalanya. Merasa bingung bagaimana cara merespon dari sikap kakaknya.
“Hei, Bro!”
Punggung Adrian ditepuk. Pemuda berwajah menggemaskan seumuran Adrian menghampiri Adrian.
“Kamu kenapa? Itu siapa?” tanyanya tanpa ragu. Kedua matanya menatap takjub pada mobil sport berwarna biru gelap yang dibawa Naila. Lalu memicingkan mata, menyorot Naila dari ujung kaki hingga kepala.
“Cantik! Tantemu, Bro?”
Andrian segera berdehem. “Diamlah, dia kakakku, kamu ingin dikuliti olehnya?” bisik Adrian.
Lelaki yang dipanggil Xavier itu mengangguk. Lalu kembali menatap Naila dengan sorot mata yang berbeda.
Bukannya dia tidak sadar, jika gadis berusia 26 tahun di depannya itu adalah pewaris dari perusahaan Halim Group, sekaligus kakak dari Adrian. Namun, Xavier begitu penasaran, ingin sekali menguji kebenaran perihal isu yang beredar jika gadis itu adalah pemimpin yang arogan.
“Lihat apa kamu, Bocah?” tegur Naila. Naila mengangkat kacamatanya lalu menyelipkan di puncak kepala. Naila balas memandangi Xavier dari puncak kepala hingga kaki.
“Tante lihat apa? Kagum ya sama ketampanan saya?”
“Cih! Bocah ... lain kali kenali dulu lawan bicaramu! Aku bukan tantemu.”
“Lah ... Tante ya tante. Memang harus jadi adik Papaku dulu baru bisa dipanggil tante? Lagian, dari ujung kepala sampai ujung kaki, penampilan tante ya seperti tante-tante,” balas Xavier.
Mendengar ucapan Xavier, Naila menarik nafas yang dalam hingga bahunya terangkat. Ingin sekali dia menghantam lelaki di hadapannya ini dengan heelsnya yang seruncing jarum, namun Naila menahan gejolaknya mengingat dirinya sedang berada di tempat umum.
“Adrian! Masuk ke mobil! Duduk diam di sana. Aku harus mengurus sesuatu.”
“Ah ... i-iya, Kak Naila.” Adrian segera menurunkan lengan Xavier dari pundaknya. Dengan setengah berlari, Adrian masuk ke kursi sebelah kemudi. Duduk diam di sana sembari merapal mantra agar Xavier tidak kehilangan gigi depannya setelah bergelut dengan Naila.
Adrian tahu benar sikap dari Naila. Ingatannya masih segar, saat Naila menghajar teman sekelasnya sendiri di bangku SMA dulu hanya karena menggoda dirinya. Hidung teman Naila berdarah, keduanya diseret ke ruang BK, dan Gabriel dipanggil ke sana.
Gabriel harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar ganti rugi. Belum lagi tekanan dari keluarga korban jika permasalahan ini akan disampaikan ke media jika tidak bersedia membayar sebanyak yang mereka minta.
“Xavier! Lari, jangan bodoh, Kawan! Kakakku itu pembunuh lelaki!” gumam Adrian sembari menatap Xavier.
Sedang Naila, segera mendekati Xavier. Wajahnya sedikit terangkat, menantang Xavier yang masih tersenyum ke arahnya.
“Siapa namamu, Nak?” tanya Naila tepat di hadapan Xavier.
“Namaku? Tante penasaran?” Xavier balik menantang.
“Apa telingamu bermasalah? Aku bukan tantemu!” pekik Naila. Urat-urat di wajah Naila mulai bermunculan. Sudah lama dirinya tidak merasakan gejolak untuk menghabisi seseorang. Sebab itulah, Naila begitu menikmati darahnya yang mendidih kembali karena Xavier.
Xavier semakin terkekeh. Begitu kagum pada wajah cantik Naila yang masih terlihat begitu cantik meski dibalut amarah.
“Tan! Terlalu banyak marah dan berteriak akan mempersingkat umur Tante, loh.”
Xavier tidak bisa berhenti tersenyum. Kedua matanya mulai menyipit. Perasaannya menjadi hangat saat melihat ekspresi murka dari Naila.
Naila yang dipayungi amarah, mulai menarik kedua lengan bajunya. Ingin segera membekuk Xavier hingga bersimpuh di hadapannya.
Belum sempat Naila bergerak, ponselnya berdering. Gadis itu berhenti, menurunkan tangan lalu meraih ponsel di saku jasnya.
“Halo, Ma!”
“Naila, kamu dimana putriku? Apa kamu belum bertemu dengan Adrian? Seharusnya kelasnya sudah selesai.” Di seberang sana, Queen yang merupakan ibu dari kedua adik-kakak itu bertanya dengan nada halus.
Naila segera berbalik, melirik Adrian yang berpura-pura tidak paham keadaan di sana. Naila bisa menebak, jika Adrian baru saja menghubungi Queen dan Queen akan berpura-pura mengobrol dengannya demi mengalihkan perhatian Naila. Trik lama, namun selalu berhasil pada Naila.
“Baik, Ma! Kami sudah dalam perjalanan pulang, kok.”
“Baguslah, Naila. Hati-hati di jalan, ya? Jangan mengebut, jika tidak Papamu akan berceramah lagi sepanjang malam.”
“Oke, Ma. Telfonnya aku tutup, ya?”
“Sampai jumpa, Putriku!”
Begitu telfon dimatikan, Naila segera berbalik ke posisi awal. Urusannya dengan Xavier hanya tertunda sebentar.
Namun, mata Naila membelalak. Di hadapannya kini tidak ada satu sosok pun yang sedari tadi memancing emosinya.
“Bye, Tante! Jumpa lagi,” teriak Xavier dari kejauhan. Xavier memamerkan deretan giginya yang rapi sebelum menghilang di antara bangunan-bangunan.
---
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.